Makna self-silencing pada perempuan Jawa.

(1)

MAKNA SELF-SILENCING PADA PEREMPUAN JAWA Beatriks Christma Antari

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagiamana makna self-silencing pada perempuan di Jawa yang menjunjung keharmonisan. Studi ini dilakukan melalui wawancara semi terstruktur dengan enam informan berusia lebih dari 40 tahun menggunakan digital recorder, ditranskrip secara verbatim, untuk kemudian dilakukan analisis. Melalui interpretative phenomenological

analysis (IPA) hasil penelitian menunjukkan bahwa makna self-silencing pada perempuan di Jawa

adalah sebagai sarana penenangan diri, pengelolaan emosi, serta refleksi diri. Di samping itu bagi beberapa informan self-silencing dimaknai sebagai bentuk kemarahan. Alasan utama perempuan di Jawa memilih melakukan self-silencing adalah sebagai sarana menjunjung harmonisasi melalui nilai kerukunan dan kehormatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa bagi perempuan Jawa

self-silencing bukan hal yang depresif namun mengandung kekuatan.


(2)

THE MEANING OF SELF-SILENCING TO JAVANESE WOMEN Beatriks Christma Antari

Abstract

This study aims to explore the meaning of self-silencing in Javanese women who uphold harmony. This study was conducted by way of semi-structured interview to six informants older than forty years old, which was digitally recorded, transcribed verbatim, and finally analyzed. Through interpretative phenomenological analysis (IPA) the research findings show that self-silencing for Javanese women is a way of keeping their emotional balance and of managing emotion, and at the same time an occasion of reflection. For some other informants, self-silencing serves as a form of anger. The main reason for Javanese women doing self-self-silencing is to maintain harmony and keep respect for other people. This study shows that for Javanese women self-silencing is not depressive but has power.


(3)

i

MAKNA SELF-SILENCING PADA PEREMPUAN JAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Beatriks Christma Antari NIM: 119114122

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

ii


(5)

(6)

iv

MOTTO

“Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.”____Paul Theroux


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan sebuah karya sederhana ini bagi mereka yang memberiku nafas, semangat, dan inspirasi

kedua orang tuaku Agustinus Suyono dan Canisia Martini kedua saudaraku tercinta Fransisca Anida Dyan Kusuma dan Maria Graciella Wuri Nastiti


(8)

(9)

vii

MAKNA SELF-SILENCING PADA PEREMPUAN JAWA Beatriks Christma Antari

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagiamana makna self-silencing pada perempuan di Jawa yang menjunjung keharmonisan. Studi ini dilakukan melalui wawancara semi terstruktur dengan enam informan berusia lebih dari 40 tahun menggunakan digital recorder, ditranskrip secara verbatim, untuk kemudian dilakukan analisis. Melalui interpretative phenomenological

analysis (IPA) hasil penelitian menunjukkan bahwa makna self-silencing pada perempuan di Jawa

adalah sebagai sarana penenangan diri, pengelolaan emosi, serta refleksi diri. Di samping itu bagi beberapa informan self-silencing dimaknai sebagai bentuk kemarahan. Alasan utama perempuan di Jawa memilih melakukan self-silencing adalah sebagai sarana menjunjung harmonisasi melalui nilai kerukunan dan kehormatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa bagi perempuan Jawa

self-silencing bukan hal yang depresif namun mengandung kekuatan.


(10)

viii

THE MEANING OF SELF-SILENCING TO JAVANESE WOMEN Beatriks Christma Antari

Abstract

This study aims to explore the meaning of self-silencing in Javanese women who uphold harmony. This study was conducted by way of semi-structured interview to six informants older than forty years old, which was digitally recorded, transcribed verbatim, and finally analyzed. Through interpretative phenomenological analysis (IPA) the research findings show that self-silencing for Javanese women is a way of keeping their emotional balance and of managing emotion, and at the same time an occasion of reflection. For some other informants, self-silencing serves as a form of anger. The main reason for Javanese women doing self-self-silencing is to maintain harmony and keep respect for other people. This study shows that for Javanese women self-silencing is not depressive but has power.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

“Silence”. Sebuah kata yang mengusik hati ketika mendengarnya. Ketika melihat seseorang memilih untuk diam penulis terusik untuk tahu apa yang ada dibalik pilihannya tersebut. Sikap diam yang terlihat pasif terkadang berkontradiksi dengan apa yang sebenarnya dikehendaki. Penulis juga melihat bahwa budaya di masyarakat sangat kuat dalam membentuk sikap seseorang.

Dalam studi ini penulis berfokus pada budaya Jawa. Budaya Jawa yang sangat menjunjung harmoni. Penulis melihat bahwa masyarakat Jawa akan melakukan segala hal untuk menjaga harmonisasi yang ada di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dipilih adalah dengan sikap diam.

Ketertarikan penulis dengan fenomena tersebut coba penulis tuangkan dalam karya sederhana ini. Melalui perspektif psikologi sosial dan budaya penulis mencoba melihat bagaimana budaya di masyarakat memberikan sumbangna yang begitu besar terhadap sikap seseorang. Melalui karya tulis ini semoga mampu memberikan sumbangan pada disiplin ilmu psikologi sosial dan budaya terutama kepada peminat dunia perempuan.

Secara khusus pada ruang ini penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas segala penyertaanNya selama pengerjaan karya tulis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada pribadi-pribadi yang telah mendukung, memberikan inspirasi dan menemani penulis selama penulisan karya ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada :


(13)

xi

1. Bapak YB. Cahyo Widyanto sebagai pembimbing skripsi. Penulis mengucapkan terimakasih karena memberikan kesempatan penulis untuk mengeksplorasi tanpa memberikan banyak batasan. Hal tersebut membuat penulis mampu berdialog dengan karya sendiri. Terimaksih juga atas sumbangan ide, tenaga, masukan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis selalu mencoba yang terbaik.

2. Romo Gregorius Budi Subanar, SJ selaku pribadi yang luar biasa. Terimakasih atas motivasi, dukungan, ide, dan pengetahuan yang membuat penulis untuk belajar menjadi “biasa di luar”. Segala hal yang Romo berikan mengajarkan penulis untuk belajar menjadi berani.

3. Seluruh perempuan-perempuan luar biasa yang menjadi informan di tulisan ini. Ibu Tentrem, Ibu Yatmi, Ibu Dukuh, Ibu Pri, Ibu Titik, dan Ibu Nur. Terimakasih atas setiap cerita dan pengalaman yang membantu penulis untuk belajar dan berefleksi.

4. Keluargaku tercinta Bapak, Ibu, kakak dan adikku. Kalian adalah sumber nafas, semangat dan inspirasi bagi penulis. Terimakasih atas cinta, perhatian, dan dukungan yang luar biasa selama pengerjaan tulisan ini. 5. Clara Alverina Pramudita sahabat yang menemaniku dari awal kuliah

hingga di akhir kuliah ini. Sahabat yang selalu berjuang bersama baik suka maupun duka. Terimakasih atas semua dukungan, motivasi, ide dan segala hal yang telah kita lalui bersama.

6. Romo CB. Putranto, SJ yang menyempatkan waktunya demi membantu penyelesaian tulisan ini. Terimakasih atas segala dukungan dan doanya.


(14)

xii

7. Agnes Listi yang mau membantu dalam penyelesaian tulisan ini. Terimakasih atas waktunya membantu menyempurnakan tulisan ini. 8. Nugroho dan Oyen. Kalian adalah sosok-sosok yang memberikan

semangat dan dukungan bagi penulis. Terimakasih atas waktu dan perhatian kalian selama pengerjaan tulisan ini.

9. Mbak Anne terimakasih atas waktu luang yang diberikan untuk menyumbangkan ilmu editingnya dan berbagi pengalaman dengan penulis. 10.Parrasu Dyah Sitoresmi sahabat sejak di sekolah menengah pertama.

Terimakasih atas waktu, dukungan, dan bantuan yang sudah diberikan kepada penulis. Semangat juga untuk tugas akhirmu.

11.Dekan dan Kaprodi Fakultas Psikologi Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., staff administrasi, staff laboratorium Mas Muji yang sudah memberikan kelancaran dan kemudahan selama penulis menyelesaikan pendidikan program sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma.

12. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2011 terimakasih semangat dan dukungan yang saling diberikan satu sama lain untuk menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.


(15)

xiii

Akhirnya, penulis mengakui tulisan ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan penulis. Maka, kepada semua pihak yang terkait, dengan penuh kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang diberikan kepada penulis demi kepatutan tulisan ini.

Yogyakarta,4 Febuari 2016


(16)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xiv

Daftar Lampiran ... xviii

Daftar Gambar ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Konteks ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat teoritis ... 9

2. Manfaat praktis... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11


(17)

xv

1. Pengertian Self-silencing ... 11

2. Dimensi-dimensi Self-silencing ... 13

3. Penelitian Self-silencing ... 15

4. Self-silencing dan budaya ... 17

B. Budaya Jawa... 20

C. Perempuan Jawa ... 22

1. Karakter Perempuan Jawa ... 22

2. Perempuan Jawa sebagai seorang istri ... 24

D. Self-silencing pada Perempuan Jawa ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN... 30

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian ... 30

B. Fokus Penelitian ... 32

C. Prosedur Penelitian... 32

1. Informan ... 32

2. Metode pengambilan data ... 33

D. Analisis Data ... 33

1. Reading and re-reading ... 33

2. Initial noting ... 33

3. Developing emergent themes ... 34

4. Structualizing ... 34

E. Kualitas Penelitian ... 34

1. Sensitivity to context ... 34


(18)

xvi

3. Tranparency and coherence ... 35

4. Impact and importance ... 36

BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Pelaksanaa Penelitian ... 37

B. Hasil Penelitian ... 38

1. Tnt (64)... 39

2. Ytm (48) ... 40

3. Dkh (50) ... 41

4. Tp (44) ... 42

5. P (48) ... 44

6. N (44) ... 45

C. Analisis Data ... 47

1. Sikap mendiamkan ... 48

a. Diam sebagai sarana penenangan diri, pengelolaan emosi, dan refleksi diri... 48

b. Diam sebagai kemarahan ... 51

c. Diam untuk harmonisasi ... 53

2. Nilai-nilai budaya Jawa ... 55

a. Kerukunan ... 55

b. Kehormatan ... 57

D. Pembahasan ... 58


(19)

xvii

a. Sikap mendiamkan sebagai cara penenangan diri,

pengelolaan emosi, dan refleksi diri... 62

b. Sikap diam sebagai bentuk kemarahan ... 64

2. Sikap diam untuk harmonisasi ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

1. Bagi para peneliti ... 70

2. Bagi masyarakat umum terutama perempuan Jawa ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Interview Protocol ... 75

Lembar Persetujuan Informan 1 ... 76

Lembar Persetujuan Informan 2 ... 77

Lembar Persetujuan Informan 3 ... 78

Lembar Persetujuan Informan 4 ... 79

Lembar Persetujuan Informan 5 ... 80

Lembar Persetujuan Informan 6 ... 81


(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Self-silencing ... 27


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan memaparkan konteks dalam penelitian ini, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Pada bagian konteks akan menjelaskan tentang self-silencing dalam perempuan Jawa.

