2. RUU Tentang Penanganan Fakir Miskin
Tabel 3.9 Laporan Kerja Komisi VIII
No Tanggal
JudulLokasi
1. 20-12-2010 sd 24-12-
2010 Kunjungan Kerja DIY MS II TS 2010-2011
2. 07-03-2010 sd 11-03-
2010 Laporan Kunjungan kerja Komisi VIII ke Prov.
Kalimantan Selatan pada Reses Masa Persidangan II Tahun Sidang 2009-2010
3. 15-12-2009 sd 15-12-
2009 Kunjungan Kerja MP I TS 2009-2010
4. 09-03-2011
Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Sosial RI
5. 09-03-2011
Rapat Kerja dengan Kemenag R.I. 6.
03-03-2011 Rapat Kerja Komisi VIII dengan Kapolri
7. 28-02-2011
RDP Komisi VIII DPR RI dengan Dirjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI
8. 16-02-2011
Rapat Kerja dengan Meneg PP dan PA 9.
10-02-2011 RDP dengan UIN Jakarta, UIN Makassar, IAIN
Sumatera Utara dan STAIN Bukit Tinggi. 10.
09-02-2011 Rapat Kerja dengan Menteri Agama RI dan Kepala
Polri 11.
07-02-2011 Rapat Kerja dengan Kepala BNPB
12. 02-02-2011
RDP dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia 13.
01-02-2011 RDP dengan Sekretaris Utama BNPB
Sumber: Data Arsip Komisi VIII
K. Harapan terhadap Fungsi Legislasi DPR RI
Ekspetasi masyarakat terhadap DPR RI sebagai lembaga yang mengatasnamakan kepentingan untuk rakyat sangatlah besar, maka setiap
kebijakan baik berupa peraturan maupun Undang-Undang yang dibuat memberikan pengharapan yang cukup kepada rakyat.
Sekarang ini, dimana DPR RI sering menjadi sorotan publik atas segala macam kasus maupun skandal yang berkembang di DPR, seharusnya DPR
mampu membawa pengharapan rakyat sebagai lembaga tujuan utama dalam menjalankan tugasnya demi rakyat pula. Namun sayangnya, tidak ada kontrak
yang jelas antara rakyat dengan anggota DPR sehingga rakyat tidak menuntut atas itu. Maka, dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu dibenahi, yaitu:
a. Hukum harus diubah, ketika seorang anggota DPR harus lebih bertanggung jawab dan dekat terhadap pemilihnya.
b. Hukum harus menjadi dasar dan pembatas tindakan setiap warga negara, termasuk anggota DPR dan presiden.
c. Seluruh perangkat hukum, seperti MA dan Kejagung harus tetap menjaga netralitas dan independensinya terhadap penguasa.
d. Harus ada batas kewenangan baik dalam bentuk UU atau pun kode etik yang jelas bagi setiap lembaga tinggi negara.
20
Setiap kebijakan yang dibuat di DPR sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun pada implementasinya terkadang hal
tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan. Ditambah lagi faktor lain yang menjadi penting adalah ketika kebijakan diintervensi oleh kepentingan-kepentingan
sebagian orang atau pun kelompok. Hal tersebut biasanya tampak di DPR pada saat pembahasan sebuah undang-undang, sejak pembahasan dimulai di komisi,
pansus sampai pada paripurna, dan pada paripurna yang dijadwalkan dua hari selesai akibat tarik ulur kepentingan, pada akhirnya selesai dalam waktu seminggu
bahkan bisa saja sebaliknya. Hal ini yang pada akhirnya membuat kebijakan yang dibuat tidak efektif dan tidak mampu merangkul semua aspirasi masyarakat.
Intinya, memang tidak ada peraturan yang sempurna seutuhnya namun, bagaimana menyikapi peraturan tersebut secara bijaksana dari setiap elemen yang
terlibat.
20
Akhmad Bayhaqi dalam Bahaya Tirani DPR: Konflik DPR Vs Presiden: Kumpulan Analisis Para Pengamat Politik; Editor: Indra Surya Lubis Jakarta: Lembaga Studi Politik
Merdeka, 2001, h. 58-59.
71
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Pornografi
Banyak hal yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pornografi yang disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008 dalam Rapat Paripurna di DPR
tahun 2004-2009. Sebenarnya, Undang-Undang Pornografi ini yang sebelumnya adalah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sudah mulai
dibahas pada tahun 1997. Namun, pembahasan tersebut sempat tersendat akibat kendala teknis di DPR pada tahun 1997 karena adanya kisruh di DPR sendiri
akibat gejolak reformasi yang mulai dirasa. Yoyoh Yusroh selaku wakil ketua Pansus RUU Pornografi tahun 2008
mengatakan bahwa undang-undang ini terlahir akibat kecemasan negara menghadapi kasus pornografi dan pornoaksi yang kian marak setelah awal
reformasi dimulai. Saat itu sedang marak sekali peredaran Blue Film dan penampilan-penampilan di televisi yang menampilkan bagian tubuh. Sehingga hal
ini semakin memicu Komisi VI yang pada waktu itu menangani masalah bidang agama dan pemberdayaan perempuan untuk memunculkan lagi Rancangan
Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi sebagai pembahasan untuk disahkan. Namun sayangnya, pada waktu itu rancangan undang-undang tersebut
tidak masuk prolegnas tahun 1999-2004. Pada masa tahun 2004-2009 DPR RI, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi masuk melalui
Komisi VIII yang kemudian dalam perkembangannya dibahas di Badan Musyawarah. Namun saat itu pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti