Fungsi pendidikan agama islam pada anak menurut prof. DR. Zaklah Daradjat
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
Welly Catur Satioso NIM : 106011000204
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
(2)
(3)
(4)
(5)
v
Keluarga merupakan institusi pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak, sebelum ia berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi dan kondisi dalam keluarga. Pengalaman dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan dan pertumbuhan anak untuk masa yang akan datang. Pendidikan agama yang diberikan pada anak menuntut peran serta keluarga, sekolah dan masyarakat karena dari ketiga institusi dapat memberikan pengaruh kepada anak. Pelaksanaan pendidikan agama pada anak dalam keluarga bertujuan untuk membimbing anak agar bertakwa, berakhlak mulia, menjalani ibadah dengan baik serta mencerminkan dari sikap dan tingkah laku anak dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk, serta lingkungannya.
Sesuai dengan karakteristik masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka dalam penulisannya, penulis menggunakan Metode metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen dari pemikiran tokoh yang diangkat dalam skripsi ini. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis fungsi pendidikan agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Maka dengan sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas serta diperkuat dengan wawancara langsung Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
Hasil penelitian yang penulis temukan terkait dengan fungsi pendidikan agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah bahwa lingkungan keluarga merupakan awal pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Yaitu menanamkan nilai-nilai akidah pada anak, pembinaan ibadah pada anak, menanamkan nilai-nilai akhlak pada anak. Begitu juga dengan fungsi sekolah dan masyarakat dalam pada pendidikan yang dilakukan untuk anak. Dengan demikian anak akan mampu tumbuh berkembang dan mampu menghadapi tantangan zaman modern sekarang ini, serta mampu menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah.
(6)
vi
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas berkat, rahmat, taufik, hidayah dan limpahan petunjuk-Nyalah akhirnya penulisa dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK MENURUT PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia.
Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa terimakasih kepada orang-orang yang tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terima kasih secara khusus kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Bahrissalim, M.Ag, Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.
3. Drs. Sapiudin Shiddiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Abdul Ghofur M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis.
5. Heny Narendrany Hidayati, S.Ag, M.Pd, Dosen Pembimbing skripsi, yang tidak pernah menutup pintu keluasan waktunya untuk membimbing dan memberikan semangat dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), terutama untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan motivasi dan kontribusi, selama penulis menjadi mahasiswa.
7. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(7)
vii
Siregar dan Habsah, Mbah Dakir dan Ibu, Kakak-kakak terbaik Rahmat Jaya Santika (a’ Ucok), MD. Fajri, Teh Kunet, Mbak Anggi, Teh Yanah, A’ Rosadi, Mbak Mie (yang sabar ya mbak semoga Allah memberi jalan terbaik), Mas Pur, Mbak Surani. Buat keponakan tersayang Ilham, Dea, Ncin, Fawazd, Eki, Rafi dan Rasya Skripsi ini untuk kalian semua.
9. Unayah yang telah mewarnai hari-hari penulis dari kejenuhan dan segala kesulitan, yang memberikan inspirasi dan motivasi terbesar, dan selalu ada buat penulis, baik suka maupun duka.
10.Abah Jaenudin, Ibu, Mia dan Ayu terimakasih motivasi yang selama ini diberikan. Semoga harapan dan doa kita terkabul.
11.Kawan-kawan yang aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, para alumni Cecep, Fadli, dkk., atas segala bimbingannya dan yang senior lain yang tak mungkin tersebut satu persatu, teman-teman Pimpinan Cabang 2009-2010 Iqbal, Arji, Aos, Muhib, Muis, Ipul, Irma, Sarah, Rini dan Ewi. Teman-teman Pimpinan Cabang 2010-2011 Fahmi, Mayang, Ida, Dimas, Nuy, Amel, Rina, Beni, Muamar, Redi, Iman, Adik-adik di komisariat Tarbiyah maupun yang lain Rendi, Fauzi, Rivaldi, Zuhri, Coco, Qiqi, Fadli, Dimas, Fahmi, Dinah, Shidiq dan yang lain tetaplah berlatih berorganisasi, dan selalu semangat dalam berjuang untuk ikatan kelak kalian akan tahu arti sebuah tanggung jawab.
12.Gen B (Azzavirtium) yang ada di Jakarta semoga kita tetap bisa menjaga almamater dengan baik dan lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.
13.Kawan-kawan jurusan PAI khususnya kelas E Sule dan Ana (Semoga anak pertama lahir dengan selamat dan menjadi anak yang shaleh), IRAK TEAM dan yang lain semoga persaudaraan dan persahabatan yang kita jalin selama ini membawa kebaikan buat kita semua.
14.Kawan-kawan Ipunk’s Hotel maaf selalu disibukkan, SC team terimakasih buat waktunya.
15.Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral maupun material.
(8)
viii sekedar jadi tuntutan kuliah belaka.
Billâhi fî sabîlilhaq fastabiqulkhairât..
Ciputat, 15 Mei 2011
Penulis Welly C.S
(9)
ix
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KAJIAN TEORITIK ... 6
A. Acuan Teori ... 6
1. Biografi Prof. Dr. Zakiah Daradjat ... 6
a. Riwayat Hidup dan Pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat ... 6
b. Aktivitas dan Karya-karyanya ... 10
2. Pendidikan Islam ... 13
a. Pengertian Pendidikan Islam ... 13
b. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 17
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ... 23
d. Metodologi Pendidikan Islam ... 26
e. Ruang Lingkup Pendidikan Islam ... 28
3. Perkembangan pada Anak ... 29
(10)
x
e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Anak ... 37
f. Perkembangan Anak Secara Umum ... 38
g. Perkembangan Agama pada Anak ... 44
B. Pembahasan Kajian yang Relevan ... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 51
A. Waktu Penelitian ... 51
B. Metodologi Penulisan ... 51
C. Fokus Penelitian ... 53
D. Prosedur ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 55
A. Temuan Hasil Analisis Kritis Deskriptif ... 55
1. Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat ... 55
a. Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat . ... 56
1). Keluarga sebagai Wadah Pertama Pendidikan Anak 56 2). Keluarga sebagai Peletak Dasar Kepribadian Anak . 66 3). Peran Keluarga dalam Pendidikan Agama Anak ... 77
4). Peran Keluarga dalam Pembentukan Sifat-Sifat Terpuji pada Anak ... 81
b. Fungsi Sekolah dalam Pendidikan Agama pada Anak Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat . ... 84
1). Taman Kanak-kanak ... 85
(11)
xi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahKeluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana ia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya.1
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi seorang anak. Hal ini terjadi, karena seorang anak memiliki ikatan darah/keturunan dengan kedua orang tuanya yang tidak bisa dipisahkan hingga akhir hayat. Bagi ayah dan ibu, anak bukan hanya sebagai amanah yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya,
1
Yusuf Muhammad Al-Hasan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997), Cet. I, h. 10
(13)
melainkan juga2 kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan keinginan dan dambaan hampir setiap pasangan suami-istri. Salah satu dari tujuan pernikahan adalah menghasilkan keturunan. Fakta sosial sering menunjukkan, pernikahan yang tak kunjung membuahkan momongan, kehidupan rumah tangganya sering diwarnai percekcokan dan saling menyalahkan seputar siapa pihak yang tidak mampu memberikan keturunan. Bahkan kelestariannya pun acap kali sulit dipertahankan.
Keharmonisan keluarga dan keserasian antara bapak dan ibu, punya pengaruh besar terhadap tingkah laku anak. Sekian banyak penyakit moral; egois, anarkhis, hilangnya rasa percaya diri, sombong, munafik (hipokrit), dan tidak bertanggung jawab adalah bersumber dan berawal dari suasana kehidupan keluarga. Sekolah dan masyarakat tak akan mampu meluruskannya.3 Keluarga bagi anak adalah segala-galanya. Citra diri anak mengidentifikasikan dari citra kedua orang tuanya.
Dalam hal ini Prof. Dr. Zakiah Daradjat (tokoh yang akan diteliti dalam skripsi ini) mempunyai pandangan tentang pendidikan anak. Karyanya antara lain adalah Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Ilmu Pendidikan Islam, dan Ilmu Jiwa Agama.
