Implementasi Model Rasional Komprehensif

Pemerintah dalam hal ini DPR RI Komisi VIII melakukan proses membuat undang-undang berdasarkan ketentuan yang berlaku di dalam kode etik yang telah diatur. Sebagaimana yang telah dipaparkan Undang-Undang Pornografi ini merupakan undang-undang yang berasal dari Usul Inisiatif DPR dari Komisi VIII yang disampaikan kepada DPR untuk dibahas dan diundang-undangkan dalam daftar prolegnas DPR.

C. Implementasi Model Rasional Komprehensif

1. Penetapan masalah yang memerlukan tindakan dalam merumuskan Undang-Undang Pornografi Menurut Ibu Yoyoh Yusroh dalam wawancara yang dilakukan, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penetapan masalah yang memerlukan tindakan dalam perumusan Undang-Undang Pornografi ini, yaitu: a. Definisi pornografi yang tepat agar tidak ambigu Dalam Draf Rancangan Anti Pornografi dan Pornoaksi sebelumnya, pornografi mengandung pengertian yang substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, danatau erotika. Dan pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, danatau erotika di muka umum. 8 Pengertian pornografi dan pornoaksi tersebut diataslah yang kemudian menjadi awal penolakan dari kalangan yang merasa definisi 8 Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4. tersebut multitafsir, sehingga bisa diartikan secara subjektif sedangkan sebuah peraturan perundang-undangan harus dimaknai secara luas dan menyeluruh di masyarakat. Dikatakan multitafsir adalah ketika definisi pornografi, menunjukkan longgarnya batasan materi seksualitas dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian gerak tubuh di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. Dalam situs Wikipedia disebutkan masyarakat yang melakukan penolakan mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Pornografi ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang- barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia. b. Tindakan yang dilakukan Pansus RUU Pornografi Agar mampu mengakomodir segala bentuk aspirasi masyarakat, maka Pansus RUU Pornografi melakukan beberapa tindakan yang sekiranya agar RUU Pornografi ini bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat, diantaranya: 1. Terkait kontroversi dari definisi pornografi, maka pansus mengubah pengertian pornografi yang awalnya adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, danatau erotika. Kemudian berubah yang kemudian menjadi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, yang berbunyi: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi danatau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 9 2. Pansus merubah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi RUU APP menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi RUU Pornografi dengan menghilangkan kata ”Anti” yang merepresentasikan seolah undang-undang ini tidak setuju dengan pornografi yang sangat kontradiktif. Dan juga menghilangkan kata ”Pornoaksi” yang menurut pansus sudah cukup terwakili dengan definisi pornografi ditambah dengan banyaknya desakan untuk menghilangkan kata pornoaksi yang sangat tidak jelas batasannya. 3. Pemadatan bab dan pasal-pasal dalam draf sebelumnya, yakni draf yang dikirimkan kepada Presiden oleh DPR sebanyak 10 bab dan 52 pasal akhirnya pada tanggal 23 September 2008 hingga disahkan, RUU Pornografi terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. 9 Sekretariat Jenderal DPR RI, Arsip Undang-Undang Pornografi No. 442008, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB.dari http:dprri.go.id . 4. Bab-bab pada draf lama berisi pasal-pasal larangan diubah menjadi bab pengaturan yang lebih mengatur pornografi itu bagaimana, batasan-batasannya serta larangannya. Namun Yoyoh Yusroh menjelaskan larangan di bab pengaturan yang baru tidak seperti draf versi lama. 5. Draf sebelumnya yang menyangkut masalah Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional BAPPN pada Bab IV sepakat dihapus karena ada badan lain yang terkait seperti Badan Sensor. 2. Tujuan, nilai dan sasaran Undang-undang Pornografi Dalam kesempatan wawancara Yoyoh Yusroh mengatakan bahwa tujuan dari pembuatan Undang-Undang Pornografi adalah untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak yang sering sekali menjadi komoditas dari praktek-praktek pornografi. Tetapi sayangnya, banyak yang berpendapat bahwa undang-undang yang dibuat justru tidak memihak kepada kaum perempuan karena undang-undang tersebut lebih mengacu pada wanita sebagai korban sedangkan para pelaku bisnis yang memanfaatkan pornografi tidak disentuh. Tujuan yang dimaksud diatas juga tercantum dalam UU Pornografi pada Pasal 3 Butir a, b, c, d, dan e yang berbunyi: Undang-Undang ini bertujuan: a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat. Berkaitan dengan tujuan maka terdapat nilai dari setiap tujuan yang ingin dicapai. Nilai dalam hal ini adalah ketika para pembuat kebijakan Pansus DPR menjalankan aktifitas fungsionalnya dengan baik. Dari segala proses yang sudah dijalankan oleh DPR maka nilai yang dilihat dari sudut teknik penilaiannya adalah melalui jalancara seperti apa yang dilakukan dalam mengumpulkan dataalternatif yang diperlukan, diantaranya adalah melalui Rapat Dengar Pendapat Umum dan Uji Publik. Rapat Dengar Pandapat Umum RDPU dilakukan DPR ketika Pansus DPR berkoordinasikan dengan pihak-pihak terkait seperti membicarakan pasal-pasal apa saja yang mungkin dibuat dalam Rancangan Undang-Undang Pornografi. Seperti, Depertemen maun Kementrian Hukum dan HAM, Pemberdayaan Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, para ahli, seniman artis, LSM, Komnas Perempuan, MUI, dan Ormas-ormas Islam lainnya. Sedangkan uji publik yang sudah dilaksanakan di Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Utara untuk mengetahui aspirasi di daerah mengenai rancangan yang akan diundang- undangkan. Seperti apa yang diungkapkan dalam wawancara dengan Yoyoh Yusroh sasaran dari undang-undang ini adalah para pelaku pornografi yang secara aktif dan sengaja melakukan pornografi yang dapat mengganggu ketertiban serta keutuhan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Dan secara tidak langsung Undang-Undang Pornografi ini diharapkan bisa menyentuh para pebisnis pornografi dan pornoaksi yang mengambil keuntungan dari dua hal tersebut dengan perempuan sebagai komoditas utamanya. 3. Alternatif kebijakan serta konsekuensi rumusan Undang-undang Pornografi Dalam proses pembahasan Undang-Undang Pornografi yang sangat alot dan rentan dengan banyak protes, maka DPR RI dalam hal ini Pansus RUU Pornografi harus memiliki alternatif-alternatif yang dilakukan agar mampu mencapai kesepakatan dalam merumuskan suatu kebijakan berupa Undang-Undang Pornografi. Beberapa alternatif-alternatif beserta konsekuensi yang terjadi pada saat pembahasan, diantaranya adalah: a. Pansus Rancangan Undang-Undang Pornografi merevisi draf RUU Pornografi yang sekiranya pasal-pasal dalam rancangan tersebut memicu konflik atau kontroversi. b. Dalam merevisi draf RUU Pornografi Pansus meminta pendapat serta masukan dari masyarakat maupun lembaga terkait dalam perbaikan rancangan undang-undang yang dibuat. c. Meskipun RUU Pornografi telah disahkan menjadi Undang- Undang Pornografi jika ada masyarakat yang tidak puas atau pun kurang berkenan bisa menempuh proses uji materil Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan DPR siap merevisi undang- undang. Karena undang-undang tersebut masih mungkin untuk terus diperbaiki. 4. Pengorbanan dan keuntungan dari setiap alternatif pemecahan Dalam melakukan alternatif yang tersedia, maka akan ada hal yang harus dikorbankan dalam mencapai kesepakatan. Melihat begitu banyaknya tekanan baik dalam DPR sendiri maupun dari luar yang datang dari masyarakat luas. Berikut ini beberapa pengorbanan maupun keuntungan dari alternatif adalah sebagai berikut: a. Dengan merevisi beberapa pasal, pengorbanan yang diterima oleh Pansus adalah merubah semua ketentuan awal draft RUU APP ini dibuat. Hal lain adalah ketika beberapa pasal yang sudah dirubah juga belum memuaskan beberapa pihak sehingga masih menimbulkan kontroversi ditambah lagi terdapat kalangan masyarakat yang mengancam akan keluar dari NKRI jika RUU tersebut tetap diundang-undangkan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Papua maupun di Bali. Sedangkan keuntungan yang diperoleh adalah sedikit meredam polemik yang berkembang di masyarakat dengan menampung aspirasi dari berbagai masyarakat. b. Setelah mengesahkan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi No. 44 Tahun 2008 tidak membuat DPR merasa lega, justru problemnya setelah itu adalah DPR harus menghadapi Judicial Review yang diajukan oleh Komnas Perempuan pada tanggal 25 Maret 2010. Rencananya Farhat Abbas juga akan melakukan hal yang sama dalam menggugat kasus video milik Ariel Peterpan. Hal lain yang membuat kebijakan dalam kaitannya adalah Undang- Undang Pornografi bisa diterima dan sampai pada tahap pengesahan, maka diperlukan beberapa faktor pendukung agar komunikasi kebijakan yang dilakukan oleh Pansus bisa mencapai titik kesepakatan, yakni: a. Dukungan massa kepada DPR dalam perumusan Undang-Undang Pornografi Perjalanan Undang-Undang Pornografi memang sangat panjang untuk sampai pada proses pengesahannya. Tidak sedikit yang memprotes rancangan undang-undang tersebut dan tidak sedikit pula yang mendukung. Mereka yang memprotes datang dari kalangan feminis, sekuler, maupun aliansi seni dan budaya. Dan massa pendukung dari RUU Pornografi datang dari ormas-ormas Islam seperti MUI Majelis Ulama Indonesia, ICMI Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, FPI Front Pembela Islam, MMI Majelis Muhammadiyah Indonesia, Hizbut Tahrir, PKS dan masih banyak lagi yang tersebar di berbagai daerah. Sikap dukungan terhadap RUU Pornografi mereka aplikasikan dalam gerakan massa, yaitu dengan menggelar Aksi Sejuta Umat yang digelar pada tanggal 26 Mei 2006 umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP, memberantas pornografi- pornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Aksi dimulai dengan longmarch dari bundaran HI ke gedung DPR RI. Tampak hadir di tengah-tengah kerumunan massa sejumlah artis, tokoh dan ulama. Di antaranya, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, Ketua MUI Pusat KH Maruf Amien, Dra Hj. Tuty Alawiyah AS, Ustadz Hari Moekti, Inneke Koesherawati, Astri Ivo, Henki Tornado, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, KH Husein Umar, Habib Rizieq Shihab FPI, H. Muhammad Ismail Yusanto HTI, H. Mashhadi FUI, KH Zainuddin MZ PBR, H. Rhoma Irama PAMMI, Hj. Nurdiati Akma Aisyiyah, Habib Abdurrahman Assegaf, KH Luthfi Bashori DIN dan lain-lain. Dari jajaran pimpinan DPR RI, Agung Laksono Ketua DPR, Zainal Maarif Wakil Ketua DPR dan Balkan Kaplale Ketua Pansus RUU-APP. 10 Selain dukungan berupa aksi massa, dukungan lain datang berupa fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 27 Mei 2006, berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran. 11 b. Peran media massa Opini Publik dalam komunikasi kebijakan Undang-Undang Pornografi Media massa dalam hal ini adalah menginformasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pembahasan RUU Pornografi di DPR, maupun hal-hal yang relevan dengan RUU pornografi tersebut. Menurut Yoyoh Yusroh media massa juga bisa menjadi PR Public Relation dalam menyampaikan informasi tentang Undang-Undang Pornografi, tetapi jangan sampai memberitakan informasi yang berat sebelah. Hal lain yang perlu dilakukan oleh media adalah mampu mengawal dari implementasi Undang-Undang Pornografi ini kedepan, agar apa yang 10 Wikipedia, Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB dari http:wordpress.com20090721undang-undang-pornografi . 11 Wikipedia, Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 26 April 2011, pukul 11.40 WIB dari http:wordpress.com20090721undang-undang-pornografi . diduga selama ini UU Pornografi sebagai undang-undang yang diskriminasi tidak terjadi dan diharapkan tidak mendeskriditkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, perempuan, anak-anak serta industri seni dan pariwisata. Menurutnya Balkan Kaplale sebagai Ketua Pansus yang dikutip dari Vivianews.com 12 , RUU ini nondiskriminasi tanpa menimbulkan perbedaan ras, suku, dan agama. Substansi RUU juga dirasa tepat dan definisi dirasa sangat jelas. RUU ini untuk melindungi masyarakat dan sebagai tindak lanjut UU perlindungan anak dan penyiaran. c. Pesan dalam gerakan massa Pesan dalam gerakan massa dalam hal ini adalah pesan-pesan yang secara implisit maupun eksplisit dari berbagai gerakan massa yang dilakukan. Baik massa yang mendukung maupun menolak RUU Pornografi ini pasti memiliki pesan dalam melakukan aksinya. Kelompok pendukung RUU pornografi menyuarakan bahwa rancangan tersebut perlu segera disahkan mengingat semakin maraknya praktek pornografi yang sudah masuk diberbagai bidang kehidupan masyarakat. Tidak hanya perempuan yang menjadi korban