Orientasi Penyembuhan Pada Pasien Penderita Gangguan Jiwa (Studi Deskriptif Tentang Sistem Penyembuhan Pada Pasien Penderita Gangguan Jiwa Di Panti Rehabilitasi Bukit Doa)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ORI EN T ASI PEN Y EM BU H AN PADA

PASI EN PEN DERI T A GAN GGU AN J I WA

(Studi Deskriptif Tentang Sistem Penyembuhan Pada Pasien Penderita Gangguan

Jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa)

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sosial dalam bidang Antropologi

Oleh :

I M AN U EL K EV I N GI N T I N G 0 6 0 9 0 5 0 4 9

DEPART EM EN AN T ROPOLOGI SOSI AL FAK U LT AS I LM U SOSI AL DAN I LM U POLI T I K

U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA M EDAN


(2)

PERNYATAAN

ORIENTASI PENYEMBUHAN PADA PASIEN PENDERITA GANGGUAN JIWA

(Studi Deskriptif Tentang Sistem Penyembuhan Pada Pasien Penderita Gangguan Jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2011 Penulis


(3)

ABSTRAKSI

Kajian ini berkenaan dengan “Orientasi Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa”. Pengertian “orientasi” dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yang dirawatnya. Untuk mengetahui bagaimana “orientasi” yang dimaksudkan, maka terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan bagaimana proses penyembuhan pada penderita penyakit gangguan jiwa (mulai dari proses diagnosa, etiologi dan pembagian jenis penyakit gangguan jiwa, cara-cara penyembuhannya, serta kategori sehat bagi pasien), visi misi panti dan prinsip-prinsip pengobatan. Selain itu penulis juga mendeskripsikan pemahaman keluarga pasien mengenai penyakit gangguan jiwa; motivasi keluarga pasien; serta peranan dan tanggung jawab keluarga pasien selama proses penyembuhan.

Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji “orientasi” dari sistem penyembuhan pada pasien penderita gangguan jiwa adalah berbentuk kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif untuk melihat bagaimana sistem medis dan aplikasinya terhadap pasien. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dengan mengamati cara-cara penyembuhan pada pasien serta keseharian/kegiatan-kegiatan si pasien. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dan sambil lalu terhadap para informan yaitu para staff dan keluarga pasien sendiri. Data yang terkumpul akan dianalisa secara kualitatif serta dikelompokkan sesuai dengan item-item masalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis penyakit gangguan jiwa ada dua jenis yaitu jenis penyakit gangguan jiwa stress (faktor penyebab yang berasal dari luar individu) dan jenis penyakit gangguan jiwa saraf (faktor penyebab berasal dari dalam individu). Cara-cara penyembuhan pada penderita jenis penyakit gangguan jiwa stress ada tiga langkah yaitu terapi mental, terapi sosial dan terapi rohani. Penyembuhan pada penderita jenis penyakit gangguan jiwa saraf ada empat langkah yaitu: memberikan obat perangsang saraf, terapi mental, memberikan suatu kesibukkan atau tugas serta terapi rohani. Prinsip-prinsip penyembuhan pada penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa adalah keyakinan memasrahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta dipantangkan untuk menggabungkan pengobatan di panti dengan pengobatan lain yang terdapat unsur mistis atau praktek paranormal atau perdukunan kecuali secara medis. Cara-cara penyembuhan terhadap pasien penderita penyakit gangguan jiwa yaitu melalui terapi-terapi yang didominasi oleh terapi yang sifatnya didasari oleh kegiatan kereligiusan (Agama Kristen Protestan) dimana dalam proses pelaksanaannya mengharuskan pasien maupun keluarganya untuk terlibat didalamnya.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah orientasi (pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan) segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yaitu cenderung mengantarkan pelaku-pelaku yang terlibat selama proses penyembuhan (pasien, keluarganya, Pembina) kepada pendekatan diri terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa serta kepada ketaatan terhadap suatu Religi/Agamanya.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, anugerah dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Orientasi Penyembuhan Pada Pasien Penderita

Gangguan Jiwa”.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak, diantaranya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU. Bapak Drs. Agustrisno, MSP, sebagai Sekertaris Jurusan dan juga selaku Dosen Pembimbing penulis, yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan telah memberikan bekal ilmu yang sangat berharga bagi penulis.

Bapak Drs. Irfan Simatupang, M.Si, selaku ketua penguji pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. Bapak Dr. R Hamdani Harahap, M.Si, sebagai dosen penguji pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. Ibu Dra. Sri Alem Sembiring, M.Si., selaku Dosen wali/penasihat akademik penulis atas bantuannya dalam proses perkuliahan dan administrasi akademik. Seluruh dosen-dosen dan Pegawai di Departemen Antropologi, yang telah mendidik dan mengajar penulis selama proses perkuliahan.


(5)

Bapak Pdt. Johnny Seragih, S.Th, selaku Pimpinan Yayasan Rehabilitasi Bukit Doa/Taman Getsemany dan Pimpinan Panti Rehabilitasi Bukit Doa yang telah memberikan segala fasilitas selama penelitian di lapangan. Bapak Pdt. Andreass Pandia, sebagai Koordinator Panti yang telah banyak memberikan data-data selama proses penelitian. Demikian juga kepada seluruh Staff yang bertugas di Panti Rehabilitasi Bukit Doa serta kepada seluruh Keluarga pasien yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Tanpa mereka semua proses penelitian ini tidak akan berjalan dan skripsi ini tidak akan terwujud.

Terkhusus untuk Sang Kekasih penulis, Ervinna Mayasari Pinem (Mahasiswa Antropolgi stambuk 2008) yang telah memberikan cinta, kasih sayang, perhatian, motivasi, semangat dan waktu kepada penulis selama ini. Tanpa dirimu abang tidak akan bisa seperti sekarang ini. Teman-teman Komunitas Rumah Pohon Underground (RPU): “Cheng Jun” (Arnovandala Tampubolon), “ Aa Toto”( Noprianto A Tarigan S.Sos), “ Mpok Ati” (Ruli Hartati Tumanggor), “ Lemot” (Helena Damanik S.Sos), “ Santut” (Heksanta Bangun), “ Bang Preman” (Hemalea Ginting), Celsea (Carles DS Gultom), “Ayes” (Alessandro Turnip S.Sos), “Josi” (Joseph Silalahi S.Sos), “Fefeb” (Feber R Sihotang), “Bembeng” (Bambang Napitupulu). Akhirnya bertambah satu lagi anak RPU yang telah mendapat gelar sarjana yang bernama ”Cak Ipin” alias Imanuel Kevin Ginting (penulis).

Teman-teman di “Kede Kila”: “Keong” (Hiskia AP Sagala S.Sos), “Belanda” (Hariman Silalahi S.Sos), “Bobo” (Rambo Fernandes Sitio), Hendra Sitinjak, dan Look Sun. Sahabat-sahabat penulis lainnya: “Iyos” (Yosafat


(6)

Kacaribu) yang telah membantu menemani penulis melakukan penelitian di lapangan, Bang Sihar Simamora dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Rekan-rekan seluruh mahasiswa Antropologi FISIP-USU, khususnya rekan-rekan seperjuangan penulis stambuk 2006: Deni Nitra Silaen, Firman, Wilfrid /” Sugeng”, Nanta/”Onta”, Riki, Oemar, Fadli, Hendra Gunadi, Elmanuala Pasaribu /”Ucil”, Badai, Eny, Gaby, Erika dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Serta untuk adik-adik junior Sari Manurung 08, Marda 08, Berty 08, Maria Silalahi 08, Harni 08, Dea 08, Helen Lucen 08, Taupik Azhari 08, Rini Gilina Sinulingga 10, Junita Riana Manalu 10, dan rekan-rekan lainnya di INSAN Antropologi FISIP-USU. Teman-teman di UKM EBPAR FISIP-USU, SGC (Study Group of Culture), dan IMKA (Ikatan Mahasiswa Karo) ERGUANINTA FISIP-USU. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi.

Teristimewa buat kedua Orangtuaku yang kucintai, Ayahanda: Naser Herison Ginting Bsc.Teks dan Ibunda: Farida Iriani Bsc.Teks, terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan, cinta kasih yang tulus dalam membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang.

Untuk kedua saudaraku, Abangda Ansah Wijaya Ginting SE alias “Aan /Acul /Aca /De_Mes /Bhotaks /Wijaya” dan Kakanda: Jayanti Putri Ginting S.Sos, alias Putri, Terima kasih atas dukungan dan doa , materi, serta dorongan yang diberikan kepada penulis.


(7)

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2011 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Imanuel Kevin Ginting, lahir pada tanggal 7 April 1989 di Cimahi, Jawa Barat. Beragama Kristen Protestan, anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda bernama Naser Herison Ginting dan Ibunda bernama Farida Iriani.

Riwayat pendidikan formal penulis: TK Parikesit, Cimahi, Jawa Barat (1993); SD Budi Murni 2, Medan (1994-2000); SMP Negri 1, Medan (2000-2003); SMU Pencawan, Medan (2003-2006); Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara (2006-2011).

Pengalaman berorganisasi penulis diantaranya pernah menjadi anggota GMNI FISIP, USU (2006); anggota SGC (Study Group of Culture) Antropologi (2007-2009); Koord.Seksi Dana Gendang Guro-guro Aron IMKA ERGUANINTA ,FISIP, USU (2009). Ketua UKM EBPAR (Etnis Budaya dan Pariwisata) FISIP, USU (2010-2011).


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka memenuhi persyaratan tersebut penulis telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “ Orientasi Penyembuhan Pada

Pasien Penderita Gangguan Jiwa ”

Berangkat dari masalah semakin banyaknya model-model pengobatan/pemulihan pada pasien penderita gangguan jiwa membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti hal apakah yang menarik dari model pengobatan yang satu dengan model pengobatan lainnya sehingga banyak bagian masyarakat lebih memilih model pengobatan yang satu dari pada model pengobatan lainnya.

Dalam skripsi ini penulis mendeskrpisikan apa yang menarik dari model pengobatan pada pasien penderita gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa ,sehingga membuat banyak bagian dari masyarakat tertarik untuk memilih metode pengobatan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa untuk memulihkan si penderita dari penyakit gangguan jiwa.

Dengan demikian skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang suatu model pengobatan dan arah kecenderungannya yang membuat masyarakat tertarik untuk memilihnya. Selain bisa mengambil manfaat dari unsur-unsur pengobatan yang terdapat didalamnya, penelitian ini bisa menjadi masukan bagi sistem pengobatan lainnya sehingga bisa saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Sehingga perawatan dan pengobatan


(10)

terhadap para penderita penyakit gangguan jiwa bisa lebih baik dan lebih ditingkatkan.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skrpisi ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman penulis. Penulis, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Februari, 2011 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAKSI ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Masalah dan Latar Belakang ... 1

1.2. Tinjauan Pustaka ... 7

1.3. Perumusan Masalah ... 15

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 16

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17

1.6. Metode Penelitian ... 18

1.6.1. Sifat Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 18

1.6.2. Teknik Analisa Data ... 22

1.7. Lokasi Penelitian ... 23

BAB II. KEBERADAAN PANTI REHABILITASI BUKIT DOA 2.1. Sejarah Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 24

2.2. Lokasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 28


(12)

2.4. Struktur Organisasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa... 34

2.5. Pembagian Tugas Para Staff Panti ... 37

2.6. Keadaan Pasien Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 40

BAB III. SISTEM MEDIS DI PANTI REHABILITASI BUKIT DOA 3.1. Visi dan Misi Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 44

3.2. Proses Diagnosa oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 47

3.3. Etiologi Penyakit Gangguan Jiwa Menurut Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 57

3.4. Proses Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 61

3.4.1. Penyembuhan pada Pasien yang Mengalami Jenis Penyakit Gangguan Jiwa Stress ... 61

3.4.2. Penyembuhan pada Pasien yang Mengalami Jenis Penyakit Gangguan Jiwa Saraf... 66

3.5. Kategori Sehat Bagi Seorang Pasien ... 73

3.6. Prinsip-prinsip Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa... 80

3.7. Kegiatan Rutin Sehari-hari Pasien ... 82

3.8. Etiologi Penyakit Gangguan Jiwa Menurut Keluarga Pasien ... 84

3.9. Motivasi Keluarga Pasien Memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 87

3.10. Peranan dan Tanggung Jawab Keluarga Pasien Selama Proses Penyembuhan ... 92

BAB IV. ORIENTASI PANTI REHABILITASI BUKIT DOA 4.1. Orientasi Tujuan Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 94

4.2. Orientasi Sistem Medis di Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 95 4.3. Pemahaman Keluarga Pasien Mengenai Penyebab Penyakit


(13)

Doa ... 100 4.4. Orientasi Prinsip-prinsip Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 106 4.5. Orientasi Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 108

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 111 5.2. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara (Interview Guide) 2. Peta Lokasi Penelitian

3. Denah Lokasi Penelitian 4. Surat Penelitian

5. Daftar Nama-nama Informan 6. Gambar-gambar Lokasi Penelitian


(14)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Data Petugas Panti Rehabilitasi Bukit Doa ... 34

2. Tabel 2. Data Pasien Menurut Penyebab Jadi Korban ... 40

3. Tabel 3. Data Pasien Menurut Asal Daerah ... 41

4. Tabel 4. Data Pasien Berdasarkan Etnis ... 42

5. Tabel 5. Data Pasien Berdasarkan Agama ... 42

6. Tabel 6. Data Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin ... 43

7. Tabel 7. Data Pasien Berdasarkan Riwayat Perawatan Sebelumnya ... 43

8. Tabel 8. Perbandingan Konsep Penyakit Gangguan Jiwa antara G.M.Foster & Anderson, Panti Rehabilitasi Bukit Doa dan Keluarga Pasien (Masyarakat) ... 110


(15)

ABSTRAKSI

Kajian ini berkenaan dengan “Orientasi Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa”. Pengertian “orientasi” dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yang dirawatnya. Untuk mengetahui bagaimana “orientasi” yang dimaksudkan, maka terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan bagaimana proses penyembuhan pada penderita penyakit gangguan jiwa (mulai dari proses diagnosa, etiologi dan pembagian jenis penyakit gangguan jiwa, cara-cara penyembuhannya, serta kategori sehat bagi pasien), visi misi panti dan prinsip-prinsip pengobatan. Selain itu penulis juga mendeskripsikan pemahaman keluarga pasien mengenai penyakit gangguan jiwa; motivasi keluarga pasien; serta peranan dan tanggung jawab keluarga pasien selama proses penyembuhan.

Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji “orientasi” dari sistem penyembuhan pada pasien penderita gangguan jiwa adalah berbentuk kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif untuk melihat bagaimana sistem medis dan aplikasinya terhadap pasien. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dengan mengamati cara-cara penyembuhan pada pasien serta keseharian/kegiatan-kegiatan si pasien. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dan sambil lalu terhadap para informan yaitu para staff dan keluarga pasien sendiri. Data yang terkumpul akan dianalisa secara kualitatif serta dikelompokkan sesuai dengan item-item masalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis penyakit gangguan jiwa ada dua jenis yaitu jenis penyakit gangguan jiwa stress (faktor penyebab yang berasal dari luar individu) dan jenis penyakit gangguan jiwa saraf (faktor penyebab berasal dari dalam individu). Cara-cara penyembuhan pada penderita jenis penyakit gangguan jiwa stress ada tiga langkah yaitu terapi mental, terapi sosial dan terapi rohani. Penyembuhan pada penderita jenis penyakit gangguan jiwa saraf ada empat langkah yaitu: memberikan obat perangsang saraf, terapi mental, memberikan suatu kesibukkan atau tugas serta terapi rohani. Prinsip-prinsip penyembuhan pada penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa adalah keyakinan memasrahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta dipantangkan untuk menggabungkan pengobatan di panti dengan pengobatan lain yang terdapat unsur mistis atau praktek paranormal atau perdukunan kecuali secara medis. Cara-cara penyembuhan terhadap pasien penderita penyakit gangguan jiwa yaitu melalui terapi-terapi yang didominasi oleh terapi yang sifatnya didasari oleh kegiatan kereligiusan (Agama Kristen Protestan) dimana dalam proses pelaksanaannya mengharuskan pasien maupun keluarganya untuk terlibat didalamnya.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah orientasi (pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan) segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yaitu cenderung mengantarkan pelaku-pelaku yang terlibat selama proses penyembuhan (pasien, keluarganya, Pembina) kepada pendekatan diri terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa serta kepada ketaatan terhadap suatu Religi/Agamanya.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Masalah dan Latar Belakang

Masalah kejiwaan itu begitu luas, kompleks, mengandung banyak misteri dan hal-hal yang menarik sehingga selalu saja menantang manusia untuk mengadakan study intensif terhadapnya. Luas dan kompleksitasnya tidak hanya disebabkan oleh tidak mampunya orang mengkuantifisir gejala-gejala kejiwaan yang misterius itu , akan tetapi oleh sebab faktor-faktor penyebabnya bersifat multifaktor sehingga gejala-gejalanya juga bisa didekati dari berbagai macam perspektif.

Berdasarkan hal tersebut berarti termasuk disiplin ilmu Antropologi juga bisa menyajikan wawasan yang khas mengenai gejala kejiwaan manusia yang dalam istilah Antropologinya adalah “Etnopsikiatri”. Etnopsikiatri meninjau penyakit jiwa berangkat dari hal tentang bagaimana masyarakat tradisional memandang dan menangani penyakit jiwa. (Foster & Anderson, 2005)

Penyakit gangguan jiwa menurut ilmu kedokteran pada intinya hampir tidak pernah disebabkan oleh satu kausa /penyebab yang tunggal; akan tetapi selalu disebabkan oleh satu rentetan kompleks faktor penyebab yang saling mempengaruhi dan terjalin satu sama lain. Penyebab gangguan kejiwaan pada seseorang tersebut bersifat multifaktor, yaitu disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu faktor organis atau somatic, faktor psikis dan struktur kepribadian dan faktor lingkungan sosial dan budaya. Ketiga faktor tersebut bekerja dan beroperasi


(17)

secara stimultan bersamaan. Penyebab penyakit jiwa atau gangguan psikis (Gangguan Skizofrenia) bersifat multifaktor, maka penanganannya pun harus melewati diagnostic yang multikasual (Kartini Kartono ,2002:41).

Masalah gangguan jiwa menurut UU No.3-1996 adalah tugas pemerintah untuk melakukan upaya-upaya kuratif dan prefentif diantaranya pemerintah melalui Departemen Kesehatannya dengan mendirikan rumah-rumah sakit atau pusat-pusat rehabilitasi. Adapun fungsi rumah sakit jiwa itu meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. melindungi para pasien terhadap segala kemungkinan yang merusakkan diri mereka sendiri, rumah tempat tinggal mereka, pekerjaan mereka dll nya.

2. memudahkan keberadaan para pasien dengan memberi mereka perlindungan terhadap faktor-faktor lingkungan yang memicu dan mempererat hubungan mereka.

3. menyediakan perhatian yang mendukung, hubungan perseorangan, dan kesempatan-kesempatan pengungkapan diri.

Dalam rangka mempermudah penyembuhan dan pemulihan kesakitan mental pasien yang mengalami gangguan jiwa, maka fungsi rumah sakit jiwa atau panti-panti Rehabilitasi disini harus bisa menjadi sebuah lingkungan yang berpengaruh yaitu aman, dapat melindungi, melayani, memberi perhatian, pemeliharaan dan pembinaan kepada pasien penderita sakit jiwa sampai mencapai tingkat pulih dan dapat melakukan kembali fungsi sosialnya dimasyarakat.


(18)

Secara sederhana pengertian rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan yang semula atau yang sebagaimana mestinya. Menurut Jenny Marlindawani Purba.dkk(2008:9), Rehabilitasi /pemulihan adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar para penderita (gangguan jiwa) dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya adalah pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Banyak bagian masyarakat di Indonesia yang masih mengira bahwa penyakit “gila” ini selalu berkaitan dengan hal-hal gaib atau mistis, kerasukan setan, penyakit akibat ilmu sihir/santet, kutukan dan lain sebagainya. Gangguan-gangguan psikis (kejiwaan) bermacam-macam jenis dan tingkat kronisnya, dalam bahasa psikologisnya dikenal dengan nama “psikosis/ psikosa”, namun oleh masyarakat umumnya memandang penyakit gangguan jiwa mengacu hanya pada satu patokan yang disebut dengan istilah “gila” jika si penderita sudah berada pada tingkat yang kronis. Masyarakat biasanya beranggapan penderita yang sudah mengalami tingkat gangguan jiwa yang kronik mestinya dirawat di rumah sakit jiwa atau panti-panti rehabilitasi yang mengurus para penderita penyakit jiwa kronik. Karena jika penderita dibiarkan bebas hidup ditengah-tengah masyarakat dikhawatirkan akan mengganggu keamanan masyarakat sekitar.

Oleh karena hal itu, rumah sakit jiwa atau panti-panti rehabilitasi dibangun sebagai tempat yang mampu menampung dan memulihkan para penderita gangguan jiwa tersebut. Saat ini banyak berdiri panti-panti rehabilitasi untuk


(19)

membantu pemerintah menangani permasalahan ini serta membantu rumah sakit jiwa milik pemerintah yang over kapasitas. Panti-panti rehabilitasi ini terdiri dari bermacam-macam latar belakang, sebagian ada berdiri atas biaya dari pemerintah namun ada juga yang berdiri atas biaya swasta ataupun oleh yayasan sosial atau agama tertentu.. Salah satunya adalah “Panti Rehabilitasi Bukit Doa” yang berdiri atas nama sebuah Yayasan Bukit Doa / Taman Getsemany terletak di Jl.Tuntungan Golf, No:120, Desa Durin Jangak, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.

Berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan beberapa para petugas panti serta melihat data arsip panti, Panti Rehabilitasi Bukit Doa berdiri sejak Januari tahun 1983. Panti Rehabilitasi Bukit Doa mengemban tugas untuk melayani dan membina orang-orang yang terkena penyakit jiwa (gila) dengan berbagai latar belakang mulai dari akibat ketergantungan narkoba, stress akibat berbagai masalah pribadi pasien, serta akibat yang dalam keyakinan masyarakat karena kutukan atau penyakit karena ilmu sihir/santet. Memiliki jumlah pasien 75 orang, Panti Rehabilitasi Bukit Doa berfungsi sebagai tempat untuk melindungi, memperhatikan, memelihara, mengobati dan sebagai tempat pembelajaran pasien penderita gangguan jiwa agar bisa diterima kembali dimasyarakat kelak jika si pasien sudah pulih.

Para pasien yang ada dipanti tersebut berasal dari berbagai daerah asal, yaitu dari Kota Medan, Siantar, Dairi, Tanah Karo, Jambi, Jakarta serta sedikit dari penduduk di sekitar tempat Panti tersebut berdomisili. Awalnya para pasien yang dirawat merupakan sanak saudara, kerabat atau anggota keluarga dari salah


(20)

satu anggota jemaat Gereja Bukit Doa, namun perkembangannya kini dari mulut kemulut sehingga kebanyakan pasien yang dirawat kini bukan hanya sanak saudara, kerabat atau anggota keluarga dari salah satu anggota jemaat Gereja Bukit Doa saja. Hari kunjungan keluarga untuk melihat perkembangan pasien , ditentukan setiap hari Jumat.

Beberapa dari pasien yang dirawat di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebelumnya pernah masuk ke Rumah Sakit Jiwa di berbagai daerahnya masing-masing, beberapa diantaranya juga pernah dirawat dirumahnya masing-masing dengan penyembuhan tradisional . Namun pada akhirnya, pihak keluarga si pasien sendirilah dengan alasan lelah dengan pengobatan di Rumah Sakit Jiwa atau dengan penyembuhan tradisional yang tak kunjung sembuh, maka mereka memutuskan untuk memindahkan si pasien dari perawatan rumah sakit jiwa atau di rumah masing-masing dengan penyembuhan tradisional beralih ke Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Sebagian lagi para keluarga pasien memang langsung menjadikan sebagai pilihan utama tempat yang diyakini sebagai tempat penyembuhan yang paling bagus dalam merawat pasien penderita gangguan jiwa (Berdasarkan hasil wawancara awal dengan para petugas panti dan dengan beberapa anggota keluarga pasien).

Merujuk dari fakta tersebut, timbulah pertanyaan mengapa masyarakat (keluarga dari pasien) lebih memilih pengobatan alternatif (dalam penelitian ini yaitu Panti Rehabilitasi Bukit Doa) sebagai tempat untuk menyembuhkan si penderita penyakit gangguan jiwa ketimbang membawa si penderita ke Rumah


(21)

Sakit Jiwa dengan pengobatan secara medis; atau ke psikiater dengan pengobatan secara ilmu psikiatris; atau juga pengobatan-pengobatan tradisional lainnya

Berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan pihak panti, Panti Rehabilitasi Bukit Doa dalam proses penyembuhannya tidak menggunakan tenaga-tenaga dari disiplin ilmu psikiatri (kejiwaan) walaupun ada kerja sama dengan pihak Rumah Sakit Jiwa untuk memberikan resep dan obat penennag dan obat saraf kepada pasien tertentu. Beberapa staff petugas panti yang berjumlah 11 orang hanya memiliki latar belakang pendidikan teologi Kristen dan Sarjana Ekonomi dan lainnya ada yang tamatan SMU Sederajat dan SLTP sedangkan pimpinan utama panti tersebut adalah seorang pendeta senior Gereja Bukit Doa (Wawancara awal dengan pihak panti).

Berdasarkan hal tersebut, lalu timbullah pertanyaan bagaimana cara-cara penyembuhan pasien penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Cara-cara penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa tentulah memilki arah/kecenderungan tersendiri dibandingkan dengan pengobatan-pengobatan penyakit gangguan jiwa lainnya seperti di Rumah Sakit Jiwa atau pengobatan tradisional lainnya.

Merujuk pada uraian diatas, penulis menyebut arah atau kecenderungan proses penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai “Orientasi Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari orientasi adalah suatu pandangan yang mendasari pikiran, perhatian dan kecenderungan mengenai sesuatu hal dan mengarah pada suatu tujuan ; suatu peninjauan/dasar untuk


(22)

menentukan sikap (arah, tempat, kiblat dan sebagainya) yang tepat dan benar untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Kang Mas Juqi dalam Blog nya di Worldpress.com, mendefenisikan “orientasi” sebagai suatu “kompas” atau arah proses yang dijalani seseorang pada suatu aspek kehidupan tertentu dalam hidupnya. Definisinya hampir sama dengan definisi visi, namun sebagai sedikit penggambaran, bahwa orientasi adalah “visi mini” yang menjadi pedoman untuk menggapai sebuah visi yang sebenarnya. Visi biasanya dikaitkan dengan misi-misi. Suatu misi bersifat lebih real jika dibandingkan dengan sebuah orientasi. Ketika sebuah misi mendefinisikan langkah-langkah real yang dilakukan untuk mencapai sebuah visi ataupun berupa target-target kecil yang menjadi parameter tarcapainya visi, maka bisa dikatakan orientasi adalah aturan-aturan yang mengatur agar misi-misi yang dibuat tidak keluar dari visi yang juga telah dibuat (Kang Mas Juqi, 2008).

Pengertian “Orientasi” dalam penelitian ini berarti bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya.

1.2 Tinjauan Pustaka

Dari sudut pandang Antropologi, seperti menurut Foster & Anderson (2005: 99-100) Perhatian awal dari ahli antropologi terhadap penyakit mental mulanya sangatlah jauh dari bidang etnomedicine. Awal perhatiannya mulai dari pemahaman atas hubungan antara kepribadian (faktor psikis) dengan


(23)

kekuatan-kekuatan budaya yang berpengaruh dan membentuk kepribadian walaupun dalam perjalanan selanjutnya mengalami kemajuan.

Faktor keturunan (organis), faktor fisiologis (psikis), dan faktor psikososial-budaya, semua menjalankan peranan dalam menjelaskan timbulnya penyakit jiwa. Tujuan dari penelitian antropologi bukanlah untuk menegakkan dominasi dari satu kausa penyebab, tetapi untuk mempelajari hubungannya antara faktor-faktor tersebut yang saling berkaitan (Foster & Anderson, 2005 : 120). Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan dari sudut pandang psikologi dan kesehatan yang menurut Kartini Kartono (2002:27), gangguan-gangguan psikis (kejiwaan) pada intinya hampir tidak pernah disebabkan oleh satu kausa /penyebab yang tunggal; akan tetapi selalu disebabkan oleh satu rentetan kompleks faktor penyebab yang saling mempengaruhi dan terjalin satu sama lain. Sebab musabab gangguan kejiwaan pada seseorang tersebut bersifat multifaktor, yaitu disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu pertama faktor organis atau somatic; kedua, faktor psikis atau struktur kepribadian; dan terakhir yaitu faktor lingkungan sosial dan budaya. Oleh karena penyebab gangguan jiwa yang multifaktor, maka penanganannya dan penyembuhannya pun harus melewati diagnostik yang multikasual oleh ahli kesehatan sesuai dengan penyebabnya (2002:41).

Lebih lanjut, Kartini Kartono menjelaskan detailnya faktor-faktor organis atau somatic misalnya terdapat kerusakan pada otak yang disebabkan oleh faktor genetic, virus, dan luka-luka, gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya dan seterusnya yang bersifat organis. Faktor-faktor psikis atau


(24)

kepribadian misalnya perasaan sedih/duka, depresi/stress, perasaan harga diri yang rendah bisa mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan dersintegrasi kepribadian. Faktor-faktor sosio-cultural misalnya sebagai akibat arus modernisasi dan industrialisasi, ketidakmampuan diri dalam beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat membuat seseorang menderita bermacam-macam gangguan psikis (Kartono, 2002 : 31).

Defenisi penyakit jiwa menurut seorang ahli psikologi, (Abu Ahmadi dalam Jonathan 1997:41) mengatakan bahwa penyakit jiwa (Gangguan Skizofrenia) adalah penyakit yang dapat menyebabkan seseorang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap setiap lingkungan dengan cukup baik, terhadap hal-hal yang baik, tidak dapat memperlihatkan emosi yang stabil, tidak mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri untuk melakukan perbuatan dan prestasi sesuai dengan tingkat perkembangan.

Helman 1984 : 41 (dalam Sembiring, 1999) mengungkapkan hal mengenai bidang kajian Antropologi dan lebih menekankan bahwa ahli Antropologi lebih tertarik pada bagaimana faktor-faktor kebudayaan mempengaruhi persepsi dan tingkah laku, isi dari halusinasinya atau delusinasinya atau pandangan-pandangan dari si pasien, Antropologi Psikiatri atau psikiatri cultural yang melihat dari segi sosial dan lingkungan memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi : kajian nilai-nilai, pandangan-pandangan, falsafah-falsafah, keyakinan, tahyul yang mendorong timbulnya gangguan jiwa dengan melihat tingkat berat budaya (tuntutan budaya apa yang tidak tertanggulangi sehingga seseorang bisa sakit jiwa).


(25)

Menurut Foster & Anderson (2005:100) ada beberapa perhatian khusus yang ditangani oleh para ahli antropologi seperti berikut :

1. Defenisi budaya tentang “normal” dan “abnormal” serta bagaimana penyakit jiwa diakui dan didefenisikan dalam masyarakat lain diluar masyarakat modern.

2. Penjelasan non-modern tentang penyakit jiwa

3. Cara-cara dari segi budaya untuk menangani tingkah laku menyimpang yang didefenisikan sebagai abnormal.

4. Terjadinya penyakit jiwa dalam masyarakat-masyarakat dengan kompleksitas yang berbeda.

5. Demografi penyakit jiwa, yang meliputi : frekuensi, sebab-sebab, dan kondisi-kondisi pencetusnya.

Cara-cara budaya dalam menangani penyakit jiwa juga bervariasi, walaupun banyak bentuk tingkah laku menyimpang nampaknya bersifat universal, cara-cara untuk menanganinya, nilai-nilai sosial yang diberikan kepada tingkah laku menyimpang, dan cara-cara pengobatannya sangat bervariasi (Foster & Anderson, 2005 : 106).

Tindakan-tindakan penyembuhan berkaitan erat dengan ide-ide tentang sebab penyebab sakit dan bentuk-bentuk penggolongan penyakit (Kleinman, 1968 : 208-209). Setiap sistem kesehatan menggunakan suatu model penjelasan yang mungkin berbeda dari model yang digunakan oleh sistem-sistem yang lain (Kleinman, 1968:209).


(26)

G.M.Foster dan Anderson (2005 : 53) membagi sistem kesehatan berdasarkan kepercayaan dan penjelasan tentang sebab-sebab penyakit atas : 1). Sistem kesehatan personalistik; dan 2). Sistem kesehatan naturalistik.

Dalam sistem kesehatan personalistik, penyakit disebabkan akibat adanya campur tangan dari agen-agen tertentu yang memiliki pribadi : seperti roh-roh gaib, tukang tenun, kutukan dewa, dan lain-lain. Dalam sistem kesehatan Naturalistik Penyakit dianggap terjadi akibat dari adanya gangguan keseimbangan didalam tubuh manusia atau antara tubuh manusia dengan lingkungannya. seperti adanya penyakit panas dan dingin dalam sistem kesehatan Jawa (Kalangie, 1980 : 62-79). Sistem kesehatan personalistik menurut mereka cenderung dimiliki oleh masyarakat-masyarakat bersahaja : kelompok-kelompok manusia yang masih berburu dan meramu misalnya.

Sistem kesehatan Naturalistik cenderung dimiliki oleh masyarakat-masyarakat perkotaan dengan kebudayaan yang lebih maju. Dalam hal ini masyarakat pedesaan berada ditengah-tengah antara personalistik dan naturalistik. Proses penyembuhan pada sistem kesehatan personalistik cenderung dilakukan secara ritual yang bersifat ketuhanan atau gaib, sedangkan dalam sistem kesehatan naturalistik cenderung menggunakan ramuan obat-obatan.

Beberapa ahli antropologi tidak setuju dengan pembagian bentuk diatas (J.D Frank, 1964 : vii) misalnya, walaupun dia juga membagi kepercayaan tentang sebab penyebab penyakit atas dasar naturalistik (alamiah) dan supernalistik (supra alamiah), akan tetapi dia tidak membagi sistem kesehatan atas dasar tersebut.


(27)

Menurutnya kedua kepercayaan ini dapat berlaku sekaligus secara bervariasi didalam suatu sistem kesehatan tertentu.

Etiologi penyakit yang ada di masyarakat mendorong kesatuan hubungan antara keadaan fisik dengan keadaan emosional seseorang. Serupa halnya, bila penyakit fisik merupakan hasil dari hilangnya keseimbangan tubuh, maka dalam penyakit jiwa merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara tubuh, pikiran dan sifat, maka perlu ada pemulihan kembali antara unsur-unsur tersebut (Foster & Anderson, 2005 : 97).

Sebagian besar masyarakat di Indonesia, walaupun telah menerima masuknya sistem kesehatan modern yang telah tersedia dengan segala fasilitas yang lengkap, tetapi masih tetap mengkaitkan suatu penyakit dengan hal-hal ketuhanan atau gaib, Sehingga banyak masyarakat yang menyimpulkan bahwa penyembuhan yang baik adalah dengan penyembuhan yang juga berkaitan dengan hal-hal gaib dan ketuhanan (Job Purba, 1989 :11). Begitu jugalah sama halnya masyarakat di Indonesia memandang dan memahami penyakit gangguan jiwa yang biasanya disebut dengan istilah “gila” selalu berkaitan dengan hal-hal gaib dan ketuhanan. Banyak bagian masyarakat di Indonesia yang masih mengira bahwa penyakit “gila” ini selalu berkaitan dengan hal-hal gaib atau mistis, kerasukan setan, penyakit akibat ilmu sihir/santet, kutukan dan lain sebagainya. Sama hal nya kepercayaan terhadap penyakit-penyakit fisik, penyembuhan yang baik adalah yang penyembuhan yang berkaitan dengan hal-hal gaib dan ketuhanan.


(28)

Dalam penelitian Juara R. Ginting (1986) mengenai “ Pandangan tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya Secara Tradisional pada Masyarakat Karo”. Orang Karo menyebut semua jenis gangguan jiwa adalah “Mehado”. Mehado memperlihatkan berbagai gejala tingkah laku menyimpang seperti halnya orang-orang yang mengamuk dijalanan, berjalan tanpa pakaian dan lain sebagainya. Bagi masyarakat Karo penentuan seseorang sebagai penderita gangguan jiwa dilakukan setelah adanya pernyataan dari seorang penyembuh seperti seorang dukun atau dokter. Penyebab penyakit jiwa pada masyarakat ini adalah karena gangguan alamiah, gangguan roh-roh gaib, dan akibat tindakan masa lalu. Pada kepercayaan orang Karo, gangguan jiwa digolongkan sebagai bagian dari “Liah” (kesialan) yang dapat terjadi akibat tidak adanya “pasu-pasu” (berkat Tuhan).

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Frazer (Dalam Koentjaraningrat, 1980:275) , mengatakan bahwa kalau manusia dalam hidupnya tak dapat mencapai keinginannya, atau maksud dan tujuannya, karena ia sampai kepada batas kemampuan sistem pengetahuannya atau ilmu pengetahuannya itu tadi, maka ia sering akan mencari usaha lain untuk mencapai kehendaknya, ia sering akan lari ke religi atau agama, dan mendoa kepada ruh-ruh, dewa-dewa atau Tuhan untuk mendapat apa yang diingininya itu.

William A. Haviland (1988:193) mengatakan bahwa Agama atau Religi dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk


(29)

mengatasi keterbatasan itu orang berpaling kepada manipulasi makhluk dan kekuatan supranatural.

Dalam hal ini termasuk masalah-masalah kesehatan seperti kesehatan jiwa yang tidak dapat disembuhkan secara total oleh pengobatan modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti di rumah sakit jiwa sehingga banyak orang berpaling kepada pengobatan alternative yang berkaitan dengan religi atau agama. Dalam penelitian ini, penulis melihat banyak para kerabat atau keluarga yang membawa pasien penderita penyakit jiwa ini yang pada awalnya sudah lelah pengobatan dengan ilmu pengetahuan di rumah sakit jiwa, beralih ke panti rehabilitasi yang berdiri atas nama agama yaitu di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. (berdasarkan hasil wawancara awal dengan keluarga salah satu pasien).

Penelitian ini mengambil tema tentang “Orientasi Penyembuhan yang dilakukan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa”, oleh sebabnya perlu diketahui defenisinya secara terperinci. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari orientasi adalah suatu pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan mengenai sesuatu hal dan mengarah pada suatu tujuan ; suatu peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, kiblat dan sebagainya) yang tepat dan benar untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Kang Mas Juqi (dalam Blog nya di Worldpress.com), mendefenisikan Orientasi sebagai suatu “kompas” proses yang dijalani seseorang pada suatu aspek kehidupan tertentu dalam hidupnya. Definisinya hampir sama dengan definisi visi yaitu niat, pandangan ke depan, ataupun suatu goal tertentu yang hendak dicapai seseorang, namun sebagai sedikit perbedaannya bahwa


(30)

Orientasi adalah “visi mini” yang menjadi pedoman untuk menggapai sebuah visi yang sebenarnya. Visi biasanya dikaitkan dengan misi-misi. Suatu misi bersifat lebih real jika dibandingkan dengan sebuah Orientasi. Ketika sebuah misi mendefinisikan langkah-langkah real yang dilakukan untuk mencapai sebuah visi ataupun berupa target-target kecil yang menjadi parameter tarcapainya visi, maka bisa dikatakan Orientasi adalah aturan-aturan yang mengatur agar misi-misi yang dibuat tidak keluar dari visi yang juga telah dibuat (Kang Mas Juqi, 2008).

Pengertian “orientasi” dalam penelitian ini berarti bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yang dirawatnya.

1.3 Perumusan Masalah

Dari uraian yang dipaparkan dalam latar belakang , maka permasalahan yang ingin saya teliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses penyembuhan pada pasien penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa?

2. Bagaimana “orientasi” penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, yaitu suatu kajian mengenai bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya?


(31)

3. Hal-hal apa saja yang memotivasi para keluarga dari pasien yang menderita penyakit gangguan jiwa lebih memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat penyembuhan bagi pasien?

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat deskripsi secara keseluruhan mengenai orientasi penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Pengertian “Orientasi” dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yang dirawatnya.

Untuk mengetahui bagaimana “orientasi” yang dimaksudkan, maka terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan bagaimana proses penyembuhan pada penderita penyakit gangguan jiwa (meliputi mulai dari proses diagnosa, etiologi dan pembagian jenis penyakit gangguan jiwa, cara-cara penyembuhannya, serta kategori sehat bagi pasien), selain itu juga akan dideskripsikan tentang visi dan misi panti serta prinsip-prinsip pengobatan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa.

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Bagaimana gambaran menyeluruh proses penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, dimana dengan mengetahui gambaran proses penyembuhannya maka akan diketahui apa “Orientasi” dari penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan pada para pembina yang sehari-hari merawat dan membina pasien penderita penyakit gangguan jiwa.


(32)

Selain itu, peneliti juga akan meneliti hal-hal apa saja yang memotivasi para keluarga dari pasien memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat untuk menyembuhkan si penderita penyakit gangguan jiwa ketimbang membawa si penderita ke Rumah Sakit Jiwa dengan pengobatan secara medis; atau ke psikiater dengan pengobatan secara ilmu psikiatris; atau juga pengobatan-pengobatan tradisional lainnya. Dalam hal ini, peneliti akan meneliti para keluarga pasien untuk menggali apakah penah dan dimana pasien dibawa berobat sebelum di Panti Rehabilitasi Bukit Doa serta alasan memindahkan pasien ke Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Selain itu juga, peneliti akan meneliti bagaimana pemahaman para keluarga pasien mengenai penyakit gangguan jiwa untuk melihat apakah ada hubungannya dengan motivasi keluarga dari si pasien memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan proses penyembuhan pada pasien penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa

2. Mendeskripsikan “orientasi” penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, yaitu suatu kajian mengenai bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya


(33)

3. Mendeskripsikan hal-hal apa saja yang memotivasi para keluarga dari pasien yang menderita penyakit gangguan jiwa lebih memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat penyembuhan bagi pasien

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberi masukan bagi masyarakat umum, lembaga atau pihak-pihak terkait yang membutuhkan serta mahasiswa Antropologi khususnya untuk memberikan khasanah pengetahuan tentang bagaimana sesungguhnya masyarakat memandang dan memahami tentang penyakit gangguan jiwa serta tentang bagaimana orientasi penyembuhan yang diinginkan masyarakat terhadap pasien penderita gangguan jiwa.

2. Memberikan masukan kepada Pemerintah dan agar melakukan upaya-upaya kuratif dan prefentif melalui Departemen Kesehatannya serta lembaga atau badan yang terkait dengan penyakit gangguan jiwa.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1. Sifat Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan mengumpulkan data-data kualitatif yang mencakup topik penelitian. Menurut Lexy.J.Moleong (2006:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh subyek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain


(34)

secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan. Hebert (dalam Koentjaraningrat, 1983:30-32), bahwa maksud dari penelitian dekriptif adalah semata-mata untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala dan pokok perhatian adalah pengaturan yang cermat dari suatu atau lebih variable terikat dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Dengan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif, maka akan dapat menggambarkan secara mendalam orientasi penyembuhan Panti Rehabilitasi Bukit Doa serta motivasi keluarga pasien memilih tempat penyembuhan di Panti ini. Penulis awalnya memfokuskan penelitian dari sudut pandang Antropologi Kesehatan berkaitan dengan konsep gangguan jiwa. Namun dalam perkembangan selanjutnya setelah penulis melakukan observasi awal dan wawancara awal dengan para informan diawal penelitian ini serta setelah mengambil referensi-referensi tertulis dari berbagai sumber, penulis melihat ada hubungan atau korelasi antara penyakit gangguan jiwa dengan hal-hal yang bersifat magis atau kereligian. Oleh sebab itu maka penulis memutuskan untuk mengambil sudut pandang Antropologi Religi berkenaan dengan hal konsep orientasi penyembuhan tentang penyakit gangguan jiwa.

Data –data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :

a). Data Primer : data yang diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti secara langsung di lapangan :


(35)

1. Observasi (Pengamatan) : observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi yaitu dengan cara berada dalam setiap aktifitas, dan turut serta mengikuti dan mengamati segala kegiatan pelaksanaan pelayanan dan pembinaan yang dilakukan terhadap pasien sehari-hari. Objek penelitian disini adalah para staf atau petugas yang bekerja sehari-hari membina dan melayani pasien. Peran peneliti dalam observasi partisipasi disini adalah sebagai pengamat yang secara langsung berada dan mengamati dalam setiap aktifitas-aktifitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehari-hari terhadap si pasien penderita gangguan jiwa. Pasien penderita gangguan jiwa di Panti ini walau memiliki latar belakang gangguan yang berbeda namun mereka diperlakukan dan ditempatkan di tempat yang sama antara satu pasien dengan pasien yang lainnya yang belainan latar belakang gangguan jiwanya. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi lengkap dan kongkrit. Dari hasil pengamatan dan observasi , peneliti lalu menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan. 2. Wawancara : wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam

dilakukan dalam penelitian ini dengan dibantu pedoman wawancara (Interview Guide). Dengan melakukan wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam maka akan dapat memperoleh segala informasi dan data yang lengkap. Adapun informan yang digunakan dan diwawancarai dalam penelitian ini adalah :

• Informan Pangkal : informan pangkal dalam penelitian ini adalah para informan yang pertama sekali memberikan informasi awal


(36)

yang dibutuhkan, yaitu orang-orang yang mengetahui gambaran umum serta seluk beluk Panti Rehabilitasi Bukit Doa, adapun informan pangkal tersebut adalah beberapa Kerabat dari si pasien yang dirawat di Panti, Penduduk Setempat, Kepala Desa.

• Informan Pokok (Kunci) : informan pokok yang akan digunakan adalah orang-orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah yang akan diteliti yaitu bagaimanan orientasi penyembuhan dari Panti Rehabilitasi Bukit Doa,; apa motivasi para keluarga pasien memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat pemulihan pasien penderita gangguan jiwa; serta bagaimana pelaksanaan penyembuhan yang dilakukan kepada pasien meliputi kegiatan-kegiatan sehari-hari pasien penderita gangguan jiwa. Adapun informan pokok tersebut adalah :Pimpinan Utama Panti yang bertugas memimpin panti dalam membuat kebijakan serta yang mengendalikan dan mengarahkan para stafnya. Para Penyembuh utama Panti yaitu para-para pendeta yang mengontrol kesehatan pasien setiap harinya. Para Petugas dan staf yang melayani dan membina para pasien setiap hari, serta Para anggota keluarga pasien yang rutin memantau perkembangan pasien yang dirawat.

• Informan Biasa : informan biasa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang akan dimintai dan memberikan informasi mengenai masalah penelitian namun informasi yang


(37)

diberikan hanya sebagai tambahan atau pelengkap dari informasi dari informan utama, antara lain, para penjaga keamanan dan yang mengurus kebutuhan sehari-hari pasien serta para mantan pasien yang pernah dibina sebelumnya.

b). Data Sekunder : data yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan, tetapi memiliki keterkaitan dan keabsahan dari penelitian ini. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian seperti arsip dan dokumentasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa, daftar kepustakaan, artikel, internet, dan sumber-sumber lainnya yang mendukung dan digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari observasi dan wawancara.

1.6.2 Teknik Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif. Data yang diperoleh dari lapangan akan disusun secara sistematis dan diklasifikasikan pada beberapa bagian yang sesuai dengan letak dan nilai data itu. Kategori ini berfungsi untuk membantu memahami keberadaan nilai data (primer dan sekunder) dari keseluruhan data yang diperoleh dari observasi serta wawancara. Data kemudian disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dapat dijelaskan seluruh rumusan masalah yang diteliti. Data primer yang telah disusun akan danalisis dengan referensi atau dengan analisa interpretasi


(38)

kualitatif. Terakhir, dilakukan kembali pendesainan penulisan sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah (skripsi) yang saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.

1.7 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, Panti tersebut berada di Desa Durin Jangak , Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Panti Rehabilitasi Bukit Doa berdiri atas nama sebuah Yayasan Bukit Doa / Taman Getsemany terletak di Jl.Tuntungan Golf, No:120, Desa Durin Jangak, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Lokasinya berada tepat di belakang kompleks Gereja Bukit Doa.

Alasan memilih lokasi penelitian di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, sebab penulis banyak mendengar baik dari para kerabat dan keluarga pasien serta berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan petugas yang bekerja di Panti tersebut mengatakan bahwa di Panti ini sebagian besar pasien yang dirawat sebelumnya pernah dirawat di berbagai rumah sakit jiwa atau juga pernah menjalani pengobatan tradisional, namun tidak kunjung sembuh juga maka pihak keluarga memutuskan memindahkan pasien ke Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dilokasi ini untuk mengetahui bagaimana orientasi penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sehingga memotivasi para keluarga pasien untuk beralih pengobatan dengan memasukkan pasien penderita penyakit jiwa untuk dirawat dan dibina di Panti Rehabilitasi Bukit Doa.


(39)

BAB II

KEBERADAAN PANTI REHABILITASI BUKIT DOA

2.1 Sejarah Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Pada tahun 1980 di Desa Durin Jangak tinggallah seorang ayah bernama Dalan Seragih memiliki isteri bernama Jadi Ester br. Sinuhaji memiliki 6 orang anak, pada saat itu seorang temannya bernama Kancan Sembiring Depari begitu terkejut melihat isterinya Dalan Seragih ini yang badannya sangat kurus, Dalan Seragih menjelaskan bahwa sebelumnya mereka sudah berobat ke seorang dokter dan mengatakan bahwa isterinya ini mengidap penyakit Tumor Kandungan dan harus dioperasi. Dalan seragih dan isterinya serta Kancan Sembiring kebetulan sama-sama memeluk Agama Kristen Protestan. Kemudian Kancan Sembiring mengajak Dalan Seragih dan isterinya Jadi br.Sinuhaji untuk sama-sama berdoa kepada Tuhan memohon kesembuhan penyakit dari Istrinya Dalan Seragi yaitu Jadi br.Sinuhaji. Esoknya isterinya ini merasa ada penyakit yang hilang dari dalam tubuhnya dan merasa lebih lega dari sebelumnya, setelah dicek kedokter, dokter menyatakan bahwa tumor kandungan yang selama ini ada didalam tubuhnya sudah tidak ada lagi. Keajaiban ini membuat pasangan Dalan Seragih dan Jadi br.Sinuhaji sangat senang. Sejak saat itu pasangan suami isteri ini semakin yakin bahwa dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa dapat menyembuhkan penyakit yang selama ini dideritanya sehingga mereka semakin mendekatkan diri Kepada Yang Maha Kuasa dan menjadi orang yang semakin taat beragama.


(40)

Selang beberapa saat kemudian seorang teman Dalan Seragih bermarga Sitanggang yang memiliki seorang Anak yang mengidap penyakit Epilepsi juga mendengar kesembuhan ajaib ini. Dalan Seragih berpikir saat itu bahwa kalau isterinya saja yang mengidap Tumor bisa sembuh secara ajaib dengan Berdoa secara suingguh-sungguh, maka anak temannya ini pun pasti bisa sembuh. Maka Dalan Seragih pun mendoakan anak sahabatnya ini, dan selang beberapa waktu kemudian anak sahabat nya ini pun sembuh / tidak pernah kambuh lagi penyakitnya. Akan hal ini Pak Sitanggang sangat berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kepada Pak Dalan Seragih itu. Untuk mengungkapkan rasa terima kasih nya, Pak Sitanggang menghibahkan sebuah tanah berukuran 3000m2 serta uang Rp 200.000 kepada Dalan Seragih untuk selanjutnya menjadi modal Dalan Seragih mengusahakan ternak ayam di tanah yang sekarang ini menjadi lokasi Panti

Di tanah yang dihibahkan tersebut juga Dalan Seragih sering Berdoa hingga suatu hari dari gerejanya terdahulu Dalan Seragih diutus mengikuti seminar di Taman Getsemani di daerah Jawa Timur. Sewaktu mengikuti seminar tersebut malamnya Dalan Seragih bermimpi bertemu seseorang yang berpesan bahwa di tanah yang dihibahkan seluas 3000m2 tersebut dibangun sebuah pertapakan yang didalamnya terdapat gua-gua untuk orang-orang berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta untuk orang-orang yang meminta kesembuhan kepada Yang Maha Kuasa, sama persisi seperti tempat dia berada waktu itu di Taman Getsemani di Jawa Timur.


(41)

Sepulangnya dari Jawa Timur, Dalan Seragih bertekad akan membangun sesuai amanah lewat mimpinya tersebut. Ia mulai membangun perlahan-lahan gua-gua pertapakan untuk orang-orang berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tempat yang sebelumnya adalah kandang ayam diubah menjadi tempat Ibadah. Sejak saat itu lewat mulut ke mulut banyak orang berdatangan untuk Berdoa dan beribadah di tempat tersebut. Ada yang hanya sekedar berdoa di gua-gua yang dibangun atau beribadah di gubuk yang dibangun sekedarnya. Umumnya banyak orang berdoa memohon kesembuhan akan suatu penyakit terutama penyakit yang diyakini sebagai kutukan, akibat sihir/ilmu gaib, ataupun penyakit yang tidak diketahui oleh dokter sebabnya, banyak juga yang sekedar datang untuk berdoa karena stress akibat masalah dan tekanan hidup.

Lama kelamaan oleh semakin banyaknya orang yang setelah berdoa disana merasa tenang dan puas baik karena penyakitnya sembuh atau permasalahan hidupnya selesai, orang-orang tersebut sebagai rasa ucapan terima kasihnya kepada Pak Dalan Seragih, mereka banyak memberikan uang kepada beliau. Namun akhirnya Pak Dalan Seragih berpikir bahwa sebaiknya uang atau pemberian itu lebih bermanfaat jika digunakan untuk memperbesar pertapakan doa tersebut dengan membangun sebuah panti untuk orang-orang yang menderita gangguan jiwa, stress dan korban ketergantungan narkoba. Maka atas bantuan dana dari orang-orang yang berterima kasih tersebut Dalan Seragih mulai membangun yayasan resmi untuk menaungi sebuah panti yang dapat menampung, merawat, dan menyembuhkan orang-orang yang menderita gangguan mental/jiwa,


(42)

stress, dan korban ketergantungan narkoba serta juga membangun sebuah tempat ibadah di atas tanah yang seluruh kompleks memiliki luas 3000 m2.

