Pengaruh Variabel Jumlah Anak Terhadap Tingkatan Keputusan

5.4. Pengaruh Variabel Jumlah Anak Terhadap Tingkatan Keputusan

Menggunakan Vasektomi Variabel jumlah anak tidak dapat dilanjutkan ke dalam uji statistik Regresi Linier Berganda karena berdasarkan hasil uji statistik Korelasi Pearson variabel jumlah anak memiliki nilai p 0,25. Hasil uji statistik Korelasi Pearson menunjukkan bahwa variabel jumlah anak tidak mempunyai hubungan dengan tingkatan keputusan menggunakan vasektomi p = 0,822 0,05. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Simanjuntak 2007 bahwa jumlah anak merupakan karakteristik yang tidak berpengaruh terhadap adopsi inovasi KB pria di kalangan prajurit TNI-AD. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan hasil penelitian Novianita 2008 yang menyatakan bahwa jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mendorong pengambilan keputusan pada akseptor KB vasektomi. Menurut studi tahun 1997 di Tanzania dalam Ringheim 1996, 25 pria mengindikasikan bahwa mereka akan mempertimbangkan vasektomi setelah mereka mempunyai jumlah anak yang cukup. Menurut hasil penelitian ini, responden yang memiliki jumlah anak ≥2 orang yaitu sebanyak 63 orang 78,8. Responden memutuskan menggunakan vasektomi tidak karena banyak atau sedikitnya jumlah anak yang mereka miliki, bahkan ada 4 responden yang masih memiliki satu orang anak. Jumlah anak tidak menjadi pertimbangan responden dalam mengambil keputusan menggunakan vasektomi. Responden yang menyatakan bahwa jumlah anak yang banyak untuk membatasi jumlah anak merupakan salah satu pertimbangan untuk memutuskan menggunakan vasektomi sebanyak 60, namun pertimbangan ini tidak menjadi suatu pertimbangan Universitas Sumatera Utara yang menyebabkan cepat atau lambatnya responden memutuskan menggunakan vasektomi. Ada 4 responden yang masih memiliki 1 orang anak tetapi tetap memutuskan menggunakan vasektomi, bahkan berdasarkan hasil cosstabulation diketahui bahwa 4 orang tersebut memiliki tingkatan keputusan otomatis, artinya 4 responden 5 yang memiliki 1 anak tersebut langsung memutuskan menggunakan vasektomi sejak pertama kali responden memperoleh informasi tentang vasektomi tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Terdapatnya akseptor yang masih memiliki 1 orang anak merupakan kesalahan dalam proses perekrutan calon akseptor, bahkan ada akseptor yang belum menikah sudah ikut menggunakan vasektomi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari lapangan diketahui bahwa dari pengakuan kader yang merekrut calon akseptor yang belum menikah tersebut, calon akseptor tersebut memberikan KTP palsu yang menandakan bahwa calon akseptor tersebut sudah menikah sehingga dilakukanlah operasi vasektomi kepada calon akseptor tersebut. Selang beberapa hari, keluarga akseptor tersebut datang menuntut agar kesuburan anaknya dikembalikan seperti semula sehingga dilakukan operasi rekanalisasi untuk memulihkan kembali kesuburan akseptor tersebut. Menurut pengakuan kader tersebut, akseptor memiliki kelainan jiwa. Dari kejadian tersebut, dapat diketahui bahwa ada persyaratan yang tidak dilakukan kader tersebut dalam memilih calon akseptor vasektomi, salah satunya adalah pengisian informed consent di mana di dalamnya terdapat juga tanda tangan dari istri calon akseptor vasektomi. Jika pengisian informed consent telah Universitas Sumatera Utara dilaksanakan dengan benar, maka tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan calon akseptor vasektomi. Dari kasus ini juga dapat dilihat bahwa ada semangat yang menggebu-gebu dari kader vasektomi untuk mencari calon akseptor vasektomi sebab kader juga mendapat kompensasi dari pemerintah sebesar Rp.50.000,- per akseptor yang didapat sedangkan akseptornya sendiri mendapat Rp.150.000,- sehingga terjadilah “kejar target” tanpa ada ketegasan dalam persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebelumnya. Dari 80 responden, terdapat 48 orang 60 yang menyatakan salah satu pertimbangan mereka menggunakan vasektomi adalah karena jumlah anak yang banyak untuk membatasi jumlah anak. Berdasarkan informasi tambahan yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa dari 80 responden terdapat 8 responden yang istrinya hamil setelah responden operasi vasektomi. Berdasarkan pernyataan responden, kehamilan tersebut terjadi disebabkan responden melakukan hubungan suami istri tanpa menggunakan alat kontrasepsi karena responden masih harus memakai alat kontrasepsi selama 2-3 bulan setelah responden operasi vasektomi jika ingin melakukan hubungan suami istri. Dari 8 responden yang istrinya hamil setelah responden vasektomi tersebut, 3 responden yang istrinya mengalami keguguran, 1 responden yang istrinya masih hamil 3 bulan, dan 4 responden yang anaknya telah lahir. Menurut pengakuan responden, jika terjadi kehamilan maka proses persalinan ditanggung oleh pemerintah. Universitas Sumatera Utara

5.5. Pengaruh Variabel Pengetahuan Terhadap Tingkatan Keputusan