2.1.7. Teori Pengambilan Keputusan
Ada dua teori pengambilan keputusan Syamsi, 1995 yaitu:
1. Teori Klasik
Menurut teori klasik, pengambilan keputusan haruslah bersifat rasional. Keputusan diambil dalam situasi yang serba pasti, pengambil keputusan harus
memiliki informasi sepenuhnya dan menguasai permasalahannya. Teori pengambilan keputusan ini mendasarkan diri pada asumsi dari orang yang mempunyai pikiran
ekonomi rasional untuk mendapatkan hasil atau manfaat yang semaksimal mungkin. Segala sesuatunya itu mengarah pada kepastian.
Kritik terhadap teori ini adalah pengambilan keputusan harus berorientasi pada ’apa yang seharusnya dilakukan’ bukan pada ’apa yang ia ingin lakukan’. Kritik
berikutnya adalah kita ini tidak selalu serba mengetahui dengan pasti; ada hal-hal yang belum kita ketahui dengan pasti.
2. Teori Perilaku
Teori perilaku behavioral theory disebut juga administrative man theory. Teori ini mendasarkan diri pada keterbatasan kemampuan pimpinan untuk berpikir
rasional penuh dalam menangani masalah. Dari informasi yang ada dan beberapa alternatif yang tersedia, maka apabila pimpinan telah merasa puas pada saru alternatif
pemecahan masalah, maka alternatif itulah yang dipakainya Syamsi, 1995. Menurut Rogers dalam Notoatmodjo 2003, dalam memutuskan untuk
mengadopsi suatu perilaku baru, di dalam diri seseorang tersebut terjadi proses sebagai berikut:
1. Sadar Awareness, di mana orang tersebut menyadari adanya stimulus obyek.
Universitas Sumatera Utara
2. Minat interest, orang mulai menaruh minat terhadap stimulus dan mencari informasi lebih banyak.
3. Penilaian Evaluation, orang mengadakan penilaian terhadap stimulus dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang, dan
menentukan mencoba atau tidak. 4. Mencoba Trial, orang mulai mencoba menerapkan ide-ide baru sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh stimulus. 5. Penerimaan Adoption, orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Menurut Rogers, perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut
akan bersifat langgeng long lasting. Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama
Notoatmodjo, 2003. Menurut Green Yustina, 2007, perilaku dipengaruhi oleh 3 tiga faktor
pokok: 1. Faktor predisposisi predisposing factors, yakni faktor pencetus timbulnya
perilaku seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan
dengan motivasi individu untuk berperilaku.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor yang mendukung enabling factors, yakni faktor yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk
di dalamnya adalah lingkungan dan sumber-sumber yang ada di masyarakat. 3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong reinforcing factors, yakni
faktor yang merupakan pembentukan perilaku yang berasal dari orang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku, seperti keluarga, teman, guru atau
petugas kesehatan. Menurut Notoatmodjo dan Sarwono Sarwono, 1997, upaya mengubah
perilaku dapat digolongkan menjadi tiga cara yaitu: 1. Menggunakan kekuasaan atau kekuatan.
2. Memberikan informasi. 3. Diskusi dan partisipasi.
Skiner dalam Notoatmodjo 2003 seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari
luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini
disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons yaitu:
1. Respondents respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan stimulus tertentu. Stimulus semacam ini disebut
eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tetap.
Universitas Sumatera Utara
2. Operant respons atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang
ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons. Sebagian besar perilaku manusia adalah operant respons. Oleh sebab itu
untuk membentuk jenis respon atau perilaku perlu diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku dalam
operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai berikut: a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforce
berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku
yang dimaksud. c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya
diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku tindakan tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka
dilakukan komponen perilaku yang kedua yang kemudian diberi hadiah komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi. Demikian berulang-ulang
sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen
Universitas Sumatera Utara
ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.
4.
2.2. Kompensasi