1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan memaparkan konteks dalam penelitian ini, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Pada bagian konteks akan
menjelaskan tentang self-silencing dalam perempuan Jawa. A.
Konteks
“Diam adalah emas”. Barangkali memilih untuk diam terkadang menjadi sebuah pilihan yang dirasa tepat dalam sebuah situasi tertentu. Situasi yang tidak
memungkinkan seseorang untuk melakukan perlawanan secara konfrontatif. Meski hanya kepasifan yang dijadikan sebuah pilihan, namun di balik itu
menyimpan sebuah makna mendalam.
Setiap orang memiliki nilai yang mendorong dirinya dalam bersikap. Begitu juga dengan sikap diam. Ketika seseorang memilih untuk diam terdapat
nilai yang diyakini. Nilai yang menuntunnya untuk memilih diam sebagai sebuah pilihan yang tepat. Sebagai contoh Ibu N 44 memilih diam ketika dirinya
menghadapi anggota keluarganya yang mudah marah karena sedang sakit dan merasa putus asa. Bagi Ibu N 44 diam menjadi salah satu alternatif yang tepat
daripada memecah kerukunan yang ada. Nilai merupakan bagian di dalam sebuah budaya. Setiap budaya memiliki
nilai yang dijunjung. Begitu pula pada budaya Jawa. Budaya Jawa memiliki dua nilai yang dijunjung dan diyakini oleh masyarakatnya, yaitu nilai kerukunan dan
kehormatan. “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah.” Sebuah pepatah Jawa yang berarti dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu rukun agar semakin
kuat, jangan saling bermusuhan. Pepatah tersebut menggambarkan prinsip nilai masyarakat Jawa yang sangat menjunjung tinggi nilai kerukunan. Hal tersebut
sesuai penjelasan dari Suseno 1985 bahwa: “ Oleh karena itu masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-
norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi- emosi yang bisa menimbulkan konflik atau mencegah terjadinya
emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang- kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah
secara terbuka.” Prinsip lain yang dijunjung guna menjaga keselarasan pada masyarakat
Jawa adalah prinsip hormat. Bagi masyarakat Jawa menghormati orang lain adalah hal yang utama. Setiap orang harus menghormati orang lain terutama pada
mereka yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi. “ Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan
membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang
lain, sesuai
dengan derajat
dan kedudukannya
Suseno,1985.” Prinsip hormat ini dikembangkan oleh masyarakat Jawa mulai dari lingkup
terkecil dari masyarakat, yaitu keluarga. Di dalam keluarga sikap hormat sebagai ajaran orangtua. “Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat
dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga Suseno,1985.”
Satu hal yang ingin dijunjung melalui prinsip kerukunan dan kehormatan adalah keharmonisan. Keharmonisan adalah hal yang menonjol di masyarakat
Jawa dalam relasi sosialnya. Setiap individu akan berusaha tetap menjaga harmonisasi dalam masyarakat meski sikap yang ditunjukkan bukanlah sikap yang
sesungguhnya.
“Suatu segi menarik dalam semua hubungan sosial Jawa ialah bahwa yang penting bukanlah kejujuran hubungan itu. Dan
walaupun dalam banyak interaksi sosial kedua belah pihak menyadari betul-betul bahwa situasi yang sebenarnya antara mereka
bukanlah sebagaimana nampak di permukaan, namun semua puas asal saja kesatuan pada permukaan tidak diganggu Hidred Greetz
dalam Suseno,1985.” “Kanca wingking.” Sebuah istilah pada Bahasa Jawa yang sering
digunakan untuk menjelaskan kedudukan perempuan Jawa. Menurut Handayani 2008, ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam
masyarakat Jawa bahwa istri adalah kanca wingking. Hal tersebut dimaksudkan bahwa budaya Jawa menganggap perempuan memiliki kedudukan rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Stereotype pada perempuan memberikan kontribusi bagi tindakannya.
Perempuan Jawa yang hidup dalam budaya Jawa yang menjunjung harmonisasi dengan nilai kerukunan dan kehormatan. Apalagi perempuan Jawa yang dianggap
memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Sikap diam terkadang menjadi alternatif pilihan bagi perempuan Jawa.
