Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjalani kehidupan sebagai warga negara tidak terlepas dari segala aturan yang merupakan kewenangan dari pihak yang memiliki otoritas. Output dari kewenangan tersebut adalah sebuah kebijakan yang harus dijalankan oleh masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki otoritas membuat suatu kebijakan sangatlah penting jika kebijakan tersebut melihat kepentingan masyarakat umum dengan baik. Aturan perundang-undangan dibuat guna untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakatnya dalam kehidupan bernegara. Merumuskan sebuah undang-undang harus memperhatikan proses yang berlangsung, banyaknya kepentingan dalam sebuah proses politik juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan agar undang-undang tersebut mencakup berbagai aspek kepentingan secara proposional. Undang-undang sebagai produk dari suatu kebijakan publik dirasa perlu untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah terkadang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan. Tema mengenai kebijakan publik ini diambil dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya yaitu masyarakat. Hal mengenai kebijakan publik merasa perlu untuk diteliti karena melihat selama ini setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah terkadang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Hasil dari kebijakan publik itu sendiri nantinya akan dirasakan pula oleh masyarakat sebagai sasaran suatu kebijakan. Alasan lain mengapa tema mengenai kebijakan publik ini diambil dikarenakan studi mengenai kebijakan publik ini adalah kebijakan publik memiliki sasarannya yaitu masyarakat. Bagi negara-negara yang menganut pemerintahan demokrasi seperti Indonesia, kebijakan yang diambil oleh pemerintah berupa undang-undang untuk kepentingan umum selalu memperhatikan suara dan kehendak rakyat. Umumnya kebijakan publik berkaitan erat dengan pendapat-pendapat yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian yang tinggi dan juga aktif secara langsung dalam aktivitas politik dibanding dengan orang-orang yang tidak punya perhatian atau bersikap pasif. Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Dalam hal ini DPR RI sebagai lembaga otoritas membuat suatu kebijakan. Fungsi DPR RI sebagai lembaga suprastuktur dari sebuah kegiatan politik merupakan tanggung jawab yang diberikan melalui perwakilan rakyat yang mereka emban. Lembaga negara seperti DPR RI melaksanakan fungsi legislatifnya, selalu menjadi sorotan ketika membuat suatu undang-undang. DPR RI saat ini sedang mengalami posisi yang menjadi pusat perhatian dari seluruh masyarakat. Kebijakan publik yang sering sekali mereka buat selalu mengundang kontroversi baik yang menolak atau pun menerima kebijakan tersebut, hal ini dapat terlihat dari opini publik yang berkembang dimasyarakat. Baik diketahui melalui media massa yang meliput suara publik maupun lembaga-lembaga non pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat yang menyampaikan aspirasinya kepada DPR RI. Fungsi DPR selaku badan legislatif lebih mengarah sebagai evaluator daripada pihak yang melakukan monitoring. Padahal sebagaimana disebutkan tadi, kegiatan monitoring merupakan langkah awal untuk mencapai proses evaluasi yang sesuai dan mengarah pada tujuan kebijakan. Tampaknya di beberapa lembaga tinggi negara di Indonesia, kegiatan monitoring belum dilakukan secara khusus, namun disamakan dengan proses pengumpulan data yang dilakukan sebagai bagian dari proses evaluasi kebijakan. DPR RI sebagai lembaga negara yang memiliki wewenang membuat suatu kebijakan, sering sekali langkah yang diambil cenderung tidak memihak kepada rakyat, sebagai salah satu contohnya ketika DPR RI Komisi VIII yang menangani bidang sosial, agama dan pemberdayaan perempuan membuat Undang-Undang Pornografi yang sempat menjadi polemik dan kontroversi dari berbagai pihak maupun kepentingan, maka hal tersebut merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mampu merumuskan suatu kebijakan yang mana harus mendengarkan pendapat dari publik yang berpolemik tersebut dan hal ini merupakan fenomena yang layak untuk diteliti. Komisi VIII dalam hal ini merupakan bagian dari DPR RI yang juga aktif membuat kebijakan terutama kebijakan dalam bidang sosial, agama, maupun yang paling sensitif yaitu bidang pemberdayaan perempuan. Komisi VIII inilah yang bidangnya secara khusus dekat dengan kehidupan masyarakat, terutama kalangan masyarakat bawah yang sarat dengan berbagai konflik kehidupan yang menjadi sasaran tepat dalam sebuah kebijakan publik yang diatur oleh lembaga otoritas. Dalam Komisi VIII bidang sosial merupakan aspek yang sering menjadi polemik, dikarenakan peraturan perundang-undangan bidang sosial memiliki dampak yang paling besar dalam merumuskan kebijakan. Salah satu produk dari kebijakan publik Komisi VIII DPR RI adalah Undang-undang Pornografi yang pada awalnya Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 30 Oktober 2008, setelah melalui proses yang cukup panjang dan alot. Pada mulanya undang-undang ini sudah diajukan semenjak tahun 1997 di DPR, namun dalam perjalanannya draf RUU APP terus mengalami tarik ulur karena banyaknya kepentingan. Kita menyadari pada saat bergulirnya undang-undang ini mendapat banyak sekali kontroversi yang terjadi. Banyak yang menyetujui, dan tidak sedikit pula yang menolak dari awal pembentukannya hingga disahkan menjadi undang-undang. Bagian yang menjadi kontroversi pada Undang-undang Pornografi ini adalah mengenai isi pasal RUU APP yang disatu sisi dianggap mendiskriminasikan dan disisi lain dianggap sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Kelompok-kelompok yang mendukung antara lain, MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS, sedangkan kelompok yang menolak terdiri dari aktivis perempuan feminisme, seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Jika aspirasi kedua kelompok tersebut tidak dijembatani oleh DPR RI selaku pembuat kebijakan, maka bisa saja pertikaian terjadi diantara kelompok-kelompok yang berseberangan. Pada akhirnya, kebijakan publik yang dibuat oleh DPR RI Komisi VIII ini harus melakukan proses secara baik, agar kebijakan tersebut tidak menjadi berat sebelah. Berdasarkan latar belakang di atas, saya tertarik untuk meneliti masalah kebijakan publik melalui Undang-undang Pornografi, dan penelitian ini diberi judul ” Analisis Kebijakan Publik pada Undang-undang Pornografi Komisi VIII DPR RI Bidang Sosial dalam Perpektif Model Rasional Komprehensif .”

B. Batasan dan Rumusan Masalah