A. Konteks

“Diam adalah emas”. Barangkali memilih untuk diam terkadang menjadi sebuah pilihan yang dirasa tepat dalam sebuah situasi tertentu. Situasi yang tidak memungkinkan seseorang untuk melakukan perlawanan secara konfrontatif. Meski hanya kepasifan yang dijadikan sebuah pilihan, namun di balik itu menyimpan sebuah makna mendalam.

Setiap orang memiliki nilai yang mendorong dirinya dalam bersikap. Begitu juga dengan sikap diam. Ketika seseorang memilih untuk diam terdapat nilai yang diyakini. Nilai yang menuntunnya untuk memilih diam sebagai sebuah pilihan yang tepat. Sebagai contoh Ibu N (44) memilih diam ketika dirinya menghadapi anggota keluarganya yang mudah marah karena sedang sakit dan merasa putus asa. Bagi Ibu N (44) diam menjadi salah satu alternatif yang tepat daripada memecah kerukunan yang ada.

Nilai merupakan bagian di dalam sebuah budaya. Setiap budaya memiliki nilai yang dijunjung. Begitu pula pada budaya Jawa. Budaya Jawa memiliki dua nilai yang dijunjung dan diyakini oleh masyarakatnya, yaitu nilai kerukunan dan kehormatan. “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.” Sebuah pepatah Jawa yang berarti dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu rukun agar semakin


(23)

kuat, jangan saling bermusuhan. Pepatah tersebut menggambarkan prinsip nilai masyarakat Jawa yang sangat menjunjung tinggi nilai kerukunan. Hal tersebut sesuai penjelasan dari Suseno (1985) bahwa:

“ Oleh karena itu masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka.”

Prinsip lain yang dijunjung guna menjaga keselarasan pada masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Bagi masyarakat Jawa menghormati orang lain adalah hal yang utama. Setiap orang harus menghormati orang lain terutama pada mereka yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi.

“ Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno,1985).”

Prinsip hormat ini dikembangkan oleh masyarakat Jawa mulai dari lingkup terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga. Di dalam keluarga sikap hormat sebagai ajaran orangtua. “Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga (Suseno,1985).”

Satu hal yang ingin dijunjung melalui prinsip kerukunan dan kehormatan adalah keharmonisan. Keharmonisan adalah hal yang menonjol di masyarakat Jawa dalam relasi sosialnya. Setiap individu akan berusaha tetap menjaga harmonisasi dalam masyarakat meski sikap yang ditunjukkan bukanlah sikap yang sesungguhnya.


(24)

“Suatu segi menarik dalam semua hubungan sosial Jawa ialah bahwa yang penting bukanlah kejujuran hubungan itu. Dan walaupun dalam banyak interaksi sosial kedua belah pihak menyadari betul-betul bahwa situasi yang sebenarnya antara mereka bukanlah sebagaimana nampak di permukaan, namun semua puas asal saja kesatuan pada permukaan tidak diganggu (Hidred Greetz dalam Suseno,1985).”

“Kanca wingking.” Sebuah istilah pada Bahasa Jawa yang sering digunakan untuk menjelaskan kedudukan perempuan Jawa. Menurut Handayani (2008), ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam masyarakat Jawa bahwa istri adalah kanca wingking. Hal tersebut dimaksudkan bahwa budaya Jawa menganggap perempuan memiliki kedudukan rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Stereotype pada perempuan memberikan kontribusi bagi tindakannya. Perempuan Jawa yang hidup dalam budaya Jawa yang menjunjung harmonisasi dengan nilai kerukunan dan kehormatan. Apalagi perempuan Jawa yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Sikap diam terkadang menjadi alternatif pilihan bagi perempuan Jawa. Perempuan Jawa yang dianggap lebih rendah daripada laki-laki serta harus menjaga harmonisasi menuntunnya untuk memilih sikap diam. Dalam menghadapi konflik perempuan Jawa akan memilih untuk diam demi mengendurkan konflik yang ada. Diam bukan karena kalah. Sikap diam demi keselarasan hubungan.

“Strategi yang dilakukan wanita Jawa untuk memperoleh otoritas itu tentu saja berlandaskan oleh nilai-nilai yang ada dalam kultur Jawa. Strategi yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam” (pasif) dan memakai cara halus; tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah mengatakan “jangan” secara verbal meski dia hendak melarang (Handayani,2008).”


(25)

Self-silencing merupakan sikap individu yang memilih untuk diam atau memendam perasaan, pikiran, atau perilaku karena individu takut tidak sesuai dengan harapan pasangannya. Individu yang tidak ingin dirinya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan harapan orang lain akan memilih untuk bersikap diam.

Self-silencing berhubungan dengan depresi. Individu yang tidak mampu mengungkapkan pikiran serta perasaannya akan cenderung mudah mengalami depresi terutama pada perempuan. Teori Silencing the self berdasarkan sebuah penelitian longitudinal dari perempuan yang mengalami depresi yang mendiskripsikan pengalaman mereka, termasuk pemahaman mereka mengenai hal yang menuntun mereka untuk mengalami depresi. Perempuan menjelaskan bagaimana mereka mulai untuk diam atau menekan pikiran, perasaan, dan aksi mereka yang mereka pikir berlawanan dengan harapan pasangan mereka. (Jack,2010).”

Perempuan yang mengalami depresi cenderung menghindari konflik untuk menjaga relasi dan atau menjaga keamanan psikologis atau fisiknya. Perempuan juga menyampaikan perasaan malu, keputusasaan, dan marah secara berlawanan. Hal ini membuat perempuan merasa kehilangan rasa akan dirinya sendiri.

Pada laki-laki self-silencing tidak menyebabkan depresi. Hal ini berkaitan dengan alasan yang mendorong sikap self-silencing berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada laki self-silencing disebabkan oleh ketidakmampuan laki-laki untuk mengekspresikan atau mengakui perasaan rasional atau emosional mereka. Pada perempuan self-silencing disebabkan karena perempuan enggan


(26)

untuk mengekspresikan diri karena adanya ketidak setaraan hubungan atau adanya aturan moral bagi perempuan untuk selalu peduli dan tidak terluka (Gratch, Linda Vaden, Margaret E. Bassett, dan Sharon L. Attra, 1995). Berdasarkan hal tersebut maka pada perempuan self-silencing cenderung mengakibatkan depresi dibandingkan pada laki-laki.

Setiap budaya memiliki gambaran ideal mengenai sosok perempuan yang ideal. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksetaraan antara kedudukan laki-laki dan perempuan. Pemikiran mengenai gambaran ideal dari “wanita yang baik” yang bervariasi di berbagai budaya, merupakan sebuah akar dasar pemikiran bahwa perempuan dan laki-laki tidak sama dan perempuan masih bertanggungjawab pada kualitas dari sebuah hubungan(Jack,2010).

Konsep perempuan sebagai seorang ibu yang baik terdapat pada budaya Jerman. Tanja Zoellner dan Susanne Hedland dalam Jack (2010) mengatakan adanya ekspektasi sosiokultural bahwa terdapat penempatan dan pemaksaan pada perempuan, misalnya bagaimana nilai budaya Jerman mengenai perempuan yang harus menjadi ibu yang sepenuhnya mengurusi anak setelah berkeluarga dapat menjadi penyebab depresi.

Pengaruh budaya begitu besar terhadap perkembangan individu tersebut secara psikologis. Setiap individu secara sadar maupun tidak sadar akan menyesuaikan dirinya sesuai budaya di mana ia tinggal. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi sikap individu yang berdampak pula pada perkembangan psikologis individu. Simbol psikologi budaya telah menunjukkan bahwa konsep budaya memberikan sebuah kandungan spesifik dan cara mengelola emosi,


(27)

persepsi, memori, alasan logis, agresi, pengasuhan anak, proses perkembangan (seperti sebagai akuisisi bahasa), dan sakit mental (Ratner, 2002).

Adanya pengaruh budaya pada perkembangan individu tentunya juga terjadi pada fenomena self-silencing. Penelitian-penelitian mengenai self-silencing yang telah dilakukan menunjukkan bahwa self-silencing terjadi dikarenakan pengaruh lingkungan seperti standar sosial, nilai, dan norma serta budaya masyarakat. Salah satu contoh penelitian yang dilakukan oleh Frank, Jeremy, dan Thomas Cherly D (2003) mengenai “Externalized Self-Perceptions,Self-Silencing, and the Prediction of Eating Pathology” menemukan bahwa silencing the self dan externalized self perception memiliki kontribusi pada gangguan makan. Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa perempuan harus memiliki bentuk tubuh dan berat badan yang bagus atau ideal, di mana standar sosial menekankan tubuh yang baik adalah tubuh yang kurus. Persepsi tersebut membuat perempuan cenderung untuk membatasi ekspresi diri apabila tidak sesuai dengan standar eksternal yang ada.

Penelitian-penelitian mengenai self-silencing selama ini cenderung melihat silencing sebagai hal yang depresif. Dalam penelitian ini ingin melihat self-silencing pada perempuan Jawa sebagai fenomena yang menarik dan menggejala. Budaya Jawa yang menjunjung keharmonisan mendorong perempuan Jawa untuk memilih diam dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan perempuan cenderung kurang pantas apabila mengekspresikan emosinya. Oleh sebab itu, sikap diam menjadi pilihan bagi perempuan Jawa.


(28)

Segala hal negatif yang melekat pada perempuan Jawa tentu tidak membuat perempuan Jawa benar-benar menjadi sosok yang lemah. Perempuan Jawa tetap memiliki cara untuk memegang kekuasaan. Perempuan mencoba mencapai kekuasaan melalui kepasifan dan ketenangan. Menurut Handayani (2008),

“Kekuatan nilai budaya Jawa seakan menekannya untuk mampu menjaga harmoni dengan mengabdi dan menghargai laki-laki/suami. Mereka dengan jeli tetap mampu bersiasat untuk menghadapi (bahkan!) adat budi bahasa atau tata karma yang terkadang menjadi “jerat budaya” bagi hidup sosial masyarakat di mana mereka sendiri merupakan sebagian dari warganya. Mereka berusaha mengangkat sumber konflik dan mengembalikkan kepada yang berkuasa untuk “menjawab” sendiri. Sebuah aksi yang dilaksanakan masih dalam batas-batas pola perilaku urmat dalam konteks tata karma khas Jawa.”

Adanya prinsip bahwa yang terpenting adalah keselarasan hubungan, menjadikan perempuan Jawa terkadang juga mengalami konflik di dalam diri. Ketika sebenarnya di dalam sebuah masalah mereka ingin mencoba menampilkan diri untuk mengekspresikan perasaan mereka secara terbuka namun mereka dibatasi dengan nilai dan norma yang ada. Keterbatasan mereka tersebut membuat perempuan Jawa terkadang memilih untuk diam. Diam yang berarti mereka merasa akan menjadi “serba salah” jika bertindak terlalu frontal di depan publik.

Sikap diam tidak selamanya bentuk dari ketidakberdayaan. Sikap diam bisa diartikan sebagai bentuk dari sebuah perlawanan. Sikap diam mampu menjadi ekspresi perasaan marah seseorang. Salah satu contohnya adalah ketika diam dilakukan sebagai cara untuk melakukan perlawanan dengan orang lain, terkadang membuat orang lain menjadi frustasi. Hal ini terutama terjadi pada pasangan suami istri. “Within the home, silence can be very frustrating for an individual


(29)

who feels that a partner is freezing her or him out (Kenny, 2011).” Di dalam rumah, diam dapat menjadikan seorang individu frustasi ketika merasa pasangannya mendiamkan dirinya. “Silence in response to anger or abuse is not always a sign that the silent person is weaker than the abusive individual (Kenny, 2011).” Diam dalam respon pada rasa marah atau kekerasan tidak selalu tanda bahwa orang yang diam lebih lemah dibandingkan individu yang kasar.

Pada situasi yang berbeda sikap diam dijadikan cara untuk mampu berdamai dengan diri sendiri dan orang lain. Perempuan Jawa yang mampu menghadapi konflik dengan mengontrol nafsu dan egoisme menaklukkan dirinya ke dalam. Menurut Handayani (2008),

“Oleh karena itu, ia harus mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan pamrihnya. Mengontrol bukan berarti menghilangkan, melainkan lebih merupakan upaya untuk mengaturnya sampai pada tingkat tertentu sehingga tidak mengganggu harmoni sosial. Dengan kecenderungannya untuk memangku dan mengabdi secara total kepada keluarga berarti ia cenderung menaklukkan diri ke dalam, mengontrol nafsu dan pamrih.”

Ekspresi emosi akan berebeda-beda pada setiap budaya. Teori neurocultural menjelaskan bahwa budaya mempengaruhi elemen yang melingkupi emosi yang dapat diamati, tapi emosi itu sendiri tidak teramati. Anggota masyarakat yang berbeda belajar untuk memiliki emosi yang berbeda dalam situasi tertentu. Misalnya sebuah makanan dapat menghasilkan kesenangan pada masyarakat tertentu namun dapat menghasilkan rasa jijik pada masyarakat lain.

“Ekman (1972) named his own theory neurocultural. Culture influences the observable elements surrounding emotion, but not the unobservable emotion itself. Members of different societies learn to have different emotions in given situations: A food that


(30)

produces pleasure in one society can produce disgust in another

(José-Miguel,dkk,2003).”

Budaya membentuk seseorang dalam mengekspresikan emosinya terhadap suatu hal. Termasuk ketika seseorang diam maka sikap tersebut merupakan bentuk ekspresi yang dipengaruhi budaya dan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat bahwa fenomena self-silencing pada budaya Jawa merupakan sebuah fenomena yang menarik. Perempuan Jawa yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan laki-laki dan memiliki stereotype sebagai sosok yang lemah memilih self-silencing sebagai cara menjaga keselarasan hubungan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat self-silencing bukan sebagai suatu hal yang depresif. Peneliti ingin melihat pemaknaan self-silencing pada perempuan Jawa yang hidup dengan nilai keharmonisan. Sikap diam yang pada permukaannya terlihat sama namun dapat dimaknai berbeda pada setiap individu.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pemaknaan self-silencing di kalangan perempuan di Jawa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pemaknaan self-silencing di kalangan perempuan di Jawa.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Menambah khasanah ilmu psikologi, khususnya psikologi budaya dan psikologi sosial. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh pada budaya


(31)

tertentu dan mempengaruhi perilaku serta kepribadian individu, terutama perempuan. Begitu pula budaya Jawa yang memiliki nilai sehingga akan mempengaruhi individu dalam memaknai sikap self-silencing yang dipilihnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan paparan mengenai nilai-nilai yang ada di dalam budaya Jawa. Selain itu, semoga melalui penelitian ini perempuan Jawa terutama para informan mampu merefleksikan segala pengalaman yang telah dilalui dan memaknai segala sikap yang telah diambil terutama sikap diam sebagai self-silencing sehingga mampu menjadi strategi dalam menghadapi budaya Jawa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya sangat menentukan perilaku seseorang. Hal tersebut juga terjadi pada fenomena self-silencing. Perbedaan nilai budaya secara khusus menetukan perbedaan tindakan dan sikap. Demikian self-silencing di kalangan perempuan Jawa juga memiliki kekhasan menurut budaya Jawa. Sikap diam yang terlihat sama namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Hal tersebut yang mendasari pertanyaan dalam penelitian ini yaitu bagaimana makna self-silencing pada perempuan Jawa.


(32)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan memaparkan tinjauan teoritis mengenai self-silencing, budaya Jawa, perempuan Jawa serta silencing pada perempuan Jawa. Pada self-silencing akan dijelaskan mengenai definisi, dimensi-dimensi self-self-silencing serta penelitian-penelitian mengenai self-silencing yang pernah dilakukan. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai prinsip-prinsip yang ada pada budaya Jawa. Kemudian dijelaskan pula mengenai perempuan Jawa. Pada bagian akhir dijelaskan bagaimana dinamika antara self-silencing pada perempuan Jawa.

A.Self-silencing 1. Pengertian Self-silencing

Konsep self-silencing diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Dana Jack. Teori Silencing the Self berdasarkan penelitian longitudinal dari perempuan yang mengalami depresi yang mendiskripsikan pengalaman mereka, termasuk pemahaman mereka mengenai hal yang menuntun mereka untuk mengalami depresi. Perempuan menjelaskan bagaimana mereka mulai untuk diam atau menekan pikiran, perasaan, dan aksi mereka yang mereka pikir berlawanan dengan harapan pasangan mereka. Mereka juga menghindari konflik, untuk menjaga relasi, dan atau untuk menjaga keamanan psikologis atau fisik mereka. Mereka mendeskripsikan bagaimana mereka diam membuat mereka kehilangan diri dan rasa menjadi diri sendiri. Selain itu, mereka kadang juga menunjukkan perasaan malu, putus asa, dan marah secara berlawanan pada orang lain (Jack,2010).


(33)

Jack dalam Ussher, Jane M. dan Janette Perz (2006), mendiskripsikan pembagian sebagai “dinamika inti depresi perempuan”, berdasarkan pada kepercayaan perempuan bahwa mereka tidak dicintai apa adanya mereka, tetapi seberapa baik mereka mengetahui kebutuhan orang lain, sehingga menyembunyikan dorongan dan perasaan dan menggunakan standar eksternal untuk menilai diri yang membuat mereka merasa bersalah dan putus asa.

Menurut Jack dalam DeMarco, Rosanna F dan Latrona R. Lanier (2014), self-silencing ditentukan oleh norma-norma heteroseksual, nilai-nilai dan gambaran-gambaran mengenai bagaimana perempuan “seharusnya”. Perempuan merasa dirinya harus memenuhi nilai-nilai dan gambaran-gambaran sosial dan budaya yang didominasi oleh laki-laki.

Seseorang yang memilih untuk melakukan self-silencing akan cenderung tidak mengekspresikan perasaan marah mereka. Seperti yang dijelaskan Jack dalam Besser, Avi, Gordon L. Flett, dan Richard A. Davis (2003), “The unwillingness or inability to express anger is a central characteristic of women who engage in self-silencing.” Selain itu, menurut Lerner, Hertzog, and Hooker dalam Frank, Jeremy, dan Thomas Cherly D (2003), mengatakan bahwa self-silencing sering muncul dari internalisasi perasaan marah, sebagai seorang perempuan dan mereka belajar bahwa ekspresi kemarahan akan dinilai oleh orang lain sebagai hal yang tidak pantas dan adanya tendensi untuk mendorong orang lain menjauh.

Jack dan Dill dalam Locker, Taylor K,dkk (2012), berpendapat bahwa self-silencing adalah tipe dari self-denial dimana individu menyangkal atau


(34)

meminimalkan emosi, keadaan mental atau kebutuhan fisik mereka untuk mengikuti harapan orang lain. Dengan melibatkan hal ini ke dalam bentuk dari self-denial, para pelaku self-silencing mungkin percaya bahwa mereka memenuhi aspek penting dari menjadi teman yang “baik” atau pasangan yang “baik”, barangkali dengan ekspektasi bahwa self-silencing akan membuat seseorang memperoleh relasi yang penting.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa self-silencing merupakan sikap individu yang diam atau menekan perasaan, pikiran, dan sikapnya yang dirasa berlawanan dengan harapan orang lain untuk menjaga relasi mereka dengan orang lain. Self-silencing juga mendorong seorang perempuan untuk menjadi depresi karena dirinya merasa tidak berdaya dengan standar-standar eksternal yang ada sehingga tidak mampu mengekspresikan dirinya.

2. Dimensi-dimensi Self-silencing

Jack merancang sebuah skala untuk mengukur self-silencing. Skala ini digunakan untuk mengukur wanita yang mengalami depresi. Untuk mengukur self-silencing, Jack membuat Silencing the Self Scale, terdiri dari 31 item. STSS merefleksikan komponen yang berelasi dengan skema yang dipakai oleh perempuan depresi. Pernyataan-pernyataan yang dibandingkan dengan skala secara langsung berasal dari narasi wanita yang mengalami depresi klinis, namun yang netral gender (Jack, 2010).

