Diam sebagai bentuk kemarahan

b. Diam sebagai bentuk kemarahan

Sikap diam bagi para informan selain untuk penenangan diri adalah sebuah cara untuk menunjukkan perasaan marah mereka terhadap orang lain. Sikap tersebut khususnya dilakukan oleh Ibu Tp 48 dan Ibu N 48. Melalui sikap diam yang diambil mereka berharap orang lain akan mengetahui perasaan marah atau ketidaksukaan mereka. “Bukan diam itu emas. Kalau orang lain diam itu emas. Nggak. Kalau saya diam itu marah. Karna saya itu seperti itu. Aku nek marah diam. nek lagi nesu lagi jengkel lagi anu saya mendingan diam.” Tp, 1096-1100 “Mungkin marah saya tunjukkan dengan diam.” N, 1073-1074 “Diam marah kalau orang ini sudah gak logis lagi. Diajak biacara sudah nggak bisa. Contoh, ada lagi contoh kasusnya tapi tak nggleng gitu. Tak nggleng setelah itu saya diam.” N, 1223-1226 Pada informan lain sikap diam diambil karena mereka mencoba memendam perasaan marah mereka. Sikap diam dipilih namun sebenarnya di dalam hati para informan merasa marah. “Ya kadang kan dongkul. Gek engko gek anu dongkul gek engko ya terus curhat karo kancane sing kira-kira dipercaya sapa ngunu lho.” Terkadang merasa jengkel. Nanti merasa jengkel kemudian bercerita dengan teman yang saya percaya Ytm, 178-180 “Pada wae mbak. Ya marah guran. Keadaane ya marah.” Sama saja Mbak. Perasaannya marah. Dkh, 252 “Meneng ki kadang ya sok mangkel.” Ketika diam terkadang merasa marah Tnt, 552 “Ya kadang kalau kalau menurut saya sikap dan cara orang itu bersikap kepada saya menyakitkan saya ya saya jujur kok ada ya orang yang seperti itu?” P, 1487-1490 Perasaan marah yang muncul tersebut diakui oleh para informan karena sifat para informan yang cenderung masih mudah marah. Para informan mengakui bahwa sifat tersebut menjadi salah satu kekurangan mereka. “Saya masih mudah marah. Saya itu mudah marah. E…apa ya itu kekurangannya. Kekurangan mudah marah. Sebenarnya itu saya mudah marah tapi saya berusaha untuk makin anu makin kesini kan berusaha untuk nggak. Kalau dulu kan carane nek nek wong nantang ngunu tak tak ajoni. Saya nggak takut. Jadi nek misale e…wong lanang misale macem-macem ya tak tandangi. Itu kalau saya itu kayak gitu.” Tp, 782-789 “Menilai. Saya sendiri? Saya sendiri punya kekurangannya. E…kalau apa ya? Mungkin ajaran Jawa itu permepuan Jawa halus ya. Terus mengajarkan dengan mungkin marah pun mungkin masih dengan irama itu tidak usah iramanya tinggi tapi ya anu e…kalau saya sendiri itu terus terang mungkin juga watak, mungkin saya sendiri belum bisa istilahnya mengendalikan diri dengan baik. Sehingga kadang pada saat tertentu ketika saya mengajari anak saya misalnya contohnya itu saya kadang sekali waktu ya masih masih agak temperamental jadi masih agak tinggi. E…apa emosinya. Masih ada emosi belum istilahe belum bisa menep gitu.” P, 1127-1141 “Sifate ya sok kadang, apa ye? Nek aku ki kayakke nek ra salah ki, nek nganu sifat ki ya sok kadang pamane dilokke, pamane dilokke pie kadang ya kadang ya jenenge anu kan kadang sok emosi. Ngunu kan ya biasa. Mesthi menungsa rak ya ngunu kui ta?”Sifatnya ya kadang apa ya? Kalau saya sepertinya kalau tidak salah sifatnya kadang seumpama dijelek-jelekkan, terkadang marah. Seperti itu kan biasa. Setiap orang pasti seperti itu kan? Ytm, 117-121 “Uga aku nek pas muring ya sak kadang ya muring.” Saya ketika merasa marah terkadang juga marah-marah Tnt, 332 “….. Nek pas anu ya kadang ya, ra pa-pa. ning dong ki so kana klerune ya sok songol. Pikirku ki sok pikirane nek anu ya sok keras.” Kadang ya tidak apa-apa, tapi terkadang saya juga pernah salah kadang berkata dengan nada keras Tnt, 342-344 Meskipun memilih sikap diam namun sikap tersebut menunjukkan perasaan marah yang mereka alami. Bagi beberapa informan diam adalah tanda bahwa seseorang merasa marah. Perasaan marah tidak ditunjukkan secara terbuka. Para informan cenderung memilih untuk memendam perasaan tersebut meskipun Ibu Tp 48 dan Ibu N 48 menjadikan diam sebagai bentuk kemarahan.

c. Diam untuk harmonisasi