Self-Silencing dan Budaya Self-silencing

mengorbankan diri dalam konteks berelasi. Hasilnya, menurut data kuantitatif self-silencing berelasi dengan pengalaman PMS, di mana externalized self- perception, silencing the self, dan divided self memiliki relasi yang signifikan dengan distress. Sedangkan, externalized self-perception, divided self dan care as self-sacrifice berelasi secara signifikan dengan coping seseorang yang mengalami PMS. Self-silencing dapat muncul dari masa remaja. Pada masa remaja seseorang mulai menyadari mengenai gambaran tentang dirinya. Selain itu, pada masa remaja seseorang akan menyadari adanya beberapa tekanan sosial yang ada. Hal tersebut seperti yang dijelaskan Spinazzola dalam Shouse, Sarah. H, dan Johanna Nilsson 2011, “…suggested that the process of self-silencing begins in adolescence, a time when body image and social pressures become prevalent.” Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Self- Silencing dapat muncul pada perempuan yang cenderung mengalami tekanan dari lingkungan yang menyebabkan seorang perempuan menagalami sakit fisik atau mental. Tekanan dari lingkungan ini dapat berupa keharusan bahwa perempuan harus memiliki karakter sebagai perempuan yang “baik” dan dapat mengontrol diri mereka.

4. Self-Silencing dan Budaya

Self-silencing erat kaitannya dengan budaya. Seperti yang dijelaskan Jack and Dill bahwa self-silencing merupakan skema kognitif tertentu yang berasal dari budaya bukan merupakan ciri-ciri kepribadian, “explicitly identify selfsilencing as a ‘specific, cognitive schema, derived from the culture,’ and not as a personality trait,” Harper, Melinda S. dan Deborah P. Welsh, 2007. Beberapa penelitian di beberapa negara juga menunjukkan bahwa budaya menjadi penentu dari self- silencing. Standar setiap budaya mengenai konsep sebagai seorang perempuan yang ideal mendorong perempuan untuk melakukan self-silencing. Penelitian yang dilakukan oleh Witte, Tricia H. dan Martin F. Sherman 2002 menjelaskan bahwa self-silencing tidak didukung oleh nilai-nilai feminis melainkan merupakan penolakan dari nilai-nilai tradisional. Self-silencing merupakan salah satu cara untuk berdaptasi dengan nilai-nilai tradisional yang ada di lingkungannya. Di negara Jerman menjadi ibu yang baik adalah ibu yang mampu memprioritaskan keluarga. Perempuan mengalami kesulitan mengkombinasikan antara membesarkan anak dengan bekerja. Hal tersebut mendorong perempuan untuk mengalami self-silencing. Mereka memilih untuk menomorduakan karir mereka demi menuruti tuntutan sosial. “This is also a sign of women’s self-silencing: They begin by putting their occupational interests second in order to comply with implicit societal demands regarding their role in the family Zoellner, Tanja, dan Susanne Hedlund dalam Jack, Dana dan Alisha Ali,2010.” Pada budaya kolektifis pun perempuan mengalami self-silencing. Misalnya di Nepal menjadi perempuan yang baik terutama perempuan yang menikah adalah perempuan dengan karakter yang pekerja keras, setia, mengabdikan diri sepenuhnya pada suami, dan fokus menjaga harmoni keluarga. Apalagi perempuan di Nepal yang sudah menikah mereka akan tinggal bersama keluarga suaminya. Seorang istri menjadi orang yang harus melayani segala anggota keluarga serta menuruti aturan yang ada di dalam keluarga. Hal tersebut menuntun perempuan untuk mengalami self-silencing. Self-silencing dan self-sacrificing berpadu dengan budaya untuk menjadi perempuan yang baik. ”Thus, self-silencing and self-sacrificing harmonize with cultural prescriptions for being a ‘‘good woman” Jack, Dana, Bindu Pokharel, dan Usha Subba dalam Jack, Dana dan Alisha Ali, 2010.” Berdasarkan penelitian-penelitian di budaya kolektifis menunjukkan bahwa self-silencing berkaitan dengan depresi dimana berbeda dengan budaya individual. Selain itu, faktor sosial seperti kasta, peraturan pernikahan, dan pendidikan memiliki kaitan yang kuat terhadap self-silencing dan depresi terutama di Nepal. Di Nepal, self-silencing menjadi mediator antara kejadian sosial yang tidak menyenangkan dan depresi. “In addition, social factors such as caste, arranged marriage, and education may strongly affect self-silencing and depression within these cultures. The Nepal studies lay the groundwork for such further research, including an examination of the role of self- silencing as a mediator between adverse social events and depression Jack, Dana, Bindu Pokharel, dan Usha Subba dalam Jack, Dana dan Alisha Ali, 2010.” Self-silencing akan berbeda di setiap budaya. Setiap budaya akan membentuk persepsi, emosi dan perilaku yang berbeda pula pada individu. Konteks sosial yang spesifik, politik, perubahan ekonomi, aturan gender dan status perempuan berhubungan dengan dimensi self-silencing termasuk dampak dari self-silencing yang berubah-ubah di setiap budaya. “This research therefore points to the need for further investigation regarding how specific social contexts, political and economic changes, gender roles, and status of women relate to the dimensions of self-silencing, including how the consequences of self-silencing might vary across cultures Drat-Ruszczak, Krystyna dalam Jack,Dana dan Alisha Ali,2010.” Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self-silencing sangat ditentukan oleh budaya. Budaya memiliki peran penting terutama adanya standar- standar eksternal yang ada di dalam budaya. Begitu juga standar mengenai “good women” yang mendorong perempuan untuk melakukan self-silencing.

B. Budaya Jawa