Pada awal Januari tahun 1983 secara resmi berdirilah sebuah yayasan Bukit Doa Taman Getsemani yang menaungi Panti Rehabilitasi Bukit Doa untuk menampung, merawat dan menyembuhkan orang-orang yang menderita gangguan mental/jiwa, stress, dan korban ketergantungan narkoba. Disamping itu juga diresmikanlah sebuah Gereja yang masih terdapat didalam kompleks pertapakan sebagai tempat orang-orang beribadah. Izin resmi tersebut terdaftar di Departemen Agama, Departemen Kehakiman serta dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara.

Hingga saat ini, di pertapakan tersebut selain panti Rehabilitasi, juga terdapat sebuah Gereja, serta gua-gua pertapakan untuk orang-orang yang ingin menenangkan diri dan berdoa serta mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Bangunan-bangunan untuk Panti serta bangunan Gereja dibangun atas bantuan Dana para keluarga-keluarga pasien yang merasa lebih pulih kesehatannya setelah berdoa dan dirawat di pertapakan itu. Yayasan, Panti Rehabilitasi serta Gereja yang terdapat didalamnya sejak saat itu dikepalai langsung oleh Dalan Seragih hingga akhir hayatnya tahun 1995 dan setelah itu digantikan oleh anak lelaki tertuanya yang bernama Pdt. Jhoony Seragih.

Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1997, Pdt. Jhoony Seragih (anak sulung Almarhum Dalan Seragih) yang menjadi Kepala Yayasan, oleh orang Amerika yang datang berdoa di pertapakan tersebut mengundangnya pula untuk datang berkunjung ke Amerika. Di sana beliau mendapatkan dukungan moril dan materi dari orang-orang Amerika untuk memperluas kompleks pertapakan.


(43)

Sehingga sepulangnya dari Amerika, beliau membeli tanah dibelakang kompleks pertapakan seluas 7000 m2 dan memindahkan bangunan-bangunan kompleks Panti Rehabilitasi untuk merawat pasien-pasien penderita gangguan jiwa, stress dan ketergantungan narkoba diatas tanah yang baru dibelinya tersebut. Perkembangan dalam tahun-tahun berikutnya diperluas lagi kebelakang seluas 2000 m2 dan kesamping seluas 2000 m2. Sehingga sekarang luas keseluruhan kompleks seluas 14.000 m2, dan khusus untuk Panti Rehabilitasi Bukit Doa luasnya 7000 m2. Secara resmi surat keputusan Panti Rehabilitasi Bukit Doa / Pusat Rehabilitasi Gangguan Jiwa dan Narkoba Bukit Doa /Taman Getsemany disertifikasikan dalam Akte no: 68 Tanggal 30 Juli 1992, Yayasan Bukit Doa/ Taman Getsemany. Organisasi Sosial no:4676/4793. Dirjen BIMAS (K). Jakarta no.f/Kep/H.00.5/95/2983/2001.

2.2 Lokasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa.

Panti Rehabilitasi Bukit Doa atau nama lainnya Pusat Rehabilitasi Gangguan Jiwa dan Narkoba Bukit Doa Taman Getsemany berdiri atas nama sebuah Yayasan Bukit Doa / Taman Getsemany terletak di Jl.Tuntungan Golf, No:120, Dusun 3, Desa Durin Jangak, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Berjarak sekitar 0,3 Km dari Kantor Kecamatan Pancur Batu dan berjarak 18 Km dari Kotamadya Medan. Luas keseluruhan kompleks sekitar 14.000 m2, dan khusus untuk Panti Rehabilitasi Bukit Doa luasnya 7000 m2 yang terletak di tengah dan di sudut paling belakang dari Kompleks Yayasan dengan batas-batas sebagai berikut :


(44)

• Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Raya Lapangan Golf Tuntungan yang tepat diseberangnya terdapat usaha perladangan rumput Swiss dan rumput Jepang, yaitu Mitra Taman Rumput.

• Sebelah Timur berbatasan dengan perladangan masyarakat • Sebelah Selatan berbatasan dengan perladangan masyarakat

• Sebelah Barat juga berbatasan dengan perladangan masyarakat milik Pak Ahmad Zunaidi.

2.3 Komposisi Bangunan, Sarana dan Prasarana

Luas keseluruhan kompleks Yayasan Bukit Doa/ Taman Getsemany seluas 14.000 m2, terdiri dari tiga kompleks,yaitu Kompleks Depan (7000 m2), Kompleks Tengah (4000 m2) dan Kompleks Belakang(3000 m2).

Kompleks depan untuk bangunan-bangunan Rumah Kepala Yayasan, Gereja, Asrama, Kantor dan lain-lain, sedangkan Kompleks Tengah dan Kompleks Belakang khusus untuk kepentingan Panti Rehabilitasi tempat merawat pasien penderita gangguan jiwa, stress, dan ketergantungan narkoba.

Kompleks Depan terletak paling depan diantara kompleks lainnya dengan gerbang utama berbatasan langsung dengan jalan raya, sedangkan Kompleks Tengah lokasinya dibelakang Kompleks depan sehingga untuk memasukinya harus melewati kompleks Depan dengan batas gerbang tinggi. Kompleks belakang lokasinya berada di paling belakang tepat dibelakang kompleks tengah dan jalan masuknya harus melalui kompleks tengah. Panti Rehabilitasi yang melingkupi Kompleks Tengah dan Kompleks Belakang, lokasinya terisolasi yang dikelilingi


(45)

oleh tembok-tembok tinggi dan hanya terdapat 1 gerbang pintu masuk. Secara terperinci bangunan-bangunan yang terdapat di seluruh Kompleks yaitu :

1. Kompleks Depan seluas 7000 m2 terdiri dari 8 unit Bangunan yaitu : • 1 Unit ruko kecil yang disewakan kepada orang lain yang terletak

paling depan dekat gerbang pintu masuk kompleks • 1 Unit rumah milik Ketua Yayasan

• 1 Unit Asrama Tempat Tinggal para Staff Yayasan • 1 Unit Kantor Yayasan Bukit Doa Taman Getsemany

• 1 Unit Kantor Pusat Pengembangan Ibu dan Anak Bukit Doa • 1 Unit Tempat Ibadah/ Gereja

• 1 Unit Taman Kanak-kanak (TK) dan Pusat Pengembangan Anak (PPA) milik Yayasan

• 1 Unit WC Umum

• serta terdapat 6 unit Gua-gua yang dibangun untuk orang-orang Berdoa di tempat ini.

2. Kompleks Tengah khusus untuk lokasi kepentingan rehabilitasi pasien dengan luas 4000 m2, terdiri dari :

• 1 Unit Aula, yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumpulkan seluruh pasien serta sebagai tempat untuk makan para pasien

• 1 Unit Klinik Kesehatan, yang berfungsi sebagai tempat memeriksa kesehatan pasien baik kesehatan jiwa maupun kesehatan jasmani. Dokter yang melayani diklinik ini adalah


(46)

Dokter yang khusus didatangkan dari Rumah Sakit Jiwa Pusat Kota Medan yang memeriksa para pasien biasanya dua atau tiga bulan sekali.

• 1 Unit Dapur Umum, berfungsi sebagai tempat memasak makanan untuk semua pasien yang lokasinya tepat di belakang Aula

• 1 Unit Rumah Koordinator Panti Rehabilitasi Bukit Doa • 3 Unit kamar tempat tinggal para staff panti

• 1 Unit WC Umum tepat disamping dapur umum

3. Kompleks Belakang khusus untuk asrama tempat tinggal pasien, terdiri atas 2 asrama yaitu asrama pria dan asrama wanita yang saling terpisah oleh tembok tinggi serta memiliki gerbang masing-masing untuk asrama pria dan asrama wanita. Serta terdapat 4 Unit kamar bagi pasien yang dinyatakan sudah sehat, tidak menggangu dan dapat dipercaya. Secara terperinci ruangannya sebagai berikut :

a) Asrama Pria yang terbagi lagi menjadi 3 kelas kamar yaitu Kelas 1 (VIP), Kelas 2 dan Kelas 3. Pembagian kelas kamar diklasifikasikan atas permintaan keluarga pasien dan tergantung pembayaran dan uang yang diberikan oleh keluarga pasien kepada Administrasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Secara terperinci adalah sebagai berikut :

• Kelas 1 (VIP) terdiri dari 4 Unit Kamar masing-masing berukuran 3m x 3m. 2 kamar ditempati oleh 2 orang pasien pria dan 2 kamar lainnya kosong tidak ditempati. Peraturannya


(47)

1 kamar diperbolehkan ditempati oleh 1 orang pasien saja serta barang-barang yang diperbolehkan berada di dalam kamar hanya tempat tidur, perlengkapan tidur serta lemari untuk pakaian serta barang-barang tersebut disediakan oleh keluarga pasien sendiri. Kelebihan lainnya dari Kelas VIP adalah kamar pasien tidak dikunci sehingga pasien bebas berkeliaran walaupun hanya sebatas area kompleks asrama pasien pria. Pasien yang diperbolehkan menginap di ruangan VIP adalah atas permintaan keluarga pasien sendiri dengan syarat pasien yang sudah dinyatakan oleh dokter serta Koordinator panti sebagai pasien yang dinyatakan tidak akan mengganggu dan tidak akan melarikan diri.

• Kelas 2 terdiri dari 1 ruangan berukuran 4m x 12m, ditempati oleh 31 orang pasien pria. Fasilitas yang tersedia hanya sebuah papan berukuran panjang untuk tempat tidur yang terbuat dari kayu namun disediakan tikar untuk alas.tidur diatasnya.

• Kelas 3 terdiri dari 1 ruangan berukuran 4m x 12m, ditempati oleh 25 orang pasien pria. Fasilitas yang tersedia hanya sebuah papan berukuran panjang untuk tempat tidur yang terbuat dari kayu, namun tidak tersedia tikar serta alas untuk tidur.

• Terdapat 3 Ruangan Sel, yang berfungsi sebagai tempat mengkarantinakan pasien yang masih labil/mengamuk. Biasanya pasien dikurung dan dikunci di dalam sel atau dengan


(48)

cara lain diborgol di pintu ruang sel namun tidak di dalam ruang sel. Terdapat 1 orang pasien pria yang di borgol di sel tersebut.

• 1 Unit WC untuk mandi dan buang air, namun ruangan ini terbuka bebas tanpa atap.

b) Asrama Wanita terdapat 2 kelas kamar, kelas 1 dan kelas 2, tidak ada kelas VIP di asrama wanita. Secara terperinci sebagai berikut :

• Kelas 1 terdiri dari 1 ruangan berukuran 4m x 12m, Fasilitas yang tersedia sebuah tempat tidur panjang yang terbuat dari kayu yang disediakan tikar untuk alas.tidur diatasnya. Serta tersedia 1 kamar mandi didalamnya. Terdapat 8 pasien wanita yang menghuni di ruangan ini.

• Kelas 2 terdiri dari 1 ruangan berukuran4m x 12m, Fasilitas yang tersedia sebuah tempat tidur panjang yang terbuat dari kayu namun disediakan tikar untuk alas.tidur diatasnya. Serta tersedia juga 1 kamar mandi didalamnya. Terdapat 2 pasien wanita yang menghuni di ruangan ini.

• Terdapat 3 Ruangan Sel, yang berfungsi sebagai tempat mengkarantinakan pasien yang masih labil/mengamuk. Terdapat 2 pasien wanita yang satu di borgol ke pintu jarring sel dan yang satunya lagi dikurung di dalam sel.


