Pola bagaimana perempuan Jawa yang dipengaruhi nilai budaya Jawa menghasilkan sikap diam ketika menghadapi konflik dengan orang lain dapat
dilihat dalam skema di bawah ini.
Inf 4,6
Keharmonisan
Gambar 2. Skema sikap diam
a. Sikap mendiamkan sebagai penenangan diri, pengelolaan emosi,
dan refleksi diri
Sikap mendiamkan bagi perempuan Jawa adalah cara untuk penenangan diri, pengelolaan emosi, dan refleksi diri. Bagi perempuan Jawa melalui sikap
mendiamkan, mereka dapat menangkan diri sehingga mereka dapat berfikir mengenai sikap yang telah diambil. Mereka juga mampu merefleksikan diri
dengan melihat apakah yang menjadi kesalahan di dalam dirinya. Melalu refleksi tersebut mereka mampu mengambil sikap selanjutnya agar tidak menimbulkan
konfrontasi sehingga tetap menjaga kerukunan di dalam masyarakat.
Kritikan Konflik
Tidak suka dengan orang lain
Nilai : Kerukunan
Menghormati
Self-silencing: Penenangan diri
Pengelolaan emosi Refleksi diri
“Dipupus”
Agresi: Marah
Dipaparkan oleh Ibu Ytm 48 bahwa dirinya memilih untuk diam agar mampu untuk berpikir mengenai sikap apa yang akan dipilih. Ibu Tnt 64 juga
mengungkapkan bahwa sikap mendiamkan untuk menenangkan diri. Ketika dirinya sudah merasa tenang maka Ibu Tnt 64 akan bersikap biasa kembali.
Sikap mendiamkan yang diambil oleh perempuan Jawa sama seperti yang dijelaskan oleh Nakane bahwa sikap diam memiliki fungsi secara afeksi untuk
mengelola emosi, “…means of emotion management Nakane, 2007.” Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr Heidi Levitt of the University of
Massachusetts terhadap klien psikoterapi menunjukkan bahwa mereka memilih diam pada suatu waktu tertentu. Diam yang dilakukan tersebut menunjukkan tiga
prinsip produktif yaitu, menjadi emosional, ekspresif, dan reflektif Kenny, 2011.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap diam yang dipilih seseorang memiliki makna yang berbeda salah satunya sebagai sarana untuk
merefleksikan diri. Seperti yang dilakukan oleh Ibu P 44 bahwa dirinya memilih diam untuk mengelola emosinya sekaligus melakukan intropeksi diri. Begitu juga
dengan Ibu Ytm 48 yang memilih sikap diam sebagai cara untuk berpikir tentang tindakan yang telah dilakukan dan tindakan selanjutnya yang akan
diambil. Pemaknaan sikap diam sebagai penenangan diri, pengelolaan emosi, dan
refleksi mendorong perempuan Jawa untuk menjadi lebih kuat. Hal ini dikarenakan mereka menjadi lebih sadar akan sikap yang telah diambilnya.
Bahkan pemaknaan sikap diam sebagai cara untuk refleksi diri mendorong
perempuan Jawa lebih memahami segala sikap yang dambilnya dan secara sadar memilih sikap akhir menghadapi konflik yang dialaminya.
b. Sikap mendiamkan sebagai bentuk kemarahan