Hidup melajang Responden I

Jenjang pendidikan S hanya sampai tingkat SMA. Saat dulu S tidak sanggup untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi dikarenakan masalah ekonomi. Hingga sekarang S merasa menyesal karena tidak melanjutkan kuliah. S berpikir bahwa seseorang yang hanya tamatan SMA saja tidak menjamin kesuksesan dalam hidupnya.

c. Hidup melajang

Hidup melajang bagi S merupakan takdir Tuhan yang harus dijalani responden. Sebenarnya S memiliki kemauan untuk menikah, tetapi S memiliki kriteria sendiri terhadap pria yang akan menjadi pasangan hidupnya. Jika kriteria tersebut tidak cocok dengan apa yang S inginkan, maka S memilih untuk tidak menerima pria tersebut. “Dekat-dekat gitu sih ada, tapi ya karna gak jodoh ya mau gimana lagi. Gimana ya, kadang-kadang saya suka, laki-laki itu gak suka, nanti laki-laki itu suka, eh malah saya yang gak suka…” R1.W1.b.445-451.h.10 “Ada pun gak cocok gitu, sana suka sini gak suka, saya suka sana gak suka…” R1.W1.b. 565-567.h.13 Terjadi tarik ulur antara hubungan S dengan pria yang seharusnya menjadi pasangan hidupnya. Jika pria tersebut menyukai responden, maka S tidak menyukainya. Jika S menyukai pria tersebut maka pria tersebut tidak menyukai responden. Beberapa pria yang pernah menjalin hubungan romantis dengan S dan tidak berhasil memikat responden, maka S menganggap pria tersebut sebagai saudara saja. Universitas Sumatera Utara “Tidak, tapi kalo dijalani biasanya kadang saya anggap abang aja. Karena sekarang saya gak mau mikir-mikir menikah lagi. Dan gak mungkin lagi kalo saya menikah lalu punya anak. Jadi ya biasa-biasa aja…” R1.W1.b.474-481.h.10 S tidak begitu memikirkan untuk mencari pasangan hidup. Hal ini terjadi karena S merasa bahwa seandainya S menikah, tidak menutup kemungkinan S akan memiliki anak. Melajang menawarkan beberapa fleksibilitas dalam menjalani kehidupan. Sisi positif dan negatif dari kehidupan melajang dirasakan oleh responden. Sisi positif yang dirasakan S adalah menikmati kebebasan dalam bertindak, berencana dan berpergian. S tidak harus memikirkan tindakan yang harus dilakukan dan dilarang oleh orang lain, terutama terhadap pasangan hidup. “Suka-suka saya lah. Bebas. Malah enak bebas kan…” R1.W2.b.603-604.h.14 “Ya enak nya gini lah, kemana-mana bebas…” R1.W1.b.737-738.h.16 Kehidupan melajang tidak hanya menawarkan keuntungan saja, tetapi jika seseorang menjalani kehidupan melajang, sisi negatif akan dirasakan oleh individu lajang. Sisi negatif yang dirasakan oleh S adalah kesendirian pada kegiatan-kegiatan tertentu dimana kegiatan tersebut dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa yang menghadirinya secara berpasang-pasangan, misalnya pada acara pesta pernikahan. “Gak enaknya kalo apa lah, kalo pigi undangan ya sendiri. Cemana ya aku bilang. Kurasa gak ada lah, lebih banyak enaknya daripada gak enaknya…” R1.W1.b. 737-740.h.16 Beberapa faktor yang dirasa berpengaruh terhadap kehidupan melajang yang didapat dari responden. Kehidupan melajang yang S jalani tidak hanya dirasakan Universitas Sumatera Utara begitu saja. S juga berpikir bahwa beberapa faktor yang dirasa S mendukung untuk menjalani kehidupan melanjangnya adalah pandangan S terhadap pernikahan yang gagal, dimana S merasa bahwa jika seorang individu menikah dengan orang yang tidak cocok dengan kriterianya, maka akan menimbulkan pertengkaran hebat dalam rumah tangga yang akhirnya dapat menimbulkan perceraian. S juga memikirkan bahwa pada jaman sekarang kebanyakan lelaki tidak bisa bertanggung jawab terhadap pernikahan dan mempertahankan pernikahan tersebut. S berpikir bahwa tidak pantas seorang lelaki hanya berharap pada wanita saja dalam hal pekerjaan dan pendapatan hidup. “Ada orang baru seminggu kawin dah tang tung tang tung, piring terbang yang terjadi. Gak cocok kan…” R1.W2.b.584-587.h.13 “..nikah hanya untuk nyusahin diri sendiri untuk apa?” R1.W2.b704-706.h.16 “Awak pulak yang cari makan. Enggak lah yang kayak gitu. Sekarang banyak kan laki-laki yang kayak gitu. Gak tanggung-jawab. Parasit. Kerja mintain duit kita aja…” R1.W2.b.721-726.h.16 Kehidupan melajang tidak selalu berjalan mulus. Manusia sebagai makhluk sosial pastilah berinteraksi satu dengan lainnya. Pada usia dewasa madya, seharusnya seorang individu sudah menikah dan memiliki anak. Keluarga dan masyarakat memiliki penilaian terhadap individu dewasa madya lajang dimana pada masa tersebut, seorang individu sudah menikah dan memiliki anak. Reaksi masyarakat berbeda-beda terhadap individu lajang, begitu juga dengan tuntutan masyarakat. Penilaian masyarakat bisa berupa baik atau buruk. “Kau pilih-pilih”, kata orang. “Ya pilih-pilih lah” saya bilang gitu, iya kan?” R1.W2.b.575-579.h.13 Universitas Sumatera Utara Keluarga S sangat menginginkan S menikah dan memiliki pasangan hidup. Berbagai cara dilakukan oleh keluarga responden. Mulai dari menjodohkan respoden dengan seorang pria sampai menyarankan S untuk pergi ke orang pintar agar S mendapatkan jodoh yang tepat. Tentu saja hal tersebut ditolak oleh S karena S hanya percaya pada Yang Maha Kuasa dalam masalah perjodohan. Reaksi masyarakat berkata lain. Masyarakat memandang bahwa reponden sangat selektif dalam pemilihan pasangan hidup. Segala penilaian masyarakat tersebut ditanggapi S dengan jawaban seadanya sesuai dengan apa yang ingin dikatakan responden. “Keluarga saya juga dulu sering menjodohkan saya dengan laki-laki. Tapi emang dasarnya saya gak suka ya mau dibilang apa. Kadang-kadang keluarga saya itu menyuruh saya pigi ke orang pintar, yang di suruh mandi apa lah, tapi terus terang saya gak percaya yang begituan. Saya cuma percaya sama Allah saja, karena itu semua kehendak-Nya…” R1.W1.b.454-456.h.10

d. Kesepian