Terdapat empat subskala yang digunakan untuk merefleksikan dinamika depresi. Jack dan Dill (1992) menyebutkan:


(35)

1. Externalized self-perception, yaitu menilai diri dari standar eksternal.

2. Care as self-sacrifice, yaitu mengamankan cinta dengan meletakkan

kebutuhan orang lain sebelum kebutuhan diri sendiri.

3. Silencing the self, yaitu menghambat salah satu ekspresi dari diri dan tindakan

untuk menghindari konflik dan kemungkinan kehilangan relasi.

4. The divided self, yaitu pengalaman menampilkan diri yang selalu terlihat patuh

untuk memenuhi aturan feminisme sementara di dalam batin sebenarnya tumbuh kemarahan dan rasa bermusuhan.

Jack dan Dill (1992) mengatakan bahwa subskala yang pertama merupakan standar yang digunakan untuk penilaian diri yang negatif, subskala kedua dan ketiga mengukur skema yang mengatur perilaku hubungan interpersonal, dan subskala keempat merefleksikan fenomena dari depresi.

Berdasarkan empat skema kognitif tersebut, perempuan percaya bahwa mengekspresikan diri merupakan hal yang tidak dapat diterima oleh pasangan mereka. Perempuan melakukan self-silencing agar mampu mempertahankan relasinya (Jacobs, Robin J. dan Barbara Thomlison, 2009).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ross dan Wade dalam mendeskripsikan self-silencing sebagai sebuah skema interpersonal yang terdiri dari empat aspek, yaitu (1) penekanan emosi, (2) penilaian diri berdasarkan hal-hal eksternal, (3) perasaan tidak aman dalam hubungan terhadap orang lain yang seharusnya menyangkal kebutuhan dirinya, dan (4) menunjukkan sikap peduli, memelihara, dan mengalah (Locker, Taylor K, dkk, 2012).


(36)

Skala Silencing the Self di validasi dengan tiga kelompok perempuan dalam pengaturan radikal yang berbeda, yaitu mahasiswa perempuan, ibu-ibu yang menyalahgunakan obat-obatan dan sedang merawat anak-anak, serta pada sebuah kelompok penampungan perempuan korban kekerasan. Hasilnya skor STSS tidak hanya berkorelasi dengan Beck Depression Inventory tapi juga STSS memiliki variasi dengan konteks yang diprediksi (Jack, 2010).

Setiap kelompok partisipan memiliki perbedaan secara signifikan, dengan self-silencing tertinggi pada perempuan yang tinggal di kelompok penampungan kekerasan, tertinggi kedua adalah perempuan yang menggunakan obat-obat terlarang, dan paling rendah adalah mahasiswa perempuan (Jack, 2010).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dimensi-dimensi dalam

self-silenicng adalah externalized self-perception, care as self-sacrifice, silencing

the self, dan the divided self. Dimensi-dimensi tersebut melihat bagaimana seseorang menilai dirinya berdasarkan standar eksternal, hubungan interpersonalnya, dan bagaimana merefleksikan fenomena depresi. Empat dimensi tersebut dilihat dari Silencing The Self Scale (STSS) yang digunakan untuk mengukur self-silencing.

3. Penelitian Self-silencing

Penelitian mengenai self-silencing saat ini sudah mulai banyak dilakukan. Beberapa penelitian mengkaitkan self-silencing pada variabel yang berkaitan dengan sakit fisik. Variabel-variabel tersebut seperti gangguan makan, premenstrual syndrome, kanker, dan HIV/AIDS terhadap depresi. Ketika seseorang mengalami sakit fisik dan mendapatkan tekanan dari standar eksternal


(37)

maka mereka akan cenderung mengalami depresi yang memicu munculnya sikap self-silencing. Sikap self-silencing juga dapat muncul ketika seseorang mencoba memenuhi standar eksternal, misalnya memenuhi standar “perempuan yang baik”.

Penelitian yang dilakukan oleh Frank, Jeremy, dan Thomas Cherly D (2003), mengenai “Externalized Self-Perceptions, Self-Silencing, and the Prediction of Eating Pathology” menemukan bahwa silencing the self dan externalized self perception memiliki kontribusi pada gangguan makan. Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa perempuan harus memiliki bentuk tubuh dan berat badan yang bagus atau ideal, di mana standar sosial menenkankan tubuh yang baik adalah tubuh yang kurus.

Dalam penelitian lain, ditemukan adanya hubungan yang kuat antara self-silencing dengan aspek-aspek dari gangguan makan baik pada laki-laki maupun perempuan, dimana pengukuran dilakukan dengan STSS (Silencing the Self Scale) dan EDI (Eating Disorders Inventory) (Locker, Taylor K, dkk, 2012). Dalam penelitian tersebut dilihat bahwa penyebab dari gangguan makan adalah pengaruh negatif, adanya ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh, dan tekanan sosiokultural.

Selain gangguan makan, self-silencing juga dapat terjadi pada perempuan yang mengalami premenstrual syndrome (PMS). Perempuan yang mengalami premenstrual syndrome biasanya mengalami perubahan emosi, di mana menjadi lebih mudah marah. Selain itu, perempuan dengan premenstrual syndrome lebih sensitif dan mudah jengkel. Penelitian yang dilakukan oleh Perz , Janette dan Jane M. Ussher (2006) mengasosiasikan premenstrual syndrome dengan feminitas yaitu menjadi perempuan yang “baik”, seperti tenang, dapat mengontrol diri, dan


(38)

mengorbankan diri dalam konteks berelasi. Hasilnya, menurut data kuantitatif silencing berelasi dengan pengalaman PMS, di mana externalized self-perception, silencing the self, dan divided self memiliki relasi yang signifikan dengan distress. Sedangkan, externalized self-perception, divided self dan care as self-sacrifice berelasi secara signifikan dengan coping seseorang yang mengalami PMS.

Self-silencing dapat muncul dari masa remaja. Pada masa remaja seseorang mulai menyadari mengenai gambaran tentang dirinya. Selain itu, pada masa remaja seseorang akan menyadari adanya beberapa tekanan sosial yang ada. Hal tersebut seperti yang dijelaskan Spinazzola dalam Shouse, Sarah. H, dan Johanna Nilsson (2011), “…suggested that the process of self-silencing begins in adolescence, a time when body image and social pressures become prevalent.”

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Self-Silencing dapat muncul pada perempuan yang cenderung mengalami tekanan dari lingkungan yang menyebabkan seorang perempuan menagalami sakit fisik atau mental. Tekanan dari lingkungan ini dapat berupa keharusan bahwa perempuan harus memiliki karakter sebagai perempuan yang “baik” dan dapat mengontrol diri mereka.

4. Self-Silencing dan Budaya

Self-silencing erat kaitannya dengan budaya. Seperti yang dijelaskan Jack and Dill bahwa self-silencing merupakan skema kognitif tertentu yang berasal dari budaya bukan merupakan ciri-ciri kepribadian, “explicitly identify selfsilencing as a ‘specific, cognitive schema, derived from the culture,’ and not as a personality


(39)

trait,” (Harper, Melinda S. dan Deborah P. Welsh, 2007). Beberapa penelitian di beberapa negara juga menunjukkan bahwa budaya menjadi penentu dari self-silencing. Standar setiap budaya mengenai konsep sebagai seorang perempuan yang ideal mendorong perempuan untuk melakukan self-silencing.

Penelitian yang dilakukan oleh Witte, Tricia H. dan Martin F. Sherman (2002) menjelaskan bahwa self-silencing tidak didukung oleh nilai-nilai feminis melainkan merupakan penolakan dari nilai-nilai tradisional. Self-silencing merupakan salah satu cara untuk berdaptasi dengan nilai-nilai tradisional yang ada di lingkungannya.

Di negara Jerman menjadi ibu yang baik adalah ibu yang mampu memprioritaskan keluarga. Perempuan mengalami kesulitan mengkombinasikan antara membesarkan anak dengan bekerja. Hal tersebut mendorong perempuan untuk mengalami self-silencing. Mereka memilih untuk menomorduakan karir mereka demi menuruti tuntutan sosial.

“This is also a sign of women’s self-silencing: They begin by putting their occupational interests second in order to comply with implicit societal demands regarding their role in the family (Zoellner, Tanja, dan Susanne Hedlund dalam Jack, Dana dan Alisha Ali,2010).”

Pada budaya kolektifis pun perempuan mengalami self-silencing. Misalnya di Nepal menjadi perempuan yang baik terutama perempuan yang menikah adalah perempuan dengan karakter yang pekerja keras, setia, mengabdikan diri sepenuhnya pada suami, dan fokus menjaga harmoni keluarga. Apalagi perempuan di Nepal yang sudah menikah mereka akan tinggal bersama keluarga suaminya. Seorang istri menjadi orang yang harus melayani segala anggota keluarga serta menuruti aturan yang ada di dalam keluarga. Hal tersebut menuntun


(40)

perempuan untuk mengalami self-silencing. Self-silencing dan self-sacrificing berpadu dengan budaya untuk menjadi perempuan yang baik. ”Thus, self-silencing and self-sacrificing harmonize with cultural prescriptions for being a ‘‘good woman” (Jack, Dana, Bindu Pokharel, dan Usha Subba dalam Jack, Dana dan Alisha Ali, 2010).”

Berdasarkan penelitian-penelitian di budaya kolektifis menunjukkan bahwa self-silencing berkaitan dengan depresi dimana berbeda dengan budaya individual. Selain itu, faktor sosial seperti kasta, peraturan pernikahan, dan pendidikan memiliki kaitan yang kuat terhadap self-silencing dan depresi terutama di Nepal. Di Nepal, self-silencing menjadi mediator antara kejadian sosial yang tidak menyenangkan dan depresi.

“In addition, social factors such as caste, arranged marriage, and education may strongly affect self-silencing and depression within these cultures. The Nepal studies lay the groundwork for such further research, including an examination of the role of self-silencing as a mediator between adverse social events and depression (Jack, Dana, Bindu Pokharel, dan Usha Subba dalam Jack, Dana dan Alisha Ali, 2010).”

Self-silencing akan berbeda di setiap budaya. Setiap budaya akan membentuk persepsi, emosi dan perilaku yang berbeda pula pada individu. Konteks sosial yang spesifik, politik, perubahan ekonomi, aturan gender dan status perempuan berhubungan dengan dimensi self-silencing termasuk dampak dari self-silencing yang berubah-ubah di setiap budaya.