Prof. Dr. Zakiah Daradjat mengatakan pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut sebagai baligh berakal.4 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembinaan kepribadian anak telah mulai dalam keluarga sejak ia lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Kepribadian yang
2
Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Persperktif al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 256
3
Abuddin Nata, dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 236
4
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, h. 41
(14)
masih dalam permulaan pertumbuhan sangat peka dan mendapatkan unsur pembinanya melalui pengalaman yang dirasakan, baik melalui pendengaran, penglihatan, perasaan dan perlakuan yang diterimanya. Anak masih belum mampu menilai baik dan buruk, bahkan belum dapat mengerti tentang apa yang dimaksud dengan kata baik dan kata buruk, apalagi kata-kata lain di luar jangkauan pengalamannya secara nyata. Karena kecerdasannya masih dalam permulaan pertumbuhan, belum dapat berpikir logis dan abstrak, pada umur tujuh tahun barulah mulai pertumbuhan pemikiran logis pada anak.5 Anak adalah masa pertumbuhan manusia sejak usia 0-12 tahun. Masa usia dapat dibagi dua, yaitu masa usia anak awal atau pra sekolah yaitu sejak usia 0 sampai 6 tahun dan masa usia anak akhir adalah masa Sekolah Dasar yaitu sejak usia 6 sampai 12 tahun.6
Seorang anak masih membutuhkan perhatian dan pengawasan yang ekstra dari orang tuanya, tetapi yang terlihat sekarang banyak anak-anak yang menghabiskan waktunya hanya untuk bermain. Banyak terlihat warnet-warnet atau PS yang diisi oleh anak-anak dari siang hingga malam hari. Lalu dimanakah peran orang tua dalam mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka?
Prof. Dr. Zakiah Daradjat menambahkan tentang prinsip-prinsip penting dalam pendidikan, pendidikan dalam keluarga dan pendidikan di sekolah. Konsep pendidikan anak yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat menurut hemat penulis perlu mendapat sorotan yang serius dan diharapkan dapat memberikan solusi bagi permasalahan pendidikan anak di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengenal lebih jauh konsep pendidikan anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat maka penulis tuangkan
dalam skripsi yang berjudul “FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PADA ANAK MENURUT PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT”
5
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 3
6
(15)
B. Identifikasi Masalah
Seperti yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang pendidikan anak. 2. Bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut
Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
3. Isi pendidikan anak dalam keluarga menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat 4. Bagaimana pendidikan agama pada anak di Sekolah
5. Bagaimana pendidikan agama pada anak di lingkungan masyarakat.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan yang telah disampaikan di atas, maka penulis merasa perlu untuk membatasi pembahasan pada masalah sebagai berikut: Fungsi keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam pendidikan agama Islam pada anak dalam buku Pendidikan Islam dalam keluarga dan Sekolah, Ilmu Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
2. Perumusan Masalah
Dengan demikian rumusan masalah dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana sebenarnya fungsi pendidikan agama Islam pada anak menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat?
D. Tujuan dan Mafaat Penelitian.
Pembahasan dalam skripsi ini diharapkan mampu menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dari pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat sebagai tokoh pembaharuan pendidikan di Indonesia tentang fungsi keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pendidikan agama pada anak.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah selain untuk memberikan informasi bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang tokoh, pemikiran dan konsep Prof. Dr. Zakiah Daradjat tentang fungsi keluarga,
(16)
sekolah dan masyarakat dalam pendidikan agama pada anak, juga sumbangsih kepada khzanah keilmuan bagi para akademisi, para intelektual dan para pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang sosok tokoh pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
(17)
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A.
Acuan Teori
1. Biografi Prof. Dr. Zakiah Daradjat
a. Riwayat Hidup dan Pendidikan Prof. Dr. Zakiah Daradjat
Zakiah Daradjat dilahirkan di Ranah Minang, tepatnya di Kampung Kota Merapak, kecamatan Ampek Angkek, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 6 November 1929. Ayahnya bernama H. Daradjat Husain, yang memiliki dua istri. Dari istrinya yang pertama, Rafi’ah, ia memiliki enam anak, dan Zakiah adalah anak pertama dari keenam bersaudara. Sedangkan dari istrinya yang kedua, Hj. Rasunah, ia dikaruniai lima orang anak. Dengan demikian, dari dua istri tersebut, H. Daradjat memiliki 11 orang putra. Walaupun memiliki dua istri, ia cukup berhasil mengelola keluarganya. Hal ini terlihat dari kerukunan yang tampak dari putra-putrinya. Zakiah memperoleh perhatian yang besar dari ibu tirinya, sebesar kasih sayang yang ia terima dari ibu kandungnya.1
H. Daradjat yang bergelar Raja Ameh (Raja Emas) dan Rapi’ah binti Abdul Karim, sejak kecil tidak hanya dikenal rajin beribadah, tetapi juga tekun belajar. Keduanya dikenal aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Ayahnya dikenal aktif di Muhammadiyah sedangkan ibunya aktif di Partai
1
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 233
(18)
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Seperti diketahui kedua organisasi tersebut menduduki posisi penting dalam dinamika Islam di negeri ini. Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi yang sukses mengelola lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak modern, sementara PSII adalah organisasi Islam yang memiliki kontribusi besar terhadap bangkitnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat muslim Indonesia.
Sebagaimana umumnya masyarakat Padang, kehidupan keagamaan mendapat perhatian serius di lingkungan keluarganya. Keluarga Zakiah sendiri, seperti diakuinya, bukan dari kalangan ulama atau pemimpin agama.
“Kakek saya bahkan seorang abtenar,” katanya. Kakek Zakiah dari pihak
ayah menjabat sebagai tokoh adat di Lembah Tigo Patah Ampek Angkek Candung. Kampung Kota Merapak pada dekade tahun 30-an dikenal sebagai kampung yang relijius. Zakiah menuturkan, “Jika tiba waktu shalat, masyarakat kampung saya akan meninggalkan semua aktivitasnya dan bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai Muslim.” Pendeknya, suasana keagamaan di kampung itu sangat kental.
Dengan suasana kampung yang relijius, ditambah lingkungan keluarga yang senantiasa dinafasi semangat keislaman, tak heran jika sejak kecil Zakiah sudah mendapatkan pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Sejak kecil ia sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama. Pada perkembangannya, Zakiah tidak sekedar hadir, kadang-kadang dalam usia yang masih belia itu Zakiah sudah disuruh memberikan ceramah agama.
Pada usia 6 tahun, Zakiah mulai memasuki sekolah. Pagi belajar di
Standard Shcool (Sekolah Dasar) Muhammadiyah, sementara sorenya mengikuti sekolah Diniyah (Sekolah Dasar Khusus Agama). Hal ini dilakukan karena ia tidak mau hanya semata-mata menguasai pengetahuan umum, ia juga ingin mengerti masalah-masalah dan memahami ilmu-ilmu keislaman. Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Zakiah melanjutkan ke
Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang. Seperti halnya ketika duduk di Sekolah Dasar, sore harinya ia juga mengikuti kursus di SMP. Namun, pada
(19)
saat duduk di bangku SMA, hal yang sama tidak lagi bisa dilakukan oleh Zakiah. Ini karena, lokasi SMA yang relatif jauh dari kampungnya, yaitu Bukittinggi. Kiranya, dasar-dasar yang diperoleh di Kulliyatul Mubalighat
ini terus mendorongnya untuk berperan sebagai mubaligh hingga sekarang. Pada tahun 1951, setelah menamatkan SMA, Zakiah meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Pada masa itu anak perempuan yang melanjutkan pendidikan di kota lain masih sangat langka. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan masih sangat kecil. Kesadaran itu hanya muncul di kalangan pejabat, pemerintah, dan elit masyarakat pada umumnya. Akan tetapi hal itu tampaknya tidak berlaku bagi masyarakat Minang. Kuatnya tradisi merantau di kalangan masyarakat Minang dan garis keluarga yang bercorak materilinial membuka kesempatan luas bagi perempuan Minang untuk melakukan aktivitas-aktivitas sosial, termasuk melanjutkan studi di kota lain. Konteks sosial budaya semacam ini merupakan pondasi bagi Zakiah untuk terus meningkatkan kualitas dirinya melalui pendidikan.
Di kota pelajar, Zakiah masuk Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)-kelak menjadi IAIN Sunan Kalijaga. Di samping di PTAIN, Zakiah juga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Pertimbangannya seperti diungkapkan adalah keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu agama dan umum. Akan tetapi kuliahnya di UII harus berhenti di tengah jalan. “Pada tahun ketiga di PTAIN, saya mendapat teguran dari beberapa dosen. Mereka menyarankan agar saya konsentrasi
saja di PTAIN,” cerita Zakiah prihal keluarnya dari UII.
Zakiah dari awal tercatat sebagai mahasiswa ikatan dinas di PTAIN. Sekitar tahun 50-an PTAIN merupakan perguruan tinggi yang masih baru. Tenaga pengajarnya, lebih-lebih yang memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu tertentu boleh dibilang sedikit terutama jika dibandingkan dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena kondisi inilah PTAIN banyak menawarkan ikatan dinas kepada mahasiswanya.
(20)
Belajar ke Mesir
Setelah Zakiah mencapai tingkat Doktoral Satu (BA), bersama sembilan orang temannya yang kebetulan semuanya laki-laki mendapatkan tawaran dari DEPAG untuk melanjutkan studi ke Kairo, Mesir. Beasiswa ini merupakan realisasi dari kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Mesir dalam bidang pendidikan. Di antara kandidat, Zakiah merupakan satu-satunya perempuan yang mendapatkan kesempatan melanjutkan studi. Tawaran itu disambut Zakiah dengan perasaan gembira sekaligus was-was. Gembira karena tawaran ini memberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Lagi pula pada saat itu perempuan Indonesia yang melanjutkan studi ke luar negeri boleh dibilang langka. Was-was karena merasa kuatir tidak sanggup menjalaninya dengan baik. Namun sebelum menyatakan menerima tawaran itu, Zakiah terlebih dahulu konsultasi dengan kedua orang tuanya. Ternyata kedua orang tuanyapun tidak keberatan Zakiah melanjutkan studinya ke Mesir.
Tradisi melanjutkan studi ke Timur Tengah, khususnya Haramain
(Mekkah dan Madinah) dan Mesir sudah berlangsung lama. Kaum terpelajar Indonesia sejak abad-abad lalu telah menjadikan Timur Tengah sebagai kiblat keilmuan. Tidak sedikit tamatan Timur Tengah yang mewarnai percaturan intelektual di negeri ini, khususnya berkaitan dengan upaya-upaya pembaharuan Islam.
Pada tahun 1956, Zakiah bertolak ke Mesir dan langsung diterima (tanpa dites) di Fakultas Pendidikan Universitas Ein Syams, Kairo, untuk program S2. Pada waktu itu, antara pemerintah Indonesia dan Mesir sudah menjalin kesepakatan bahwa doktoral satu di Indonesia disamakan dengan S1 di Mesir. Inilah kiranya yang menyebabkan Zakiah langsung diterima tanpa tes di Universitas Ein Syams.
Zakiah berhasil meraih gelar MA dengan tesis tentang Problema Remaja di Indonesia pada 1959 dengan spesialisasi mental-hygiene dari Universitas Eins Syams, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca sarjana dengan spesialisasi pendidikan dari Universitas yang sama.
(21)
Selama menempuh program S2 inilah Zakiah mulai mengenal klinik kejiwaan. Ia bahkan sudah sering berlatih praktik konsultasi psikologi di klinik universitas.
Pada waktu Zakiah menempuh program S3 perkembangan ilmu psikologi di universitas Ein Syams masih didominasi oleh psikoanalisa, suatu mazhab psikologi-dipelopori oleh Sigmund Freud- yang mendudukkan alam tak sadar sebagai faktor penting dalam kepribadian manusia. Sedangkan metode non-directive dari Carl Rogers yang menjadi minat Zakiah baru mulai dirintis dan diperkenalkan di universitas. Karena itu, ketika Zakiah mengajukan disertasinya mengenai psikoterapi model non-directive dengan fokus psimoterapi bagi anak-anak bermasalah, ia mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pihak universitas. Selanjutnya, pada tahun1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, Zakiah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang psikologi dengan spesialisasi kesehatan mental dari universitas Eins Syams.2
b. Aktivitas dan Karya-karyanya 1) Menapaki Karier di Dunia Birokrasi
Pada dekade 1960-an, Departemen Agama dipimpin oleh KH. Saifuddin Zuhri, kiai-politisi dari lingkungan NU. Situasi politik saat itu diwarnai oleh persaingan, bahkan konfrontasi antara tiga golongan, yaitu golongan nasionalis, komunis, dan agama. Membaca situasi seperti itu, langkah pertama yang ditempuh Saifuddin adalah merumuskan acuan operasional yang bersifat yuridis-formal tentang keberadaan dan fungsi Depag. Langkah ini dimaksudkan untuk memperkokoh posisi Depag dalam percaturan politik di Indonesia. Saifuddin juga menaruh perhatian khusus kepada perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Depag (Madrasah dan IAIN) pada masa kementrian Saifuddin, IAIN yang semula berjumlah dua, Jakarta dan
2
Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof.Dr. Zakiah Daradjat, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu dengan Pusat penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1999) Cet. I, h. 4-9
(22)
Yogyakarta, berkembang menjadi Sembilan. Secara berturut-turut berdiri IAIN di kota-kota Surabaya, Banda Aceh, Ujung Pandang, Banjarmasin, Padang, Palembang, dan Jambi, serta cabang-cabangnya yang berlokasi di kota-kota kabupaten.
Dalam situasi itulah Zakiah tiba di tanah air. Setelah meraih gelar Doktor Psikologi, Zakiah langsung pulang ke Indonesia. Sebagai mahasiswa ikatan dinas, pertama-tama yang dilakukannya adalah melapor kepada Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Menag memberi keleluasaan kepada Zakiah untuk memilih tempat tugas. Meskipun demikian, sepenuhnya Zakiah menyerahkan penugasannya kepada Menag. Bagi Zakiah memang banyak tawaran mengajar. IAIN Yogya (pada 1960-an PTAIN sudah diubah menjadi IAIN) sebagai almamaternya, meminta agar Zakiah kembali ke sana; sementara IAIN Padang dan IAIN Palembang yang masih tergolong baru, juga meminta kesediaan Zakiah untuk “mengabdikan” ilmunya. Zakiah memaparkan undangan mengajar itu kepada Menag. Sebagai jalan tengah, oleh Menag, Zakiah ditugaskan di Departemen Agama Pusat, di Jakarta, dengan pertimbangan agar Zakiah bisa mengajar di berbagai IAIN sekaligus. Sejak itu, Zakiah menjadi dosen keliling, dan ia tetap berkantor di Jakarta.
Pada 1967, Zakiah ditunjuk untuk menduduki jabatan Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur. Jabatan ini dipegang hingga Menag digantikan oleh KH. Muhammad Dachlan. Bahkan ia baru meninggalkan jabatan ini ketika kursi Menag diduduki oleh A. Mukti Ali.
Pada 1977, ketika A. Mukti Ali menjabat sebagai Menag, Zakiah dipromosikan untuk menjadi Direktur di Direktorat Pendidikan Agama. Ketika menjabat direktur inilah muncul dua peristiwa besar yang menyangkut pendidikan Islam di Indonesia, yaitu SKB Tiga Menteri, dan
“Kasus Uga” (Urusan Guru Agama).3
3
Jajat Burhanudin, ed, Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 143-149
(23)
2) Karya-karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat
Di antara karya Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah: a) Penerbit Bulan Bintang
(1) Ilmu Jiwa Agama tahun 1970.
(2) Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental tahun 1970. (3) Problema Remaja di Indonesia tahun 1974.
(4) Perawatan Jiwa untuk anak-anak tahun 1982. (5) Membina nilai-nilai moral di Indonesia tahun 1971. (6) Perkawinan yang Bertanggung Jawab tahun 1975. (7) Islam dan Peranan Wanita tahun 1978.
(8) Peranan IAIN dalam Pelaksanaan P4 tahun 1979. (9) Pembinaan Remaja tahun 1975.
(10) Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga tahun 1974. (11) Pendidikan Orang Dewasa tahun 1975.
(12) Menghadapi Masa Manopoase tahun 1974. (13) Kunci Kebahagiaan tahun 1977.
(14) Membangun Manusia Indonesia yang Bertakwa kepada Tuhan YME tahun 1977.
(15) Kepribadian Guru tahun 1978.
(16) Pembinaan Jiwa/Mental tahun 1974 Penerbit PT Bulan Bintang. b) Penerbit Gunung Agung.
(1) Kesehatan Mental tahun 1969.
(2) Peranan Agama dalam Kesehatan Mental tahun 1970. (3) Islam dan Kesehatan Mental tahun 1971.
c) Penerbit YPI Ruhama
(1) Shalat Menjadikan Hidup Bermakna tahun 1988. (2) Kebahagiaan tahun 1988.
(3) Haji Ibadah yang Unik tahun 1989.
(4) Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental tahun 1989. (5) Doa Menunjang Semangat Hidup tahun 1990.
(24)
(6) Zakat Pembersih Harta dan Jiwa tahun 1991. (7) Remaja, Harapan dan Tantangan tahun 1994.
(8) Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah tahun 1994. (9) Shalat untuk anak-anak tahun 1996.
(10) Puasa untuk anak-anak tahun 1996 Penerbit YPI Ruhama. d) Penerbit Pustaka Antara
(1) Kesehatan Jilid I, II, III tahun 1971.
(2) Kesehatan (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) Jilid IV tahun 1974.
(3) Kesehatan Mental dalam Keluarga tahun 1991.4
2. Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam
Secara alamiah, manusia sejak dalam rahim ibu sampai meninggal dunia mengalami proses tumbuh dan berkembang tahap demi tahap. Begitu pula kejadian alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dalam proses setingkat demi setingkat. Baik perkembangan manusia maupun kejadian alam semesta yang berproses adalah terjadi dan berlangsung menurut ketentuan Allah yang biasa disebut sebagai sunatullah. Tidak ada satu makhluk ciptaan Tuhan di atas dunia ini dapat mencapai kesempurnaan dan kematangan hidup tanpa melalui proses.
Demikian pula pendidikan sebagai salah satu usaha untuk membina dan mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia jasmani dan rohani agar menjadi manusia yang berkepribadian harus berlangsung secara bertahap. Dengan kata lain, terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai individu, sosial dan sebagai manusia bertuhan hanya dapat tercapai apabila berlangsung melalui proses menuju kearah akhir pertumbuhan dan perkembangannya sampai kepada titik optimal kemampuannya. Menurut
4
Tim Penerbitan Buku 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia 70 tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat..., h. 62-64
(25)
Herbert Spencer (seorang filosof pendidikan Inggris) pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk hidup sempurna.5
Menurut John Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
Menurut Ahmad D. Rimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.6
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.7 Jadi pendidikan menunjukkan adanya suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya.
Pendidikan Islam secara etimologi pengertiannya diwakili oleh istilah ta’lim dan tarbiyah yang berasal dari kata dasar: „allama dan rabba
yang digunakan dalam al-Qur’an, walaupun konotasi kata tarbiyah lebih luas karena mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik serta sekaligus mengandung makna mengajar („allama). Dalam konteks pendidikan Islam ada beberapa konsep yang sering digunakan secara
5
HM. Djumransjah, dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam; Menggali
“Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi, (Malang: UIN Malang Press, 2007), Cet. I, h.11-12
6
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 2-4
7
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, (Jakarta: Detjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), Cet. II, h. 34
(26)
bergantian yaitu: (a) Ta’lim, pendidikan yang menitikberatkan pada pengajaran, penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu, (b) Tarbiyah,
yaitu pendidikan yang menitikberatkan pada pembentukan dan pengembangan pribadi dalam rangka penerapan norma dan etika, (c) Ta’dib, yaitu pendidikan yang memandang peroses sebagai usaha keras untuk membentuk keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat, sehingga peserta didik mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara fungsional, teratur dan terarah serta efektif.8
Pendidikan Islam menurut Dr. Miqdad Yaljan (seorang Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Universitas Muhammad bin Su’ud di Riyadh Saudi Arabia) diartikan sebagai usaha menumbuhkan dan membentuk manusia muslim yang sempurna dari segala aspek yang bermacam-macam: aspek kesehatan, akal, keyakinan, kejiwaan, akhlak, kemauan, daya cipta dalam semua tingkat pertumbuhan yang disinari oleh cahaya yang dibawa oleh Islam dengan versi dan metode-metode pendidikan yang ada.
Pendidikan Islam menurut Dr. Mohammad Fadil al-Jamaly (Guru Besar Pendidikan di Universitas Tunisia) adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar atau fitrah dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).9
Pendidikan Islam menurut Prof. H. Muzayyin Arifin, M.Ed. adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.10
8
Rahmat Rais, Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah; Studi Pengembangan Madrasah pada MAN I Surakarta, (Jakarta: Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Cet. I,h. 55-56
9
HM. Djumransjah, dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam; Menggali
“Tradisi”, Mengukuhkan Eksistensi…, h. 16-17
10
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. VI, h. 152
(27)
Pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnya.11
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian; pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam; karena itu pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal”.12
Dari beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas maka dapat diambil beberapa pengertian tentang pendidikan Islam, yaitu:
1) Sebagai usaha bimbingan ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam.
2) Suatu usaha sadar untuk mengarahkan dan mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan), kejiwaan, keyakinan, kemauan dan perasaan, serta pancaindra dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
3) Bimbingan secara sadar dan terus-menerus yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar), secara individual maupun kelompok sehingga manusia mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar.
11
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 40-41
12
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 150
(28)
b. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan. Landasan itu terdiri dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad,
al-Maslahah al-Mursalah, Istihsan, Qiyas, dan sebagainya.13
1) Al-Qur’an
Penurunan al-Qur’an diawali dengan ayat-ayat yang mengandung konsep pendidikan, dapat menunjukkan bahwa tujuan al-Qur’an yang terpenting adalah mendidik manusia melalui metode yang bernalar serta sarat dengan kegiatan meneliti, membaca, mempelajari, dan observasi ilmiah terhadap manusia sejak manusia masih dalam bentuk segumpal darah dalam rahim ibu. Sebagaimana firman Allah:14
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).15
Dasar pelaksanaan pendidikan Islam, Allah berfirman:
13
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 19
14
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 31
15
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 597
(29)
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh
(al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52).16
Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridhai Allah SWT.17
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad SAW bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki perbendaharaan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan manusia. Ia merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensi al-Qur’an tidak akan pernah mengalami perubahan. Kemungkinan terjadinya perubahan hanya sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang menghendaki kedinamisan pemaknaannya, sesuai dengan konteks zaman, situasi, kondisi, dan kemampuan manusia dalam melakukan interpretasi.
Isi al-Qur’an mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu menyentuh seluruh potensi manusia, baik motivasi untuk mempergunakan pancaindera dalam menafsirkan alam semesta bagi kepentingan formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan Islam), motivasi agar manusia mempergunakan akalnya, lewat tamsilan-tamsilan Allah SWT dalam
al-Qur’an maupun motivasi agar manusia mempergunakan hatinya agar
mampu mentransfer nilai-nilai pendidikan Ilahiah, dan lain sebagainya. Ini semua merupakan sistem umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT
16
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 489
17
(30)
dalam al-Qur’an, agar manusia dapat menarik kesimpulan dan melaksanakan semua petunjuk tersebut dalam kehidupan sebaik mungkin.
Bila ditinjau dari proses turunnya al-Qur’an yang berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi turunnya, merupakan proses pendidikan yang ditunjukkan Allah kepada manusia. Dengan proses tersebut memberikan nuansa baru bagi manusia untuk melaksanakan proses pendidikan secara terencana dan berkesinambungan, layaknya proses turunnya al-Qur’an, dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya.
2) As-Sunnah
Sunnah secara bahasa banyak artinya, antara lain adalah:
s
uatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk. Misalnya sabda Nabi:“Barang siapa yang membuat suatu jalan (Sunnah) kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat suatu jalan (Sunnah) yang buruk, kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
(HR. at-Tirmidzi).
Makna sunnah yang lain adalah yaitu tradisi yang kontinu18, misalnya firman Allah:
“Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.”
(QS. Al-Fath: 23).19
18
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2009), Cet. I, h. 5
19
(31)
Menurut istilah sunnah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya adalah:
Menurut ulama hadits (Muhadditsin), sunnah adalah segala perkataan Nabi SAW. perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.
Menurut ulama Ushul Fikih (Ushuliyun) sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW. baik yang bukan dari al-Qur’an baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuanyang patut dijadikan dalil hokum syara’.
Menurut ulama Fikih (Fuqaha) sunnah adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Nabi SAW. dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.
