2. Perempuan Jawa sebagai Seorang Istri
Sebagai seorang perempuan terutama dalam melihat perempuan Jawa secara menyeluruh perlu pula melihat peranan perempuan sebagai seorang istri.
Bahkan dalam budaya Jawa memiliki semboyan bagi perempuan bahwa mereka harus mampu untuk macak, masak, manak. Perempuan Jawa yang tidak bisa
melakukan tiga hal tersebut dianggap tidak ada nilainya baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Berdasarkan hal tersebut tentu perlu dilihat peranan
perempuan Jawa terutama peranan sebagai seorang istri dan sekaligus peranan di dalam keluarga atau sebagai seorang ibu.
“Wanita harus pandai macak, masak, manak. Bila tiga hal ini gagal dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat. Wanita yang tidak bisa masak atau mempunyai anak, dianggap “aneh” dan bahkan dianggap
membawa aib keluarga Warto dalam Abdullah, 2003.”
Berkaitan dengan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif istri tidak boleh
melebihi suami. Perempuan Jawa memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki sehingga sebisa mungkin selalu menghormati suaminya dan
menempatkan suami begitu tinggi. Menurut Geertz 1983, wanita mempunyai bidang yang luas untuk
bergerak di dalam lingkungan kerumahtanggaan. Wanita mengendalikan semua putus terhadap sebagian besar masalah. Wanita mengendalikan semua keuangan
keluarga, dan meskipun diberikannya penghormatan formal kepada sang suami serta dalam soal-soal besar selalu mendengar pertimbangannya, biasanya
wanitalah yang dominan.
Selain itu, pada umumnya perempuan Jawa, dibandingkan dengan laki- lakinya, lebih banyak terlibat di dalam masalah sosial dan ekonomi keluarga,
sehingga jarang melampaui batas-batas persuami-istrian. Mereka bersikap toleran terhadap sikap suami yang serba seenaknya karena dalam anggapannya orang
laki-laki secara alamiah memang tak bertanggung jawab Geertz, 1983. Secara emosi, perempuan Jawa tidak terlibat benar-benar secara emosional
dalam hubungan suami istri. Menurut Geertz 1983, “cinta” bagi wanita adalah soal perangai lahiriah dan kepura-puraan, memang benar-benar dianggap sebagai
cara yang baik untuk menghadapi keadaaan tertentu yang menyusahkan, dan yang merupakan syarat dalam hal menghadapi tingkah laku suami. Penolakan untuk
pelibatan emosional ini jelas merupakan ciri khas hubungan persuami istrian pada kebanyakan orang Jawa.
Pada masyarakat Jawa, peranan perempuan sebagai seorang ibu sangatlah penting. Menurut Handayani 2008, sebagai simbol moralitas, sosok ibu dalam
kultur Jawa memiliki posisi yang sangat penting sekaligus dipandang sebagai pusat rumah yang selalu dipercaya. Sosok ibu memegang peranan dalam mengatur
masalah perekonomian keluarga, mengatur moralitas keluarga dan merawat serta melindungi keluarganya.
Jadi, perempuan Jawa sebagai seorang istri memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada suami. Perempuan Jawa lebih memilih untuk mengalah
dengan suaminya dan tidak terlibat secara emosional dengan suami untuk menjaga relasinya dengan suami. Meskipun begitu, perempuan Jawa memiliki peranan
yang cukup besar sebagai sosok ibu. Sosok ibu dalam budaya Jawa memegang
peranan penting dalam hal mengatur keuangan keluarga, mengatur moralitas keluarga dan merawat serta melindungi keluarga.
D. Self-silencing pada perempuan Jawa