“This research therefore points to the need for further investigation regarding how specific social contexts, political and economic changes, gender roles, and status of women relate to the dimensions of self-silencing, including how the consequences of self-silencing might vary across cultures (Drat-Ruszczak, Krystyna dalam Jack,Dana dan Alisha Ali,2010).”


(41)

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa self-silencing sangat ditentukan oleh budaya. Budaya memiliki peran penting terutama adanya standar-standar eksternal yang ada di dalam budaya. Begitu juga standar-standar mengenai “good women” yang mendorong perempuan untuk melakukan self-silencing.

B. Budaya Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang lahir dan besar di tanah Jawa. Mereka dalam kesehariannya menggunakan bahasa Jawa. Seperti penjelasan Franz Magnis Suseno (1985), “yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa.”

Setiap budaya pasti memiliki nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Pada budaya Jawa nilai yang dijunjung adalah nilai keharmonisan. Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi keharmonisan hubungan dengan orang lain. Upaya untuk menjaga keharmonisan tersebut diwujudkan oleh masyarakat Jawa melalui dua prinsip hidup, yaitu kerukunan dan kehormatan.

Kehidupan masyarakat Jawa yang kolektif membuat mereka cenderung menjunjung kerjasama. Hubungan interpersonal yang dijalin selalu menghindari munculnya ketegangan atau konflik. Keadaan rukun terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat (Suseno, 1985).

Tujuan utama dari kerukunan adalah agar terciptanya keharmonisan hubungan. Seperti yang dikatakan Handayani (2010), tujuan utamanya adalah untuk mencapai keselarasan sosial di mana semua pihak dalam kelompok


(42)

berdamai satu sama lain. Melalui tujuan ini, masyarakat Jawa memiliki seni kontrol diri agar emosi-emosi agresif yang dirasakan dapat dikontrol sehingga tidak menimbulkan konflik. Suseno (1985) mengatakan:

“…oleh karena itu masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka.”

Sedangkan dalam prinsip hormat, menekankan pola interaksi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Menurut Suseno (1985) setiap orang dalam bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Pada mereka yang berkedudukan lebih tinggi seseorang harus bersikap hormat, terutama dalam masyarakat Jawa ketika berbicara menggunakan bahasa Jawa “krama”. Sedangkan pada orang yang lebih muda orang bersikap hormat dengan menunjukkan sikap kebapaan atau keibuan serta rasa tanggung jawab.

Kedua prinsip di atas, yaitu kerukunan dan hormat saling berhubungan. Keduanya sama-sama menuntut adanya pengendalian diri. Setiap individu diharapkan tidak memunculkan konflik yang mampu mengganggu keharmonisan hubungan interpersonal.

“Prinsip kerukunan dan hormat menuntut agar saya selalu menguasai perasaan-perasaan dan napsu-napsu saya dan agar saya bersedia untuk menomorduakan kepentingan-kepentingan saya pribadi terhadap pertahanan keselarasan masyarakat (Suseno,1985).”

Bahkan dalam prakteknya, nilai bahwa menjunjung keharmonisan dan keselarasan hubungan itu penting terwujud dalam berbagai kegiatan tradisi di


(43)

masyarakat Jawa. Tradisi seperti “sungkeman” dalam upacara perkawninan di Jawa merupakan wujud hormat yang diberikan oleh anak kepada orangtua mereka.

“Sungkeman: suatu kewajiban moral tradisional bagi pasangan pengantin dalam mana, dengan gerakan-gerakan tertentu, mereka secara fisik memperlihatkan hormat mereka, lahir batin, kepada para orangtua dan sesepuh mereka (Pemberton, 2003).”

Selain itu, demi menjaga keamanan atau keharmonisan beberapa tradisi yang dianggap dapat memunculkan konflik coba digusur. Seperti tradisi “upacara rebutan” yang dianggap mampu memunculkan konflik dan mengganggu keamanan. Seperti yang diungkapkan Pemberton (2003):

“Sejak akhir zaman kolonial dan seterusnya, selagi kerangka kerja diskursif yang akan memberikan identitas yang tegas-tegas “tradisional” kepada sosok “Jawa” mulai muncul, acara-acara rebutan semakin terpinggirkan; dilarang begitu saja atau diam-diam tidak dilakukan lagi demi slamet karena khawatir akan merupakan ancaman terhadap keamanan.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Jawa sangat menjunjung keharmonisan dan keselarasan hubungan. Hal paling utama bagi mereka adalah keadaan aman untuk semua orang. Meski sebenarnya di dalam hati setiap orang memiliki pikiran tersendiri. Asalkan tidak menimbulkan konflik dengan orang lain serta mengganggu keamanan bersama.

C. Perempuan Jawa 1. Karakter Perempuan Jawa

Perempuan Jawa yang sejak lahir tinggal di tanah Jawa dan kedua orangtuanya adalah masyarakat Jawa maka secara tidak langsung dalam kehidupannya memegang nilai, norma, dan kebudayaan Jawa yang Ia terima baik


(44)

dari orangtua maupun lingkungannya. Maka, dalam kehidupan sehari-harinya perempuan Jawa yang demikian akan cenderung menggunakan bahasa Jawa dan beraktivitas sebagai perempuan tradisional.

Pada masyarakat Jawa, terdapat konsepsi bahwa perempuan merupakan kanca wingking (teman di belakang). Selain itu, menurut Handayani (2008), karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjujung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi. Selain karakter-karekter tersebut, menurut Handayani (2008) wanita Jawa mampu menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun. Mereka pintar memendam penderitaan terpahit dan pintar pula memaknainya. Mereka kuat dan tahan menderita.

Serat Cendrarini juga menjelaskan mengenai perempuan Jawa di mana dirinci dalam sembilan butir, yaitu setia pada lelaki, rela dimadu, mencintai sesama, trampil pada pekerjaan wanita, pandai berdandan, dan merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak laki-laki, menaruh perhatian pada mertua, dan gemar membaca buku-buku yang berisi nasihat (Murniati, 1992).

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dilihat bahwa karakter perempuan Jawa digambarkan sebagai sosok yang lemah serta memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan Jawa juga memiliki karakter yang menunjukkan kekuatannya yaitu sebagai sosok yang sopan, tenang, serta mampu mengendalikan diri.


(45)

2. Perempuan Jawa sebagai Seorang Istri

Sebagai seorang perempuan terutama dalam melihat perempuan Jawa secara menyeluruh perlu pula melihat peranan perempuan sebagai seorang istri. Bahkan dalam budaya Jawa memiliki semboyan bagi perempuan bahwa mereka harus mampu untuk macak, masak, manak. Perempuan Jawa yang tidak bisa melakukan tiga hal tersebut dianggap tidak ada nilainya baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Berdasarkan hal tersebut tentu perlu dilihat peranan perempuan Jawa terutama peranan sebagai seorang istri dan sekaligus peranan di dalam keluarga atau sebagai seorang ibu.

“Wanita harus pandai macak, masak, manak. Bila tiga hal ini gagal dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Wanita yang tidak bisa masak atau mempunyai anak, dianggap “aneh” dan bahkan dianggap membawa aib keluarga (Warto dalam Abdullah, 2003).”

Berkaitan dengan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif istri tidak boleh melebihi suami. Perempuan Jawa memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki sehingga sebisa mungkin selalu menghormati suaminya dan menempatkan suami begitu tinggi.

Menurut Geertz (1983), wanita mempunyai bidang yang luas untuk bergerak di dalam lingkungan kerumahtanggaan. Wanita mengendalikan semua putus terhadap sebagian besar masalah. Wanita mengendalikan semua keuangan keluarga, dan meskipun diberikannya penghormatan formal kepada sang suami serta dalam soal-soal besar selalu mendengar pertimbangannya, biasanya wanitalah yang dominan.


(46)

Selain itu, pada umumnya perempuan Jawa, dibandingkan dengan laki-lakinya, lebih banyak terlibat di dalam masalah sosial dan ekonomi keluarga, sehingga jarang melampaui batas-batas persuami-istrian. Mereka bersikap toleran terhadap sikap suami yang serba seenaknya karena dalam anggapannya orang laki-laki secara alamiah memang tak bertanggung jawab (Geertz, 1983).

Secara emosi, perempuan Jawa tidak terlibat benar-benar secara emosional dalam hubungan suami istri. Menurut Geertz (1983), “cinta” bagi wanita adalah soal perangai lahiriah dan kepura-puraan, memang benar-benar dianggap sebagai cara yang baik untuk menghadapi keadaaan tertentu yang menyusahkan, dan yang merupakan syarat dalam hal menghadapi tingkah laku suami. Penolakan untuk pelibatan emosional ini jelas merupakan ciri khas hubungan persuami istrian pada kebanyakan orang Jawa.

Pada masyarakat Jawa, peranan perempuan sebagai seorang ibu sangatlah penting. Menurut Handayani (2008), sebagai simbol moralitas, sosok ibu dalam kultur Jawa memiliki posisi yang sangat penting sekaligus dipandang sebagai pusat rumah yang selalu dipercaya. Sosok ibu memegang peranan dalam mengatur masalah perekonomian keluarga, mengatur moralitas keluarga dan merawat serta melindungi keluarganya.

Jadi, perempuan Jawa sebagai seorang istri memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada suami. Perempuan Jawa lebih memilih untuk mengalah dengan suaminya dan tidak terlibat secara emosional dengan suami untuk menjaga relasinya dengan suami. Meskipun begitu, perempuan Jawa memiliki peranan yang cukup besar sebagai sosok ibu. Sosok ibu dalam budaya Jawa memegang


(47)

peranan penting dalam hal mengatur keuangan keluarga, mengatur moralitas keluarga dan merawat serta melindungi keluarga.

D. Self-silencing pada perempuan Jawa

Self-silencing merupakan sikap individu yang dilakukan untuk menjaga hubungan interpersonalnya dengan orang lain atau pasangannya. Self-silencing ini juga dapat muncul pada diri seseorang apabila seorang mendapat tekanan dari lingkungan berupa stereotipe yang muncul di masyarakat. Tekanan seperti harus menjadi perempuan yang “baik”, ibu yang “baik”, ataupun istri yang “baik” menjadi salah satu faktor pemicu munculnya self-silencing.

Pada studi ini, berfokus pada perempuan Jawa yang hidup di lingkungan masyarakat Jawa. Perempuan Jawa yang lahir dan besar di tanah Jawa. Selain itu, perempuan Jawa yang kedua orangtuanya juga merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Di mana nilai-nilai, norma, dan kebudayaan Jawa secara tidak langsung mempengaruhi perempuan Jawa. Nilai-nilai Jawa yang selalu mendorong seseorang bersikap baik terhadap orang lain dan menjaga relasi dengan orang lain menjadi pemicu munculnya self-silencing. Menurut Handayani (2008), secara psikologis, individu Jawa akan selalu berada di bawah tekanan terus menerus untuk mengontrol dorongan-dorongan spontannya, menyesuaikan diri dengan berbagai otoritas, serta selalu memperhatikan kedudukan dan pangkat setiap pihak.

Menurut Soedarsono (1986), kepribadian wanita Jawa akan tercermin dalam sistem sosialnya, yaitu bersifat konform atau berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku supaya dapat memenuhi harapan-harapan


(48)

lingkungannya, meskipun tindakan-tindakan tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Pembentukan kepribadian tersebut diperoleh dalam proses sosialisai dan enkulturasi. Sikap perempuan Jawa tersebut memicu timbulnya sikap self-silencing di mana perempuan Jawa menekan perasaan, pikiran dan perilakunya agar sesuai dengan harapan orang lain.

Maka pada studi ini, ingin melihat bagaimana perempuan Jawa yang hidup di masyarakat Jawa memaknai nilai-nilai Jawa yang secara tidak langsung memberikan tekanan pada perempuan Jawa untuk mampu mengontrol dirinya, selalu menghormati suami dan siap mengorbankan kebutuhannya demi mendahulukan kebutuhan orang lain terutama suami dan anak-anaknya. Tekanan dari nilai Jawa yang membuat perempuan Jawa mengalami self-silencing sebagai cara untuk melakukan perlawanan terhadap orang lain. Diam sebagai ekspresi ketidak perdulian terhadap apa yang terjadi. Bahkan diam mampu menjadi kekuatan dari perempuan Jawa ketika mereka mampu menjadikannya sebagai cara berdamai dengan diri sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka dilihat bagaimana perempuan Jawa memaknai self-silencing.

Gambar 1. Skema Self-silencing

Self- silencing: - Depresi - Perlawanan - Berdamai

dengan diri

Perempuan Jawa Nilai Jawa:

Kerukunan Kehormatan


(49)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-silencing merupakan sikap individu yang diam atau menekan perasaan, pikiran, dan sikapnya yang dirasa berlawanan dengan harapan orang lain untuk menjaga relasi mereka dengan orang lain. Self-silencing memiliki empat dimensi yaitu externalized self-perception, care as self-sacrifice, silencing the self, the divided

self. Penelitian-penelitian mengenai self-silencing di beberapa negara

menunjukkan bahwa self-silencing dipengaruhi oleh budaya di dalam masyarakat. Budaya Jawa sangat menjunjung keharmonisan. Dua prinsip yang dijunjung demi menjaga keharmonisan di dalam masyarakat adalah prinsip kerukunan dan prinsip kehormatan.

Perempuan Jawa dikonstruksikan sebagai sosok perempuan yang halus, tenang, diam atau kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni dan menjunjung tinggi nilai keluarga. Perempuan Jawa juga mampu menerima segala situasi dan pintar memendam penderitaan terpahit serta pintar pula memaknainya. Perempuan sebagai seorang istri dianggap sebagai kanca wingking, yang berarti memiliki kedudukan lebih rendah daripada laki-laki. Di balik anggapan tersebut perempuan Jawa memiliki peranan yang sangat penting di dalam keluarga terutama dalam mengatur keluarga.

Sesuai penjelasan mengenai self-silencing, prinsip-prinsip budaya Jawa, serta penjelesan mengenai perempuan Jawa maka penelitian ini ingin melihat bagaimana makna self-silencing pada perempuan Jawa. Perempuan Jawa dengan karakter yang cenderung memendam perasaan serta pandai memaknai. Perempuan


(50)

Jawa yang hidup dalam budaya Jawa yang menjunjung nilai keharmonisannya. Bagaimana sikap self-silencing dimaknai oleh perempuan Jawa.


(51)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana pertanyaan penelitian dijawab melalui penelitian. Selanjutnya akan dijelaskan fokus penelitian serta informan pada penelitian ini. Kemudian pada bagian akhir dijelaskan teknik analisis data yang digunakan serta kualitas penelitian.

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian

Self-silencing merupakan sebuah konsep dari Dana Jack pada perempuan depresi. Definisi self-silencing yang mengacu pada sikap diam seseorang dikarenakan menjaga relasi dengan orang lain membuat peneliti ingin melihat secara lebih jauh. Rasa keingintahuan peneliti terkhusus pada sikap diam yang juga peneliti temui di budaya Jawa.

Peneliti melihat bahwa pada budaya Jawa seseorang cenderung untuk memilih diam meskipun sebenarnya apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Seseorang cenderung tidak ingin menimbulkan konflik secara terbuka. Bahkan terkadang peneliti melihat seseorang pada akhirnya akan memilih untuk tetap bersikap biasa kembali meskipun sebenarnya dirinya berkonflik dengan orang lain. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melihat lebih jauh bagaimana seseorang terutama perempuan Jawa memaknai sikap diam yang diambilnya. Apalagi budaya Jawa yang menjunjung keharmonisan.

Untuk melihat fenomena tersebut peneliti memilih menggunakan paradigma kualitatif. Penelitian kualitatif dimulai dengan menggunakan kerangka


(52)

teoritis yang memengaruhi penelitian terkait dengan makna. Pengumpulan data dilakukan dalam lingkungan alamiah yang peka terhadap masyarakat.

“Penelitian kualitatif dimulai dengan asumsi dan penggunaan kerangka penafsiran/teoritis yang membentuk atau memengaruhi studi tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok pada suatu permasalahan sosial atau manusia. Untuk mempelajari permasalahan ini, para peneliti kualitatif menggunakan pendekatan kualitatif muthakir dalam penelitian, pengumpulan data dalam lingkungan alamiah yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, analisis data yang bersifat induktif dan deduktif, dan pembentukan berbagai pola atau tema (Creswell, 2014).”

Menurut Smith (2008), penelitian kualitatif memiliki informan yang berbeda, dan cenderung fokus pada makna, memahami, dan tindakan komunikatif. Hal itu, terlihat dari bagaimana orang memahami apa yang terjadi dan memaknai dari apa yang terjadi.

Pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis fenomenologi interpretatif. Pendekatan fenomenologi interpretatif bertujuan untuk mengeksplorasi secara rinci bagaimana informan merasakan dirinya dan dunia sosialnya terutama dalam studi ini mengenai self-silencing yang terjadi pada perempuan di Jawa. Peneliti menggunakan analisis fenomenologi interpretatif dikarenakan hal utama dalam analisis fenomenologi interpretatif adalah makna mengenai pengalaman tertentu, peristiwa, dan hal yang penting bagi informan. Pendekatan ini secara khusus berfokus pada penjelasan rinci dari pengalaman hidup seseorang. Menurut Smith (2008),

“The aim of interpretative phenomenological analysis (IPA) is to

explore in detail how participants are making sense of their personal and social world, and the main currency for an IPA study is the meanings particular experiences, events, states hold for


(53)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini ingin berfokus pada makna self-silencing pada perempuan Jawa. Penelitian ini akan mengeksplorasi bagaiamana informan memaknai sikap self-silencing yang dipilihnya di dalam konteks budaya Jawa.

C. Prosedur Penelitian 1. Informan

Informan dalam penelitian ini adalah perempuan Jawa yang sejak lahir tinggal di tanah Jawa dan kedua orangtuanya adalah masyarakat Jawa maka secara tidak langsung dalam kehidupannya memegang nilai, norma, dan kebudayaan Jawa yang Ia terima baik dari orangtua maupun lingkungannya. Maka, dalam kehidupan sehari-harinya perempuan Jawa yang demikian akan cenderung menggunakan bahasa Jawa dan beraktivitas sebagai perempuan tradisional (Suseno, 1985). Perempuan yang dipilih dalam penelitian ini adalah perempuan Jawa yang berusia lebih dari 40 tahun. Hal ini dikarenakan perempuan dengan karakteristik usia tersebut sudah mampu melihat segala pengalaman yang ada di dalam hidupnya dengan lebih baik seperti penjelasan de Vries & Watt dalam Cronin (2013), “Older women are able to envisage themselves over extended periods of time simply because of their long lifespan.”


(54)

2. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara semi terstruksur. Wawancara dilakukan lebih dari satu kali hingga mendapatkan pemaparan data yang saturated. Pengambilan data dihentikan ketika informasi yang didapatkan tidak terdapat variasi lagi. Wawancara direkam melalui digital recorder, kemudian dilakukan transkip verbatim dan selanjutnya dianalisis.

D. Analisis Data

Proses analisis data yang digunakan dalam pendekatan fenomenologis menurut Smith (2009), adalah sebagai berikut:

1. Reading and Re-reading

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan transkrip data wawancara kemudian melakukan reading dan re-reading. Pada tahap ini perlu dilakukan membaca ulang data yang telah diperoleh. Tujuan dari tahap ini untuk memfokuskan peneliti pada paparan informasi dari informan sebagai fokus dari analisis.

2. Initial Noting

Analisis dilakukan dengan mencatat hal-hal yang bermakna di dalam transkrip dengan cara mengidentifikasi secara spesifik apa yang informan katakan, kemudian memahami dan berfikir mengenai isu yang ada. Analisis ini membagi teks menjadi unit makna dan memberikan komentar untuk setiap unit. Tujuan dari langkah tersebut adalah untuk mendapatkan data yang komprehensif dan detail. Analisis ini terdapat tiga jenis komentar, yaitu descriptive comments, linguistic comments, dan conceptual comments.


(55)

3. Developing emergent themes

Pada tahap ini analisis dilakukan dengan mengeksplorasi komentar yang telah diberikan untuk mengidentifikasi tema apa saja yang muncul. Dalam melakukan analisis tema perlu mempertahankan kompleksitas data, dalam hal keterkaitan pemetaan, hubungan dan pola antara catatan eksplorasi.

4. Structrualizing

Setelah mendapatkan tema-tema sesuai dengan transkrip dan telah disusun secara kronologis, maka tahap selanjutnya adalah melibatkan pengembangan pemetaan dan bagaimana setiap tema yang ada saling berhubungan. Dalam melakukan analisis ini perlu membuat skema yang menggambarkan poin dari semua aspek paling menarik dan penting pada para informan.