Menurut ulama maw’izah (Ulama al-Wazhi wa al-Irsyad) sunnah
adalah sesuatu yang datang dari nabi dan para sahabat.20
Contoh yang diberikan oleh beliau dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, hadits qauliyah yaitu yang berisikan ucapan, pernyataan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits fi’liyah yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan nabi. Ketiga, hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan nabi atas tindakan dan peristiwa yang terjadi. Ini merupakan sumber dan acuan yang dicontohkan oleh nabi kepada umat Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini
disebabkan karena syari’ah yang terkandung dalam al-Qur’an masih bersifat
global, walaupun secara umum bagian terbesar dari syari’ah Islam telah terkandung di dalamnya, namun muatan hukum yang terkandung, belum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan umat secara terperinci dan analitis. Keberadaan hadits Nabi sangat diperlukan sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum Quraniah yang ada, sekaligus sebagai petunjuk (pedoman) bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspek
20
(32)
kehidupan,21untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru dan pendidik utama. Beliau mendidik pertama kali dengan menggunakan rumah al-Arqam ibn Abi al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyrakat Islam.
Oleh karena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk Sunnah yang berkaitan dengan pendidikan.22 3) Ijtihad
Ijtihad secara etimologi adalah usaha keras dan bersungguh-sungguh (gigih) yang dilakukan oleh para ulama, untuk menetapkan hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas persoalan tertentu. Secara terminologi ijtihad adalah ungkapan atas kesepakatan dari sejumlah ulil amri dari umat Muhammad SAW dalam suatu masa, untuk menetapkan hukum syari’ah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi (batasan yang dikembangkan oleh al-Amidy). Menurut Abu Zahrah ijtihad adalah produk ijma’ (kesepakatan) para mujtahid muslim, pada suatu periode terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, untuk menetapkan hukum
syara’ atas berbagai persoalan umat yang bersifat amaly.23
Menurut para fuqaha, ijtihad adalah berpikir dengan menggunakan
seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan
atau menentukan suatu hukum syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan bahasa lain pelaksanaan
21
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet. I, h. 95-97
22
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 21
23
(33)
ijtihad harus tetap mengikuti koridor yang telah diatur oleh mujtahid dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.24
Ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah wafatnya Rasulullah. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja di bidang materi atau isi, melainkan juga di bidang sistem dalam artinya yang luas.
Ijtihad di bidang pendidikan sangat penting karena ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya saja. Jika ada yang terperinci, perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip tersebut. Sejak turunnya al-Qur’an sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.25
Ijtihad di bidang pendidikan, utamanya pendidikan Islam sangat perlu dilakukan, karena media pendidikan merupakan sarana utama untuk membangun pranata kehidupan sosial dan kebudayaan manusia untuk mencapai kebudayaan yang berkembang secara dinamis, hal ini ditentukan oleh sistem pendidikan yang dilaksanakan dan senantiasa merupakan pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai serta prinsip pokok al-Qur’an dan Hadits. Proses ini akan mampu mengontrol manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.26
24
Hasniyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Quantum Teaching, 2008), Cet. I, h. 27
25
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 21-22
26
(34)
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia agar menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT, dengan mendekatkan diri kepada Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, baik ibadah yang yang telah ditentukan aturan dan tatacaranya oleh Allah dan Rasul-Nya (Ibadah Makhdah), maupun yang belum ditentukan. Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah27:
Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56).28
Tujuan tertinggi pendidikan Islam menurut al-Syaibani, adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.29 Sesuai dengan firman Allah:
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201).30
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan
fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.31
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut al-Qur’an meliputi: 1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, 2) menjelaskan hubungan sebagai makhluk sosial dan tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, 3) menjelaskan
27
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 173
28
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 523
29
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dari
Falsafatut Tarbiyyah al-Islamiyah oleh Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 406
30
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 31
31
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(35)
hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, 4) menjelaskan hubungannya dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta.32
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari 5 sasaran, yaitu: 1) membentuk akhlak mulia, 2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, 3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara dari segi kemanfaatannya, 4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik, 5) mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.33
Jadi tujuan pendidikan Islam merupakan usaha dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan kepribadian, moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya, profesionaliasi sehingga mampu menunjukkan iman dan amal shaleh sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan al-kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia maupun akhirat.
Fungsi pendidikan Islam menurut Kurshid Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Majid dan Jusuf Mudzakir dalam buku Ilmu Pendidikan Islam, adalah:
1) Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
2) Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru
32
Al-Rasidin, dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 36-37
33
(36)
ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial ekonomi.34
Fungsi pendidikan Islam di sekolah menurut Abdul Majid dan Dian Andayani adalah sebagai:
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2) Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
3) Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam.
4) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pamahaman dan pengalaman ajaran Islam.
5) Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
6) Pengajaran tentang Ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya.
7) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang
34
Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. II, h. 69
(37)
secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan orang lain.35
d. Metodologi Pendidikan Islam
Metodologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “metodos”,
yang terdiri dari dua suku kata; yaitu “metha” yang berarti melalui atau
melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan yang
dilalui untuk mencapai tujuan.36 Dalam KBBI, metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.37 Sehingga dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran. Dapat pula diartikan bahwa metodologi adalah ilmu tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.38
Sementara itu pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik kearah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT baik kepada Tuhannya, sesama manusia, dan sesama makhluk lainnnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.39
Secara garis besar metode pendidikan Islami terdiri dari lima, yaitu:
35
Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. III, h. 134-135
36
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. V, h. 65
37
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, Cet. IV, h. 740
38
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. II, h. 99
39
(38)
1) Metode keteladanan.
Metode keteladanan adalah metode yang lebih unggul dibanding dengan metode yang lain. Dengan metode keteladanan para orang tua, pendidik atau da’i memberi contoh atau teladan terhadap anak atau peserta didik bagaimana cara berbicara, berbuat, bersikap, mengerjakan sesuatu atau cara beribadah, dan sebagainya. Melalui metode ini maka anak atau peserta didik dapat melihat, menyaksikan dan meyakini cara yang sebenarnya sehingga mereka dapat melaksanakan dengan lebih baik dan lebih mudah.
2) Metode pembiasaan.
Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban secara benar dan rutin terhadap anak atau peserta didik harus dibiasakan dididik sejak masih kecil. Misalnya, agar anak atau peserta didik dapat melaksanakan shalat secara benar dan rutin maka mereka perlu dibiasakan shalat sejak kecil, dari waktu ke waktu supaya tidak keberatan ketika sudah dewasa. Dalam melaksanakan metode ini diperlukan pengertian, kesabaran, dan ketelatenan orang tua, pendidik dan da’i terhadap anak atau peserta didik.
3) Metode nasihat.
Metode nasihat adalah metode yang paling sering digunakan oleh para orang tua, pendidik dan da’i terhadap anak atau peserta didik dalam proses pendidikannya. Memberi nasihat merupakan kewajiban orang-orang muslim, sebagaimana tertera dalam al-Qur’an surat al-Ashr ayat 3, agar kita senantiasa memberi nasihat dalam hal kebenaran dan kesabaran.
4) Metode memberi perhatian.
Metode ini biasanya berupa pujian dan penghargaan. Jarang orang tua, pendidik atau da’i memuji atau menghargai anak atau peserta didiknya. Sebenarnya tidak sukar untuk memuji anak atau orang lain, ada pribahasa mengatakan “ucapan atau perkataan itu tidak dibeli” hanya ada keengganan atau gengsi yang ada di dalam hati.
(39)
5) Metode hukuman.
Metode hukuman berhubungan dengan pujian dan penghargaan. Imbalan atau tanggapan terhadap orang lain terdiri dari dua, yaitu penghargaan (reward/targhib) dan hukuman (punishman/tarhib). Hukuman dapat diambil sebagai metode pendidikan apabila terpaksa atau tidak ada alternatif lain.
Islam memberi arahan dalam memberi hukuman terhadap anak atau peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) Tidak menghukum anak ketika marah, karena terbawa emosional
yang dipengaruhi nafsu syetan.
(b) Tidak menyakiti perasaan dan harga diri anak.
(c) Tidak merendahkan derajat dan martabat yang dihukum. (d) Tidak menyakiti secara fisik.
(e) Bertujuan mengubah perilaku yang tidak atau kurang baik.40
e. Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Ruang lingkup pendidikan Islam menurut Abu Ahmadi pada dasarnya mengacu pada lima hal, yaitu:
1) Perencanaan.
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan suatu aktivitas.
2) Bahan pembelajaran.
Bahan, disebut juga dengan materi yaitu sesuatu yang diberikan kepada siswa saat berlangsungnya proses belajar mengajar (PBM).
3) Strategi pembelajaran.
Strategi yang berarti “rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus” adalah tindakan guru dalam melaksanakan rencana pembelajaran. Artinya, usaha guru dalam menggunakan
40
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. I, h. 18-22
(40)
beberapa variabel pembelajaran (tujuan, bahan, metode, dan alat, serta evaluasi).
4) Media pembelajaran.
Media disebut juga dengan alat yaitu sarana yang dapat membantu PBM atau menetapkan alat penilaian untuk menilai sasaran (anak didik) tersebut.
5) Evaluasi.
Evaluasi atau penilaian pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau nilai berdasarkan kriteria tertentu. Hasil yang diperoleh dalam penilaian dinyatakan dalam bentuk hasil belajar. Oleh karena itu tindakan atau kegiatan tersebut dinamakan penilain hasil belajar.41
3. Perkembangan pada Anak a. Pengertian Anak
Anak dalam KBBI adalah keturunan yang kedua, manusia yang masih kecil.42Anak dalam ajaran Islam ialah amanat dari Allah yang dititipkan kepada kedua orangtuanya. Pandangan ini mengisyaratkan adanya keterpautan eksistensi anak dengan al-Khaliq maupun dengan kedua orangtuanya.
Istilah amanat mengimplikasikan keharusan menghadapi dan memperlakukan anak dengan sungguh-sungguh, hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus dijaga, diraksa, dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan.
Anak dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak dalam keadaan kosong. Ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Memang ia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa, akan tetapi ia telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan kata hati (Af Idah), sebagai modal yang harus
41
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 89-92
42
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, Cet. IV, h. 41
(41)
dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu yang mengisi dan menjadikan kehidupannya sebagai takwa kepada Allah.43
“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, …. (QS. Al-Hujurat: 13).44
Anak adalah buah hati, belahan jiwa, perhiasan dunia, dan kebanggaan orang tua yang merupakan karunia terbesar karena anak pahala orang tua mengalir walaupun mereka sudah meninggal.45 Allah berfirman:
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.:” (al-Kahfi: 46).46
Ngalim Purwanto mengatakan bahwa anak atau manusia adalah makhluk yang berpribadi dan berkesusilaan. Ia dapat dan sanggup hidup menurut norma-norma kesusilaan, ia dapat memilih dan menentukan apa-apa yang akan dilakukan, juga menghindari atau menolak segala yang tidak disukainya.47
b. Pengertian Perkembangan Anak
Perkembangan pribadi manusia menurut Psikolog perkembangan berlangsung secara konsepsi sampai mati; yaitu sejak terjadinya sel bapak-ibu (konsepsi) sampai mati individu senantiasa mengalami perubahan-perubahan atau perkembangan-pekembangan. Perkembangan tersebut adalah
43 Muhammad ‘Ali Quthb,
Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam , Terj. Dari
Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 11-12
44
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 517
45
Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 86
46
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 299
47
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. XVIII, h. 5
(42)
suatu proses tertentu yaitu proses yang terus menerus, dan proses yang menuju ke depan dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Atau dapat diartikan sebagai rangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung secara teratur, progresif, jalin-menjalin dan terarah kepada kematangan atau kedewasaan.
Ada beberapa psikolog yang lebih setuju menggunakan kata perkembangan dengan istilah pertumbuhan, dan ada pula yang menggunakan kedua istilah tersebut (pertumbuhan dan perkembangan) secara bergantian karena dianggap mempunyai pengertian sama. Tapi kebanyakan ahli psikolog lebih cenderung membedakan pengertian kedua istilah tersebut; yaitu istilah pertumbuhan dimaksudkan untuk menunjukkan kepada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif yang menyangkut aspek-aspek fisik jasmaniah, seperti perubahan-perubahan organ dan struktur organ fisik, sehingga anak semakin besar semakin tinggi badannya, dan sebagainya.
Perkembangan secara khusus diartikan sebagai perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang menyangkut aspek-aspek mental psikologis manusia. Misalnya; perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan, sifat sosial, moral, keyakinan agama, kecerdasan, dan sebagainya, sehingga akan bertambah pengetahuan, kemampuannya, bertambah baik sifat sosial, moralnya dan sebagainya.48
Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi mengatakan bahwa perkembangan anak menurut para pakar ilmu jiwa ialah masa perubahan tubuh, intelegensi, emosional, dan kemampuan interaksi yang memberi pengaruh pada utuhnya individu dan matangnya kepribadian.49
Perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada diri individu (organisme) menuju tingkat kedewasaan atau kematangan (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik
48
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2006), Cet. IV, h. 136
49
Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa…, h. 131
(43)
menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) dimulai dari individu lahir sampai mati (meninggal).50
c. Ciri-ciri Perkembangan Anak
Perkembangan merupakan suatu seri perbuatan menurut aturan-aturan tertentu dari keadaan semula menuju keadaan yang lebih lengkap atau lebih matang (mature). Perkembangan terjadi dengan teratur, di mana tiap tingkat perkembangan mempunyai hubungan dengan tingkat berikutnya. Sesuatu yang terjadi pada tingkat perkembangan akan diteruskan pada tingkat berikutnya dan bahkan mempengaruhi perkembangan pada tingkat selanjutnya. Tingkat perkembangan berikutnya adalah hasil dari tingkat perkembangan sebelumnya, jadi bukan sekedar penambahan ciri-ciri baru dari tingkat perkembangan sebelumnya.
Ada dua ciri-ciri perubahan pokok dari perkembangan, yaitu:
1) Adanya penambahan ukuran/berat serta perbedaan perbandingan ukuran/berat/kesanggupan.
Pada anak yang tumbuh dan berkembang secara normal, akan tampak perubahan ukuran jasmaniah sejalan dengan bertambahnya umur anak. Ukuran-ukuran badan akan bertambah besar, baik yang tampak (kaki, tangan, tinggi badan dan lain-lain) maupun yang tak tampak (jantung, paru-paru, ginjal, dan lain-lain). Bidang rohani pun mengalami perubahan, yaitu bertambahnya kemampuan, kesanggupan untuk mengamati, mengingat, merasa, dan sebagainya, sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa yang sehat akan berkembang sejalan dengan pertumbuhan jasmani yang sehat pula.
2) Hilangnya ciri-ciri yang lama dan munculnya ciri-ciri baru.
Sejak anak dalam kandungan (embryo) sampai dewasa, dia banyak sekali memperoleh ciri-ciri baru atau hal-hal yang baru sebagai pengganti terhadap ciri-ciri/hal-hal yang lenyap. Hal ini sejajar dengan kebutuhan anak dalam perkembangannya. Ciri-ciri/hal-hal yang lenyap
50
Heny Narendrany Hidayati, dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet. I,h. 72
(44)
tidak akan dibawa ke masa dewasanya, antara lain gigi, rambut bayi,
membrane, yang masing-masing diganti dengan gigi baru, rambut baru, dan kemampuan berbicara. Dengan pergantian yang baru ini, memungkinkan anak untuk makan makanan yang keras, menjaga kulit, dan berkomunikasi.51
Menurut Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd dalam bukunya Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, perkembangan secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Terjadinya perubahan dalam a) aspek fisik; perubahan tinggi dan berat badan serta organ-organ tubuh lainnya, b) aspek psikis: semakin bertambahnya perbendaharaan kata dan matangnya kemampuan berpikir, mengingat, serta menggunakan imajinasi kreatifnya.
2) Terjadinya perubahan dalam proporsi: a) aspek fisik: proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya dan pada usia remaja proporsi tubuh anak mendekati proporsi usia remaja, b) aspek psikis: perubahan imajinasi dari yang fantasi ke realitas, dan perubahan perhatiannya dari yang tertuju kepada dirinya sendiri perlahan-lahan beralih kepada orang lain (kelompok teman sebaya).
3) Lenyapnya tanda-tanda yang lama: a) tanda-tanda fisik: lenyapnya kelenjar Thymus (kelenjar kanak-kanak) yang terletak pada bagian dada, kelenjar Pineal pada bagian bawah otak, rambut-rambut halus dan gigi susu, b) tanda-tanda psikis: lenyapnya masa mengoceh (meraban), bentuk gerak-gerik kanak-kanak (seperti merangkak) dan perilaku
impulsive (dorongan untuk bertindak sebelum berpikir).
4) Diperolehnya tanda-tanda yang baru: a) tanda-tanda fisik: pergantian gigi dan karakteristik seks pada usia remaja, baik primer (menstruasi
pada anak wanita, dan mimpi “basah” pada anak pria), b) tanda-tanda
psikis: seperti berkembangnya rasa ingin tahu terutama yang
51
(45)
berhubungan dengan seks, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral, dan keyakinan beragama.52
d. Fase-Fase Perkembangan Anak
Fase-fase perkembangan atau periodesasi perkembangan yaitu pembagian masa-masa perkembangan dengan ciri pertumbuhan dan perkembangan yang terdapat pada masing-masing fase tersebut.53
Dapat pula diartikan sebagai penahapan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola tingkah laku tertentu. Mengenai masalah periodesasi perkembangan ini para ahli berbeda pendapat. Pendapat-pendapat itu secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan analisa biologi, didaktis, dan psikologis.
Sekelompok ahli menentukan penahapan itu berdasarkan keadaan atau proses pertumbuhan tertentu.
1) Tahap perkembangan berdasarkan analisis biologis, para ahli tersebut antara lain:
a) Aristoteles yang menggambarkan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa dalam tiga tahapan.:
(1) Tahap I: Fase anak kecil: dari 0,0 - 7,0, masa bermain.
(2) Tahap II: Fase anak sekolah: dari 7,0 – 14,0; masa belajar atau masa sekolah rendah.
(3) Tahap III: Fase remaja: dari umur 14,0 – 21,0; masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.
b) Elizabeth Hurlock mengemukakan penahapan perkembangan individu sebagai berikut:
(1) Tahap I: Fase prenatal (sebelum lahir) mulai masa konsepsi sampai proses kelahiran yaitu sekitar 9 bulan atau 280 hari.
52
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2010), Cet. XI, h. 16
53
(46)
(2) Tahap II: Infancy (orok) mulai lahir sampai 10 sampai 14 hari. (3) Tahap III: Babyhood (bayi) mulai dari 2 minggu sampai usia 2
tahun.
(4) Tahap IV: Childhood (kanak-kanak) mulai 2 tahun sampai masa remaja (puber). Dan masa anak-anak tersebut dapat dibagi menjadi: masa kanak awal (2-6) tahun dan masa kanak-kanak akhir (6-10 atau12) tahun.
(5) Tahap V: Adolescence/puberty mulai usia 10 atau 12 tahun sampai 18 tahun, dapat dibagi menjadi: masa puber/pramasa remaja pada usia 10 atau 12-13 atau 14 tahun, masa remaja pada usia 13 atau 14-18 tahun.
(6) Tahap VI: Dewasa, dibagi menjadi masa dewasa dini pada usia 18-40 tahun, masa dewasa madya pada usia 40-60 tahun, masa dewasa lanjut (usia lanjut) pada masa 60 tahun sampai kematian. c) Prof. Dr. Hj. Zakiah membagi penahapan perkembangan individu
pada empat tahap:
(1) Tahap I: kanak-kanak pada tahun-tahun pertama (o-6)tahun. (2) Tahap II: kanak-kanak pada umur sekolah (7-12) tahun. (3) Tahap III: masa remaja pertama (13-16) tahun.
(4) Tahap IV: masa remaja terakhir (17-21) tahun. 2) Tahap perkembangan berdasarkan didaktis.
Dasar didaktis atau instruksional yang dipergunakan oleh para ahli ada beberapa kemungkinan yaitu:
a) Apa yang harus diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu? b) Bagaimana caranya mengajar atau menyajikan pengalaman belajar
kepada anak didik pada masa-masa tertentu?
c) Kedua hal tersebut dilakukan secara bersamaan. Yang dapat digolongkan kedalam penahapan berdasarkan didaktis, antara lain pendapat dari Rosseau:
(47)
(2) Tahap II: 2 sampai 12 tahun, masa pendidikan jasmani dan latihan panca indra.
(3) Tahap III: 12 sampai 15 tahun, periode pendidikan akal. (4) Tahap IV: 15 sampai 20 tahun, periode pendidikan watak. 3) Tahap perkembangan berdasarkan psikologis.
Para ahli menggunakan aspek psikologis sebagai landasan menganalisa tahap perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya. Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas.
Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa yaitu: 1) dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang disebut masa kanak-kanak, 2) dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang disebut masa keserasian bersekolah, 3) dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa kematangan.
Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan manusia adalah beragam tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada tiga fase usia yaitu masa kanak, masa remaja dan masa dewasa.54
Fase-fase perkembangan menurut Maghribi bin as-Said al-Maghribi pada anak adalah:
1) Fase balita, adalah masa menyusui dan menyapih yaitu setelah anak berumur dua tahun.
54
(1)
Saya memang menggunakan non-direktif karya Rogers tapi juga tidak full, tapi apakah itu sudah saya setujui? Ternyata saya dalam banyak hal mendukung, ada hal lain tergantung pada seseorang yang saya hadapi. Kalau Rogers itu dia non-direktif, ndak da pengarahan, ndak ada menyuruh ndak ada melarang. Pendidikan apa modelnya kayak gitu? Itukah yang akan dikatakan nanti tu? Menurut saya apa? Juga belum tentu saya sendiri setuju, karena ada di sisi lainnya ndak setuju saya, kan yang Rogers tu di Barat, kalau saya pidato, saya pidatoin saja orang tapi kalau untuk serius tu kita harus kembali kepada konsep. Misalnya bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut pandangan ibu, itu kan pidato bukan riset yang saya temukan sendiri.
Dalam pidato ada saya sebut macam-macam begini, tapi kalau kita buat skripsi, kan ilmiah harus dipertahankan benar kan, saya mempertahankan gemana, karena tidak semua orang yang datang saya menggunakan non-direktif, tidak semua juga saya layani dengan non-direktif, sudah jelas anak itu bodoh, tidak bisa bergerak ndak bisa apa-apa tidak pas non-direktif, terpaksa harus direktif yang saya gunakan, apa yang direktif itu mungkinnya dipakai atau diganti, kan akhirnya kembali ke pertanyaan lebih jauh. Jadi saya belum mempunyai teori, teeori yang saya anggap, teori yang saya pakai itu teori orang, direktif, non-direktif, terus satu lagi tu psiko analisis, psiko analisis tu sulit tapi kadang-kadang perlu juga.
Saat ini saya berkhayal, ada orang yang bertanya, bu apa teori ibu tentang pendidikan anak? Yang ada saya memakai teori Rogers non-direktif itu, tapi itu bukan teori saya, teori orang. Kita tidak boleh mengakui itu sebagai teori kita. Tapi ini bukan pendirian saya karena tidak bisa dipakai buat semua orang. Ini kan tentang pendidikan, tentu harus tahu alasannya, saya tidak tahu apa alasannya, kenapa itu saya pilih, saya buatnya kan dulu di Kairo kan, ada orang minta nasihat lalu ndak diarahkan, ndak saya jawab apa yang ditanyakan itu, jadi yang banyak saya gunakan tapi bukan saya yang buat ya,
(2)
dalam buku saya, saya katakana itu Rogers yang punya, non-direktif tanpa arahan.
Kalau terhadap anak 6-12 tahun berarti kemampuan pikir yang baru tumbuh, anak seumur itu banyak pengaruh ibu bapaknya, kakak-kakaknya ada, orang lain ada, kita menggunakan direktif disitu. Dari pada saudara susah nanti saya mengatakan yang pahitnya saja ya, saudara nanti sudah susah-susah buat, sementara saya belum punya teori, konsep itu. Saya belum berani mengatakan itu konsep saya. Karena saya masih makai konsep orang, mau tidak mau pada orang bodoh saya menggunakan direktif .
Kebiasaan kita, orang tua kita dalam keseharian itu direktif, seperti jangan kesana, kesini. Kamu harus gini-gini, kalau yang seperti itu direktif namanya. Tapi sekarang kepada umur berapa, non-direktif, ndak da pengarahan itu pada umur berapa? Yang saudara tanyakan itu umur berapa? Kenapa umur itu? Kan harus dijawab…. Kalau dalam pidato-pidato bisa, orang yang bertyanya saja lupa dengan apa yang ia tanyakan tadi kan?
Kalau dikatakan menurut Zakiah kan menjadi lain, saya memang belum ada penelitian untuk membela pendirian kalau saya ucapkan, kan harus tahu sumbernya dari mana?
2. Bagaimana fungsi keluarga dalam pendidikan agama pada anak menurut ibu? Itu pidato, bukan riset yang saya temukan sendiri.Saya belum berani mengaku itu konsep saya, saya masih mengikuti orang punya.
Ajaran agama yang menarik bagi anak adalah yang mengandung gerak, seperti shalat bersama dengan meniru orang tuanya, terlebih bila anak ikut shalat di shaf dengan orang dewasa, misalnya suasana shalat tarawih pada bulan Ramadhan, dan shalat hari raya. Pada bulan Ramadhan anak senang ikut berpuasa bersama orang tuanya walaupun anak belum kuat untuk melaksanakan puasa sehari penuh. Kegembiraan saat berbuka bersama. Ini
(3)
kan pengalaman yang penting dan baik bagi pembentukan sikap positif pada anak terhadap agama.
Anak membutuhkan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan dalam keluarga yang ini terjadi secara alamiah. Misalnya ibu dan bapak yang taat terhadap agama sering dilihat oleh anak sedang shalat, doa, membaca al-Qur’an, sopan santun dalam bergaul, dan mengajak anak berdoa kepada Allah maka anak akan meniru hal tersebut. Mereka hanya sekedar ikut-ikutan, ikut shalat bersama orang tua, meniru gerakan mereka. Kebiasaan orang tua yang baik, membaca basamallah dan hamdalah dalam setiap aktivitas akan mendorong anak meniru lebih banyak lagi.
3. Kapan pendidikan agama pada anak dalam keluarga dimulai?
Kalau ditulis sebagai tulisan lepas itu ringan kan ya? Tapai kalau kita sudah menulis konsep, ni konsep ya? konsep pendidikan agama pada anak menurut ibu Zakiah, saya membohongi orang lain kalau dikatakan konsep saya, orang yang tahu akan mengatakan ini ini ini, menunju kesalahan, kontan ditunjuk orang. Saya gunakan itu yang saya praktekkan itu tapi tidak ke semua orang juga saya laksanakan itu, mungkin saya gunakan direktif kalau orangnya kayak apa saya gunakan direktif , orang yang ditrektif tu ndak ada arahan, saya diprotes banyak orang mengatakan itu diprotes saya, belum keluar sebagai teori ya? Jelas orang tu kesini minta arahan, minta petunjuk tanpa arahan, nah tu kan tergantung pada orang yang datang.
Kapan pendidikan anak dimulai? Saya sendiri tidak yakin, kalau saya dibantah orang. Ada saya sebutkan dimana-mana itu, akan tetapi itu belum, belum.
Ketika anak setelah lahir, dibersihkan, kemudian digedong, setelah itu dibisikkan ke telinga kanannya adzan, anak belum mengerti itu, tapi anak sudah bisa mendengar, dan akan berulang-ulang itu didengarnya nanti. Bahkan sebelum lahirnya anak itu, pertumbuhan jasmani anak berjalan sangat
(4)
cepat. Dari perkembangan akidah, kecerdasan, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan kemasyarakatan, berjalan serentak dan seimbang. Anak mulai mendapat unsur-unsur pendidikan tanpa disadari oleh orang tuanya. Setelah lahir anak dibersihkan, digedong, setelah itu dibisikkan ke telinga kanannya adzan, anak belum mengerti apa yang dibisikkan ditelinganya, tapi anak sudah bisa mendengar, dan akan berulang-ulang hal itu didengarnya. Ketika anak belum mampu untuk berbicara, ia telah dapat melihat dan mendengar kata-kata, barangkali belum berarti apa-apa bagi anak.
4. Siapa yang sangat berperan dalam pendidikan anak di keluarga? Baik agama maupun kepribadian?
Kalau kita katakan ibu, kapan bapak berperannya? Harus dijelaskan, lalu kenapa?
Tergantung siapa yang paling dekat dengan anak, bisa pembantu, nenek dan yang lainnya. Yang sebaiknya adalah ibu. Misalnya dengan mengajak anak shalat berjamaah di rumah maupun di masjid, anak memang belum mengerti apa yang dilakukannya karena anak belum memikirkan itu, anak masih mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya, anak senang dengan apa yang dilakukan secara bersama-sama, contohnya ketika bulan ramadhan.
Kalau waktu saya kecil dulu, saya kan anak pertama, dibuatkalah oleh ibu mukna kecil terus adik-adik tiga orang laki-laki dibuatkan sarung kecil. Ini adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan sebagai upaya penanaman rasa agama pada anak sejak kecil.
Ketika makan atau melakukan sesuatu perbuatan orang tua selalu memulai dengan ucapan bismillah, anak awalnya tidak mengerti dengan apa yang diucapkan orang tua, tapi karena ia selalu mendengar kata-kata yang baik maka akan dicontoh oleh anak karena anak mengikuti orang yang paling terdekat yaitu orang tua dan keluarganya.
(5)
5. Apa fungsi sekolah dalam pendidikan agama pada anak?
Sikap agama anak pertama kali dibentuk di rumah, kemudian dilanjutkan di sekolah. Di sekolah guru agama harus berusaha membuat anak didik tu menyayanginya, dengan itu akan mudah bagi guru agama membina sikap positif pada siswa kan. Bisa memahami perkembangan jiwa dan kebutuhan siswa, sesuai dengan umur anak. Nah…guru itu orang pertama setelah orang tua yang membina kepribadian anak, dan siswa akan menjadikan guru sebagai contoh teladan, ini sangat penting dalam pertumbuhannya nanti. Kalau tingkah laku dan akhlak guru tidak baik, maka pada umumnya akhlak anak didik akan rusak pula, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
Kecerdasan anak umur Sekolah Dasar belum bisa dia berpikir logis dan belum dapat memahami hal-hal yang abstrak, yang dikatakan kepada anak akan diterimanya saja. Anak tu belum dapat menjelaskan kenapa harus percaya kepada Tuhan?? Belum bisa menentukan mana yang salah dan mana yang baik. Di sekolah tu hendaknya harus ada latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang berjamaah, kalau di rumah anak tu mengikuti orang tuanya kan, nah di sekolah dia pun mengikuti guru yang mengajarinya juga, doa, membaca al-Qur’an, di sekolah, mesjid, surau, langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah dengan sendirinya, tanpa suruhan. Latihan-latihan ini dilakukan dengan contoh yang diberikan orang tua dan guru, oleh karena itu hendaknya guru agama mempunyai kepribadian yang mencerminkan ajaran agama, dan sikapnya dapat melatih kebiasaan baik sesuai ajaran agama, guru yang menyenangkan dan tidak kaku.
(6)
6. Bagaimana fungsi masyarakat dalam mendidik agama anak?
Sebelum anak masuk sekolah, anak sudah mulai bergaul dengan masyarakat dalam arti teman sebaya yang ada di sekitar lingkungannya, dengan ini anak berkesempatan untuk belajar bergaul, memberi dan menerima, membela diri, dan mempertahankan hak miliknya.
Pengalaman yang didapatkan oleh anak dalam hidupnya sejak lahir sampai masuk sekolah merupakan unsur-unsur yang membentuk sikap dan pribadinya. Masyarakat bisa teman sebaya, teman sekolah, atau masyarakat yang ada di lingkungan tempat anak tinggal. Yang menarik bagi anak adalah yang mengadung gerak dan tidak asing bagi anak. Aktivitas yang ada di sekolah atau di masjid tempat anak tinggal sangat menarik pula jika anak ikut aktif di dalamnya. Karena anak merasa gembira bersama-sama dengan teman-temannya. Pendidikan pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, utamanya dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama.
7. Seberapa besar peranan masyarakat dalam mendidik anak menurut ibu?
Masyarakat yang seperti apa? Teman sebaya, teman sekolah, atau bagaimana itukan tergantung.
Masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, masyarakat juga kan ikutserta membimbing anak dalam pertumbuhan dan perkembangan. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang, baik secara individu maupun sebagai kelompok sosial. Ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku yang tujuannya kesejahteraan individu dan masyarakat, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan masyarakat.