tetapi justru sudah merambah kepada anak-anak yang belum mampu melihat sesuatu secara bijaksana. Kelompok yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak 12 Viva News, Kontroversi Undang-Undang Pornografi, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 18.45 WIB dari http:vivanews.com . menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Pornografi ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia. d. Pesan Partai Politik Pada tanggal 28 Oktober 2008, Pansus akan mengesahkan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi. Namun 2 dari 10 Fraksi di DPR melakukan Walk Out sebagai bentuk protes, yaitu fraksi PDIP dan fraksi PDS. Semua parpol berikut fraksinya di DPR akan menjaga pendapatnya sampai titik penghabisan demi menjaga soliditas konstituenpemilihnya. Dalam kasus ini aspek politis RUU lebih mengemuka dibanding pembahasan subtansial RUU. Dua kubu yang berseteru tetap dengan pendiriannya mempertahankan Draft yang masih bisa direvisi PKS, PPP, Golkar, PAN, Demokrat, PKB, PBR dan Draft yang belum memuaskan PDIP, PDS, berikut asumsi-asumsi, dan kesalahpahaman. Menjelang masa reses yang akan dimulai pada tanggal 18 Julli 2008 sampai dengan bulan depan, tidak menghentikan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang RUU Pornografi yang pada tahun ini rencananya harus sudah menjadi Undang-Undang UU. Tekanan politis yang begitu besar menjadikan rancangan produk Undang-Undang Pornografi hanya memenuhi target saja, ini dibuktikan oleh pernyataan Khairunisa dari Fraksi Golkar dalam hearing dengan jaringan LSM pada 7 Juli lalu, yaitu: “kami tidak mungkin menghentikan pembahasan karena RUU ini sudah menjadi warisan periode lalu yang tidak terselesaikan ”. 13 e. Pesan dari kelompok kepentingan Kelompok yang pro yang datang dari organisasi massa Islam seperti MUI, kalangan ormas Islam, serta gabungan majelis taklim dan partai-partai Islam. Mereka ini merupakan wakil dari mayoritas bangsa ini yang ingin menyelamatkan moral generasi bangsa ini dari pengaruh pornografi dan pornoaksi. Dikutip dari berita online www.republika.com, Eva Kusuma Sundari sebagai anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan FPDIP mengatakan, “Saya melihat ada kepentingan di balik rencana pengesahan RUU Pornografi yaitu RUU Pornografi akan dijadikan payung hukum perda-perda syariah,” ujarnya dalam debat di sebuah TV swasta. 14 Menanggapi tuduhan itu, Mochtar Ngabalin, anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi Partai Bulan Bintang FPBB membantahnya. “Tidak ada urusannya antara RUU Pornografi dengan perda syariah. Sebelum RUU Pornografi ini ada Perda syariah sudah ada,” ujarnya. 15 Hal yang sama disampaikan Ketua Pansus RUU Pornografi, Balkan Kaplale. Alasan PDIP dan PDS yang menganggap RUU Pornografi tersebut berbau syariah dan akan menimbulkan disintegrasi bangsa tidak berdasar. 13 Detik, 2 Fraksi WO, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.12 WIB. dari http:detiknews.com . 14 Republika, Hukum Syariah Dibalik UUP?, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http:republika.com . 15 Republika, Hukum Syariah Dibalik UUP?, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http:republika.com . “Jika ada daerah yang mengancam disintegrasi maka saya katakan itu tindakan makar, subve rsif, dan bisa dikenakan hukuman tembak,” ujar Balkan. 16 f. Pesan sesama pejabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, yang mencoba menengahi pro dan kontra yang ada. Ia mendukung Rancangan Undang-Undang Pornografi RUU Pornografi. Namun, RUU tersebut harus lebih diarahkan pada kalangan industri yang menjalankan bisnis pornografi dan pornoaksi dan menangguk keuntungan dari dua hal itu dengan perempuan sebagai komoditas. 17 Sebaliknya, menurut Meutia, RUU itu juga harus menjunjung hak- hak perempuan. Jangan mendiskreditkan kaum perempuan, seolah-olah hanya mereka saja yang disalahkan. Ia melihat, isi RUU tersebut lebih melarang pelaku, sedangkan pihak produsen tidak pernah disinggung 16 . Republika, Hukum Syariah Dibalik UUP?, artikel diakses pada tanggal 28 April 2011 pukul 19.15 WIB. dari http:republika.com . 17 Kutipan wawancara pribadi dengan Ibu Yoyoh Yusroh pada tanggal 5 Mei 2011 pukul 11.17 WIB di Gedung Nusantara 1 DPR lantai 4.

D. Perkembangan dan Penerapan Undang-undang Pornografi