Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA DI

DEPARTEMEN METAL FORMING DAN HEAT TREATMENT

PT. DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO) TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH :

DINI RAHMAWATI 1110101000075

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Mei 2015

Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

(xvi, 140 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 8 lampiran)

PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan, dan manufacturing pesawat terbang. Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan. Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan. Kebisingan yang ada di lingkungan kerja berkisar antara 80 – 103 dB (A). Pada studi pendahuluan, ditemukan sebanyak 93,3% dari 15 responden mengeluh sering mengalami telinga berdengung.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment sebanyak 178 orang, sedangkan sampel penelitian sebanyak 66 orang yang telah dilakukan tes pendengaran dengan alat garpu tala. Penelitian ini menggunakan analisis chi square untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan, usia, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015.

Untuk mengurangi risiko gangguan pendengaran sebaiknya perusahaan melakukan program konservasi pendengaran, melakukan pemeriksaan telinga (tes audiometri), melakukan pengendalian teknis, membatasi waktu kerja di area bising, maintenance mesin dan alat kerja, memberikan pelatihan penggunaan alat pelindung telinga dan memberikan pengawasan terhadap penggunaan alat pelindung telinga, memberikan pendidikan dan penyuluhan terkait bahaya merokok dan melarang pekerja menghidupkan musik saat sedang bekerja.


(4)

ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Skripsi, May 2015

Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075

Factors Associated with Hearing Loss On Workers in the Department of Metal Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 2015

(xvi ,140 Pages, 14 tables, 2 charts, 8 attachments)

PT. Dirgantara Indonesia (Persero) is one of the airlines in Asia which is experienced and competent in the design, development, and manufacturing of aircraft. The productivity of the company is currently supported by 232 units of machinery and equipment. In addition, there are several other tools scattered in various assembly lines, laboratories, services and maintenance unit. Existing noise in the working environment ranges between 80-103 dB (A). In the preliminary study, it was found as many as 93.3% of the 15 respondents complained their experiences of having sound of drone in the ears that bothers while working.

This research is a quantitative research with cross sectional study design to determine the factors associated with hearing loss. The study population was all workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment as many as 178 people, while the samples are 66 people who have a hearing test conducted by means of a tuning fork. The chi square analysis is used to examine the relationship between dependent and independent variables. The survey results revealed that there was a significant relationship between the dose of noise, age, use ear protective equipment and smoking history hearing loss in workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia in 2015.

In order to reduce the risk of hearing loss, the company should better perform the hearing conservation program, conduct examination of the ear (audiometric tests), perform technical control, limit the working time in noisy areas, carry out the maintenance of machines and working tools, provide training on the use of protective gear for ear and provide oversight of the use of ear protection, provide an education and counseling related to the dangers of smoking and prohibit workers turn the music on while working.


(5)

(6)

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Dini Rahmawati

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 09 Mei 1992

Alamat : Kp. Karehkel RT 02/RW 02, Kec. Leuwiliang, Kab.

Bogor

No. Handphone : 0813-9955-3038

E-mail : dinirahmaa7@gmail.com

Pendidikan Formal

Tahun Nama Institusi

2010 – 2015 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat

2007 – 2010 SMA Negeri 01 Leuwiliang 2004 – 2007 SMP Negeri 03 Leuwiliang 1998 - 2004 SD Negeri 01 Karehkel


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan semesta alam yang selalu memberikan kenikmatan tak terkira kepada makhluk-Nya. Atas segala pertolongan dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun umatnya menuju kehidupan yang penuh dengan cahaya Islam.

Penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata hasil usaha penulis sendiri melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa materi, doa, motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yaitu kepada:

1. Keluarga penulis (Bapak, Mimi, Dede, dan Aa (juga Syeikh dan Ummi)) terima kasih atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang diberikan selama penulis menuntut ilmu di bangku kuliah.

2. Bapak Dr. Arif Sumantri, M.Kes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D, selaku kepala program studi Kesehatan

Masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik.

4. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar, tegas, semangat, dan ikhlas untuk membimbing penulis. Terima kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tetap semangat untuk menjadi cahaya penolong bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya ya Bu.


(9)

5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

7. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKes, Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

8. Ibu Meilani Anwar, SKM, M.T selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji, membimbing, menyemangati dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.

9. Bapak Sudaryanto dan Pak Tedi selaku K3LH dan Pak Purwadi Riwayanto selaku Manager Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia yang sudah mengijinkan dan mempermudah penulis melaksanakan penelitian ini.

10.Ibu Ayu, Pak Bambang, Pak Asep, Pak Dadi, Pak Nyoto, Pak Endang, Pak Bumi, Pak Yadi dan seluruh pekerja di PT. Dirgantara Indonesia yang telah bersedia membantu penelitian ini.

11.Kak Ami, Kak Septi, Ka Ida dan Pak Ajib yang sudang setia mendengar keluh kesah penulis dan membantu penulis dengan sabar.

12.Untuk teman-teman K3 2010, Kinoy, Weti, Cinta, Epoy, Asro, Mono, Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbals, Bang Jek, dan Masshon yang telah memberikan warna-warni dalam masa-masa kuliah. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga selamanya. Selamat berjuang menuju babak baru kehidupan teman-teman.

13.Teman-teman Kebab tersayang dan tersanjung. Kita berbeda tapi tetap “sama”. Jangan pernah lupakan persahabatan ini. Semangat meraih cita -cita eonni.


(10)

15.Semua orang yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat dituliskan satu per satu, terima kasih dan semoga Allah membalas kebaikan kalian.

Dengan memohon keridhoan Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca luas pada umumnya.

Jakarta, Mei 2015

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan i

Abstrak ii

Abstract iii

Pernyataan Persetujuan Pembimbing iv

Pernyataan Persetujuan Penguji v

Daftar Riwayat Hidup vi

Kata Pengantar vii

Daftar Isi x

Daftar Tabel xiv

Daftar Bagan xv

Daftar Lampiran xvi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Pertanyaan Penelitian 7

1.4 Tujuan Penelitian 9

1.4.1 Tujuan Umum 9

1.4.2 Tujuan Khusus 9

1.5 Manfaat Penelitian 11

1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 11

1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 12

1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan 12

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 12


(12)

2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran 13

2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia 17

2.1.3 Mekanisme Mendengar 18

2.1.4

Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing

Loss) 19

2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran 20

2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran 23

2.2.1 Dosis Kebisingan 23

2.2.1.1 Kebisisngan 23

2.2.1.2 Pengertian Dosis Kebisingan 43

2.2.2 Usia 45

2.2.3 Masa Kerja 48

2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri 51

2.2.5 Riwayat Merokok 53

2.2.6 Penggunaan Obat Ototoksik 55

2.2.7 Lingkungan Tempat Tinggal 58

2.2.8 Jenis Kelamin 59

2.2.9 Hobi Terkait Bising 57

2.2.10 Riwayat Penyakit 61

2.3 Kerangka Teori 63

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep 64

3.2 Definisi Operasional 66

3.3 Hipotesis Penelitian 70

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian 71

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 71

4.3 Populasi dan Sampel 71


(13)

4.3.2 Sampel 72

4.3.3 Metode Sampling 73

4.4 Pengumpulan Data 74

4.4.1 Sumber Data 74

4.4.2 Alur Pengumpulan Data 74

4.5 Pengolahan Data 81

4.6 Analisis Data 82

4.6.1 Analisis Univariat 82

4.6.2 Analisis Bivariat 83

BAB V HASIL

5.1 Gambaran Umum Perusahaan 85

5.1.1 Profil Perusahaan 85

5.1.2 Visi dan Misi 87

5.1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesejahteraan Kerja Perusahaan 87

