BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu rentang hidup yang dijalani oleh setiap individu adalah masa dewasa. Papalia
2008 mendefinisikan masa dewasa madya dalam terminologi kronologis, yaitu tahun-tahun antara usia 45 dan 65 tahun. Jung dalam Papalia, 2008 berpendapat
bahwa perkembangan dewasa madya yang sehat menuntun individuasi yaitu kemunculan diri sejati melalui penyeimbangan atau pengintegrasian bagian
kepribadian yang saling berlawanan, termasuk bagian-bagian yang sebelumnya diabaikan. Hal ini berarti individu dewasa madya berkonsentrasi pada kewajiban
terhadap keluarga dan masyarakat serta mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang akan membantu mereka mencapai tujuan eksternal.
Dewasa madya merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui oleh individu karena masa ini ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam,
menuntut peran dan tanggung jawab sebagai orang yang menjalankan rumah tangga, departemen maupun perusahaan, merawat orangtua mereka, membesarkan
anak, dan mulai menata karir yang baru Gallagher, 1993; Lachman, 2001; Lachman, Lewkowicz, Marcus Peng, 1994; Merril Verbrugge, 1999, dalam
Papalia, Old dan Feldman, 2008. Pada saat yang sama, banyak individu pada masa dewasa madya membesarkan anak mereka, memiliki peningkatan kebebasan
dan independensi Lachman, 2001. Usia dewasa madya juga dapat merupakan
Universitas Sumatera Utara
masa reevaluasi target dan aspirasi, dan memutuskan cara terbaik menggunakan sisa umur Lachman James, 1997, dalam Papalia, 2008. Hal inilah yang
mendorong terjadinya krisis dan menjadikan kehidupan dewasa madya lebih sulit untuk dilalui. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas perkembangan yang harus
dijalani oleh individu dewasa madya menurut Havighurst 1982 adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik, perubahan minat, penyesuaian kejuruan
dan tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. Sejalan dengan tugas perkembangan dewasa madya yang berkaitan dengan
kehidupan berkeluarga, terdapat tuntutan dimana pada masa ini individu sudah harus menjalani kehidupan rumah tangga baik menjadi suami atau isteri sampai
mempunyai anak. Sudah seharusnya individu memiliki pasangan untuk berbagi pekerjaan maupun perasaan dimana tugas perkembangan yang berkaitan dengan
hal tersebut sudah dilalui pada masa dewasa dini. Intinya, berkeluarga, menikah, menjalankan rumah tangga, mempunyai anak, memelihara anak, mendidik anak
hingga mereka dewasa sudah harus dilakukan pada masa dewasa madya. Hal ini sejalan dengan teori perkembangan psikososial dari Erikson dalam Papalia, 2004
dimana pada dewasa madya mengalami generativity vs stagnasi dimana generativity merupakan kematangan pada usia dewasa untuk membangun dan
membina serta mempengaruhi generasi selanjutnya dan akan terjadi stagnasi jika individu tidak menemukan jalan keluar untuk memperoleh generativity.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu dewasa madya seharusnya sudah berstatus menikah atau mempunyai pasangan hidup, namun
fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat individu dewasa madya yang
Universitas Sumatera Utara
belum menikah atau dengan kata lain individu tersebut masih menjalani status lajang, baik itu pria maupun wanita.
Menurut Stein 1976 melajang single adalah individu yang tidak menikah atau terlibat dalam hubungan homoseksual dan heteroseksual. Hal ini menandakan
bahwa melajang adalah suatu keadaan dimana individu belum mempunyai teman hidup untuk berbagi dan melakukan hubungan baik secara fisik, emosional
maupun sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, karakteristik individu dewasa madya yang hidup melajang adalah cenderung memiliki pendidikan yang tinggi
sehingga mereka ingin mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi, memilih pencapaian karir yang lebih tinggi lagi hingga mereka melupakan tugas mereka
untuk hidup berkeluarga dan meyakini bahwa pernikahan akan menguasai mereka dalam Dacey Travers, 2002. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
dewasa madya yang hidup melajang adalah individu yang bekerja. Karakteristik individu lajang yang bervariasi di atas berhubungan dengan
penyebab yang dapat menjelaskan mengapa mereka hidup melajang. Menurut Austrom dan Hanel 1985, Frazier dkk., 1996, dan Lewis dan Moon 1997,
sebab-sebab individu dewasa hidup melajang yaitu pilihan personal, keadaan eksternal dan defisit personal. Oleh karena itu, alasan individu dewasa madya
yang hidup melajang bervariasi, mulai dari keingian bertahan untuk tidak menikah karena pilihan sendiri, keadaan eksternal yang ditandai dengan tidak
ditemukannya seorang pasangan hidup yang cocok, hingga menyalahkan diri sendiri karena penurunan fisik yang tidak menarik lagi. Pemaparan pada wanita
lajang mengenai penyebab melajang adalah:
Universitas Sumatera Utara
“Mungkin belum jodohnya... Tuhan mungkin punya rencana lain buat tante…” SN Komunikasi personal, 7 September 2008
“Ya kalo gak cocok cemana? Berkelahi aja la pula kita dalam berumah tangga. Ya kan? Ada orang baru seminggu kawin dah tang tung tang tung,
piring terbang yang terjadi. Gak cocok kan?” S Komunikasi personal, 25 Juli 2009
“Masa’ si Andung tante dari wanita lajang bilang tante harus operasi, apa sih maksudnya? Biar muka tante jelek, tapi apa yang dikasih oleh Tuhan yah
terimalah….” SN Komunikasi personal, 4 Oktober 2008 “Z itu udah tua, badannya juga udah lemah, ngomongnya juga kayak kumur-
kumur, gak jelas, gimana mau dapat suami….” H Komunikasi personal pada kerabat Z, 5 September 2008
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa beberapa penyebab individu melajang adalah pilihan sendiri, takut berkomitmen, ketakutan akan mengalami perceraian
dan kondisi fisik yang mengalami penurunan. Papalia, Olds dan Feldman 1998 juga menjelaskan bahwa banyak sekali orang yang sudah menyelesaikan
pendidikan tinggi akan membawa akibat bagi tugas perkembangan lain yaitu semakin berambisi untuk menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen
terhadap karier dan penundaan dalam pernikahan. Selain itu, standar dalam pemilihan pasangan hidup juga merupakan sumber lain yang berhubungan dengan
keadaan eksternal dimana individu lajang belum menemukan seseorang yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Z 50
tahun: “Kalo bisa Tante dapat om Kau yang pendidikannya tinggi, kalo bisa S2,
kaya, gagah…” Z Komunikasi personal, 7 September 2008 “Ya mapan, abis itu ya taat beribadah ya. Ya kayak gitu. Ya maksudnya ya
yang pengertian sama kita.” I Komunikasi personal, 10
Agustus 2009
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan penyebab individu dewasa madya yang hidup melajang, muncul penilaian masyarakat terhadap status pernikahan individu tersebut.
Masyarakat akan menilai bahwa individu dewasa madya yang hidup melajang adalah individu yang “tidak laku” atau dikatakan “perawan tua” untuk wanita dan
“bujang lapuk” untuk pria. “Ya dibilang lah, gini, macam-macam lah. Kayak dibilang orang yang belum
berumah tangga. Kan tau sendiri Sari gimana. Di bilangin begini-begini…” S Komunikasi personal, 5 Oktober 2009
Tentunya label yang diberikan pada masyarakat akan menimbulkan perasaan sedih pada individu lajang.
Ketika perasaan sedih itu muncul, individu dewasa madya yang hidup melajang merasakan bahwa dirinya kurang berarti. Perasan tersebut merupakan
indikator kesepian. Begitu juga dengan adanya penilaian pada diri individu bahwa ada beberapa tujuan hidup yang tidak terpenuhi, dalam hal ini adalah memiliki
pasangan hidup, maka individu tersebut akan merasakan kesepian dalam hidupnya karena mereka tidak memiliki pasangan hidup yang dapat berbagi perasaan
maupun pekerjaan. Kesepian yang individu rasakan adalah tidak tercapainya tujuan hidup yang harus mereka penuhi yang berkaitan dengan tugas
perkembangan yang harus mereka lalui yaitu tugas yang berhubungan dengan kehidupan keluarga seperti menjalankan rumah tangga dan memiliki keturunan
Havighurst dalam Hurlock, 1998. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan
ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan dan jenis hubungan sosial yang dimiliki Perlman Peplau,
Universitas Sumatera Utara
1981. Hal ini memungkinkan individu mengalami kesendirian dan kekosongan. Menurut Rubeinstein, Shaver Peplau dalam Brehm dkk, 2002, individu yang
merasakan kesepian merupakan individu yang mempunyai perasaan keputusasaan, bosan, menyalahkan diri sendiri, dan depresi. Kesepian bisa menyerang siapa saja
bagi mereka yang merasakan hal-hal tersebut. Menurut Brehm dkk 2002 salah satu hal yang menyebabkan seseorang
mengalami kesepian adalah ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki individu. Hal ini berarti bahwa jika hubungan seseorang tidak adekuat dengan
orang lain, maka seseorang tidak puas dan bosan dengan kehidupan yang mereka miliki. Berkaitan dengan kehidupan melajang, Rubenstein dan Shaver 1982
menyatakan ada beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh individu yang kesepian, salah satunya adalah being unattached yaitu tidak memiliki pasangan,
tidak memiliki partner seksual, dan berpisah dengan pasangannya. Dalam wawancara pada SN 46 tahun berbunyi:
“Rasanya kalo gak ada suami gak enak juga, tante sebenernya pengen punya suami, supaya tante bisa curhat-curhatan sama dia. Kadang-kadang tante iri
liat kawan-kawan tante pergi-pergi dengan suaminya….” SN Komunikasi personal, 5 Oktober 2008
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa responden terkadang merasa bosan dengan kehidupannya. Salah satu indikator perasaan kesepian dirasakan oleh
responden tersebut yaitu perasaan bosan. Pernyataan bahwa kehilangan hubungan pernikahan atau tidak adanya status pernikahan juga menyebabkan seseorang
merasa kesepian dan merasa sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa orang yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang
menikah Freedman; Perlman Peplau; dalam Brehm dkk, 2002. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
itu tidak adanya pasangan hidup memungkinkan individu dewasa madya merasakan kesepian.
Sebagian besar individu dewasa madya dan yang lebih tua optimistis tentang kualitas kehidupan seiring dengan pertambahan usia, merujuk pada survey surat
terhadap 1.384 orang dewasa dengan usia 45 tahun ke atas NFO Research, Inc., 1999. Walaupun mereka menganggap relasi seksual yang sukses sebagai suatu
yang penting bagi kualitas hidup, relasi sosial bahkan lebih penting. Sekitar sembilan dari sepuluh pria dan wanita menyatakan bahwa hubungan yang baik
dengan pasangan merupakan hal yang penting bagi kualitas hidup mereka, dan demikian pula ikatan yang kuat dengan teman dan keluarga dalam Papalia,
2008. Oleh karena itu individu membutuhkan ikatan sosial yang memungkinkan mereka untuk mengurangi kesepian yang melanda mereka.
Kesepian yang dirasakan oleh individu dewasa madya bukan merupakan sebuah kontinum. Terkadang individu merasakan kesepian dan terkadang individu
tidak merasakan kesepian. Durasi kesepian yang dirasakan pun bervariasi. Individu dewasa madya yang tidak memiliki pasangan terkadang merasa puas
akan kehidupan yang dijalani dan ada juga yang merasa tidak puas dengan kehidupan yang dijalani.
“Yah puas lah dengan kehidupan yang tante jalani, toh tante punya banyak teman dan tidak harus memikirkan rumitnya kehidupan berumah tangga….” Z
Komunikasi personal, 14 September 2008 “Ya pastinya sedih ya, saya gak ngapa-ngapain tapi diomongin yang enggak-
enggak, cuma kan saya gak mau mikirkan kali. Nanti saya bisa stres.” RL Komunikasi personal, 12 Oktober 2009
“Sebenarnya dibilang enak ya nggak enak, dibilang gak enak ya mau dibilang apa ya kan?” SN Komunikasi personal tanggal 6 Oktober 2009
Universitas Sumatera Utara
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kadar perasaan kesepian yang bervariasi, tergantung pada banyaknya hubungan sosial dan
dukungan sosial yang mereka miliki. Individu lajang tersebut bisa benar-benar merasa setiap hari kesepian atau mereka sering merasa tidak kesepian karena
mempunyai banyak dukungan sosial dari orang lain jika dikaitkan dengan karakteristik individu lajang yang sebagian besar bekerja, mereka mendapatkan
dukungan sosial dari rekan kerja ataupun teman-temannya. Begitu juga dengan individu lajang yang memiliki banyak hubungan sosial di sekitar lingkungannya.
Wanita lajang mengemukakan: “Tante kan banyak temen, tante setiap hari minggu ikut klub-klub senam gitu,
kalo tiap jum’at ikut pengajian, kadang-kadang kami ikut tour wisata sama orang pengajian. Kadang-kadang tante gak merasa sendiri sih karena banyak
juga temen-temen tante yang senang sama tante dan mereka suka bercanda sama tante….” SN Komunikasi personal, 5 Oktober 2008
“Tante punya banyak kenalan kok, temen tante lumayan lah dan tante senang banyak teman….” Z Komunikasi personal, 7 September 2008
Perasaan stress yang dijalani individu juga bervariasi: “Stress pasti ada, tapi jarang tante ngerasainnya, tante kan banyak teman,
kadang-kadang aja ngerasainnya…” Z Komunikasi personal tanggal 14 September 2008
“Stress iya lah, gak ada suami, gak ada teman curhat, gak ada yang bisa nyayangi. Tapi tante bawa enjoy aja. Cari aktivitas lah yang banyak…..” SN
Komunikasi personal tanggal 14 September 2008
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas perasaan kesepian yang dialami individu dewasa madya yang hidup melajang bervariasi,
mulai dari frekuensi, durasi dan kuat lemahnya perasaan saat individu-individu tersebut merasakan kesepian. Hal ini berkaitan dengan kualitas dan kuantitas
kesepian yang dialami dewasa madya yang hidup melajang. Terkadang individu
Universitas Sumatera Utara
merasa punya kebebasan dalam hidupnya tapi juga merasakan kesepian. Pada umumnya, lajang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hidupnya, mereka
menikmati kebebasan dan fleksibilitas tapi juga merasakan kesepian, ketidakpuasan dalam hubungan, kehidupan sosial yang terbatas pada masyarakat
yang berorientasi pada pasangan, dan kurangnya perasaan keamanan Chasteen dalam Cavanaugh dan Fields, 2006.
Penelitian Russel 1982 juga menemukan bahwa kesepian diasosiasikan dengan perasaan tidak bahagia dan kesedihan. Hal tersebut menandakan bahwa
perasaan tidak bahagia dan kesedihan merupakan perasaan kesepian dimana saat seseorang merasa ketidakbahagiaan, maka individu tersebut akan merasa
kesepian. Ternyata pernyataan yang dikemukakan oleh Puput 2008 pada tulisannya tentang “Indahnya Melajang”
www.spirit-zone.logspot.com mengatakan hal yang bertentangan:
“Anggapan bahwa hidup melajang bukanlah hidup yang membahagiakan adalah anggapan yang salah, Yang seharusnya dilakukan seseorang untuk
menikmati kondisi hidupnya dalam keadaan apa pun, baik melajang atau menikah, adalah mengubah pola pikirnya mengenai kondisinya saat ini.
Melajang atau menikah sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada satu yang lebih unggul daripada yang lain, jadi
apakah seseorang bahagia atau tidak tergantung dari sudut pandang mana ia melihat.” Indahnya Melajang, 23 November 2008
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perasaan bahagia atau tidaknya individu yang hidup melajang tergantung pada bagaimana individu tersebut
memandangnya. Jadi, belum tentu individu lajang merasakan perasaan tidak bahagia atau kesepian.
Berkaitan dengan perasaan kesepian yang dirasakan oleh individu dewasa madya, cara mereka dalam menanggulangi perasaan kesepiannya juga bervariasi.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diasosiasikan dengan reaksi kesepian. Individu lajang dapat melakukan kegiatan aktif, membuat kontak sosial, melakukan kegiatan pasif atau melakukan
kegiatan-kegiatan lain Shaver Rubeinstein, dalam Brehm dkk, 2002. Pemaparan oleh responden wanita lajang:
“Sekarang yang terpenting tante nyibukin diri dulu menjahit, ini kan hobi dan kerjaan tante, lumayan lah dapat duit tambahan…” Z Komunikasi personal,
14 September 2008
“Ambil wudhu, sholat, tidur…” S Komunikasi personal, 25 Juli 2009 Melihat sisi ekonomi dari wanita lajang jika dibandingkan dengan wanita
menikah, penelitian mengindikasikan kebanyakan wanita menikah memiliki pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita lajang. Hal ini
terjadi karena wanita menikah menerima materi dari pihak keluarga terutama suami B.A. Hahn, dalam DeGenova 2008. Pernyataan tersebut mengindikasikan
bahwa wanita lajang memiliki kesejahteraan ekonomi yang kurang jika dibandingkan dengan wanita menikah. Hal ini menyebabkan wanita lajang
mengalami kesulitan dalam ekonomi karena tidak mendapat bantuan dari pihak lain terutama suami atau pasangan hidup.
Kesepian pada dewasa yang hidup melajang juga berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Menurut Borys dan Perlman dalam Brehm dkk, 2002 menyatakan
bahwa laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena stereotip peran gender yang
berlaku dalam masyarakat. Borys dan Perlman mengemukakan bahwa pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan
perempuan. Oleh karena itu sangat sulit bagi laki-laki untuk mengakui perasaan
Universitas Sumatera Utara
kesepiannya jika dibandingkan dengan perempuan. Hal ini juga terlihat di lapangan dimana peneliti beberapa kali ditolak untuk mewawancarai laki-laki
dewasa madya yang hidup melajang. Sekali laki-laki dewasa madya lajang ingin diambil datanya via telepon dan laki-laki dewasa madya lajang yang lain tidak
ingin diwawancara untuk yang kedua kalinya. Individu lain tidak mau diwawancara sejak awal.
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kualitas dan kuantitas perasaan kesepian individu tersebut bervariasi, mulai dari durasi,
frekuensi maupun kuat lemahnya perasaan kesepian yang dirasakan oleh individu lajang. Mengapa terjadi demikian? Hal inilah yang mendorong peneliti untuk
meneliti bagaimana dinamika kesepian yang dirasakan oleh individu dewasa madya yang hidup melajang.
B. Perumusan Masalah