PERPISAHAN PASANGAN Perkawinan Katholik

diulangi. Gereja Katolik tidak memperkenankan adanya perceraian pada pasangan yang telah menikah Katolik. Perjanjian foedus perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan consortium seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri bonum coniugum serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen KHK 1055. Dalam perjalanan perkawinan, pasangan mengenal dan menjalani baik dan buruk, suka dan duka perkawinan. Buruk dan dukanya perkawinan seringkali menjadi pemicu konflik yang ada dalam rumah tangga. Ketika pasangan siap dengan kekurangan pasangannya maka konflik dapat diredam. Namun, ketika pasangan tidak siap akan kekurangan pasangannya maka konflik rumah tangga dapat terjadi. Konflik dalam perkawinan yang terjadi berulang dan dalam waktu yang tidak singkat mengurangi keharmonisan dalam perkawinan. Ketika menghadapi permasalahan yang besar banyak pelaku pernikahan yang kemudian memutuskan untuk melakukan perceraian dengan pasangan. Namun, gereja Katolik tidak menghendaki adanya perceraian dengan kata lain istilah dalam gereja yaitu hanya ada perpisahan. Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain kematian KHK 1141. Perpisahan menjadi keputusan untuk menyelesaikan konflik dengan pasangan. Namun, setelah perpisahan terjadi maka pelaku harus siap bila seumur hidup harus dijalani tanpa adanya pasangan. Oleh karena perkawinan dalam Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup. Pelaku dihadapkan dengan situasi tersebut maka, pelaku hendaknya melakukan penerimaan diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa pasangan. Ketidaksiapan pasangan untuk berpisah seringkali menjadikan individu menghadapi frustasi dan depresi. Segelintir individu yang dapat menerima keputusan perpisahan dalam waktu yang singkat. Orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif Calhoun dan Acocella,dalam Handayani dkk, 1998. Menjadi sebuah tantangan kehidupan di mana Gereja Katolik menghendaki individu hanya dapat menikah satu kali seumur hidup. Artinya, ketika seorang individu melakukan perpisahan dengan pasangannya maka individu tersebut sudah tidak dapat menikah lagi dalam perkawinan Katolik. Menjadi konflik dalam diri individu untuk melakukan penerimaan diri. Individu kehilangan pasangan walaupun tetap terikat dalam ikatan perkawinan dan tidak dapat menikah dengan orang lain lagi dalam gereja Katolik. Dibutuhkan waktu bagi seseorang yang tengah memiliki konflik untuk dapat melakukan penerimaan diri. Sebelum melakukan penerimaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI diri, akan terasa berat bagi seseorang yang kehilangan pasangan dan tetap terikat dalam ikatan perkawinan. Pelaku perpisahan harus menerima kenyataan kehilangan pasangan, kemudian pelaku perpisahan melalui tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri setelah menghadapi tahapan-tahapan tersebut, barulah pelaku sampai pada rasa kedamaian dan melakukan penerimaan diri atas apa yang ia alami. Tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri tidaklah mudah oleh karena dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Pada pelaku perpisahan Katolik, selain kehilangan pasangan pelaku juga menghadapi kenyataan bila ke depan tidak dapat menikah lagi dalam gereja Katolik. Penerimaan diri dibutuhkan dalam kenyataan ini, agar kelangsungan hidup pelaku perpisahan dapat lebih positif. Penerimaan diri pelaku perpisahan akan menimbulkan respon penerimaan diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu tahap – tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross dalam Anugrahani, 1998 seperti penyangkalan, rasa marah, tawar menawar, lalu depresi kemudian penerimaan diri. Tidak semua pelaku melewati tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri tersebut. Namun untuk sampai pada tahap respon psikologis proses penerimaan diri tersebut, pelaku melewati beberapa tahap respon psikologis sebelumnya. Pada pelaku perpisahan, seumur hidup ia akan menyandang status terikat perkawinan seumur hidup tapi tanpa pasangan. Bahkan ketika ia menikah lagi tetap masih terikat pernikahan sebelumnya. Namun PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI keputusan tersebut adalah kehendak dia sendiri. Maka, penerimaan diri kemudian menjadi sebuah pilihan agar di dalam menjalani kehidupan tidak terperangkap pada rasa penyesalan. Sedangkan ketika pelaku tidak melakukan penerimaan diri maka pelaku akan tetap berada situasi tersebut tanpa berkembang.

D. Pertanyaan Penelitian

Menurut Creswell 2003 pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif terdiri dari: a. Central Question Central Question merupakan pertanyaan utama yang bersifat umum. Dalam penelitian ini Central Question yang peneliti hendak capai yaitu bagaimana tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan katolik yang berpisah dengan kondisi akan tetap terikat seumur dengan pasangannya. b. Subquestion Subqustion merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada pertanyaan utama dalam penelitian. Maka, subquestion pada penelitian ini adalah : 2.1 Apa yang dirasakan oleh pelaku perpisahan dalam proses penerimaan diri.