5.1.4

Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan

Heat Treatment Tahun 2015 87

5.2 Analisis Univariat 91

5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran 91

5.2.2

Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 92

5.3 Analisis Bivariat 97

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian 102

6.2 Gangguan Gangguan Pendengaran 102

6.3 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran 106

6.4 Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Pendengaran 111


(14)

Pendengaran

6.7 Hubungan Antara Riwayat Merokok dengan Gangguan Pendengaran 122

6.8

Hubungan Antara Hobi yang Terkait Bising dengan Gangguan

Pendengaran 129

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan 133

7.2 Saran 135

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan 28

3.1 Definisi Operasional 66

4.1 Daftar Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment 72

4.2 Contoh Perhitungan Dosis Kebisingan 76

4.3 Gambaran Hasil Diagnosis Tes Penala 79

4.4 Daftar Kode Variabel 82

5.1 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015

90

5.2 Gambaran Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015

91

5.3 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015

93

5.4 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015

94

5.5 Alasan Tidak Menggunakan Alat Pelindung Telinga pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

95

5.6 Gambaran Merokok pada Perokok di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

96

5.7 Gambaran Jenis Rokok pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

96

5.8 Jenis Hobi Terkait Bising pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

97

5.9 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015


(16)

DAFTAR BAGAN

2.1 Kerangka Teori 63


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Permohonan Izin Pengambilan Data 142

2. Surat Penerimaan Melaksanakan Penelitian 143

3. Struktur Organisasi PT. Dirgantara Indonesia 144

4. Denah Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia 145

5. Surat Persetujuan Subjek Penelitian 146

6. Kuesioner 147

7. Lembar Penelitian 151

8. Lembar Observasi Dosis Kebisingan 152

9. Lembar Observasi Penggunaan APT 153


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu tekanan yang berasal dari faktor fisik adalah kebisingan. Kebisingan di lingkungan kerja dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Kebisingan selain mempunyai dampak pada gangguan pendengaran (auditory), dalam beberapa riset terakhir dilaporkan mampu menimbulkan gangguan yang bersifat extraauditory, seperti stres psikologik, perubahan sirkulasi darah, kelelahan dan perasaan tidak senang (annoyance) (Wagshol, 2008).

Gangguan pendengaran jangka pendek yang ditimbulkan oleh bising, akan hilang dalam beberapa menit atau jam setelah meninggalkan area kebisingan tinggi. Namun, jika pekerja terpapar dengan kebisingan tinggi secara terus menerus dan berulang akan mengakibatkan gangguan pendengaran secara permanen (Soeripto, 2008). Semakin tinggi intensitas bising dan semakin lama pekerja terpajan bising, maka risiko pekerja untuk mengalami gangguan pendengaran akan semakin tinggi pula (European Agency for Safety and Health at Work, 2008).

Suasana yang bising memaksa pekerja untuk berteriak saat berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi


(19)

(miscommunication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Lebih jauh kebisingan terus menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pekerja yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja (Notoatmodjo, 2003).

Kebisingan di tempat kerja juga dapat mengganggu proses sosialisasi dengan lingkungan sekitar dan pada tahap tertentu dapat membuat pekerja diberhentikan dari pekerjaan sehingga akan berpengaruh pada pendapatan keluarga serta gangguan produksi, terjadinya kecelakaan kerja akibat penurunan konsentrasi, maupun kewajiban memberi kompensasi kecacatan pendengaran pekerja (Kusuma, 2004). Pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan akibat tersebut telah diketahui dan diterima masyarakat untuk berabad-abad lamanya (Suma’mur, 2009).

WHO memperkirakan di tahun 2001 terdapat 250 juta orang di dunia dengan gangguan pendengaran sedang maupun berat, angka ini meningkat menjadi lebih dari 275 juta orang di tahun 2004. Dari jumlah tersebut 80% diantaranya berada di negara berkembang. Angka ini terus meningkat sejak penelitian awal yang dilakukan oleh WHO pada tahun 1986 (Haryuna, 2013). Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi


(20)

asuransi, ditemukan 85% menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut 37% didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz.

Selain itu menurut NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health) diketahui bahwa 22 juta pekerja memiliki potensi

mengalami gangguan pendengaran setiap tahunnya dan 10 juta pekerja di Amerika Serikat mempunyai masalah gangguan pendengaran yang berhubungan dengan pekerjaannya. Di tahun 2007, sekitar 23.000 kasus dilaporkan sebagai gangguan pendengaran akibat kerja atau 14%. Kemudian tahun 2008, sekitar dua juta pekerja di Amerika Serikat terpajan bising di tempat kerja yang berisiko mengalami gangguan pendengaran (CDC, 2008). Di Indonesia, permasalahan bising termasuk dalam permsalahan besar di dunia industri. Hal ini terlihat dari besarnya prevalensi kejadian penurunan pendengaran akibat pajanan bising di tempat kerja. untuk perusahaan plywood, pajanan bising yang diterima pekerja berkisar 86,1-108,2 dB dengan prevalensi NIHL sebesar 31,81% (Tana dalam Akbar, 2012).

Selain karena adanya bahaya seperti kebisingan di lingkungan kerja, terdapat faktor lainnya yang menyebabkan ganguan pendengaran. Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2012) terhadap para penerbang TNI AU pesawat herkules dan helikopter didapatkan hasil bahwa tingkat kebisingan pesawat merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya NIHL. Selain itu variabel jam terbang, lama kerja, umur, pemakaian APT, Hobi (Akbar, 2012) dan kebiasaan merokok


(21)

(Mohammad, 2009; Tandiabang, 2010) berhubungan signifikan dengan gangguan pendengaran. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa rokok meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi (Mizoue T, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa perokok berat mempunyai risiko 12 kali lebih besar mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok ringan dan sedang (Tandiabang, 2010).

Terdapat sekitar 500 jenis pekerjaan pada industri yang berpotensi merusak pendengaran. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah industri pesawat terbang yang mampu menghasilkan kebisingan sampai 115-130 dB. PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan dan manufacturing pesawat terbang. Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan. Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan.

Salah satu departemen yang ada di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dengan kebisingan yang tinggi adalah departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Proses pekerjaan yang dilakukan di

departemen ini antara lain proses bending, press, hot press forming, folding/plong, stretching, routing cutter, crimping, rolling, tube flaring,


(22)

antara 80 dB – 103 dB. Kebisingan tertinggi di departemen ini dihasilkan oleh bunyi dari unit sheet press forming yaitu pada proses membentuk sayap pesawat dengan menggunakan palu yang terbuat dari logam, agar bentuk sayap pesawat sesuai dengan kontur yang ada. Kebisingan di ruangan kedap suara ini dapat mencapai 103 dB atau lebih.

Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound Level Meters (SLM) di departemen Metal Forming dan Heat

Treatment didapatkan bahwa rata-rata tingkat kebisingan di titik A yaitu lokasi menggerinda pada unit sheet press forming sebesar 90,46 dB dan di titik B yaitu lokasi pemotong pada unit profile press forming sebesar 89,2 dB, bila dibandingkan dengan Permenaker tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja, maka kebisingan tersebut telah melebihi nilai ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 85 dB. Kebisingan yang terdapat di departemen ini cenderung kontinu. Berdasarkan observasi langsung terhadap pekerja, terdapat beberapa pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja atau beberapa pekerja terlihat melepaskan APT, lalu menggunakan APT kembali padahal kebisingan di tempat kerja telah melebihi nilai ambang batas (NAB).

Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas di departemen Metal Forming dan Heat Treatment dapat menyebabkan ganguan pendengaran pada pekerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember tahun 2014, melalui wawancara dengan


(23)

15 orang pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment diketaui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami telinga berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja. dan 2% pekerja tetap merasa telinga berdengung saat libur bekerja. Kemudian 66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit berkomunikasi ketika berada di tempat kerja.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound Level Meters (SLM) diketahui bahwa tingkat kebisingan di departemen

Metal Forming dan Heat Treatment sudah melebihi nilai ambang batas, dengan rata-rata tingkat kebisingan di titik A sebesar 90,46 dB dan di titik B sebesar 89,2 dB. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pekerja diketahui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami telinga berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja dan 2%


(24)

66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit berkomunikasi ketika berada di tempat kerja.

Menurut beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat sejumlah faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran seperti lama kerja, umur, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi terkait bising. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengeran di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pada tahun 2015.

1.3Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero)?

2. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?

3. Bagaimana gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) tahun 2015?

4. Bagaimana gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?


(25)

5. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun

2015?

6. Bagaimana gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?

7. Bagaimana gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) tahun 2015?

8. Bagaimana gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) tahun 2015?

9. Apakah terdapat hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?

10.Apakah terdapat hubungan antara usia dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?

11.Apakah terdapat hubungan antara masa kerja dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?


(26)

12.Apakah terdapat hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 13.Apakah terdapat hubungan antara riwayat merokok dan gangguan

pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?

14.Apakah terdapat hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 2. Mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di

departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

3. Mengetahui gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.


(27)

4. Mengetahui gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) tahun 2015.

5. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) tahun 2015.

6. Mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

7. Mengetahui gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

8. Mengetahui gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

9. Mengetahui hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

10.Mengetahui hubungan antara usia dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.


(28)

11.Mengetahui hubungan antara masa kerja dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

12.Mengetahui hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia

(Persero) tahun 2015.

13.Mengetahui hubungan antara riwayat merokok dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

14.Mengetahui hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja sebagai salah satu indikator dari adanya gangguan kesehatan telinga yang dialami oleh pekerja, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanggulangan yang lebih baik lagi di masa mendatang.


(29)

1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran kepada para pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tentang faktor risiko yang mempengaruhi penurunan fungsi pendengaran. Tujuannya agar pekerja lebih memperhatikan faktor risiko yang dapat mempengaruhi gangguan pendengaran, sehingga dapat mengurangi angka kejadian gangguan pendengaran yang dialami pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero).

1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi untuk penelitian di masa mendatang.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015, dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2014 – Februari tahun 2015. Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran gangguan pendengaran dengan garpu tala, pengukuran dosis kebisingan dengan recall aktivitas, dan observasi penggunaan alat pelindung telinga (APT).


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendengaran Manusia

2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran

Dalam buku penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepada, dan leher jilid 2, telinga secara anatomi dan fungsional dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.

1. Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat sebelah luar membran timpani. Terdiri dari daun telinga dan saluran yang menuju membran timpani, yaitu di sebelah liang telinga luar.

Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Lekuk daun telinga yang utama ialah heliks dan antiheliks, tragus dan antritragus, dan konka.

Gendang telinga dan kulit liang telinga mempunyai sifat membersihkan sendiri yang disebabkan oleh migrasi lapisan keratin epitelium dari membran timpani ke luar ke bagian tulang rawan. Membran timpani terdiri dari tiga


(31)

lapisan, lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan tersebut.

2. Telinga Tengah

Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum.

Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang letaknya lebih rendah dari membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis dapat masuk ke dalam hipotimpanum.

Mesotimpanum yang ada di sebelah medial dibatasi oleh kapsul optik, yang terletak lebih rendah dari nervus fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang melengkung


(32)

pada bagian basal koklea terletak tepat di sebelah medial membran timpani dan disebut promontorium.

Tulang-tulang pendengaran membentuk suatu sistem pengungkit dan batang yang meneruskan suatu energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut terdiri dari maleus (landasan) dan stapes (sanggurdi). Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamen inkus pada ujung prosesus brevis.

3. Telinga Dalam

Telinga dalam terletak di pars petrosa atau pars piramida tulang temporal dan terdiri dari koklea, vestibulum dan tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea merupakan bagian telinga dalam yang terdapat pada pars petrosa tulang temporalis. Organ korti terletak pada membran basilaris yang merupakan struktur yang mengandung sel-sel reseptor pendengaran, terbentang dari basis sampai apeks koklea.

Bunyi yang dilepaskan dari sumber bunyi, akan dihantarkan melalui udara sehingga mencapai aurikula. Selanjutnya diteruskan ke telinga tengah melalui meatus akustikus eksternus dan akan menggetarkan membran


(33)

timpani. Di sini terjadi penguatan bunyi sebesar 15 dB pada frekuensi antara 2 sampai 5 kH. Selanjutnya getaran bunyi akan melalui media padat yaitu tulang-tulang pendengaran. Dalam perjalanannya getaran bunyi akan mengalami penguatan melalui efek pengungkit rantai tulang pendengaran yang memberikan penguatan sebesar 1,3 kali dan efek hidrolik membran timpani sebesar 17 kali. Total penguatan bunyi yang terjadi sebesar 25 sampai 30 dB. Penguatan bunyi ini diperlukan agar bunyi mampu merambat terus ke perilimfe. Getaran bunyi yang telah diperkuat selanjutnya menggerakkan stapes yang menutup foramen ovale. Pada frekuensi sonik gerakan perilimfe dalam skala vestibuli menyebabkan getaran langsung ke arah skala media dan menekan membran basilaris.

Gerakan membran basilaris akan menyebabkan gesekan membran tektoria terhadap rambut sel-sel sensoris. Pergerakan sel rambut menyebabkan perubahan kimiawi yang akhirnya menghasilkan listrik biologik dan reaksi biokimiawi pada sel sensorik sehingga timbul muatan listrik negatif pada dinding sel. Ujung saraf VIII yang menempel pada dasar sel sensorik akan menampung mikroponik yang terbentuk. Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju ganglion spiralis korti, saraf VIII, nukleus koklearis di


(34)

medula oblongata, kolikulus superior, korpus genukulatum medial, korteks auditori di lobus temporalis serebri (Kristianto, 2012).

2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia

Proses pendengaran timbul akibat getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang memiliki kecepatan dan volume yang berbeda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus yang berhubungan dengan membran tersebut (Amin, 2012).

Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan tulang memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan menuju endolimfe dalam saluran koklea dan rangsangan menuju organ korti selanjutnya dihantarkan ke otak. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak. Gelombang suara menimbulkan bunyi sebagai berikut:

a. Tingkatan suara biasa 80-90 desible


(35)

2.1.3 Mekanisme Mendengar

Telinga manusia dan mekanisme pendengaran merupakan hal yang sangat luar biasa. Dalam waktu yang begitu cepat telinga dapat melakukan konversi energi mekanik menjadi respon elektrokimia. Sensitivitas telinga, kemampuannya untuk membedakan suara-suara tertentu dari suara-suara lain, membuat kinerjanya tidak dapat ditandingi oleh instrumen buatan manusia. Secara anatomis, telinga manusia terdiri dari 3 bagian utama, yaitu telinga bagian luar, bagian tengah yang berisi udara dan bagian dalam yang berisi cairan. Fungsi dari telinga bagian luar adalah untuk mengumpulkan suara,

sedangkan bagian tengah untuk mengkonversi dan

mengirimkan rangsangan suara ke telinga bagian dalam dimana reseptor sensorik (sel rambut) berada untuk merasakan suara (Primadona, 2012).

Mekanisme mendengar dimulai ketika gelombang suara masuk ke telinga luar dan berjalan melalui jalan sempit yang disebut lubang telinga yang mengarah ke gendang telinga. Suara yang masuk membuat gendang telinga bergetar, kemudian getaran ini dikirim ke tiga tulang kecil yang berada di telinga tengah, yaitu malleus, incus dan stapes. Tulang-tulang tersebut memperkuat atau meningkatkan getaran suara dan mengirimkannya ke telinga bagian dalam, disebut dengan


(36)

cairan. Sel-sel sensoris khusus pada koklea, dikenal dengan sel-sel rambut, mendeteksi getaran dan mengonversikannya menjadi sinyal-sinyal listrik. Selanjutnya, sinyal-sinyal listrik ini dikirim melalui syaraf pendengaran menuju ke otak yang kemudian diterjemahkan menjadi suara yang kita kenali dan pahami (NIDCD, 2008).

2.1.4 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss)

Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat

terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Arsyad et al., 2007).

Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah terjadinya kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift).


(37)

1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.

2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat terpajan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari.

3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (eksplosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan Organ corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dll (Arsyad et al., 2007).

2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni.

Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah, seperti


(38)

atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah.

Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.

Berdasarkan OSHA dalam (Wibowo, 2012), pemeriksaan pendengaran pada pekerja dilakukan secara berkala setahun sekali. Sebelum diperiksa, pekerja harus dibebaskan dari kebisingan di tempat kerjanya selama 14 jam.

a. Audiometer

Salah satu metode untuk memeriksa pendengaran adalah dengan menggunakan audiometer nada murni karena mudah diukur, mudah diterangkan, dan mudah dikontrol. Metode ini dapat untuk mengetahui kelainan pendengaran

(gangguan pendengaran konduksi, saraf maupun

campuran). Terhadap individu yang diperiksa,

diperdengarkan bunyi yang dapat diatur frekuensi dan intensitasnya, sehingga hasil pemeriksaan dapat berupa pendengaran normal atau dapat diketahui derajat gangguan pendengarannya (OSHA, 2008).

Audiometer adalah sebuah alat pengeras yang dapat memberikan sinyal akustik pada telinga melalui telepon-kepala, pengeras-suara, atau penghantar-tulang. Sinyal suara yang diberikan ialah:


(39)

a) Nada-bentuk-sinus dari frekuensi dan intensitas berbeda yang murni dari alat generator-nada. b) Suara-bising, yang disaring atau tidak disaring oleh

pita-saringan (bandfilter).

c) Pembicaraan yang dikeluarkan melalui pita-tape atau CD-player (Broek P, 2009).

Hearing Threshold Limit (HTL) adalah hasil rata-rata frekuensi pada 500 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, dan 3000 Hz atau 4.000 Hz dalam dB. Pemeriksaan audiometri dalam usaha memberikan perlindungan maksimum terhadap pekerja dilakukan sebagai berikut:

1. Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di daerah kerja yang bising (baseline audiogram) 2. Secara berkala (periodik/tahunan)

3. Pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA selama 8 jam sehari, pemeriksaan dilakukan setiap 1 tahun atau 6 bulan tergantung tingkat intensitas bising 4. Secara khusus pada waktu tertentu

5. Pada akhir masa kerja (OSHA, 2008) b. Tes Penala

Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing, dan tes Stenger.


(40)

1. Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa.

2. Tes Weber ialah tes pendengaran untuk

membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan.

3. Tes Schwabach ialah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.

Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss), pada pemeriksaan audiologi melalui tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik, dan Schwabach memendek. 2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran

2.2.1 Dosis Kebisingan 2.2.1.1Kebisingan

1. Definisi Bunyi atau Suara

Bunyi adalah tekanan bolak balik dan merupakan molekul dalam medium elastik yang dapat terdeteksi oleh penerima dan ditangkap sebagai perubahan tekanan. Bunyi memiliki hubungan antara frekuensi vibrasi suara, panjang gelombang, dan kecepatan (Sari, 2012).

Suara didefinisikan sebagai sensasi atau rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran manusia ketika


(41)

gelombang-gelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang diterimanya. Gelombang suara merupakan gelombang longitudinal yang terdengar sebagai bunyi bila masuk ke telinga berada pada frekuensi 20–20.000 Hz atau disebut jangkauan suara yang dapat didengar (Djalante, 2010).

2. Pengertian Kebisingan

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No. Kep. 13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja menyatakan bahwa kebisingan adalah semua bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan bahaya.

Polusi udara atau kebisingan dapat didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki dan mengganggu manusia. Sehingga meski kecil atau lembut suara yang terdengar, jika hal tersebut tidak diinginkan maka akan disebut kebisingan (Djalante, 2010).

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 13/Men/X/2011, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah 85 dBA untuk waktu pajanan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap tenaga kerja adalah kebisingan, yang mampu


(42)

menyebabkan berkurangnya pendengaran (Depnaker, 2011).

3. Jenis-Jenis Kebisingan

Berdasarkan buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, pajanan kebisingan di tempat kerja dapat

dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu: a. Continuous Noise

Continuous noise merupakan jenis kebisingan yang memiliki tingkat dan spektrum frekuensi konstan. Kebisingan jenis ini memajan pekerja dengan periode waktu 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.

b. Intermittent Noise

Intermittent noise merupakan jenis kebisingan yang memajan pekerja hanya pada waktu-waktu tertentu selama jam kerja. Contoh pekerja yang mengalami pajanan kebisingan jenis ini adalah inspector atau plant supervisor yang secara periodik meninggalkan area kerjanya yang relatif tenang menuju area kerja yang bising.

c. Impact Noise

Impact noise disebut juga dengan kebisingan impulsif,

yaitu kebisingan dengan suara hentakan yang keras dan terputus-putus kurang dari 1 detik. Contoh kebisingan


(43)

jenis ini adalah suara ledakan dan pukulan palu (Standard, 2002).

4. Sumber Kebisingan

Sumber kebisingan bermacam-macam. Di lingkungan kerja, bising dapat bersumber dari benda-benda maupun situasi yang berada di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya bising yaitu mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja, proses-proses kerja, peralatan pabrik, kendaraan, kegiatan manusia, suara pekerja itu sendiri, dan suara orang yang berlalu-lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar lingkungan kerja (background noise).

Kebisingan yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut memiliki tingkat intensitas yang berbeda dan akan memberikan dampak pada kesehatan manusia. Sehingga dalam pengujian atau pengontrolan tingkat kebisingan merupakan hal yang sangat perlu dilakukan agar tidak mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kecelakaan kerja di sebuah perusahaan (Sari, 2012).

5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2011, Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di tempat


(44)

kerja, waktu maksimum pekerja di daerah paparan kebisingan tertentu adalah sebagai berikut :


(45)

Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu pemaparan per

hari

Intensitas Kebisingan dalam dBA

8 Jam 85

4 88

2 91

1 94

30 Menit 97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

28,12 Detik 115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat.

Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Per.13/MEN/X/2011 tahun 2011


(46)

6. Dampak Akibat Bising

Kebisingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tenaga kerja, gangguan atau penyakit yang diakibatkan oleh bising dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Gangguan Fisiologis

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan

fisiologis yaitu internal body system. Internal body system adalah sistim fisiologis yang terpenting untuk kehidupan gangguan fisiologis ini dapat menimbulkan kelelahan dada berdebar, menaikkan denyut jantung, mempercepat pernafasan pusing, sakit kepala dan kurang nafsu makan. Selain itu juga dapat meningkatkan tekanan darah, pengerutan saluran darah di kulit, meningkatkan laju metabolik, menurunkan keaktifan organ pencernaan dan ketegangan otot.

Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, terlebih bising yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba. Gangguan dapat terjadi pada peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, basa metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada tangan dan kaki dapat menyebabkan pucat.


(47)

b. Gangguan Psikologis

Gangguan psikologis akibat bising dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, rasa jengkel, rasa khawatir, cemas, susah tidur mudah marah dan cepat tersinggung. Menurut EPA kriteria kebisingan yang dapat mengakibatkan gangguan psikologis yaitu 55-65 dB (Arini, 2005).

c. Gangguan Komunikasi

Risiko potensial terhadap pendengaran terjadi apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan ini dapat menimbulkan

terganggunya pekerjaan dan kadang-kadang

mengakibatkan salah pengertian yang secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas dan kuantitas kerja. Agar pembicaraan dapat dimengerti dalam lingkungan bising, maka pembicaraan harus diperkeras dan harus dalam kata dan bahasa yang mudah dimengerti oleh penerima.

Dalam ruangan kerja yang bising, pekerja akan berhubungan pada jarak yang dekat, yaitu kira-kira 1 m. Pada jarak ini komunikasi dapat dicapai dengan suara normal apabila backround noise paling tinggi 78 dB. Batas maksimal kebisingan dalam ruang kerja adalah


(48)

62 dB, pada level ini komunikasi masih bisa berlangsung pada jarak 2 m.

d. Gangguan Pendengaran

Kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel rambut di koklea, bagian dari telinga dalam dan menyebabkan kehilangan pendengaran. Di banyak negara, gangguan pendengaran akibat bising berupa NIHL merupakan penyakit yang paling umum di bidang industri yang bersifat irreversible (Primadona, 2012).

Selain berpengaruh terhadap tenaga kerja, kebisingan juga memiliki pengaruh pada perusahaan atau tempat kerja. Pengaruh lingkungan bising dan gangguan pendengaran pada tempat kerja adalah:

1. Menurunnya produktivitas tenaga kerja akibat dari berkurangnya kemampuan fisik tenaga kerja, berkurangnya tingkat konsentrasi dan kelelahan akibat dari paparan bising di tempat kerja.

2. Tingginya angka absensi

3. Tingginya biaya ganti rugi dan rehabilitasi akibat gangguan pendengaran karena bising di tempat kerja yang akan berdampak pada berkurangnya keuntungan perusahaan.


(49)

4. Tingginya biaya pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja agar dapat melakukan pekerjaan secara rotasi akibat harus mengurangi paparan intensitas kebisingan yang tinggi (Arini, 2005).

7. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan biasanya dinyatakan dengan satuan decibel (dB). Decibel (dB) adalah suatu unit pengukuran kuantitas resultan yang merepresentasikan sejumlah bunyi dan dinyatakan secara logaritmik. Sederhananya, skala decibel (dB) diperoleh dari 10 kali logaritma (dasar 10) perbandingan tenaga (Wilson, 1989). Satuan tingkat kebisingan (decibel) dalam skala A, yaitu kelas tingkat kebisingan yang sesuai dengan respon telinga normal.

Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu: a. Frekuensi

Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat per satuan waktu (cps = cycle per second), dengan satuan Hertz. Bunyi yang dapat diterima telinga manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara 20-20000 Hz. Apabila frekuensi kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila frekuensi lebih dari


(50)

20000 Hz maka disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia.

b. Intensitas

Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi. Intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmik yang disebut decibel (dB) dengan membandingkan kekuatan dasar 0.0002 dyne/cm2 (2x10-5 N/m2) yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz dan tepat menjadi ambang pendengaran manusia dengan telinga normal (Santoso, 2008).

Alat untuk mengukur tingkat kebisingan adalah Sound Level Meter. Ukuran kebisingan dinyatakan

dengan istilah Sound Pressure Level (SPL). Alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu Sound Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan diantara

30–130 dB dan dengan frekuensi 20–20000 Hz. Alat ini terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik, amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu:


(51)

i. Skala A

Untuk memperlihatkan kepekaan yang terbesar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi untuk intensitas rendah (35–135 dB).

ii. Skala B

Untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas sedang ( >40 dB) tapi sangat jarang digunakan dan mungkin tidak digunakan lagi.

iii. Skala C

Untuk bunyi dengan intensitas tinggi ( >45 dB) yang menghasilkan gambaran respons terhadap bising antara 20 sampai dengan 20000 Hz.. Alat ini dilengkapi dengan Oktave Band Analyzer.

Intensitas bising akan semakin berkurang jika jarak dengan sumber bising semakin bertambah.

8. Metode Pengendalian Bising

Pengendalian kebisingan adalah langkah untuk mengelola risiko paparan kebisingan. Berikut ini merupakan pengendalian yang dapat diterapkan untuk mengurangi paparan kebisingan:


(52)

1) Eliminasi

Tindakan pengendalian dengan biaya yang efektif dapat dilakukan ketika suatu pabrik baru akan dibangun atau dibeli, antara lain dengan desain area instalasi dan desain serta konstruksi pabrik baru. Pabrik yang baru harus dirancang dan dibangun dengan memastikan paparan kebisingan serendah mungkin. Jika terdapat potensi kebisingan cukup tinggi, maka tindakan pengendalian teknis yang dapat diterapkan harus disertakan dalam desain. Kegiatan industri harus didesain untuk mencegah dan meminimalisi seluruh risiko baik kesehatan maupun keselamatan yang timbul akibat paparan kebisingan. Dalam perencanaan tempat kerja harus memperhatikan beberapa hal berikut ini.

a) Kesepakatan dengan klien untuk pengurangan

kebisingan, sehingga dapat melakukan

kebijakan pengendalian kebisingan untuk mengatur kerja dan anggaran yang akan digunakan untuk pengendalian kebisingan yang efektif pada tahap desain.

b) Mempertimbangkan efek tingkat kebisingan pada gedung, tata letak gedung dan lokasi area kerja relatif terhadap pabrik.


(53)

c) Mempertimbangkan transmisi kebisingan melalui struktur dan pipa-pipa.

d) Merancang ruang kerja dan ruang kendali yang dapat meyerap suara jika diperlukan.

e) Menerapkan desain akustik untuk pengendalian lingkungan eksternal dengan tujuan mengurangi tingkat kebisingan internal dan sebaliknya. f) Merancang pabrik untuk mengeliminasi atau

mengendalikan beberapa risiko kesehatan atau pendengaran yang dihasilkan dari emisi kebisingan.

2) Pengendalian Teknis

Pengendalian teknis untuk paparan kebisingan dapat dilakukan pada sumber dan media. Pengendalian teknis pada sumber adalah dengan menggunakan metode yang secara permanen dapat mengatasi paparan kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin atau proses kerja.

Pengendalian dapat dilakukan dengan cara

memodifikasi, mendesain ulang sebagian atau mengganti peralatan.

Tujuan pelaksanaan pengukuran kebisingan adalah sebagai upaya untuk mengidentifikasi bagaimana dan dimana kebisingan timbul. Beberapa masalah dapat


(54)

diselesaikan dengan prosedur sederhana dan murah. Sumber kebisingan yang lebih sulit mungkin memerlukan saran dari para ahli. Pendekatan ini dapat memberikan hasil yang paling memuaskan. Seseorang yang memahami kebisingan dan operasional mesin atau proses dapat mempertimbangkan berbagai pilihan untuk mengendalikan kebisingan pada sumber. Pengendalian teknis untuk bahaya kebisingan dapat difokuskan pada mesin dan komponennya atau terhadap proses yang sebenarnya, termasuk sistem penanganan material. 3) Pengendalian Administratif

Pengendalian administratif seharusnya dilakukan ketika paparan kebisingan tidak dapat dieliminasi atau dikendailkan secara teknis. Pengendalian administratif meliputi rotasi kerja dan redesain kerja yang bertujuan untuk membatasi jumlah pekerja yang terpapar. Berikut ini merupakan pengendalian administratif yang dapat dilakukan.

a) Rotasi kerja

Rotasi kerja melibatkan perubahan tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja sehingga mereka tidak berisiko terpapar kebisingan yang tinggi, misalnya jika seorang


(55)

pekerja terpapar kebisingan pada level 94 dB(A)

untuk satu jam, maka pekerja harus

menghabiskan waktu kerjanya di area dengan kebisingan rendah sehingga pekerja tersebut tidak terpapar kebisingan lebih dari 85 dB(A) selama 8 jam.

b) Program Pemeliharaan Peralatan

Dalam banyak kasus, pemeliharaan mesin dan peralatan dalam kondisi baik akan mengurangi paparan kebisingan. Penurunan kebisingan mesin hingga 10 dB(A) dapat dicapai dengan cara ini. Penurunan yang lebih besar sangat bergantung pada tipe mesin dan peralatan. Program pemeliharaan harus menyertakan modifikasi dan atau tambahan, misalnya noise mufflers, vibration isolators, duct silencers. Tingkat kebisingan dapat

meningkat karena kurangnya pemeliharaan, perubahan pengaturan mesin atau operasional mesin.

c) Program “Buy Quite

Kesempatan untuk melalukan program “buy quite” ada ketika sedang dibuat perencanaan


(56)

untuk bangunan dan pengaturan tempat kerja, perluasan tempat kerja sedang dipertimbangkan, dan pabrik atau peralatan baru akan dibeli. 4) Alat Pelindung Diri

Alat pelindung telinga merupakan sepasang alat yang didesain untuk menutupi atau dimasukkan ke dalam telinga pekerja untuk melindungi pekerja. APT tidak sesuai digunakan pada lingkungan kerja dengan level kebisingan rendah (55-85 dB). Pekerja atau semua orang yang berada dalam lingkungan kerja dengan kebisingan tinggi seharusnya,

i. Dibekali APT

ii. Dilatih cara menggunakan APT dengan benar iii. Dilatih untuk menggunakan APT pada saat

terpapar kebisingan

APT seharusnya tidak digunakan untuk

menggantikan pengendalian teknis atau administratif. APT biasanya hanya digunakan sementara selama paparan kebisingan tidak dapat dicapai dengan menerapkan pengendalian lainnya. Pelepasan APT dalam periode waktu yang singkat pada area kebisingan tinggi dapat mengurangi efektivitas APT tersebut


(57)

secara signifikan dan mengakibatkan perlindungan yang tidak optimal.

Program pemilihan APT merupakan hal yang penting untuk memastikan APT dapat melindungi pekerja dengan perlindungan yang dapat dipercaya. APT harus sesuai dengan standar dan mencantumkan

kemampuan dalam mereduksi kebisingan atau

dinyatakan dalam nilai NRR (Noise Reduction Rating). Pemilihan APT didasarkan pada:

i. Derajat perlindungan yang diperlukan dalam lingkungan pekerja.

ii. Kesesuaian untuk digunakan dalam jenis pekerjaan dan lingkungan tempat bekerja. iii. Kenyamanan, berat dan kekuatan mengapit dari

APT yang digunakan.

iv. Kesesuaian dengan pengguna. Kesesuaian individu diperlukan untuk perlindungan yang optimum.

v. Keselamatan pengguna dan teman kerja. Dengan pemilihan APT yang benar, maka suara peringatan tidak akan terganggu ketika APT digunakan.


(58)

5) Pengendalian Lain

Pengendalian lainnya yang dapat diterapkan adalah: i. Area Perlindungan Pendengaran (Hearing

Protection Areas)

Tanda peringatan “Hearing Protection Areas” harus dipasang di tempat kerja yang memiliki kebisingan tinggi. Batas area bising harus ditentukan dengan jelas.

Tanda peringatan digunakan untuk

menunjukkan area kebisingan tinggi. Tanda peringatan tambahan dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa untuk memenuhi area tersebut harus menggunakan APT. Metode ini dapat dicapai melalui:

a. Pemasangan tanda peringatan sebagai media untuk menunjukkan bahwa APT wajib digunakan ketika pekerjaan sedang berlangsung.

b. Menyediakan petunjuk baik tertulis maupun verbal tentang bagaimana cara mengenali keadaan dimana seseorang harus menggunakan APT.


(59)

c. Pengawasan yang efektif pada lokasi yang telah diidentifikasi masuk ke dalam “Hearing Protection Areas”.

ii. Inspeksi dan Pemeliharaan

APT yang disediakan perusahaan untuk para pekerja seharusnya diinspeksi dan dipelihara

secara rutin. Perusahaan juga harus

menyediakan area yang bersih untuk menympan APT ketika tidak digunakan. Fasilitas untuk membersihkan APT yang dapat digunakan kembali harus tersedia. Selain itu, pekerja juga sebaiknya melakukan pengecekkan APT secara reguler untuk mendeteksi dan melaporkan kerusakan.

iii. Informasi dan Pelatihan

Pekerja seharusnya sudah diberikan informasi mengenai perlunya APT sebelum mereka mulai bekerja. APT yang sesuai didasarkan pada nilai attentuion yang diperlukan untuk lingkungan dan pekerjaan yang dilakukan. Instruksi tentang cara penggunaan, pemasangan, perawatan dan pemeliharaan seharusnya diberikan secara reguler. Perusahaan dan


(60)

sepervisor seharusnya mendorong penggunaan APT dengan menjelaskan dan memberikan contoh individu.

2.2.1.2Pengertian Dosis Kebisingan

Pengaturan waktu maksimal pemajanan berkaitan dengan persentase dosis kebisingan yang diterima oleh pekerja yaitu mencapai 100% dosis. Rekomendasi yang diberikan NIOSH untuk exposure limit paparan kebisingan adalah 85 dB(A), untuk 8 jam per hari. Paparan yang berada di atas level tersebut dapat dianggap bahaya. Pekerjaan dengan paparan di atas 85 dB(A) harus pendapat pengendalian sehingga paparan yang diterima pekerja kurang dari kombinasi tingkat pemaparan (L) dan durasi (T), sebagaimana dihitung dengan rumus berikut:

T =

Keterangan:

T : Lama pajanan bising yang diperkenankan (jam) L : Tingkat Kebisingan

Jika tingkat kebisingan dan periode pemaparan bising yang diterima pekerja berbeda dalam sehari-sehari, maka dilakukan pengukuran dosis kebisingan. Ketentuan perhitungan secara manual yaitu jika kebisingan yang


(61)

diterima pekerja < 80 dB(A), maka bisa kita abaikan tanpa perlu menghitung dosis karena kebisingan berada di bawah NAB (Istantyo, 2011). Setelah diketahui tingkat kebisingannya, kemudian dicari berapa lama pekerja melakukan pekerjaan di tempat tersebut dan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

D

=

x 100%

Keterangan:

D : jumlah dosis kebisingan T : lama pajanan kebisingan (jam)

Jika dari perhitungan didapatkan D < 100%, maka dosis kebisingan yang diterima adalah kurang dari NAB. Bila D = 100%, maka dosis kebisingannya berada pada NAB dan bila D > 100%, maka dosis kebisingannya berada di atas NAB (Tambunan, 2005).

Semakin besar dosis bising yang diterima seorang pekerja, maka semakin besar potensi terjadi gangguan pendengaran yang ditandai dengan peningkatan nilai ambang dengar (Pratiwi, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2011), mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap


(62)

gangguan fungsi pendengaran dengan nilai Pvalue sebesar 0,000. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa nilai OR untuk variabel dosis kebisingan sebesar 19,279, artinya pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari 100% atau equivalen dengan 85 dB memiliki peluang 19,279 kali lebih berisiko untuk mengalami gangguan fungsi pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menerima dosis kebisingan < 100%.

2.2.2 Usia

Usia mempunyai pengaruh terhadap gangguan

pendengaran. Usia lebih tua relatif akan mengalami penurunan kepekaan terhadap rangsangan suara. Penyebab paling umum terjadinya gangguan pendengaran terkait usia adalah presbycusis. Presbycusis ditandai dengan penurunan persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi. Presbycusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB setiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun. Oleh karena itu, dalam perhitungan tingkat cacat maupun kompensasi digunakan faktor koreksi 0,5 dB setiap tahunnya untuk pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun. Dalam penelitian mengenai penurunan pendengaran akibat kebisingan,


(63)

faktor usia harus diperhatikan sebagai salah satu faktor counfounding (perancu) yang penting (Zhang, 2010).

Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mulai mengalami kerusakan. Rusak atau hilangnya sel-sel rambut inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk mendengar suara. Perubahan-perubahan pada telinga bagian tengah dan dalam inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan sensitifitas pendengaran seiring dengan bertambahnya usia seseorang (Primadona, 2012). Selain itu pada orang dengan usia yang lebih tua ambang reflek akustiknya akan menurun. Reflek akustik berfungsi memberikan perlindungan terhadap rangsangan bising yang berlebihan. Pada orang tua membutuhkan rangsangan bising yang lebih tinggi untuk menimbulkan reflek akustik dibanding pada orang yang lebih muda (Tantana, 2014).

Degenerasi organ pendengaran yang dimulai dari usia 40 tahun ke atas diduga mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makan, metabolisme, arteriosklerosis,


(64)

infeksi, bising, gaya hidup sehingga bersifat multifaktor (Istantyo, 2011).

Patologi dari perubahan tersebut ialah proses degenerasi yang menyebabkan perubahan struktur koklea dan nervus VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok yaitu atrofi dan degenerasi sel-sel pada organ korti. Proses atrofi diikuti dengan perubahan vaskuler yang terjadi pada stria vaskularis. Kemudian terdapat perubahan berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan syaraf (Istantyo, 2011).

Penelitian yang dilakukan Primadona (2012), mendapatkan hasil bahwa sebanyak 4 orang (26,7%) pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami penurunan pendengaran, sedangkan pada pekerja yang berusia kurang dari sama dengan 40 tahun sebanyak 1 orang (2,2%) pekerja mengalami penurunan pendengaran. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,012 (p<α) yang berarti bahwa secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia pekerja dan kejadian penurunan pendengaran. Sedangkan Olishifski melaporkan walaupun pengaruh usia terhadap pajanan bising masih dalam perdebatan, pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20% dari populasi umum dengan usia 50-59 tahun mengalami kehilangan


(65)

pendengaran tanpa mendapat pajanan bising industri (Lusianawaty, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah (2004) terhadap para pekerja pria di PT X, didapatkan hasil bahwa variabel usia mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya gangguan pendengaran dengan p <0,01. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang berusia >40 tahun dan pekerja tersebut memiliki risiko sepuluh kali lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja berusia <40 tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tua pekerja, maka semakin besar risikonya untuk mengalami gangguan pendengaran.

2.2.3 Masa Kerja

Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada tenaga kerja, terutama pada indera pendengaran. Organ pendengaran yang kita miliki hanya menerima bising pada batas-batas tertentu saja. Jika batas tersebut dilampaui dan waktu paparan cukup lama, maka dapat menyebabkan daya dengar tenaga kerja menurun.

Tenaga kerja memiliki risiko mengalami NIHL yang dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa disadari. Penurunan daya pendengaran tergantung dari lamanya pemaparan serta tingkat kebisingan, sehingga faktor-faktor


(66)

yang menimbulkan gangguan pendengaran harus dikurang (Permaningtyas, 2011).

Gejala klinis penderita gangguan pendengaran akibat bising dikeluhkan pekerja setelah bekerja selama 5 tahun dan inipun baru disadari setelah pihak lain seperti istri, anak dan teman bergaul mengatakan bahwa penderita memerlukan suara yang cukup keras untuk mampu mendengar.

Penelitian yang dilakukan Pratiwi pada tahun 2012, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang sidnifikan antara lama kerja terhadap gangguan pendengaran pada penerbang pesawat herkules dan helikopter dengan p=0,015 dan nilai OR 3,48 artinya bahwa penerbang yang mempunyai lama kerja >5 tahun mempunyai risiko terjadinya gangguan pendengaran (NIHL) 3,48 kali dibandingkan dengan penerbang yang mempunyai lama kerja <5 tahun.

Penelitian yang dilakukan Sari, dkk (2012), pada tenaga kerja PT. PLN (PERSERO) wilayah Kalimantan Timur sektor Mahakam, PLTD Karang Asam Samarinda, berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-kuadrat, ada hubungan yang signifikan antara lama pemaparan kebisingan berdasarkan masa kerja dengan gangguan pendengaran tenaga kerja, yaitu dengan nilai chi-kuadrat sebesar 15,250 >5,991 pada taraf kesalahan 5% dengan derajat kebebasan = 1. Hal ini berarti semakin lama


(67)

tenaga kerja terpapar oleh kebisingan maka semakin tinggi (banyak) tenaga kerja yang mengalami gangguan pendengaran.

Penelitian lain yang dilakukan pada pekerja yang berumur 75 tahun dengan pajanan bising selama 20 tahun, pada pemeriksaan mayat (post mortem) ditemukan kerusakan organ Corti berupa destruksi sel rambut dengan kerusakan terberat berasal dari bagian basal koklea. Selain itu ditemukan juga atrofi dari nervus auditoris dan degenerasi ganglion spiralis. Bagian koklea terdekat dengan tingkap lonjong menerima bunyi dengan frekuensi tinggi. Kerusakan koklea akibat frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4000 Hz dimana keadaan ini sesuai dengan getaran terbesar pada membran basilaris dan organ Corti.

Soetirto menyatakan bahwa gangguan pendengaran dapat terjadi akibat terpapar kebisingan mikro (60-70 dBA) secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Terpapar bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam, yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz, dan yang terberat alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz. Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising,


(68)

antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, dan lebih lama terpapar bising (Sutopo, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Habibi pada tahun 2010 untuk mengetahui lama paparan bising terhadap kejadian NIHL pada musisi, didapatkan hasil bahwa dari 47 sampel penelitian didapatkan sebanyak 5 orang mengalami NIHL, 4 kasus terjadi pada sampel yang telah terpapar selama lebih dari lima tahun dan 1 sampel yang telah terpapar selama kurang dari setahun (Banitriono, 2012).

2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Telinga

Pengendalian kebisingan terutama ditujukan kepada mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam (Pratama, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan Balai Hiperkes terhadap 23 orang pekerja di PT Kurnia Jati, salah satu masalah yang berkaiatan dengan gangguan pendengaran akibat bising pada tenaga kerja adalah rendahnya kesadaran tenaga kerja yaitu 85% tidak menggunakan alat pelindung pendengaran, masih


(69)

kurangnya tingkat kepedulian pengusaha dalam menangani masalah kebisingan dan gangguan pendengaran pada tenaga kerja, yaitu kurangnya penyediaan alat pelindung diri pendengaran bagi tenaga kerja dan tidak dilakukannya pemeriksaan tenaga kerja secara berkala (Arini, 2005).

Sedangkan penelitian yang dilakukan Miristha (2009), hubungan APT dengan terjadinya keluhan pendengaran berat diperoleh bahwa operator alat berat yang menggunakan APT sebanyak 14 orang (56,0%) dan operator alat berat yang tidak menggunakan APT sebanyak 10 orang (52,6%). Hasil uji statistik diperoleh pvalue = 0,0001, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara proporsi penggunaan APT dengan terjadinya keluhan pendengaran berat.

Menurut John J. Standard dalam buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, APT merupakan penghalang

akustik (acoustical barrier) yang dapat mengurangi jumlah energi suara yang melewati lubang telinga menuju ke reseptor di dalam telinga (Standard, 2002). Dapat dikatakan bahwa dengan memakai APT di area kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima pekerja dan mengurangi risiko terjadinya penurunan pendengaran akibat bising,


(70)

demikian pula sebaliknya. Dengan syarat APT tersebut dipakai secara disiplin dan benar oleh pekerja.

Tipe APT yang sering digunakan saat ini adalah tipe insert/plug dan muff. Tipe insert/plug digunakan dengan cara memasukkannya ke lubang telinga, sedangkan tipe muff digunakan dengan cara menutup/mengurung (enclose) daun telinga. Efektifitas dari pemakaian APT bergantung pada beberapa faktor yang berhubungan dengan cara bunyi ditansmisikan melalui atau disekitar APT tersebut. Menurut John J. Standard dalam buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, jenis APT dapat dibagi menjadi 4

klasifikasi, yaitu enclosure (entire head), aural insert, superaural dan circumaural (Standard, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian Miristha (2009) terhadap operator alat berat, didapatkan hasil bahwa penggunaan APT berhubungan sangat signifikan dengan keluhan pendengaran berat pada pekerja, dengan nilai pvalue 0,0001.

2.2.5 Riwayat Merokok

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, rokok merupakan hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu ataupun bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nocotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau


(71)

bahan tambahan. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung lainnya (Aula, 2010).

Rokok merupakan salah satu zat yang paling sering ditemui dan memberikan efek ototoksik pada fungsi sel rambut dan menimbulkan nicotine-like receptors pada sel rambut. Secara tidak langsung merokok mempengaruhi suplai pembuluh darah ke koklea. Tembakau mengandung hidrogen sianida dan bahan asfiksian yang dapat mengganggu fungsi stria vaskularis bila terpapar dengan jumlah yang besar (Tantana, 2014).

Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin, spasme pembuluh darah, kekentalan darah atau juga melalui arteriosklerotik. Insufiensi sistem sirkulasi darah pada organ koklea yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif dan paling sering timbul pada usia tua (presbycusis).

Efek rokok terhadap pendengaran juga terjadi melalui mekanisme anti oksidatif yang ditimbulkan atau melalui gangguan suplai darah ke sistem auditori. Banyak penelitian klinis yang membuktikan bahwa merokok berhubungan signifikan terhadap gangguan pendengaran (Istantyo, 2011).


(72)

Penelitian yang dilakukan oleh Tandiabang dkk (2010) untuk melihat risiko kebiasaan merokok dan terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di PT. X Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa ada hubungan antara kelompok perokok dengan gangguan pendengaran. Sedangkan melalui analisis multivariat diketahui bahwa perokok berat paling berisiko terhadap timbulnya gangguan fungsi pendengaran pekerja di PT. X Provinsi Sulawesi Selatan.

2.2.6 Penggunaan Obat Ototoksik

Obat ototoksik adalah semua obat-obatan yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan pendengaran fungsional pada telinga dalam meliputi obat golongan aminoglikosida, loop diuretik, salisilat, obat malaria, obat anti tumor (Tantana, 2014).

Obat-obatan yang bersifat racun pada telinga (ototoksik) dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran menjadi rusak, dan terjadi tuli sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terjadi gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural dan gangguan keseimbangan (Istantyo, 2011).

Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksik sangat sering ditemukan, diakibatkan pemberian gentamisin dan streptomisin. Prosesnya secara perlahan-lahan dan beratnya


(73)

sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya. Antibiotika aminoglikosida dan loop diuretik adalah dua dari obat-obat ototoksik yang banyak ditemukan memiliki potensi bahaya. Kerusakan yang ditimbulkan akibat preparat ototoksik adalah:

a. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik.

b. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin vestibular, akibat gangguan antiboitika aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi mulai dari basal kokle dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks.

c. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi sel epitel sensori.

Beberapa obat-obatan yang diketahui dapat mempengaruhi pendengaran adalah sebagai berikut.

1. Aminoglikosida, obat jenis ini menyebabkan tuli bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan hilangnya sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan disertai gangguan vestibular. Obat-obatan tersebut adalah Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin, Tobramisin, Nentilmisin dan Sisomisisin. Pemakaian


(74)

Streptomisin memerlukan perhatian khusus karena obat ini masih digunakan sebagai terapi anti-tuberkulosis kategori II.

2. Eritromisin, gejala pemberian eritromisisn intravena terhadap telinga adalah kurang pendengaran subjektif tinitus yang meniup dan kadang disertai vertigo. Antibiotik lainnya yaitu Vankomisin, Viomisisn, Capreomisin, Minosiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang memiliki gangguan fungsi ginjal.

3. Loop Diuretics, obat jenis ini dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-elektrolit dan air pada cabang naik dari lengkungan Henle.

4. Obat anti inflamasi, salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi tinggi dan tinnitus.

5. Obat anti malaria, kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.

6. Obat anti tumor, gejala yang ditimbulkan CIS platinum sebagai obat anti ototoksik adalah tuli subjektif, tinnitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan.


(75)

7. Obat tetes telinga, obat ini banyak yang mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti: Neomisin dan Polimiksin B.

2.2.7 Lingkungan Tempat Tinggal

Menurut Rosenlund (2001), faktor lingkungan tempat tinggal seseorang sangat mempengaruhi nilai ambang pendengarannya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada responden yang tinggal dekat bandara dengan kebisingan di atas 55 dB dari 27 responden terdapat 4 orang dengan hearing loss dan dari 124 responden yang tempat tinggalnya mempunyai kebisingan > 72 dB terdapat 23 orang yang mengalami hearing loss. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap nilai ambang pendengaran seseorang (Arini, 2005).

Sumber bising tidak hanya berasal dari lingkungan kerja saja akan tetapi dapat juga dari bidang hiburan dan rekreasi. Penelitian Adenan pada tahun 2003 terhadap 43 orang penduduk yang bertempat tinggal di sekitar landasan bandara Polonia Medan pada jarak lebih kurang 500 meter dengan lama hunian sekitar 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun diperoleh hasil sebanyak 50% menderita tuli saraf akibat bising.

Penelitian yang dilakukan oleh Limbong pada tahun 2002 mengenai pencemaran udara dan kebisingan sumber energi


(1)

(2)

156


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja Unit Utilities PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014.

0 10 121

Gambaran Faktor-Faktor Perilaku Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Pekerja di Departemen Metalforming PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2014

1 12 100

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015

1 18 177

Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (NPB) pada Pekerja di PT. Bakrie Metal Industries tahun 2015

3 27 292

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Gangguan Sistem Pernapasan pada Pekerja Pabrik Beton PT. X Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

1 8 104

Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gangguan Pendengaran Pada Pekerja Penggilingan Padi di Desa Wiradesa Kabupaten Pekalongan Tahun 2011,.

0 0 1

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Gangguan Sistem Pernapasan pada Pekerja Pabrik Beton PT. X Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

0 0 17

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Gangguan Sistem Pernapasan pada Pekerja Pabrik Beton PT. X Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

0 0 2

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Gangguan Sistem Pernapasan pada Pekerja Pabrik Beton PT. X Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

0 0 24

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Gangguan Sistem Pernapasan pada Pekerja Pabrik Beton PT. X Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015

0 0 3