Matematika SARANA BERPIKIR ILMIAH

116 kegiatan perhitungan pengukuran. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Bahasa verbal seperti telah kita lihat sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan yang sangat menggang- gu. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak untuk waktu tertentu” tersebut dapat kita lambangkan dengan k. Dalam hal ini maka k hanya mempunyai satu arti, yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak untuk waktu tertentu ” dan tidak mempunyai pengertian lain. Waktu yang digunakan dalam suatu kegiatan jalan kaki menggunakaan lambing w. Sedangkan jarak yang ditempuh dalam waktu tertentu menggunakan lambing j Maka dapat dibuat rum us “jarak yang ditempuh sama dengan waktu yang digunakan kali kecepatan” atau dengan lambing: j = k x w. Pernyataan matematik mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional. Matematika mempunyai kelebihan lain disbanding- kan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik dengan menggunakan lambang angka yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal, bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan umpamanya gajah dan semut, maka kita bisa mengatakan bahwa gajah lebih besar dari semut. Kalau kita ingin menelusur lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut, 117 maka kita mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Bahasa verbal hanya mampu mengemu- kakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan memanjang. Namun pengertian kita hanya sampai di situ. Kita tidak bisa mengatakan dengan tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Dalam usaha melakukan pengukuran, matematika menggunakan satuan ukuran standar yang ditetapkan dan diberlakukan secara universal. Dan untuk mengetahui banyaknya satuan ukuran dari hal yang diukurnya, matematika juga menggunakan lambang bilangan, untuk melakukan pembilangan terhadap hal yang diukurnya berdasarkan satuan ukuran yang digunakannya. Lambang bilangan tersebut dapat menggunakan rangkaian lambang bilangan yang tersusun dari angka-angka sebagai berikut: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0. Lewat pengukuran dengan menggunakan satuan ukuran yang telah disepakati bersama, dan mencatatnya dengan menggunakan bilangan yang tersusun dari angka-angka tersebut, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengatahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “Sebatang logam kalau dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan kuantitatif matematik yang lebih eksak terukur secara eksak , misalnya menjadi “Sebatang logam yang panjangnya 1 meter dengan suhu 30 C kalau dipanaskan mencapai suhu 100 C akan memanjang menjadi 1 meter lebih 1 cm”. Dan lebih lanjut kemungkinan dapat diperhi- tungkan pertambahan panjang setiap dipanaskan dengan kenaikan suhu 1 C. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara terukur lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami 118 perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari ilmu. Matematika merupakan sarana berpikir deduktif. Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Misalnya, untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga tersebut kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar, maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga yang memotongnya adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa besar sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat. Kedua premis itu kemudian kita terapkan dalam berpikir deduktif untuk menghitung jumlah sudut-sudut dalam sebuah segitiga. Dengan contoh ini, secara deduktif matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis- premis yang tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanya merupakan konsekuensi dari pernya- taan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan dan ketahui sebelumnya.

E. Statistika

Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktua, di mana konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergun- akan pancaindera, maupun dengan mempergunakan alat- alat yang membantu pencaindera tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan- pengetahuan lainnya. Pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau 119 disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak. Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpuan yang bersifat umm dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksudkan itu merupakan sebuah kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umum 10 tahun di tempat itu. Jadi dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak lain penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan mempergunakan deduksi. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan