penolakan Ho daerah kritis. Hal ini berarti bahwa pembelajaran matematika menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah PBM berpengaruh
terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Setelah uji hipotesis dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Ho ditolak, sedangkan Ha
diterima. Ha menyatakan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model
Pembelajaran Berbasis Masalah PBM lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional dengan taraf signifikansi 5.
Dapat dilihat perbedaan antara nilai rata-rata posttest kelas eksperimen yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata posttest kelas kontrol.
C. Pembahasaan
Pengaruh model Pembelajaran Berbasis Masalah PBM dapat dilihat dari perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada kelas eksperimen
yang memperoleh nilai tertinggi 87 dan nilai terendah 46 serta nilai rata-rata posttest siswa sebesar 63,41. Sedangkan kemampuan berpikir kritis matematis
siswa pada kelas kontrol memperoleh nilai tertinggi 75 dan nilai terendah 42 serta nilai rata-rata posttest 56,83. Adanya kelas kontrol sebagai pembanding
memperkuat bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah PBM lebih efektif.
Hasil pengujian hipotesis diperoleh bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, artinya rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis yang diajar dengan
menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah PBM lebih tinggi dari pada kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan
menggunakan model
pembelajaran konvensional.
Sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa terdapat pengaruh yang baik pada penerapan model Pembelajaran berbasis Masalah PBM terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis siswa. Ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan adanya perbedaan nilai
rata-rata antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, penyebab- penyebab tersebut diantaranya:
1. Proses Pembelajaran di kelas
Model Pembelajaran Berbasis Maalah PBM adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ciri dari pembelajaran ini adalah menekankan pada
aktivitas menganalisis dan mengevaluasi masalah melalui kegiatan penyelidikan kelompok, sehingga siswa diarahkan membangun sendiri pengetahuannya. Guru
hanya sebagai fasilitator yang membimbing dan mengarahkan siswa pada saat melakukan penyelidikan tersebut. Hal ini berimbas pada meningkatnya
kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Ada beberapa hal yang menyebabkan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi. Hal yang paling utama adalah proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran tersebut diterapkan
dengan menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah PBM. Model pembelajaran ini terdiri dari lima tahap, yaitu: 1 orientasi siswa kepada masalah,
2 mengorganisasikan siswa untuk belajar, 3 membimbing penyelidikan individual dan kelompok, 4 mengembangkan dan menyajikan hasil karya, 5
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Selain itu, pada pembelajaran berlangsung siswa menggunakan LKS sebagai media belajar.
Secara visual kegiatan siswa pada kelas eksperimen dengan menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah PBM dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 4.5 Mengorientasikan Siswa Kepada Masalah
Pada kegiatan ini guru memulai pelajaran dengan memberikan salam pembuka, mengingatkan siswa tentang materi pelajaran yang lalu, memotivasi
siswa, menyampaikan tujuan pembelajaran dan menjelaskan model pembelajaran yang akan dijalani. Pada kegiatan ini guru mengajukan permasalahan yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sesuai dengan materi yang diajarkan yaitu persamaan dan fungsi kuadrat.
Pada tahap ini peserta didik diajarkan keterampilan untuk mengenali permasalahan. Permasalahan yang digunakan dalam Pembelajaran Berbasis
Masalah PBM adalah masalah nyata dan menarik sehingga merangsang siswa untuk bertanya dari berbagai perspektif. Pada saat siswa menghadapi masalah
tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal demikian dapat dipandang dari berbagai perspektif serta menyelesaikannya dibutuhkan pengintegrasian informasi
dari berbagai ilmu.
Gambar 4.6 Mengorganisasikan Siswa Untuk Belajar
Selanjutnya tahap pengorganisasian, peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok yang memungkinkan untuk mengembangkan keterampilan
bekerja sama. Pada tahap ini, guru tidaklah sekedar mengelompokkan siswa ke dalam beberapa kelompok belajar. Peran guru pada pembelajaran ini adalah
sebagai fasilitator dan organisator yang mendorong agar setiap siswa dapat berpartisipasi dan berinteraksi sepenuhnya dalam aktivitas belajar. Karena
interaksi yang maksimal dalam kelompok sangat menentukan keberhasilan dalam penyelesaian masalah.