E. Kualitas Penelitian

Smith (2009) menggunakan prinsip dan kriteria dari Lucy Yardley dalam menilai validitas dan kualitas penelitian fenomenologi interpretatif. Yardley memiliki 4 kriteria dalam menilai kualitas penelitian kualitatif yaitu :

1. Sensitivity to Context

Kesensitivitasan dapat ditunjukan melalui beberapa hal yaitu melalui lingkungan sosial budaya dari penelitian tersebut, keberadaan literatur dalam topik, dan data yang diperoleh dari partisipan.

Sensitivitas konteks dapat ditunjukkan melalui wawancara yang baik. Wawancara yang baik membutuhkan keahlian, kesadaran, dan dedikasi. Kesensitivitasan data juga dapat ditunjukkan dalam analisis data. Argumen yang dibuat dalam penelitian IPA selalu dapat didukung atau dibuktikan melalui


(56)

verbatim dari data partisipan. Hal tersebut membuat informan berperan dalam penelitian dan memungkinkan pembaca memeriksa interpretasi yang dibuat. Peneliti juga dapat menunjukkan kesensitivitasan konteks melalui keberadaan literatur yang digunakan. Dalam IPA, literatur yang relevan digunakan untuk membantu orientasi penelitian serta penemuan yang baik harus selalu dihubungkan dengan literatur yang relevan dalam pembahasan.

2. Commitment and Rigour

Komitmen dapat ditunjukkan dalam tingkat perhatian terhadap informan selama pengumpulan data dan kepedulian dengan analisis setiap kasus yang diangkat. Komitmen memiliki arti yang sama dengan menunjukkan kesensitivitasan konteks untuk beberapa elemen dalam proses penelitian.

Kekakuan mengacu pada ketelitian penelitian, misalnya dalam kesesuaian sampel dengan pertanyaan, kualitas wawancara, dan kelengkapan dalam analisis. Ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu untuk menjaga keseimbangan antara kedekatan dan keterpisahan, konsisten dalam melakukan probing, mengambil kode-kode penting dari informan, serta menggali dengan lebih dalam.

3. Trancparency and Coherence

Transparansi mengacu pada kejelasan dalam mendeskripsikan langkah-langkah proses penelitian dalam penulisan penelitian ini. Yardley menjelaskan koherensi dapat mengacu pada tingkat kesesuaian antara penelitian yang sudah dilakukan dengan asumsi teoritis yang mendasari pendekatan yang diterapkan.


(57)

4. Impact and importance

Uji validitas sebenarnya terletak pada memberitahu pembaca sesuatu yang menarik, penting, atau berguna.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif. Fokus penelitian ini adalah makna self-silencing pada perempuan Jawa. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah perempuan Jawa dengan umur di atas 40 tahun dengan teknik pengambilan data adalah wawancara semi terstrukstur. Tahap analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah reading and re-reading, initial noting, developing emergent themes, dan structuralizing. Selanjutnya validitas dan kualitas penelitian dipaparkan sesuai dengan prinsip dan kriteria dari Lucia Yardley, yaitu sensitivity to context, commitment and rigour, trancparency and coherence serta impact and importance.


(58)

37

BAB IV

PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan mengenai pelaksanaa penelitian dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang telah didapatkan. Kemudian pada akhir dilakukan pembahasan.

A. Pelaksanaan Penelitian

Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi interpretatif, di mana tujuan dari penelitian ini adalah pemaknaan informan mengenai peristiwa yang penting di dalam hiudpnya serta fokus pada penjelasan rinci mengenai pengalaman hidupnya, maka penulis menggunakan wawancara sebagai metode pengambilan data. Wawancara dilakukan lebih dari satu kali hingga mendapatkan data yang saturated. Wawancara dihentikan ketika sudah tidak ada lagi variasi jawaban.

Sebelum proses wawancara dilakukan penulis menjelaskan secara singkat kepada setiap informan mengenai tujuan dari wawancara yang akan dilakukan. Pada awal wawancara pada setiap informan, penulis selalu membangun rapport dengan informan agar informan merasa nyaman untuk berceritakepada penulis. Wawancara dilakukan secra informal, mengalir menurut situasi yang memungkinkan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan konteks yang natural dengan tetap menjaga rasa aman informan.

Wawancara dilakukan kepada enam informan terhitung mulai bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Agustus 2015. Wawancara dilakukan kepada informan


(59)

yang berdomisili di Gunungkidul. Tiga informan, yaitu Ibu Tp, Ibu P, dan Ibu N memiliki profesi yang sama yaitu sebagai PNS. Tiga informan lainnya memiliki profesi yang berbeda-beda, yaitu Ibu Tnt sebagai dukun anak, Ibu Dkh sebagai ibu petani, dan Ibu Ytm sebagai pedagang.

Dokumentasi wawancara dilakukan secara auditif, yaitu menggunakan digital recorder. Hasil berupa rekaman sesegera mungkin langsung dilakukan transkrip dengan secara verbatim agar mendapatkan dokumentasi tertulis atas paparan informan. Setelah mendapatkan dokumentasi tertulis berupa verbatim penulis kemudian menlanjutkan ke langkah berikutnya yaitu analisis data.

B. Hasil Penelitian

Analisis data dilakukan melalui empat tahap, yaitu reading and re-reading, initial noting, developing emergent themes, dan structuallizing. Secara lebih detail tahap reading and re-reading, initial noting dan developing emergent themes akan dijelaskan sebagai berikut.

Pada tahap reading and re-reading dilakukan setelah wawancara dengan enam informan selesai. Pada tahap ini penulis melakukan transkrip data wawancara kemudian membaca ulang data yang telah didapatkan. Kemudian, penulis melanjutkan dengan tahap initial noting. Pada tahap ini penulis mencatat hal-hal yang bermakna dan membaginya menjadi unit makna. Setelah didapatkan unit makna, dilihat tema-tema apa saja yang muncul. Tahap ini disebut dengan developing emergent themes. Setelah tahap tersebut, penulis melakukan penggambaran secara naratif mengenai tema-tema yang mucul pada setiap informan. Berikut ini pemaparan secara naratif dari setiap informan.


(1)

1368 1369 1370 1371 1372 1373 1374 1375 1376 1377 1378 1379 1380 1381 1382 1383 1384 1385 1386 1387 1388 1389 1390 1391 1392 1393 1394 1395 1396 1397 1398 1399 1400 1401 1402 1403 1404 1405 1406 1407 1408 1409 1410 1411 1412 1413

lakukan e..ketika asaya itu ada ketidakcocokan dengan oran gitu jujur iki saya memang berdoa. Ya Allah, buat saya tidak membenci orang itu dan buat saya untuk menyadari dan itu menjadi koreksi diri saya untuk menjadi lebih baik . saya begitu. Bukan saya mendoakan orang lain itu jelek tapi saya jujur meskipun mendapatkan sikap yang tidak baik meskipun saya di benci mendaptkan e..apa ya sikap yang tidak baik semoga saya tidak menjadi dendam, semoga tidak menjadi sakit hati dan semoga ini menajdi koreksi saya menjadi saya lebih baik. Itu yang keluar dari mulut saya. mungkin nek, saya itu orangnya sok nglindur. Jadi apa yang terus nanti akan muncul di mimpi gek ngomong tenan. Misalnya wingi saya digeguyu misale saya itu berfikir jendela ra ditutup haduh iki untung say malem saya ngecek. Waduh iki nek anu say atetep berfikir maling mlebu gampang lha terus saya kan dadi wengi terus anu maling maling awas nek jupuk. Kan terpikir sapa sing jupuk motorku. Misalnya. Hehehe. Jadi mungkin kui mau doa saya bisa muncul dalam nglindur ku kui mau. Hehehe. Itu yang saya lakukan. Itu saya nek iki ngakoni jujur saya e…saya gak tahu sak okeh-okeh wong seneng iseh enek sing sengit. Saya yakin itu. Wong kebaikan saja kadang itu enek sing anu kok. Iya ta. Bahkan kebaikan ada yang dibenci. Kan orang itu wataknya berbeda-beda tapi itu ya Ya Allah itu menjadi koreksi diri buat saya dan saya tidak mendendam. Saya bersikap sama seperti yang saya tidak sebutkan orangnya. Kalau itu menyakiti saya mengagnap itu menyakiti saya meskipun beliaunya tidak menganggap mnyakiti. Itu hal yang biasa. Karna memang hak mereka ta seneng atau benci itu kan hak mereka bisa sama orang lain itu kan hak mereka. Harusnya seperti itu. Dan saya ora gek ora asal misalnya saya memberikan anu gitu tu istilahnya justifikasi terus sampai saya berdoa seperti itu tu bukan karna pemahaman diri saya sendiri. Jadi saya


(2)

1414 1415 1416 1417 1418 1419 1420 1421 1422 1423 1424 1425 1426 1427 1428 1429 1430 1431 1432 1433 1434 1435 1436 1437 1438 1439 1440 1441 1442 1443 1444 1445 1446 1447 1448 1449 1450 1451 1452 1453 1454 1455 1456 1457 1458 1459

T J T J

ada misalnya ada orang lain Bu ngeten-ngeten lho ketika aku bukan hanya saya e…bukan hanya istilahe ora enek bahasa indonesiane ki ora kompor ora gur mengompori. Karna saya yakin istilahnya itu mungkin teman-teman saya itu saya tahu hatinya dengan saya itu seperti apa. Mereka tuluskah atau tidak itukan akan kelihatan, terus mereka anu atau tidak itu kan akan kita rasakan. Jadi berdasarkan misalnya mereka mengatakan gini gini lho Bu. Ya Allah semoga saya tidak mendendam, saya tidak sakit hati. Saya tidak melakukan hal yang sama dan itu menjadi koreksi saya. Koreksi diri saya itu yang terucap dari mulut saya ketika saya berdoa. Kula mending diam. itu yangs aya lakukan ning ya mungkin e…tidak tidak mesti positif seprti itu. Tidak mesit posotofnya itu kadang seberapun kuat orang itu lho. Nggak mesti ta orang itu istilahe artine jembar kaya segara. Jadi kadang sekali waktu ketika tempo tertentu ketika kita mendapatkan e..istilahe tekanan tekanan kadang ya menjadi tidak..paling saya menangis. Gimana ya..ya biasanya serahkan sama yang di atas.

Ibu kan ngomong diam. kenapa sih Ibu itu milih diam dibandingkan sikap lainnya? Ke orang lain atau ke siapa?

Ke orang lain.

Karena saya lihat orangnya. Kalau e…pribadi orangnya itu memang kayaknya tidak bisa menerima apa ya? Masukan atau mungkin anu orang lain begitu lha kenapa saya harus anu. Malah nanti malah apa ya akan menjadi wong dia merasa benar kok. Gitu lho. Dia begitu itu kan e..anggapannya kan benar. Anggapan dia kan sikap seperti itu kan benar. Baik menurut saya. Lha kalau orangnya aja tidak bisa menerima masukan dari orang atau dia itu menganggap hal seperti itu benar ya apa gunanya saya marah. Ya udah mending diam aja. Ngunu nek saya. lha nggih. Daripada saya e..apa ya? Kokean komentar apa kepie. Ora enenk guanine. Gitu ta. Gak ada manfaatnya. Ketika saya

Ketika dibicarakan orang lain memilih diam. (1423-1429)

Ketika mendapatkan tekanan memilih untuk menangis. (1436-1439)

Memilih diam ketika menghadapi orang yang tidak bisa menerima masukan. (1453-1456)


(3)

1460 1461 1462 1463 1464 1465 1466 1467 1468 1469 1470 1471 1472 1473 1474 1475 1476 1477 1478 1479 1480 1481 1482 1483 1484 1485 1486 1487 1488 1489 1490 1491 1492 1493 1494 1495 1496 1497 1498 1499 1500 1501 1502 1503 1504 1505

T J

T

ngunu memberikan gimana masukan atau gimana. Istilahnya ngapain juga melawan istilahnya rang yang tidak mau apa itu tidak mau kalau tidak mau diajak baik ya kalau yang kita itu apa yang kita lakukan itu baik maksudnya pa itu jenenge masukan itu baik menurut dia kalau nggak? Gimana? Gitu lho. Saya lihat juga sih orangnya. Diamnya itu kalau sama orang yang bisa menerima saya ya tidak diam. orang yang lebih terbuka saya tidak diam. Kalau orangnya wataknya kayak gitu. Orang kan watake beda-beda. Watakke nek eneng sing sok nylenenh kan akeh juga. Kalau kita menghadapi orang yang wataknya nyleneh kayak gitu ya lebih baik diam. Tapi diamnya itu kadang untuk menghragi juga. Dan tidak timbul konfrontasi dan sebagainya antara lain tujannya seperti itu. Kalau itu e…dengan diam itu justru lebih baik kenapa nggak. Jadi dengan diam malah e.istilahnya itu tidak e..takutnya nanti kalau orang yang tidak tadi irang jembar segare atine ora segara mau ketika kita menyampaikan mereka malah salah paham malah jadi tidak baik ya lebih baik diam.

Biasanya pas daim itu apa yang dirasakan apa yang dipikirkan?

Ya kadang kalau kalau menurut saya sikap dan cara orang itu bersikap kepada saya menyakitkan saya ya saya jujur kok ada ya orang yang seperti itu? Punya watak seperti itu? Terus perilakunya seperti itu. Tidak mengagngap itu menyakiti orang lain. Kok is aya? Apa ya gumun. Gtu lho. Kok bisa ya? Ada orang yang kayak gitu. Tapi ya nyatane ya enenk. Misale. Terus ya …nek sakit ngunu ya sakit mbak. Tapi ya itu tadi dengan itu dengan mendoakan seprti itu. Sama dengan apa itu e..kadang dengan waktu berjalan kan terus ya udahlah gitu lho. Yawes ben ora pa-pa. ya cen kita pny awatak yang beramcam-macam. Itu kita harus terima. Seribu kepala ya seribu pikiran, seribu ati, seribu watak. Gitu.

Terus dari pengalaman ibu bagi Ibu diam itu apa?

Diam agar tidak menimbulkan konfrontasi. (1475-1476)

Ketika diam merasa sakit hati. (1487-1496)


(4)

1506 1507 1508 1509 1510 1511 1512 1513 1514 1515 1516 1517 1518 1519 1520 1521 1522 1523 1524 1525 1526 1527 1528 1529 1530 1531 1532 1533 1534 1535 1536 1537 1538 1539 1540 1541 1542

J

T J T J

Diam itu saya tidak punya anu kalu diam itu emas. Nggak mesti diam itu emas. Jadi e….diam itu hanya merupakan apa ya? Sebuah cara saja untuk kita menata hati untuk menata emosi, untuk kita merenung diri, untuk kita mengoreksi diri, teus e…nek kula basakke Jawa ngenam-ngenam pikir, kui dadine nek ngunu ki sebuah cara untuk saya tu tadi mengoreksi diri terus biar kita bisa menilai benar tidaknya baik buruknya terus apa yang mestinya kita lakukan. Itu sarana untuk kita untuk menanti mengambil sikap yang baik itu seperti apa. Daripada kita tiba-tiba e..temperamental tapi ternyata salah, gitu. Mungkin yang keluar itu tidak melalui proses anu tiba-tiba muncul saja tidak melalui proses istilahe nganggo dirasa sek. Asal muncul gitu.. kadang juga lebih baik dengan diam itu menjadi kita lebih apa ya? Sikap kita akan lebih bisa tertata. Gitu lho. Tapi ya tidak berarti emas terus gek kudu diam. Karena dengan diam tentu banyak hal tidak bisa terkomunikasikan dengan baik. Jadi diam itu untuk hal-hal tertentu saja. Gitu lho. Untuk hal yang butuh pemikiran butuh sikap yang gimana. Tapi untuk susutu yang positif ya itu tadi gak boleh diam. Untuk sesuatu yang baik kita tidak boleh diam. Nanti kalau cuma diam nanti tidak terkomunikasikan kebaikan itu tidak akan terkomunikasikan. Begitu maskud saya.

Jadi diam itu untuk merenung, menata hati. Iya. menata hati. Biar kita itu selalu bersikap baik.

Nggih. Makasih Bu. Iya.

Diam adalah cara untuk mengelola

emosi dan

instropeksi diri. (1509-1514)


(5)

Cluster of Meaning Self-Silencing

• Diri yang mengalah, menghormati dan menghargai teman. • Mengalah karena tidak merugikan diri sendiri.

• Perasaan tersiksa ketika menyakiti orang lain.

• Menghormati dan menghargai dengan tidak mengadu domba

• Diam ketika menghadapi orang yang ketika ditanggapi semakin bertambah parah.

• Kritikan disampaikan ketika kritikan itu benar. • Mampu menjaga persahabatan.

• Diam daripada dinilai negatif oleh anak

• Tidak diam ketika menghadapi masalah yang mendesak. • Menunjukkan perselisihan orangtua di depan anak tidak baik. • Ketika diam merasakan sakit hati.

• Perasaan sakit hati diatasi dengan berpasrah pada Tuhan dan berdoa. • Mengendalikan diri sendiri lebih sulit.

• Diam menjadi positif jika untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain • Diam menjadi negatif ketika menyakiti diri sendiri maka harus diungkapkan. • Pengungkapan perasaan dengan berdoa.

• Diam ketika ada ketidakcocokan dengan teman • Perempuan Jawa lembut, halus, beretika dan keibuan. • Penghargaan terhadap orang lain dengan menjunjung etika. • Menghormati orang lain dengan bahasa krama dan sopan santun • Menghormati dan menghargai orang lain sangat penting

• Perasaan marah belum mampu dikendalikan • Diam karena membantah suami tidak baik.

• Penjelasan sikap ketika bersikap temperamental dengan anak di saat sudah tenang.

• Kritikan yang sesuai kenyataan sebagai koreksi diri.

• Memberikan penjelasan ketika mendapat kritikan tidak sesuai kenyataan. • Tidak menunjukkan ketidakcocokan dengan orang lain dan berdoa. • Diam ketika dibicarakan orang lain.

• Ketika mendapatkan tekanan memilih untuk menangis.

• Diam ketika menghadapi orang yang tidak bisa menerima masukan. • Diam agar tidak menimbulkan konfrontasi.

• Ketika diam merasa sakit hati.


(6)

Dynamic of Meaning

Kodrat sebagai seorang ibu adalah cermin seorang perempuan Jawa menurut Ibu P (48). Adat istiadat, ajaran agama dan Bahasa Jawa selalu diajarkan Ibu P kepada anak-anaknya. Menhormati dan menghargai orang lain adalah nilai yang Ibu P pegang. Sopan santun, Bahasa Jawa dan sikap yang beretika adalah salah satu cara untuk menghormati orang lain. Ibu P juga sangat menjaga persahabatan yang dimilikinya. Ibu P tidak pernah mengadu domba orang-orang di sekitarnya. Sikap tersebut diambil sebagai cara untuk menghormati teman-temannya dan menjaga persahabatan yang dimiliki.

Kritikan adalah suatu cara untuk melakukan koreksi diri. Ketika kritikan yang diterima tidak sesuai kenyataan maka Ibu P akan memberikan argumentasi. Meski begitu Ibu P memilih untuk diam ketika dirinya dibicarakan oleh orang lain dan ketika tidak suka dengan orang lain. Sikap tersebut diambil agar tidak menimbulkan konfrontasi sehingga persahabatan tetap terjaga. Meski Ibu P merasa dirinya belum mampu mengendalikan rasa marahnya dia tidak ingin menunjukkan ketidakcocokannya kepada orang lain. Permasalahan di keluarga Ibu P hadapi dengan mengalah kepada suaminya. Ibu P memilih bersikap diam karena membantah suami dan menunjukkan perselisihan orangtua di depan anak adalah hal yang tidak baik. Diam dalam situasi tersebut bagi Ibu P adalah hal yang positif.

Seseorang tidak akan pernah bisa mengendalikan orang lain. Ibu P memilih untuk mengalah ketika mengahadapi tekanan. Lebih baik disakiti daripada menyakiti orang lain. Ibu P hanya akan menangis ketika mendapatkan tekanan dari orang lain. Berpasrah dan berdoa kepada Tuhan adalah cara Ibu P mengungkapkan perasaanya. Bagi Ibu P sikap diam dalam situasi ini adalah suatu cara untuk mengelola emosi dan intropeksi diri. Meski begitu bagi Ibu P diam dalam situasi ini adalah hal yang negatif. Diam hanya akan menyakiti diri sendiri. Ketika sikap diam diambil Ibu P akan merasakan sakit karena menahan perasaannya.