(49)

2.4 Struktur Organisasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Keseluruhan petugas panti yang berjumlah 11 orang,dengan masing-masing tugas dan tanggung jawabnya. Keseluruhan petugas baik mulai dari Pimpinan hingga staff tidak ada yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu psikiatri maupun ilmu kesehatan. Tenaga-tenaga ahli seperti dokter, perawat, psikolog, psikiater dan tenaga pelatih (penyuluh) belum tersedia didalam panti. Hal ini menjadi kendala yang dihadapi Panti dalam melakukan pelayanan dan pembinaan terhadap Pasien. Walau demikian Panti tetap menyediakan tenaga-tenaga ahli dari luar panti seperti Dokter jiwa dari Rumah Sakit Jiwa Pusat Kota Medan setiap sebulan sekali dan Perawat Rumah Sakit dari RSUP Adam Malik Medan setiap dua atau tiga bulan sekali serta tenaga-tenaga penyuluh yang datang bergantian dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara setiap 6 bulan sekali.

Data para-para Staff dan pimpinan Panti Rehabilitasi Bukit Doa secara terperinci dapat dilihat seperti tabel dibawah ini.

Tabel 1. Data Petugas Panti Rehabilitasi Bukit Doa

No NAMA JENIS

KELAMIN

PENDIDIKAN JABATAN

1 Pdt. Johnny Seragih, S.Th

Laki-laki Sarjana Teologi Pimpinan Yayasan/ Panti 2 Pdt. Andreass

Pandia,


(50)

3 Elisa Seragih, SE

Perempuan Sarjana Ekonomi

Bendahara

4 Santa Karo

Sekali

Perempuan SLTP Ketua Ibadah dan

Bag.Dapur 5 Erlina

Situmeang

Perempuan SLTP Wakil Ketua

Ibadah / dan Bag.Dapur

6 P.Rehulina br.Tarigan

Perempuan SMU Ketua Keamanan

Wanita 7 Njelasi

Gurusinga

Laki-laki SMU Ketua Keamanan

Pria

8 Very Hulu Laki-laki SMU Ketua Kebersihan

dan

Pembangunan

9 Pita Ria

br.Sipayung

Perempuan SLTP Ketua Bag.

Pakaian 10 Jadi Ester br.

Sinuhaji

Perempuan SLTP Ketua Bag.

Ibadah dan Doa 11 T.Lina

br.Sinuhaji

Perempuan SMU Wakil Ketua Bag.

Ibadah dan Doa SUMBER : DATA KANTOR PANTI REHABILITASI BUKIT DOA, 2010


(51)

Struktur Organisasi petugas Panti Rehabilitasi Bukit Doa seperti gambar bagan dibawah ini.

Bagan Struktur Organisasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Pimpinan Yayasan / Pimpinan Panti

Koordinator

Bendahara

Ketua Ibadah / Ketua dapur

Ketua Keamanan Pria

Ketua

Kebersihan dan Pembangunan

Ketua Bag. Doa Ketua

Bag. Pakaian

Wakil Ketua Ibadah / Ketua dapur

Wakil Ketua Bag. Doa Ketua

Keamanan Wanita


(52)

2.5 Pembagian Tugas Para Staff Panti

1. Tugas Pimpinan Yayasan / Pimpinan Panti

• Membuat dan memutuskan kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan, serta norma-norma yang berlaku di Panti

• Membimbing, mengarahkan, serta mengendalikan struktur organisasi atau para staff dibawahnya

• Mengelola dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang dilakukan terhadap pasien

• Membangun hubungan dan koordinasi dengan Pemerintah khususnya Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, Departemen Agama, Departemen Kehakiman serta dengan Instalasi Kesehatan Jiwa milik Pemerintah.

• Mempromosikan Yayasan ini kepada masyarakat serta membangun hubungan yang baik dengan keluarga klien.

2. Tugas Koordinator

• Mengkoordinir semua para staff dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing

• Membangun hubungan yang akrab dengan keluarga pasien/klien yang dirawat di Panti Rehabilitasi Bukit Doa

• Mengkoordinir seluruh kegiatan pelayanan dan pembinaan yang akan dilakukan terhadap pasien

• Mengkoordinir setiap kegiatan Ibadah dan Doa bersama pasien. • Mengkoordinir perkembangan diri setiap pasien


(53)

3. Tugas Bendahara / merangkap sebagai Sekertaris Yayasan

• Mengurus semua urusan administrasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa • Mengatur urusan keuangan Panti Rehabilitasi Bukit Doa

• Mengatur urusan perlengkapan Panti Rehabilitasi Bukit Doa

• Membuat dan menyimpan urusan data dan arsip Panti Rehabilitasi Bukit Doa

4. Tugas Ketua Bagian Ibadah merangkap Bagian Dapur beserta Wakilnya

• Membuat jadwal bertugas untuk petugas-petugas yang bertanggung jawab memimpin ibadah dan doa setiap pagi bersama pasien

• Membuat jadwal bertugas untuk petugas-petugas yang bertanggung jawab memimpin ibadah dan doa setiap hari jumat bersama keluarga pasien serta ibadah puasa setiap hari rabu seminggu sekali

• Mempersiapkan semua perlengkapan ibadah

• Mengkoordinir kegiatan dapur mseperti mengurus belanja harian , memasak makanan untuk seluruh pasien dan seluruh staff.

Panti Rehabilitasi mengadakan kegiatan ibadah dan doa setiap hari kepada pasien pada pagi dan malam hari. Ditambah lagi kegiatan ibadah dan doa khusus pada hari Jumat bersama keluarga pasien setelah jam berkunjung. Dalam kegiatan ini yang bertugas mempersiapkannya adalah Ketua Bagian urusan Ibadah merangkap urusan Dapur beserta wakilnya.


(54)

5. Tugas Ketua Keamanan Pria

• Menjaga keamanan dan ketertiban pasien pria, dalam hal ini termasuk menjaga para pasien agar tidak berusaha melarikan diri atau menjaga agar para pasien tidak melakukan keributan satu sama lain.

6. Tugas Ketua Keamanan Wanita

• Menjaga keamanan dan ketertiban pasien Wanita, dalam hal ini termasuk menjaga para pasien agar tidak berusaha melarikan diri atau menjaga agar para pasien tidak melakukan keributan satu sama lain

7. Tugas Ketua Kebersihan dan Pembangunan

• Memperhatikan kebersihan diri pasien seperti Mandi , kerapian rambut dan kuku pasien.

• Memperhatikan kebersihan lingkungan asrama.

• Memperhatikan kelayakan-kelayakan fisik bangunan-bangunan Panti seperti Asrama pasien, tempat tidur, kamar mandi, aula dan lapangan di lingkunga panti.

8. Tugas Ketua Bagian Pakaian

• Mempersiapkan kebutuhan sandang pasien setiap hari, dalam hal ini termasuk didalamnya memperhatikan pakaian ganti pasien, mencuci, menjemur dan memperhatikan kedisiplinan pemakaian seragam pasien.


(55)

9. Tugas Ketua Bagian Doa dan Ibadah beserta Wakilnya

• Mengarahkan para staff untuk melakukan doa dan ibadah bersama 2 kali seminggu setiap hari Rabu dan Jumat

• Mengarahkan para keluarga pasien untuk rutin mengikuti doa dan ibadah setiap hari jumat bersama-sama dengan pasien agar para keluarga pasien juga taat mengukuti peraturan-peraturan

• Mengarahkan dan membimbing pasien agar disiplin melakukan kegiatan doa dan ibadah 2 kali setiap hari (pagi dan malam) serta doa dan ibadah khusus 2 kali seminggu pada hari Rabu dan Jumat.

2.6 Keadaan Pasien Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Tahun 2010 tercatat jumlah pasien di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebanyak 75 orang.

1. Klasifikasi pasien berdasarkan penyebab sakit

Tabel 2. Data Pasien Menurut Penyebab Jadi Korban

No Penyebab Jadi Korban Jumlah

1 Akibat korban narkotika dan minuman keras 6 2 Gagal pendidikan/cita-cita tak tercapai 8 3 Persoalan ekonomi/PHK/ jatuh miskin 2 4 Depresi/ frustasi/ stress berkali-kali 18

5 Putus cinta 5

6 Luka batin/ tertekan/pernah terjadi tragedi 3

7 Cerai 4

8 Orang tua meninggal 1

9 Tidak diikuti kemauannya 2

10 Step waktu kecil 1

11 Gangguan roh jahat 14

12 Kaget 1


(56)

14 Tidak jelas penyebabnya 9

JUMLAH 75 orang

Sumber : Data Kantor Panti Rehabilitasi Bukit Doa, 2010.

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa mayoritas pasien yang dirawat di Panti Rehabilitasi Bukit Doa merupakan korban depresi/frustasi/stress akibat berbagai tekanan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan-permasalahan dalam kehidupan manusia bisa menyebabkan seseorang tersebut mengalami gangguan jiwa. Lalu pada posisi kedua penyebab pasien mengalami gangguan jiwa adalah karena gangguan roh-roh jahat. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang percaya bahwa penyebab gangguan jiwa itu adalah roh jahat.

Dari banyak faktor yang disebutkan diatas ,secara garis besar Panti Rehabilitasi Bukit Doa membagi banyak faktor penyebab tersebut menjadi dua jenis penyakit gangguan jiwa berdasarkan penyebabnya yaitu penyakit gangguan jiwa jenis Stress dan penyakit jiwa jenis saraf. Kedua jenis penyakit gangguan jiwa tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya.

2. Klasifikasi Pasien berdasarkan Asal daerah dan etnis

Tabel 3. Data Pasien Menurut Asal Daerah

Asal Daerah Jumlah

Tapanuli, Simalungun, Siantar 39 orang Tanah Karo, Dairi , Nias 17 orang

Medan sekitarnya 14 orang

Luar Provinsi Sumatera utara (Aceh, Jambi, Jakarta)

4 orang

Penduduk setempat 1 orang


(57)

Tabel 4. Data Pasien Berdasarkan Etnis

Etnis Jumlah

Batak (Toba, Karo, Simalungun, Phakpak)

61 orang

Tiong hoa (Cina) 7 orang

Tamil, Nias, Jawa 7 orang

Total 75 orang

Sumber : Data Kantor Panti Rehabilitasi Bukit Doa, 2010.

3. Klasifikasi Pasien Berdasarkan Agama

Tabel 5. Data Pasien Berdasarkan Agama

Agama Jumlah

Kristen (Protestan & Katolik) 71 orang

Budha 2 orang

Hindu 2 orang

Total 75 orang

Sumber : Data Kantor Panti Rehabilitasi Bukit Doa, 2010.

Berdasarkan data diatas, tidak semua pasien yang dirawat di Panti Rehabilitasi Bukit Doa beragama Kristen (baik Protestan maupun Katolik) tetapi ada pasien yang beragama Budha (2 orang) dan Hindu (2 orang). Pasien yang beragama Kristen Protestan yang dirawat juga masing-masing berasal dari aliran yang berbeda. Walau demikian, dalam pelaksanaan pelayanan dan pembinaannya sehari-hari pasien tetap dibimbing dan dibina agar taat mengikuti ritual ibadah yang diadakan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa. seperti wawancara penulis dengan Koordinator Panti Bapak Pdt.Andreass Pandia :

“untuk pasien/klien beserta keluarganya yang beragama non-kristen, penyembuhan di Panti ini pada prinsipnya tidak ada sama sekali memaksakan atau mengharuskan klien untuk pindah agama menjadi Kristen, tetapi pasien tersebut jika berniat mau sembuh di tempat ini harus mengkosongkan kepercayaannya dahulu untuk sementara waktu selama proses penyembuhan dan mau tunduk mengikuti cara penyembuhan di panti ini,, begitu juga halnya dengan


(58)

memaksa pasien tersebut untuk pindah aliran. Namun sesuai dengan kepercayaan disini, sehari-hari pasien tetap dibimbing agar taat mengikuti ritual ibadah yang diadakan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa”.

4. Klasifikasi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 6. Data Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki 59 orang

Perempuan 16 orang

Total 75 orang

Sumber : Data Kantor Panti Rehabilitasi Bukit Doa, 2010.

5. Klasifikasi Pasien Berdasarkan Riwayat Perawatan Sebelum Masuk Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Tabel 7. Data Pasien Berdasarkan Riwayat Perawatan Sebelumnya

Belum pernah dirawat sebelumnya 44 orang Pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa

(RSJ)

10 orang Pernah dirawat secara tradisional / di

rumah sendiri

21 orang

Total 75 orang


(59)

BAB III

SISTEM MEDIS DI PANTI REHABILITASI BUKIT DOA

3.1 Visi dan Misi Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Berdirinya Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai sebuah balai pemulihan bagi penderita gangguan jiwa merupakan buah hasil dari perjuangan keras pendirinya yaitu Almarhum Bapak Dalan Seragih yang merupakan Ayah kandung dari pemilik Yayasan sekarang Bapak Pdt. Jhoony Seragih. Sejak awal berdirinya Panti, Almarhum bercita-cita untuk membangun Yayasan dan Panti Rehabilitasi ini sebagai panti yang mampu memberikan pemulihan total bagi para penderita gangguan jiwa. Dengan menitikberatkan pada kepercayaan dan penyerahan diri secara total dari umatnya, terhadap kekuatan dan keperkasaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Impian-impian dari pendiri panti tersebut dijadikan sebagai visi Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Sejak awal berdiri Panti Rehabilitasi Bukit Doa, metode pelayanan dan pembinaan yang diberikan kepada para pasien, dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen. Hal ini berpengaruh kuat, karena panti tersebut didirikan dan diteruskan oleh para pendeta di Gereja yang letaknya masih satu areal dengan komplek panti. Sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Koordinator panti Bapak Pdt. Andreass Pandia mengenai Visi dan misi dari Panti Rehabilitasi Bukit Doa, yaitu sebagai berikut :


(60)

Pendapat/penjelasan Bapak Pdt. Andreass Pandia sebagai koordinator panti saat penulis mewawancarainya :

Penulis : “Apa Visi-visi Panti Rehabilitasi Bukit Doa ?”

Pak Pandia : “Visi Panti Rehabilitasi Bukit Doa sesuai dengan yang dirancang oleh Almarhum Bapak Dalan Seragih sejak pertama berdirinya Panti ini yaitu, Pertama Membantu pemerintah dan masyarakat Indonesia memulihkan para penderita Penyakit Gangguan jiwa serta para penderita ketergantungan narkoba..

Kedua yaitu, Menjadikan Panti Rehabilitasi Bukit Doa menjadi sebuah tempat pemulihan terbaik bagi penderita gangguan jiwa dan ketergantungan narkoba

Ketiga yaitu, Melalui cara penyembuhan yang diberikan kepada pasien, Panti Rehabilitasi Bukit Doa mampu menjadi teladan bagi masyarakat dalam hal memperlakukan para penderita penyakit gangguan jiwa serta para penderita ketergantungan narkoba dengan baik dan penuh rasa kasih.”

Penulis : “lalu apa misi-misi Panti Rehabilitasi Bukit Doa?” Pak Pandia : “Misi-misi Panti Rehabilitasi Bukit Doa yaitu :

Pertama, memulihkan pasien penderita gangguan jiwa dan korban kertergantungan narkoba dengan cara-cara pemulihan yang berdasarkan atas prinsip memasrahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kedua yaitu, membina para pasien dengan bimbingan-bimbingan yang mampu memulihkan pasien secara fisik, jiwa dan rohani

Ketiga yaitu, mengajarkan kepada pasien dan keluarganya untuk menerapkan teladan kehidupan umat Nasrani,

oleh karena itu kami selalu menerapkan pada pasien setiap harinya untuk mengikuti ibadah rutin yakni pada pagi dan malam hari, sedangkan untuk keluarganya kami selalu menyarankan agar taat berdoa dan membaca Alkitab setiap hari di rumahnya masing-masing

Keempat yaitu, membangun komunikasi serta kedekatan terhadap pasien dan keluarganya demi membantu proses pemulihan terhadap pasien

Kelima yaitu, membantu pasien membangun dan mengembangkan potensi diri masing-masing

.

Dari hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa visi-visi Panti Rehabilitasi Bukit Doa yaitu membantu pemerintah dan masyarakat memulihkan para penderita Penyakit Gangguan jiwa serta para penderita ketergantungan narkoba; Menjadikan Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempati pemulihan terbaik bagi penderita gangguan jiwa dan ketergantungan narkoba; Point yang


(61)

sebuah balai pemulihan terbaik bagi penderita gangguan jiwa dan ketergantungan narkoba.

Misi-misi Panti Rehabilitasi bukit doa yaitu, memulihkan pasien penderita gangguan jiwa dan korban kertergantungan narkoba dengan cara-cara pemulihan yang berdasarkan atas prinsip memasrahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; Membina para pasien dengan bimbingan-bimbingan yang mampu memulihkan pasien secara fisik, jiwa dan rohani; Mengajarkan kepada pasien dan keluarganya untuk menerapkan teladan kehidupan umat Nasrani, dimana hal tersebut diterapkan pada pasien setiap harinya untuk mengikuti ibadah rutin yakni pada pagi dan malam hari, sedangkan bagi keluarganya disarankan agar taat berdoa dan membaca Alkitab setiap hari di rumahnya masing-masing; Membangun komunikasi serta kedekatan terhadap pasien dan keluarganya demi membantu proses pemulihan terhadap pasien; yang terakhir dari point misinya yaitu membantu pasien membangun dan mengembangkan potensi diri masing-masing

Melalui setiap misi/langkah-langkah yang dibuat, Panti Rehabilitasi Bukit Doa diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat dalam memperlakukan penderita dengan baik dan penuh rasa kasih. Karena banyak dari masyarakat yang memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan mengucilkannya dan menganggap penderita sebagai hal yang menjijikkan dan memalukan.


(62)

3.2 Proses Diagnosa oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Untuk mengetahui keadaan sehat-sakit pasien, para Pembina juga melakukan proses diagnosa. Proses diagnosa adalah proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap penderita gangguan jiwa, sehubungan dengan gejala-gejala/penyebab yang dialami oleh si penderita. Pasien yang ingin dirawat di Panti Rehabilitasi Bukit Doa harus lah benar-benar dinyatakan menderita penyakit gangguan jiwa baik oleh keluarganya, berdasarkan keterangan dari Rumah Sakit Jiwa, atau pun dinyatakan oleh para penyembuh di Panti Rehabilitasi Bukit Doa.

Bagi pasien yang sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa sebelumnya, keluarga pasien dapat menyertakan surat keterangan dari Rumah Sakit Jiwa yang bersangkutan. Namun pasien juga tetap harus mengikuti proses diagnosa yang dilakukan oleh pembina di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebelum pasien secara sah terdaftar.

Proses diagnosa dilakukan di Panti dengan melibatkan anggota keluarga pasien selama dua sampai tiga hari setelah pasien sebelumnya sudah mulai menginap di panti pada hari pertama. Proses diagnosa dilakukan dengan dua cara yaitu : pengamatan dan wawancara :

1. Pengamatan

Pembina akan melakukan pengamatan ketika pasien pertama sekali mulai dibawa dan menginap di panti. Pengamatan terhadap pasien dilakukan selama satu sampai dua hari di lingkungan panti. Pengamatan yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui jenis penyakit gangguan jiwa yang dialami pasien.


(63)

Pembina yang akan melakukan pendekatan terhadap pasien dengan mengajaknya berbicara atau berkenalan sambil memperkenalkan lingkungan panti sembari pembina mengamati si pasien. Hal-hal yang menjadi objek dalam pengamatan terhadap pasien meliputi:

1. Pengamatan pandangan mata pasien apakah terlihat kosong yaitu jika pandangan matanya tidak fokus saat melihat sesuatu hal misalnya ketika diajak berbicara oleh pembina, bola mata si pasien tidak tertuju pada lawan bicaranya. Untuk seluruh pasien yang menderita gangguan jiwa baik yang akan digolongkan kedalam jenis penyakit gangguan jiwa stress ataupun jenis penyakit gangguan jiwa saraf sama-sama memiliki ciri-ciri pandangan mata yang terlihat kosong.

2. Pengamatan sikap pasien

• Jika pasien selalu terlihat gelisah atau seperti orang linglung/kebingungan dan terlihat seperti sering mengkhayal setiap saat atau lebih dari sepuluh kali dalam satu hari, maka kesimpulan sementaranya pasien akan digolongkan kedalam jenis penyakit gangguan jiwa stress.

• Jika pasien tidak selalu (pada saat-saat tertentu) terlihat gelisah atau seperti orang linglung/kebingungan dan terlihat seperti sering mengkhayal, terkadang juga bersikap normal seperti orang sehat pada umumnya dan mampu melakukan suatu tugas yang diperintahkan oleh pembina seperti disuruh mandi atau


(1)

Gambar 7. Aula Panti Rehabilitasi Bukit Doa

Gambar 8. Pintu Gerbang Asrama Pasien, sebelah kiri pintu gerbang asrama pasien pria, sebelah kanan pintu gerbang asrama pasien wanita.


(2)

Gambar 9. Kamar pasien pria kelas 1 (VIP).


(3)

Gambar 11. Suasana di ruang kamar pasien pria kelas 3.

Gambar 12. Seorang pasien pria sedang di borgol (pasung) tangannya ke pintu ruangan sel karena pria tersebut masih berada dalam kondisi mengamuk dan dianggap berbahaya bagi orang disekitarnya.


(4)

Gambar 13. Suasana di ruang kamar pasien wanita kelas 1.


(5)

Gambar 15. Seorang pasien wanita sedang di borgol (pasung) tangannya ke pintu ruangan sel karena wanita tersebut masih berada dalam kondisi mengamuk dan dianggap berbahaya bagi orang disekitarnya.

Gambar 16. Salah seorang pasien wanita yang sedang menunjukkan gejala-gejala kelainannya dengan berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.


(6)

Gambar 17. Seorang petugas sedang melakukan terapi mental terhadap salah satu pasien

Gambar 18. Suasana saat terapi mental dilakukan, seorang pasien sedang mengikuti perkataan dan gerakan yang disuruh oleh seorang petugas.