Perkembangan Anak Secara Umum

sukar dimengerti oleh anak, sehingga ia tidak mampu atau tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. 64 Ada dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu: a Proses jadi matang, yaitu anak menjadi matang untuk berkata-kata organ-organ suara atau bicara sudah berfungsi. b Proses belajar, yaitu anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya. Kedua hal ini berlangsung sejak bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia sekolah dasar sudah sampai pada tingkat: dapat membuat kalimat lebih sempurna dan dapat membuat kalimat majemuk, serta dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan. 65 5 Perkembangan Pikiran. Perkembangan pikiran setingkat dan sejalan dengan perkembangan sosial, bahasa adalah alat untuk berpikir. Pada masa ini anak baru berada pada tingkat berpikir konkrit. Pikiran anak masih erat kaitannya dengan benda atau keadaan-keadaan nyata. 66 Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu mengklasifikasikan mengelompokkan, menyusun, atau mengasosiasikan menghubungkan atau menghitung angka-angka atau bilangan. Kemampuan berhitung angka, seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi. Pada akhir masa ini mulai mampu memiliki kemampuan memecahkan masalah yang sederhana. Pada masa ini anak sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis dan berhitung, serta pengetahuan tentang manusia, hewan, lingkungan alam sekitar dan sebagainya. 67 64 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 71 65 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 179-180 66 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 72 67 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 178-179 6 Perkembangan Pengamatan. Proses perkembangan pengamatan pada anak dimulai dari keseluruhan yang kabur ke makin lama makin jelas karena adanya bagian-bagian integral dalam keseluruhan itu. Misalnya proses yang dialami oleh anak untuk mengenal wajah ibunya, melalui proses seperti timbulnya gambar dalam TV yang baru saja dihubungkan dengan arus listrik. Jadi dari keseluruhan yang kabur sampai jelas tampak bagian- bagiannya. 68 7 Perkembangan Kesusilaan atau Agama. Perkembangan agama ditandai dengan ciri-ciri: a Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian. b Pandangan dan paham ketuhanan diperoleh secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya. c Pelaksanaan kegiatan ritual diterima oleh anak sebagai keharusan moral. Pada usia sekolah dasar semua pihak yang ada di sekolah yang terlibat dalam pendidikan, baik guru agama, kepala sekolah dan guru- guru yang lain mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk kualitas keagamaan anak, pendidikan agama pengajaran, pembiasaan, dan penanaman nilai-nilai. Jika semua pihak yang terlibat telah memberikan contoh suri tauladan dalam melaksanakan nilai-nilai agama yang baik, maka akan berkembang sikap positif terhadap agama dan akan berkembang kesadaran beragama pada diri anak. 69 Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama di Sekolah Dasar merupakan dasar pembinaan sikap positif anak terhadap agama dan dapat membentuk pribadi dan akhlak mulia agar anak mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi goncangan di masa remaja. 68 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 74 69 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183 Dalam pemberian materi agama, selain mengembangkan pemahaman, juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti melaksanakan shalat, berdoa dan membaca al- Qur’an, juga dibiasakan melakukan ibadah sosial, seperti akhlak terhadap sesama manusia, seperti: hormat kepada orangtua, guru dan orang lain, membantu orang lain, menyayangi fakir miskin, memelihara kebersihan dan kesehatan, bersikap jujur dan bertanggung jawab. 70 8 Perkembangan Tanggapan. Anak memperoleh bermacam-macam tanggapan dari hasil pengamatannya di dunia luar yang berasosiasi secara mekanis dan menghasilkan tanggapan yang bersifat kompleks dan emosional yang akhirnya anak akan mampu berpikir logis dan mampu menentukan hubungan sebab akibat. 71 9 Perkembangan Fantasi. Sejak anak bersekolah fantasi dalam permainan mulai mundur, bukan mundur dalam arti lenyap, tetapi mencari lapangan baru dalam berkembang karena perhatian anak terhadap kenyataan mulai berkembang. Lapangan baru itu adalah lapangan hiburan, membaca buku, dan mendengarkan cerita-cerita, sehingga fantasi anak memberikan kesempatan pada anak untuk menghayati semuanya. Sering anak menempatkan dirinya sebagai pelaku utama, sebagai pahlawan dalam kisah-kisah yang dibaca atau didengarnya. 72 10 Perkembangan Mengambil Keputusan. Kemampuan mengambil keputusan anak berhubungan erat dengan perkembangan daya abstraksinya. Artinya, makin konkrit, anak makin mudah mengambil keputusan dan makin abstrak sesuatu yang dipecahkan anak, makin sukar dalam mengambil keputusan. Saat masih kecil anak hanya mampu mengambil keputusan sederhana, misalnya: panas –dingin, buruk–baik, enak–tidak enak, dan sebagainya, makin lama 70 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183 71 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 78 72 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 80-81 anak dapat membedakan sesuatu atas beberapa keputusan. Misalnya: buruk sekali, agak buruk, hampir buruk dan sebagainya. 73 11 Perkembangan Perhatian. Perhatian merupakan salah satu faktor kemampuan psikis yang dibawa anak sejak lahir, dan berkembang yang ditentukan oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Perkembangan perhatian berkembang dari sifat yang subjektif ke arah yang objektif. Perkembangan perhatian dipengaruhi daya analisis anak. Hal-hal yang menarik perhatian anak ialah sesuatu yang baru, aneh, bagus dan lebih. 74 12 Perkembangan Estetika. Estetika adalah kemampuan jiwa yang dipergunakan untuk menentukan sesuatu dengan ukuran bagus atau tidak bagus, indah atau tidak indah, ini merupakan kemampuan kodrat yang juga ditentukan oleh faktor endogen dan faktor eksogen. 75

