Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self-silencing sangat ditentukan oleh budaya. Budaya memiliki peran penting terutama adanya standar-
standar eksternal yang ada di dalam budaya. Begitu juga standar mengenai “good women” yang mendorong perempuan untuk melakukan self-silencing.
B. Budaya Jawa
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang lahir dan besar di tanah Jawa. Mereka dalam kesehariannya menggunakan bahasa Jawa. Seperti
penjelasan Franz Magnis Suseno 1985, “yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa
adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa.” Setiap budaya pasti memiliki nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Pada
budaya Jawa nilai yang dijunjung adalah nilai keharmonisan. Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi keharmonisan hubungan dengan orang lain. Upaya
untuk menjaga keharmonisan tersebut diwujudkan oleh masyarakat Jawa melalui dua prinsip hidup, yaitu kerukunan dan kehormatan.
Kehidupan masyarakat Jawa yang kolektif membuat mereka cenderung menjunjung kerjasama. Hubungan interpersonal yang dijalin selalu menghindari
munculnya ketegangan atau konflik. Keadaan rukun terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima,
dalam suasana tenang dan sepakat Suseno, 1985. Tujuan utama dari kerukunan adalah agar terciptanya keharmonisan
hubungan. Seperti yang dikatakan Handayani 2010, tujuan utamanya adalah untuk mencapai keselarasan sosial di mana semua pihak dalam kelompok
berdamai satu sama lain. Melalui tujuan ini, masyarakat Jawa memiliki seni kontrol diri agar emosi-emosi agresif yang dirasakan dapat dikontrol sehingga
tidak menimbulkan konflik. Suseno 1985 mengatakan: “…oleh karena itu masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-
norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-
kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka.”
Sedangkan dalam prinsip hormat, menekankan pola interaksi dalam
kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Suseno 1985 setiap orang dalam bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain,
sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Pada mereka yang berkedudukan lebih tinggi seseorang harus bersikap hormat, terutama dalam masyarakat Jawa ketika
berbicara menggunakan bahasa Jawa “krama”. Sedangkan pada orang yang lebih muda orang bersikap hormat dengan menunjukkan sikap kebapaan atau keibuan
serta rasa tanggung jawab. Kedua prinsip di atas, yaitu kerukunan dan hormat saling berhubungan.
Keduanya sama-sama menuntut adanya pengendalian diri. Setiap individu diharapkan tidak memunculkan konflik yang mampu mengganggu keharmonisan
hubungan interpersonal. “Prinsip kerukunan dan hormat menuntut agar saya selalu
menguasai perasaan-perasaan dan napsu-napsu saya dan agar saya bersedia untuk menomorduakan kepentingan-kepentingan saya
pribadi
terhadap pertahanan
keselarasan masyarakat
Suseno,1985.” Bahkan dalam prakteknya, nilai bahwa menjunjung keharmonisan dan
keselarasan hubungan itu penting terwujud dalam berbagai kegiatan tradisi di
masyarakat Jawa. Tradisi seperti “sungkeman” dalam upacara perkawninan di Jawa merupakan wujud hormat yang diberikan oleh anak kepada orangtua
mereka. “Sungkeman: suatu kewajiban moral tradisional bagi pasangan
pengantin dalam mana, dengan gerakan-gerakan tertentu, mereka secara fisik memperlihatkan hormat mereka, lahir batin, kepada
para orangtua dan sesepuh mereka Pemberton, 2003.” Selain itu, demi menjaga keamanan atau keharmonisan beberapa tradisi
yang dianggap dapat memunculkan konflik coba digusur. Seperti tradisi “upacara rebutan” yang dianggap mampu memunculkan konflik dan mengganggu
keamanan. Seperti yang diungkapkan Pemberton 2003: “Sejak akhir zaman kolonial dan seterusnya, selagi kerangka kerja
diskursif yang akan memberikan identitas yang tegas-tegas “tradisional” kepada sosok “Jawa” mulai muncul, acara-acara
rebutan semakin terpinggirkan; dilarang begitu saja atau diam- diam tidak dilakukan lagi demi slamet karena khawatir akan
merupakan ancaman terhadap keamanan.”
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Jawa sangat menjunjung keharmonisan dan keselarasan hubungan. Hal paling utama bagi
mereka adalah keadaan aman untuk semua orang. Meski sebenarnya di dalam hati setiap orang memiliki pikiran tersendiri. Asalkan tidak menimbulkan konflik
dengan orang lain serta mengganggu keamanan bersama.
C. Perempuan Jawa