Perempuan Jawa yang dianggap lebih rendah daripada laki-laki serta harus menjaga harmonisasi menuntunnya untuk memilih sikap diam. Dalam
menghadapi konflik perempuan Jawa akan memilih untuk diam demi mengendurkan konflik yang ada. Diam bukan karena kalah. Sikap diam demi
keselarasan hubungan. “Strategi yang dilakukan wanita Jawa untuk memperoleh otoritas
itu tentu saja berlandaskan oleh nilai-nilai yang ada dalam kultur Jawa. Strategi yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam”
pasif dan memakai cara halus; tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah mengatakan “jangan”
secara verbal meski dia hendak melarang Handayani,2008.”
Self-silencing merupakan sikap individu yang memilih untuk diam atau memendam perasaan, pikiran, atau perilaku karena individu takut tidak sesuai
dengan harapan pasangannya. Individu yang tidak ingin dirinya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan harapan orang lain akan memilih untuk
bersikap diam. Self-silencing berhubungan dengan depresi. Individu yang tidak mampu
mengungkapkan pikiran serta perasaannya akan cenderung mudah mengalami depresi terutama pada perempuan. Teori Silencing the self berdasarkan sebuah
penelitian longitudinal dari perempuan yang mengalami depresi yang mendiskripsikan pengalaman mereka, termasuk pemahaman mereka mengenai hal
yang menuntun mereka untuk mengalami depresi. Perempuan menjelaskan bagaimana mereka mulai untuk diam atau menekan pikiran, perasaan, dan aksi
mereka yang mereka pikir berlawanan dengan harapan pasangan mereka. Jack,2010.”
Perempuan yang mengalami depresi cenderung menghindari konflik untuk menjaga relasi dan atau menjaga keamanan psikologis atau fisiknya. Perempuan
juga menyampaikan perasaan malu, keputusasaan, dan marah secara berlawanan. Hal ini membuat perempuan merasa kehilangan rasa akan dirinya sendiri.
Pada laki-laki self-silencing tidak menyebabkan depresi. Hal ini berkaitan dengan alasan yang mendorong sikap self-silencing berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Pada laki-laki self-silencing disebabkan oleh ketidakmampuan laki- laki untuk mengekspresikan atau mengakui perasaan rasional atau emosional
mereka. Pada perempuan self-silencing disebabkan karena perempuan enggan
untuk mengekspresikan diri karena adanya ketidak setaraan hubungan atau adanya aturan moral bagi perempuan untuk selalu peduli dan tidak terluka Gratch, Linda
Vaden, Margaret E. Bassett, dan Sharon L. Attra, 1995. Berdasarkan hal tersebut
maka pada perempuan self-silencing cenderung mengakibatkan depresi dibandingkan pada laki-laki.
Setiap budaya memiliki gambaran ideal mengenai sosok perempuan yang ideal. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksetaraan antara kedudukan laki-
laki dan perempuan. Pemikiran mengenai gambaran ideal dari “wanita yang baik” yang bervariasi di berbagai budaya, merupakan sebuah akar dasar pemikiran
bahwa perempuan dan laki-laki tidak sama dan perempuan masih bertanggungjawab pada kualitas dari sebuah hubungan
Jack,2010. Konsep perempuan sebagai seorang ibu yang baik terdapat pada budaya
Jerman. Tanja Zoellner dan Susanne Hedland dalam Jack 2010 mengatakan adanya ekspektasi sosiokultural bahwa terdapat penempatan dan pemaksaan pada
perempuan, misalnya bagaimana nilai budaya Jerman mengenai perempuan yang harus menjadi ibu yang sepenuhnya mengurusi anak setelah berkeluarga dapat
menjadi penyebab depresi. Pengaruh budaya begitu besar terhadap perkembangan individu tersebut
secara psikologis. Setiap individu secara sadar maupun tidak sadar akan menyesuaikan dirinya sesuai budaya di mana ia tinggal. Hal tersebut tentunya
akan mempengaruhi sikap individu yang berdampak pula pada perkembangan psikologis individu. Simbol psikologi budaya telah menunjukkan bahwa konsep
budaya memberikan sebuah kandungan spesifik dan cara mengelola emosi,
persepsi, memori, alasan logis, agresi, pengasuhan anak, proses perkembangan seperti sebagai akuisisi bahasa, dan sakit mental Ratner, 2002.