g. Perkembangan Agama pada Anak

Perkembangan agama pada anak-anak menurut Ernest Harmas yang ditulis oleh Dr. Jalaluddin dan Dr. Ramayulis dalam bukunya Pengantar Ilmu Jiwa Agama ada tiga tingkatan: 1 Tingkat dongeng The Fairy Tale Stage. Dimulai pada anak umur 3-6 tahun. Konsep tentang Tuhan pada tingkatan ini lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada usia ini bagi anak konsep ke Tuhanan kurang masuk akal, sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Usia ini anak masih banyak berfantasi sehingga dalam menanggapi agamapun akan masih menggunakan konsep fantastis. 2 Tingkat kenyataan The Realistic Stage. Dimulai pada usia anak mulai masuk Sekolah Dasar hingga usia adolesense. Ide ke-Tuhanan anak sudah sesuai dengan kenyataan, yang didapatkan anak dari lembaga- lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang yang lebih 73 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 79 74 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 80 75 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan…, h. 82 dewasa. Ide keagamaan anak didasarkan atas emosional, maka mereka melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di lingkungan mereka, diikuti dan tertarik untuk mempelajarinya. 3 Tingkat individu The Individual Stage. Pada tingkat individu anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi atas tiga golongan, yaitu: a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif, yang sedikit dipengaruhi oleh fantasi yang disebabkan pengaruh dari luar. b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni dengan yang dinyatakan dengan pandangan yang bersifat perorangan. c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Hal ini dipengaruhi faktor usia dan faktor luar berupa pengalaman. 76 Perkembangan agama pada anak ditandai dengan ciri-ciri: a. Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian. b. Pandangan dan paham ke-Tuhanan diperoleh secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya. c. Pelaksanaan kegiatan ritual diterima oleh anak sebagai keharusan moral. Pada usia Sekolah Dasar semua pihak yang ada di sekolah yang terlibat dalam pendidikan, baik guru agama, kepala sekolah dan guru-guru yang lain mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk kualitas keagamaan anak, pendidikan agama pengajaran, pembiasaan, dan penanaman nilai-nilai. Jika semua pihak yang terlibat telah memberikan contoh suri tauladan dalam melaksanakan nilai-nilai agama yang baik, maka akan berkembang sikap yang positif terhadap agama dan akan berkembang kesadaran beragama pada diri anak. 77 76 Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993, Cet. II, h. 33-35 77 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183 Menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama di Sekolah Dasar merupakan dasar pembinaan sikap positif anak terhadap agama dan dapat membentuk pribadi dan akhlak mulia agar anak mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi goncangan di masa remaja. Pada permulaan masa sekolah kepercayaan anak kepada Tuhan bukan berupa keyakinan hasil pemikiran, tapi merupakan sikap emosi yang membutuhkan pelindung. Hubungan anak dengan Tuhan bersifat individual dan emosional. Maka yang harus ditonjolkan kepada anak adalah sikap Pengasih dan Penyayang Tuhan, dan tidak membicarakan sifat-sifat Tuhan yang Menghukum, Membalas dengan azab neraka dan sebagainya. Semakin besar anak, semakin besar pula fungsi agama bagi anak, misalnya pada umur 10 tahun, agama mempunyai fungsi moral dan sosial bagi anak. Anak mulai menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi daripada nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga, anak mulai mengerti agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat. Maka sembahyang berjamaah, pergi ke masjid beramai-ramai, dan ibadah sosial, sangat menarik bagi anak. Pertumbuhan agama tidak terjadi sekaligus matang, tetapi melalui tahap-tahap pertumbuhan yang merupakan tangga yang dilaluinya, dari keluarga, sekolah dan akhirnya masyarakat. 78 Dalam pemberian materi agama, selain mengembangkan pemahaman, juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti melaksanakan shalat, berdoa dan membaca al- Qur’an, juga dibiasakan melakukan ibadah sosial, seperti akhlak terhadap sesama manusia, seperti: hormat kepada orangtua, guru dan orang lain, membantu orang lain, menyayangi fakir miskin, memelihara kebersihan dan kesehatan, bersikap jujur dan bertanggung jawab. 79 78 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005, Cet. XVII, h. 131-132 79 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja…, h. 182-183

B. Pembahasan Kajian yang Relevan

Menurut Abdurrahman An-Nahlawi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat menjelaskan bahwa: 1. Keluarga. Keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya kepada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam, berdasarkan al- Qur’an dan as-Sunnah, dapat dikatakan bahwa tujuan pembentukan keluarga yang menjadi tempat pendidikan anak adalah: a. Mendirikan syariat Islam dalam segala permasalahan rumah tangga. b. Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologi. c. Mewujudkan Sunnah Rasulullah SAW dengan melahirkan anak-anak saleh sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadiran anak. d. Memenuhi kebutuhan cinta-kasih anak-anak. Naluri menyayangi anak adalah potensi yang diciptakan bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang. e. Menjaga fitrah anak agar anak tidak melakukan penyimpangan- penyimpangan. 80 2. Sekolah Fungsi-fungsi fundamental pendidikan Islam melalui sekolah meliputi: a. Fungsi penyederhanaan dan penyimpangan. b. Fungsi penyucian dan pembersihan. c. Memperluas wawasan dan pengalaman anak didik melalui transfer tradisi. d. Fungsi mewujudkan keterikatan, integrasi, homogenitas, dan keharmonisan antar siswa. e. Fungsi penataan dan validasi sarana pendidikan. f. Penyempurnaan tugas keluarga dalam pendidikan. 81 3. Masyarakat 80 Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat …, h. 139-145 81 Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat …, h. 152-161