peranan penting dalam hal mengatur keuangan keluarga, mengatur moralitas keluarga dan merawat serta melindungi keluarga.
D. Self-silencing pada perempuan Jawa
Self-silencing merupakan sikap individu yang dilakukan untuk menjaga hubungan interpersonalnya dengan orang lain atau pasangannya. Self-silencing ini
juga dapat muncul pada diri seseorang apabila seorang mendapat tekanan dari lingkungan berupa stereotipe yang muncul di masyarakat. Tekanan seperti harus
menjadi perempuan yang “baik”, ibu yang “baik”, ataupun istri yang “baik” menjadi salah satu faktor pemicu munculnya self-silencing.
Pada studi ini, berfokus pada perempuan Jawa yang hidup di lingkungan masyarakat Jawa. Perempuan Jawa yang lahir dan besar di tanah Jawa. Selain itu,
perempuan Jawa yang kedua orangtuanya juga merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Di mana nilai-nilai, norma, dan kebudayaan Jawa secara tidak langsung
mempengaruhi perempuan Jawa. Nilai-nilai Jawa yang selalu mendorong seseorang bersikap baik terhadap orang lain dan menjaga relasi dengan orang lain
menjadi pemicu munculnya self-silencing. Menurut Handayani 2008, secara psikologis, individu Jawa akan selalu berada di bawah tekanan terus menerus
untuk mengontrol dorongan-dorongan spontannya, menyesuaikan diri dengan berbagai otoritas, serta selalu memperhatikan kedudukan dan pangkat setiap
pihak. Menurut Soedarsono 1986, kepribadian wanita Jawa akan tercermin
dalam sistem sosialnya, yaitu bersifat konform atau berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku supaya dapat memenuhi harapan-harapan
lingkungannya, meskipun tindakan-tindakan tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Pembentukan kepribadian tersebut diperoleh dalam proses
sosialisai dan enkulturasi. Sikap perempuan Jawa tersebut memicu timbulnya sikap self-silencing di mana perempuan Jawa menekan perasaan, pikiran dan
perilakunya agar sesuai dengan harapan orang lain. Maka pada studi ini, ingin melihat bagaimana perempuan Jawa yang hidup
di masyarakat Jawa memaknai nilai-nilai Jawa yang secara tidak langsung memberikan tekanan pada perempuan Jawa untuk mampu mengontrol dirinya,
selalu menghormati suami dan siap mengorbankan kebutuhannya demi mendahulukan kebutuhan orang lain terutama suami dan anak-anaknya. Tekanan
dari nilai Jawa yang membuat perempuan Jawa mengalami self-silencing sebagai cara untuk melakukan perlawanan terhadap orang lain. Diam sebagai ekspresi
ketidak perdulian terhadap apa yang terjadi. Bahkan diam mampu menjadi kekuatan dari perempuan Jawa ketika mereka mampu menjadikannya sebagai cara
berdamai dengan diri sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka dilihat bagaimana perempuan Jawa memaknai self-silencing.
Gambar 1. Skema Self-silencing
Self- silencing: -
Depresi -
Perlawanan -
Berdamai dengan diri
Perempuan Jawa
Nilai Jawa: Kerukunan
Kehormatan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-silencing merupakan sikap individu yang diam atau menekan perasaan, pikiran, dan
sikapnya yang dirasa berlawanan dengan harapan orang lain untuk menjaga relasi mereka dengan orang lain. Self-silencing memiliki empat dimensi yaitu
externalized self-perception
,
care as self-sacrifice
,
silencing the self
,
the divided self.
Penelitian-penelitian mengenai self-silencing
di beberapa
negara menunjukkan bahwa self-silencing dipengaruhi oleh budaya di dalam masyarakat.
Budaya Jawa sangat menjunjung keharmonisan. Dua prinsip yang dijunjung demi menjaga keharmonisan di dalam masyarakat adalah prinsip
kerukunan dan prinsip kehormatan. Perempuan Jawa dikonstruksikan sebagai sosok perempuan yang halus,
tenang, diam atau kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni dan menjunjung tinggi nilai keluarga. Perempuan Jawa juga mampu menerima segala
situasi dan pintar memendam penderitaan terpahit serta pintar pula memaknainya. Perempuan sebagai seorang istri dianggap sebagai kanca wingking, yang berarti
memiliki kedudukan lebih rendah daripada laki-laki. Di balik anggapan tersebut perempuan Jawa memiliki peranan yang sangat penting di dalam keluarga
terutama dalam mengatur keluarga. Sesuai penjelasan mengenai self-silencing, prinsip-prinsip budaya Jawa,
serta penjelesan mengenai perempuan Jawa maka penelitian ini ingin melihat bagaimana makna self-silencing pada perempuan Jawa. Perempuan Jawa dengan
karakter yang cenderung memendam perasaan serta pandai memaknai. Perempuan
Jawa yang hidup dalam budaya Jawa yang menjunjung nilai keharmonisannya. Bagaimana sikap self-silencing dimaknai oleh perempuan Jawa.
30
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana pertanyaan penelitian dijawab melalui penelitian. Selanjutnya akan dijelaskan fokus penelitian serta
informan pada penelitian ini. Kemudian pada bagian akhir dijelaskan teknik analisis data yang digunakan serta kualitas penelitian.
A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Self-silencing merupakan sebuah konsep dari Dana Jack pada perempuan depresi. Definisi self-silencing yang mengacu pada sikap diam seseorang
dikarenakan menjaga relasi dengan orang lain membuat peneliti ingin melihat secara lebih jauh. Rasa keingintahuan peneliti terkhusus pada sikap diam yang
juga peneliti temui di budaya Jawa. Peneliti melihat bahwa pada budaya Jawa seseorang cenderung untuk
memilih diam meskipun sebenarnya apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Seseorang cenderung tidak ingin menimbulkan konflik secara
terbuka. Bahkan terkadang peneliti melihat seseorang pada akhirnya akan memilih untuk tetap bersikap biasa kembali meskipun sebenarnya dirinya berkonflik
dengan orang lain. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melihat lebih jauh bagaimana seseorang terutama perempuan Jawa memaknai sikap diam yang
diambilnya. Apalagi budaya Jawa yang menjunjung keharmonisan. Untuk melihat fenomena tersebut peneliti memilih menggunakan
paradigma kualitatif. Penelitian kualitatif dimulai dengan menggunakan kerangka