Adanya pengaruh budaya pada perkembangan individu tentunya juga terjadi pada fenomena self-silencing. Penelitian-penelitian mengenai self-silencing
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa self-silencing terjadi dikarenakan pengaruh lingkungan seperti standar sosial, nilai, dan norma serta budaya
masyarakat. Salah satu contoh penelitian yang dilakukan oleh Frank, Jeremy, dan Thomas Cherly D 2003 mengenai “Externalized Self-Perceptions,Self-Silencing,
and the Prediction of Eating Pathology” menemukan bahwa silencing the self dan externalized self perception memiliki kontribusi pada gangguan makan. Hal ini
dikarenakan adanya persepsi bahwa perempuan harus memiliki bentuk tubuh dan berat badan yang bagus atau ideal, di mana standar sosial menekankan tubuh yang
baik adalah tubuh yang kurus. Persepsi tersebut membuat perempuan cenderung untuk membatasi ekspresi diri apabila tidak sesuai dengan standar eksternal yang
ada. Penelitian-penelitian mengenai self-silencing selama ini cenderung melihat
self-silencing sebagai hal yang depresif. Dalam penelitian ini ingin melihat self- silencing pada perempuan Jawa sebagai fenomena yang menarik dan menggejala.
Budaya Jawa yang menjunjung keharmonisan mendorong perempuan Jawa untuk memilih diam dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan perempuan cenderung
kurang pantas apabila mengekspresikan emosinya. Oleh sebab itu, sikap diam menjadi pilihan bagi perempuan Jawa.
Segala hal negatif yang melekat pada perempuan Jawa tentu tidak membuat perempuan Jawa benar-benar menjadi sosok yang lemah. Perempuan
Jawa tetap memiliki cara untuk memegang kekuasaan. Perempuan mencoba mencapai kekuasaan melalui kepasifan dan ketenangan. Menurut Handayani
2008, “Kekuatan nilai budaya Jawa seakan menekannya untuk mampu
menjaga harmoni dengan mengabdi dan menghargai laki- lakisuami. Mereka dengan jeli tetap mampu bersiasat untuk
menghadapi bahkan adat budi bahasa atau tata karma yang terkadang menjadi “jerat budaya” bagi hidup sosial masyarakat di
mana mereka sendiri merupakan sebagian dari warganya. Mereka berusaha mengangkat sumber konflik dan mengembalikkan kepada
yang berkuasa untuk “menjawab” sendiri. Sebuah aksi yang dilaksanakan masih dalam batas-batas pola perilaku urmat dalam
konteks tata karma khas Jawa.” Adanya prinsip bahwa yang terpenting adalah keselarasan hubungan,
menjadikan perempuan Jawa terkadang juga mengalami konflik di dalam diri. Ketika sebenarnya di dalam sebuah masalah mereka ingin mencoba menampilkan
diri untuk mengekspresikan perasaan mereka secara terbuka namun mereka dibatasi dengan nilai dan norma yang ada. Keterbatasan mereka tersebut membuat
perempuan Jawa terkadang memilih untuk diam. Diam yang berarti mereka merasa akan menjadi “serba salah” jika bertindak terlalu frontal di depan publik.
Sikap diam tidak selamanya bentuk dari ketidakberdayaan. Sikap diam bisa diartikan sebagai bentuk dari sebuah perlawanan. Sikap diam mampu menjadi
ekspresi perasaan marah seseorang. Salah satu contohnya adalah ketika diam dilakukan sebagai cara untuk melakukan perlawanan dengan orang lain, terkadang
membuat orang lain menjadi frustasi. Hal ini terutama terjadi pada pasangan suami istri. “Within the home, silence can be very frustrating for an individual
who feels that a partner is freezing her or him out Kenny, 2011.” Di dalam rumah, diam dapat menjadikan seorang individu frustasi ketika merasa
pasangannya mendiamkan dirinya. “Silence in response to anger or abuse is not always a sign that the silent person is weaker than the abusive individual Kenny,
2011
.”
Diam dalam respon pada rasa marah atau kekerasan tidak selalu tanda bahwa orang yang diam lebih lemah dibandingkan individu yang kasar.
Pada situasi yang berbeda sikap diam dijadikan cara untuk mampu berdamai dengan diri sendiri dan orang lain. Perempuan Jawa yang mampu
menghadapi konflik dengan mengontrol nafsu dan egoisme menaklukkan dirinya ke dalam. Menurut Handayani 2008,
“Oleh karena itu, ia harus mengontrol nafsu-nafsunya dan melepaskan pamrihnya. Mengontrol bukan berarti menghilangkan,
melainkan lebih merupakan upaya untuk mengaturnya sampai pada tingkat tertentu sehingga tidak mengganggu harmoni sosial.
Dengan kecenderungannya untuk memangku dan mengabdi secara total kepada keluarga berarti ia cenderung menaklukkan diri ke
dalam, mengontrol nafsu dan pamrih.”
Ekspresi emosi akan berebeda-beda pada setiap budaya. Teori neurocultural menjelaskan bahwa budaya mempengaruhi elemen yang
melingkupi emosi yang dapat diamati, tapi emosi itu sendiri tidak teramati. Anggota masyarakat yang berbeda belajar untuk memiliki emosi yang berbeda
dalam situasi tertentu. Misalnya sebuah makanan dapat menghasilkan kesenangan pada masyarakat tertentu namun dapat menghasilkan rasa jijik pada masyarakat
lain. “Ekman 1972 named his own theory neurocultural. Culture
influences the observable elements surrounding emotion, but not the unobservable emotion itself. Members of different societies
learn to have different emotions in given situations: A food that
produces pleasure in one society can produce disgust in another José-Miguel,dkk,2003.”
Budaya membentuk seseorang dalam mengekspresikan emosinya terhadap suatu hal. Termasuk ketika seseorang diam maka sikap tersebut merupakan
bentuk ekspresi yang dipengaruhi budaya dan lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat bahwa fenomena self-silencing
pada budaya Jawa merupakan sebuah fenomena yang menarik. Perempuan Jawa yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan laki-laki dan
memiliki stereotype sebagai sosok yang lemah memilih self-silencing sebagai cara menjaga keselarasan hubungan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat
self-silencing bukan sebagai suatu hal yang depresif. Peneliti ingin melihat pemaknaan self-silencing pada perempuan Jawa yang hidup dengan nilai
keharmonisan. Sikap diam yang pada permukaannya terlihat sama namun dapat dimaknai berbeda pada setiap individu.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pemaknaan self-silencing di kalangan perempuan di Jawa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pemaknaan
self-silencing di kalangan perempuan di Jawa. D.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoretis
Menambah khasanah ilmu psikologi, khususnya psikologi budaya dan psikologi sosial. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh pada budaya
tertentu dan mempengaruhi perilaku serta kepribadian individu, terutama perempuan. Begitu pula budaya Jawa yang memiliki nilai sehingga akan
mempengaruhi individu dalam memaknai sikap self-silencing yang dipilihnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan paparan mengenai nilai- nilai yang ada di dalam budaya Jawa. Selain itu, semoga melalui penelitian ini
perempuan Jawa terutama para informan mampu merefleksikan segala pengalaman yang telah dilalui dan memaknai segala sikap yang telah diambil
terutama sikap diam sebagai self-silencing sehingga mampu menjadi strategi dalam menghadapi budaya Jawa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya sangat menentukan perilaku seseorang. Hal tersebut juga terjadi pada fenomena self-
silencing. Perbedaan nilai budaya secara khusus menetukan perbedaan tindakan dan sikap. Demikian self-silencing di kalangan perempuan Jawa juga memiliki
kekhasan menurut budaya Jawa. Sikap diam yang terlihat sama namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Hal tersebut yang mendasari pertanyaan dalam
penelitian ini yaitu bagaimana makna self-silencing pada perempuan Jawa.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA