Penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah.

(1)

PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH

Angela Sunya Sankya ABSTRAK

Perkawinan Katolik dilakukan sekali seumur hidup dan tidak dapat terceraikan. Apabila pelaku perkawinan Katolik memutuskan untuk berpisah, maka konsekuensi yang didapatkan adalah tidak diperkenankan menikah lagi dalam lingkup gereja Katolik. Selain itu, harus menghadapi konsekuensi seumur hidup tanpa pasangan. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara mendalam dengan tiga orang informan. Pemilihan informan dilakukan dengan memilih informan bertujuan. Informan merupakan individu yang pernah melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik namun berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri adalah penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Selain itu, belum semua informan dapat mencapai tahap proses psikologis penerimaan diri.


(2)

SELF-ACCEPTANCE ON DIVORCED PEOPLE OF CATHOLIC MARRIAGE

Angela Sunya Sankya ABSTRACT

Catholic marriage conducted once in a lifetime and can’t be divorce. If people who have a catholic marriage decided to divorce, then the consequence that they got is that they are probibited from having another marriage within catholic curch. Also, they have to deal with a lifetime consequence of being single for their entire life. This research is trying to describe psychological response stages within self-acceptance proces on people who have a divorced catholic marriage. The research method used is narrative. Data gathering conducted throught deep interview with three informants with purpose. Informants are people who have conduct marriage according to catholic church law but divorced from their couple while still having a marriage bond. The result of the research shows that psychological response stages within self acceptance process are denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Also, not all of the informants could reach the psychological response stage of self-acceptance.


(3)

i

PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Angela Sunya Sankya NIM : 119114107

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(4)

(5)

(6)

MOTTO


(7)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan hasil usaha dan karyaku ini untuk :

Tuhan Yesus Kristus, sumber pengharapan dan kekuatanku Ayah yang dengan kehangatannya tulus mendidik dan menjagaku

Ibu yang mengajarkan arti ketulusan rasa Kakak yang selalu ada dalam apapun keluh kesahku

Simbah putri yang membantu merawatku Keluarga yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu

Aa’yoss yang menjadi sahabat, kakak serta my secret. Sahabat OMK

Rayon KP dan sahabat di kampus yang selalu menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaranku.


(8)

(9)

vii

PENERIMAAN DIRI PADA PELAKU PERKAWINAN KATOLIK YANG BERPISAH

Angela Sunya Sankya ABSTRAK

Perkawinan Katolik dilakukan sekali seumur hidup dan tidak dapat terceraikan. Apabila pelaku perkawinan Katolik memutuskan untuk berpisah, maka konsekuensi yang didapatkan adalah tidak diperkenankan menikah lagi dalam lingkup gereja Katolik. Selain itu, harus menghadapi konsekuensi seumur hidup tanpa pasangan. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara mendalam dengan tiga orang informan. Pemilihan informan dilakukan dengan memilih informan bertujuan. Informan merupakan individu yang pernah melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik namun berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri adalah penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Selain itu, belum semua informan dapat mencapai tahap proses psikologis penerimaan diri.


(10)

SELF-ACCEPTANCE ON DIVORCED PEOPLE OF CATHOLIC MARRIAGE

Angela Sunya Sankya ABSTRACT

Catholic marriage conducted once in a lifetime and can’t be divorce. If people who have a catholic marriage decided to divorce, then the consequence that they got is that they are probibited from having another marriage within catholic curch. Also, they have to deal with a lifetime consequence of being single for their entire life. This research is trying to describe psychological response stages within self-acceptance proces on people who have a divorced catholic marriage. The research method used is narrative. Data gathering conducted throught deep interview with three informants with purpose. Informants are people who have conduct marriage according to catholic church law but divorced from their couple while still having a marriage bond. The result of the research shows that psychological response stages within self acceptance process are denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Also, not all of the informants could reach the psychological response stage of self-acceptance.


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, rahmat serta peyertaanNya yang telah dilimpahkan sehingga penulisan skripsi yang disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma ini dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini tidaklah sedikit sumbang saran dan bimbingan yang penulis dapatkan dari berbagai pihak, baik sumbangan moral maupun material. Hal ini penulis sadari bahwa tanpa adanya bantuan tersebut, penulisan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan lancar.

Melalui halaman ini, perkenankan penulis untuk menyampaikan ungkapan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan bantuan berupa bimbingan serta pendampingan yang sangat berharga sehingga membantu terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogayakarta.

2. Ibu Debri Pristinella, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik, yang dengan kesabaran serta perhatiannya telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan, masukan, kritik serta saran yang membangun, sehingga penulisan skripsi dapat terselesaikan dengan baik.

3. Ibu Dr. Tjito Susana, M. Si serta Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A. selaku dosen penguji yang memberikan masukan, kritik serta saran yang bersifat membangun, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini dengan baik.


(13)

xi

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah membimbing penulis selama studi di Fakultas Psikologi.

5. Seluruh staff Sekretariat serta staff Laboratorium Fakultas Psikologi , yang selalu mendukung dengan pelayanan terbaiknya.

6. Kedua orangtua tercintaku Bapak Macarius Edy Suyanta dan Ibu Primitifa Ratna Niar Kamdani, terimakasih tak terhingga atas segala dukungan, cinta, kasih serta doa yang selalu diberikan. Kakak tercintaku Adyapaka Apatya yang selalu menjadi saudara dalam suka dukaku serta membimbingku dengan cara uniknya. Simbah putri Fransiska Sarbinah yang membantu mendidikku hingga sampai saat ini. Om Kardi, bulik Asih, dek Diaz, dek Agnes, Alexa kecil, bulik Timin, Om Sumar, Dek Ricky terima kasih. Seluruh saudara yang tidak dapat saya sebutkan satu demi satu, terima kasih atas dukungannya.

7. Rm FX. Alip, Rm. Bilie serta Diakon Danarto, Diakon Andhika dan Frater Yayan, terima kasih atas semangat dan dukungan ilmu yang diberikan. 8. Aa’Yossi, teima kasih atas support, dukungan dan kasihnya selama 3

tahun terakhir dan semoga selalu. Sahabatku terkasih Dhika, Nana, Vhirlis, Pipit, Lindut, Dika terima kasih selalu membantu dalam suka dan dukaku. Teman– teman satu bimbingan, teman-teman GKC, serta teman kampus yang telah bersama melewati hari selama perkuliahan. Mbak Astrid yang memberi semangat serta mensuport dalam mengerjakan skripsi. Terkhusus bagi saudara, teman, sahabatku OMK Rayon Kulon Progo : Mbak Rima, Raka, Tius, Pam, Arga, Cimil, Mas Banar, Leo, Jendil, Mbak Nana, Nina,


(14)

Mas Beny, Erni, Nita, Culis, Bang Yoyok, Brigita Anggit, Trisna, Mas Eko, Mbak Santi, Atik, Dony Baskara, Dita, Genggo, dan semua yang tidak dapat saya sebutkan satu demi satu, kalian keluarga yang luar biasa. 9. Semua pihak yang teah membantu segala proses pengerjaan skripsi ini,

terkhusus bagi informan yang dengan kerelaan serta ketulusan hati membantu. Semoga senantiasa diberkati Tuhan Yesus Kristus.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan serta kesalahan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis memohon sumbang kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 25 Agustus 2016 Penulis


(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI (3 DOSEN) ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 9

B. Masalah Penelitian ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Penerimaan Diri ... 11


(16)

2. Faktor- faktor yang memengaruhi Penerimaan Diri ... 12

3. Ciri- ciri Individu yang Menerima Diri ... 15

4. Aspek Penerimaan Diri ... 17

5. Tahap Penerimaan Diri ... 19

6. Manfaat Penerimaan Diri ... 25

B. Perkawinan Katolik ... 26

1. Definisi Perkawinan Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik .. 27

2. Perkawinan Katolik yang Mampu Secara Hukum ... 28

3. Perpisahan Pasangan ... 30

C. Kerangka Berfikir... 33

D. Pertanyaan Penelitian ... 36

E. Skema Tahap Respon Proses Penerimaan Diri pada Pelaku Perkawinan Katolik yang Berpisah ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Informan Penelitian ... 40

D. Metode Pengumpulan Data ... 41

E. Metode Analisis Data ... 42

F. Verifikasi Penelitian ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Pelaksanaan Penelitian ... 44

1. Deskripsi ... 44

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 46

3. Analisis Hasil Wawancara Informan I ... 48

a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 48

b. Ketika Berpisah (middle) ... 50

c. Setelah Berpisah (end) ... 52


(17)

xv

b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 56

4. Analisis Hasil Wawancara Informan II ... 60

a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 60

b. Ketika Berpisah (middle) ... 60

c. Setelah Berpisah (end) ... 61

a) Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan... 61

b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 63

5. Analisis Hasil Wawancara Informan III ... 65

a. Sebelum Berpisah (beginning) ... 65

b. Ketika Berpisah (middle) ... 67

c. Setelah Berpisah (end) ... 68

a) Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan... 68

b) Respon Psikologis Proses Penerimaan Diri ... 69

6. Deskripsi hasil………...71

7. Pembahasan………..78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Inform Consent ... Lampiran 2. Narasi Informan ... Lampiran 3. Verbatim ...


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yaitu, manusia tidak dapat menjalani hidup seorang diri. Ia memerlukan orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya adalah kebutuhan akan rasa mencintai dan dicintai. Menurut Schutz (1980, dalam Sarwono 1991) kebutuhan akan kasih sayang merupakan kebutuhan untuk mengembangkan emosional dengan orang lain. Prinsip dasar kebutuhan akan kasih sayang adalah perasaan disukai atau dicintai. Salah satu tingkah lakunya adalah berani memilih individu lain menjadi pasangan hidupnya. Ketika individu telah sampai pada kedewasaan, individu memiliki hasrat untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang yaitu salah satunya dengan cara hidup bersama dalam rumah tangga.

Kehidupan dalam masyarakat tidak bisa melegalkan hidup bersama tanpa tata cara atau aturan yang jelas. Di dalam masyarakat ada suatu tata hidup bersama yang mengikat seluruh anggota masyarakat terkait dengan kehidupan bersama, yaitu adalah perkawinan. Menikah merupakan salah satu pilihan hidup manusia. Dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ( dalam Walgito, 1984) .


(20)

suami istri yang mesra yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukumNya, dibangun oleh perjanjian perkawinan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu tidak tergantung pada kemauan manusia semata-mata. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan” (dikutip dari Kasih Setia dalam Suka-Duka, Pedoman Perkawinan di Lingkungan Katolik, 1993).

Gereja Katolik memberikan tanda kekudusan kepada calon pasangan suami-istri yang sudah dibabtis melalui penerimaan Sakramen Perkawinan. Dengan Sakramen Perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan dihadapkan kepada sebuah ikatan kepada pasangannya seumur hidup dan mengarah pada kesejahteraan suami-istri, serta kelahiran anak (Kitab Hukum Kanonik, 1055) untuk setia dalam suka ataupun duka dalam sehat maupun sakit.

Dalam perkawinan, dua individu yang berbeda sifat tinggal bersama dan seiring perjalanan hidup tentunya muncul konflik dan permasalahan. Konflik pernikahan terjadi karena masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang berbeda (Sprey dalam Laswell, 1987). Finchman (dalam Mawadah 1990) mendefinisikan konflik pernikahan sebagai keadaan suami-istri yang sedang menghadapi masalah dalam pernikahannya dan hal tersebut tampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis. Ketika mereka mampu untuk menyelesaikan masalah, kehidupan rumah tangga mereka akan semakin kokoh. Namun jika tidak dapat menyelesaikannya, banyak yang melarikan diri dan mengarah kepada anggapan ketidakcocokan pada


(21)

3

pasangan.

Indonesia menjadi salah satu Negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Indonesia menduduki peringkat keempat tingkat perceraian tertinggi di dunia. Dari dua juta pasangan yang melangsungkan perceraian, 10% diantaranya berakhir pada perceraian. Pada tahun 2000-an 30% perceraian disebabkan karena suami menceraikan istri. Pada 2005, 68,5% perceraian terjadi karena istri menggugat cerai suami (Republika, 25 Juni 2011, Dirjen Binmas Kemenag RI).

Banyaknya masalah yang timbul di dalam rumah tangga. Jika tidak ditemukan penyelesaiannya, perceraian dipilih sebagai suatu keputusan final. Dilandasi oleh berbagai alasan yang dianggap rasional, pasangan suami istri tidak lagi mengindahkan janji suci di depan altar. Pasangan mengesampingkan hakekat dan tujuan perkawinan secara Katolik yang mengikat pasangan seumur hidupnya. Sudarto & Wirawan (2000) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu memandang kehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika ketegangan hadir dalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan, kehidupan dipandang sebagai suatu kepahitan yang mendalam dan penuh penderitaan serta perjuangan.

Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (Kitab Hukum Kanonik 1055).


(22)

Perkawinan Katolik, perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan memiliki tujuan yaitu mengarah pada kesejahteraan hidup bersama, kelahiran anak, serta perkawinan Katolik merupakan sakramen dalam Gereja.

Perpisahan dalam keluarga Katolik menjadi klimaks runtuhnya pengendalian rumah tangga. Perpisahan biasanya diawali dengan ketidakpuasan pada pasangan, buntunya alur komunikasi, serta hilangnya rasa saling percaya antara satu dengan yang lain. Kebanyakan perpisahan akan menimbulkan gejolak amarah bagi pelaku perpisahan serta bagi anggota keluarga yaitu anak.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan salah satu anggota Tribunal (Hakim Gereja) yaitu Rm. AS, pada 12 Agustus 2015 di Yogyakarta, beliau memaparkan bahwa ada kenaikan kasus perpisahan secara Katolik dalam 5 tahun terakhir ini. Hal tersebut dikarenakan banyak faktor namun, faktor penyebab paling umum dalam perpisahan Katolik yaitu masalah ekonomi, KDRT serta komunikasi khususnya alat telekomunikasi canggih yaitu handphone. Beliau memaparkan bahwa, perkawinan Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup dan tidak dapat terpisahkan kecuali oleh maut. Jadi perpisahan Katolik sebenarnya tidak diperkenankan oleh Gereja kecuali dengan alasan kodrati. Banyaknya kasus perpisahan Katolik saat ini membuat beliau prihatin khususnya karena beliau sebagai hakim gereja Katolik haruslah secara manusiawi memediasi setiap kasus perpisahan yang ada dalam gereja Katolik. Penelitian penerimaan diri ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk dapat menentukan langkah dalam penangan pastoral bagi mereka yang mengalami perpisahan Katolik.


(23)

5

tanggal 24 Juli 2016. Beliau memaparkan apabila dalam Katolik, perkawinan adalah sakramen yang perjanjian perkawinan tidak dapat ditarik kembali. Sakramen perkawinan Katolik itu permanen dan yang membedakan dengan keyakinan lain yaitu tidak dapat terceraikan oleh kuasa manusia manapun kecuali oleh kematian. Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain kematian (KHK 1414).

Menurut Beliau, sebagian besar pelaku perpisahan yang berkonsultasi adalah sebagai korban atau orang yang tidak menghendaki adanya perpisahan dalam perkawinannya. Kebanyakan pelaku perpisahan berkonsultasi dan datang kepada beliau adalah mereka yang mengalami keputusasaan akibat dari ditinggalkan pasangan. Sebuah contoh yang beliau paparkan adalah beliau menemani umat pelaku perpisahan yang ditinggalkan oleh suaminya karena suaminya memiliki hubungan khusus dengan orang lain sehingga berujung pada pertengkaran serta KDRT dan akhirnya perkawinan tersebut terceraikan dalam pengadilan. Pemaparan beliau, perkawinan mereka tetap sah dalam Gereja Katolik dan tetap menjadi suami istri karena perkawinan tidak terceraikan. Pelaku perpisahan yang sebagai korban tersebut kerap kali datang karena merasa putus asa, merasa diri lemah dan tidak memiliki semangat dalam menjalani kehidupannya. Tidak jarang pula ada kasus kegagalan atau perpisahan umat dengan usia yang masih belia, mereka harus hidup dengan ikatan perkawinan seumur hidup (Berpisah dengan tetap Adanya Ikatan Perkawinan, Kanon 1151-1155). Sehingga, Romo harus pula menemani dalam penanganan pastoral untuk membantu menyembukan pengalaman traumatis baik secara fisik maupun


(24)

psikisnya, untuk dapat melakukan penerimaan diri ke arah yang lebih positif yang tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Sebagai orang Katolik, ketika berpisah dari pasangannya tentunya akan berdampak bagi kehidupan psikologisnya. Hal ini disebabkan karena pelaku perpisahan harus menerima bila perkawinan Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup. Oleh karena itu, umat Gereja Katolik yang berpisah dari pasangannya diharapkan mampu menerima keadaan diri atas perpisahan yang terjadi dan seumur hidup dalam ikatan perkawinan (Kitab Hukum Kanonik 1151).

Menurut Ryff (1996), penerimaan diri positif adalah keadaan dimana seorang individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Coleridge (1997) mengatakan penerimaan diri bukanlah sikap pasrah, tetapi menerima identitas diri secara positif pandangan tentang diri sendiri dan harga diri tidak menurun sama sekali, bahkan dapat meningkat. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh di atas, penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap dirinya sendiri dengan menerima keadaan dirinya secara tenang. Ia mampu menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Selain itu, ia juga memiliki kesadaran dan penerimaan penuh terhadap siapa dan apa dirinya sendiri, Serta menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah, takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.

Individu yang mampu menerima keadaan diri dan mampu menyesuaikannya adalah individu yang mampu mengelola emosi dalam dirinya


(25)

7

dan mengusahakan tindakan nyata untuk menghadapi dan melewati masa tersebut karena menyadari bahwa yang dilakukannya akan bermanfaat bagi dirinya di kemudian hari. Sejalan dengan itu menurut Hurlock (1993) individu yang memahami perilakunya maka ia akan menyukai dirinya dan merasa orang lain juga menyukai dengan kualitas yang sama pada dirinya. Individu tersebut akan menerima dirinya, menyenangi dirinya, dan puas akan dirinya sehingga ia menganggap dirinya bahagia.

Pandangan individu yang merasa puas akan keadaan dirinya seperti ini akan membuat individu menerima dirinya secara akurat dan realitis tidak akan memusuhi dirinya walaupun ia tahu ia bukanlah orang yang sempurna dan karena itu ia menganggap orang lain juga menerima dirinya (Hurlock, 1999). Keadaan ini akan memungkinkan individu berbuat yang terbaik bagi dirinya dan memberi kontribusi bagi terwujudnya pemahaman dan penerimaan diri. Tantangan yang muncul selama masa sesudah perceraian tidak diapresiasikan sebagai suatu penderitaan, tetapi sebagai masa yang harus diselesaikan oleh setiap orang yang melakukan perceraian.

Penelitian sebelumnya yaitu Penerimaan diri pada Janda yang Bercerai oleh Nurmaeni tahun 2009. Hasil penelitian tersebut memaparkan bahwa perempuan yang bercerai dan berubah status menjadi janda mengalami perasaan lega, bingung, berat berpisah, tidak ada teman curhat, sedih, sakit hati, minder dan malu. Pada penelitian ini, peneliti meneliti pada proses menuju penerimaan diri serta subjek yang peneliti gunakan lebih khusus pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah.


(26)

Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 3 April 2016 di Kulon Progo, dengan salah seorang pelaku perpisahan Katolik yaitu saudara A, beliau memaparkan bahwa perpisahan yang terjadi dalam kehidupannya diawali karena adanya konflik intern dalam rumah tangga dan menimbulkan pertengkaran yang terus-menerus dengan pasangan dan dalam waktu yang lama. Hal tersebut membuat ia dan pasangan semakin merasa tidak cocok satu dengan yang lain serta tercipta suasana yang dingin dalam keluarga. Perpisahan dengan pasangan diambil sebagai jalan terbaik menyelesaikan konflik. Pasca perpisahan ia harus beradaptasi dengan hidup yang baru tanpa pasangan. Beliau memaparkan bila siap tidak siap harus siap membesarkan anak dan menjadi orang tua tunggal. Ketika memutuskan untuk berpisah, yang ada dalam pikirannya yaitu hanyalah menyelesaikan konflik dalam rumah tangga. Namun, setelah konflik dengan pasangan selesai, kini ia dihadapkan dengan acuan perkawinan katolik yang dilaksanakan hanya satu kali seumur hidup. Maka, beliau memaparkan bahwa hendaknya dapat menjalani hidup dengan baik, ikhlas hati serta percaya pada kehendak Tuhan.

Penerimaan diri dalam konteks penelitian ini adalah penerimaan diri dari pasangan perkawinan Katolik yang telah berpisah. Perkawinan Katolik hanya dilakukan sekali seumur hidup dan tidak ada perceraian. Oleh karena itu, pelaku perpisahan menghadapi suatu konsekuensi yaitu seumur hidup hendaknya tidak diperkenankan lagi untuk menikah dalam lingkup gereja Katolik serta menghadapi hidup tanpa pasangan. Sikap pelaku yang muncul dari permasalahan tersebut yang hendak diteliti oleh peneliti.


(27)

9

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin lebih mengetahui bagaimana gambaran tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pelaku perkawinan Katolik yang kemudian berpisah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pada penerapan hidup individu yang memiliki permasalahan tentang penerimaan diri berkaitan dengan kondisi kehidupan yang pada awalnya utuh dalam pasangan namun kini berpisah dengan status sah secara hukum negara namun tidak sah secara hukum gereja dan seumurhidup terikat dalam perkawinan Katolik.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, peneliti mengidentifikasi masalah secara lebih terperinci, yaitu: perpisahan menjadi alternatif penyelesaian konflik dari pasangan namun, sekingkali individu tidak siap dengan resiko dari perpisahan tersebut yaitu harus melakukan penerimaan diri karna ia akan tetap terikat dalam ikatan perkawinan seumur hidup dan tidak diperkenankan untuk menikah lagi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang kemudian berpisah?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang kemudian berpisah.


(28)

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Keluarga, serta dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a) Bagi subjek penelitian

Bagi pelaku agar dapat meningkatkan diri secara positif, meningkatkan kepercayaan diri, kualitas dan potensi diri kearah yang bermanfaat. b) Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat dapat memberikan sumbangan informasi yang bermanfaat dalam kaitan dengan penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah.

c) Bagi Gereja

Membantu Gereja mengetahui respon proses penerimaan diri, yang dilakukan setelah terjadi perpisahan dalam rumah tangga, sehingga dapat membantu Gereja dalam penanganan Pastoral.


(29)

11 BAB II KAJIAN TEORI

A. Penerimaan Diri 1. Definisi

Menurut Ryff (dalam Wilsa, 1997) penerimaan diri adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani. Hal ini juga didukung oleh Ryff (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mengenai penerimaan diri sebagai individu yang memiliki pandangan positif terhadap dirinya, mengakui dan menerima segi yang berbeda dari dirinya sendiri.

Penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang begitu berbeda dengan dirinya. Orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif (Calhoun dan Acocella,dalam Handayani dkk, 1998).

Hal tersebut didukung oleh pendapat Hjelle & Ziegler (Sari & Nuryoto, 2002) yaitu bahwa seorang individu dengan penerimaan diri memiliki memiliki toleransi terhadap frustasi atau kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kelemahan.


(30)

adalah memiliki pandangan yang positif tentang diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruknya yang ada pada dirinya, dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah dijalaninya.

Maslow (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) penerimaan diri adalah sikap positif terhadap dirinya sendiri, individu dapat menerima keadaan dirinya secara tenang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Individu dapat bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta bebas dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya.

Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) berpendapat bahwa penerimaan diri merupakan sikap yang positif ketika individu menerima diri sebagai seorang manusia, ia dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi, marah, takut, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri merupakan keadaan di mana seorang individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan mampu mengolah segala kelebihan serta kekurangan yang ada dalam dirinya termasuk mengolah bermacam emosi yang ada dalam dirinya. Individu yang mampu menerima kekurangan dirinya sebagaimana mampu menerima kelebihannya.

2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Ratnawati (1990) faktor yang mempengaruhi penerimaan diri seseorang adalah jenis kelamin. Jenis kelamin akan mempengaruhi penerimaan diri serta terdapat perbedaan yang mencolok anatara pria dan wanita. Pria


(31)

13

dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif bila dibandingkan dengan wanita. Hal ini karena wanita relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada afektif daripada pria.

Menurut Hurlock (dalam Anugrah, 1974) ada beberapa kondisi yang mempengaruhi penerimaan diri dari seseorang, antara lain :

1. Pemahaman diri

Memahami diri ditandai dari perasaan tulus, nyata, dan jujur menilai diri sendiri. Kemampuan seseorang untuk memahami dirinya tergantung pada kapasitas intelektualnya dan kesempatan menemukan dirinya. Ia dapat melihat dirinya sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya, individu tidak hanya mengenal dirinya tetapi juga menyadari kenyataan dirinya. Pemahaman dan penerimaan diri tersebut berjalan beriringan. Semakin paham individu mengenal dirinya, maka semakin besar individu menerima dirinya dan akan melihat dirinya dari waktu ke waktu secara konstan serta tidak mudah berubah-ubah.

2. Harapan yang realistis

Harapan yang realistis akan membawa rasa puas pada diri seseorang. Perasaan puas terhadap diri sendiri lebih lanjut akan membuahkan penerimaan diri. Tercapainya harapan yang realistis menuntut seseorang untuk merencanakan sendiri dan tidak membiarkan orang lain untuk merencanakan ataupun mempengaruhi. Selain hal itu, agar harapannya menjadi realistis,


(32)

seseorang perlu menyadari kelemahan- kelemahannya sekaligus kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Hal ini juga tergantung pada seberapa realistis harapan terhadap dirinya dan seberapa besar ia memahami kekuatan dan kelemahannya.

3. Perilaku sosial yang menyenangkan

Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan dari masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang mengarah kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah tidak adanya prasangka terhadap individu dan anggota keluarganya, memiliki keahlian sosial dan mau untuk menerima anggota kelompok.

4. Adanya kondisi emosi yang menyenangkan

Stress secara emosional dapat mengarah kepada ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik yang diikuti oleh stress emosional dapat membuat seseorang bekerja dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan bereaksi secara negatif kepada orang lain.

Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat menjadi lebih rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi kepada evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula.


(33)

15

3. Ciri- ciri Individu yang Menerima Diri

Menurut Allport (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) ciri- ciri orang yang dapat menerima diri adalah :

a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya.

c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain memberi kritik.

d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (depresi, marah).

Jersid (dalam Sari & Nuryoto, 2002) memaparkan bahwa ciri-ciri individu yang menerima diri yaitu :

a. Memiliki penghargaan yag realistis terhadap kelebihan- kelebihan dirinya.

b. Memiliki keyakinan-keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini-opini individu lainnya.

c. Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa menjadi malu akan keadaannya.

d. Mengenali kelebihan - kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkannya.

e. Mengenali kelemahan - kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan dirinya.


(34)

f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam dirinya. g. Menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi

yang berada di kontrol mereka.

h. Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinganannya tetapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan.

i. Merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan- keinginan serta harapan-harapan tertentu.

j. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka raih.

Sheerer dalam (Sugoto dan Esthy, 1998) berpendapat bahwa ciri – ciri penerimaan diri yang positif yaitu :

a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan.

b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan individu lainnya.

c. Menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya.

d. Menempatkan diri sebagaimana manusia lain sehingga individu lain dapat menerima dirinya.

e. Bertanggungjawab atas segala perbuatannya. f. Menerima pujian dan celaan secara objektif.


(35)

17

g. Mempercayai prinsip-prinsip atau standar hidupnya tanpa harus diperbudak oleh pendapat individu lain.

h. Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan atau emosi-emosi yang ada pada dirinya.

Chaplin (2005) mengatakan bahwa ciri-ciri penerimaan diri yang positif adalah :

a. Mampu menerima tanggung jawab terhadap perilakunya.

b. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kebutuhan.

c. Memiliki pandangan potitif tentang diri. d. Menerima kelemahan dan kelebihan yang ada.

Berdasar pada pendapat beberapa ahli, penerimaan diri yang positif adalah :

a. Mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. b. Mampu memahami serta mengolah emosinya dengan baik. c. Mampu menghadapi masalah kehidupannya.

d. Mampu bertanggungjawab atas pilihan yang dilakukan.

4. Aspek Penerimaan Diri

Pada umumnya, individu dengan penerimaan diri yang baik akan menunjukkan ciri-ciri tertentu dalam berfikir dan melakukan aktifitas kesehariannya. Individu yang dapat menerima dirinya secara utuh dapat


(36)

menerima aspek-aspek dalam dirinya secara positif. Grinder (dalam Parista, 2008) menjelaskan bahwa aspek-aspek penerimaan diri meliputi : a) Aspek Fisik

Penerimaan diri secara fisik meliputi kepuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan. Penerimaan diri secara fisik menggambarkan evaluasi dan penilaian diri terhadap penampilannya, apakah penampilannya menyenangkan dan memuaskan untuk diterima atau tidak.

b) Aspek Psikis

Aspek psikis meliputi pikiran, emosi dan perilaku individu. Individu yang dapat menerima dirinya adalah individu yang secara keseluruhan memiliki keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi tuntutan lingkungan.

c) Aspek Sosial

Aspek sosial meliputi pikiran dan perilaku individu terhadap orang lain dan masyarakat. Individu yang menerima dirinya secara sosial akan memiliki keyakinan bahwa dirinya sederajat dengan orang lain sehingga dapat menempatkan diri dalam masyarakat.

d) Aspek Moral

Perkembangan moral dalam diri dipandang sebagai suatu proses yaitu mampu mengambil keputusan secara bijak serta mampu memepertanggungjawabkan keputusan atau tindakan yang telah


(37)

19

diambil berdasarkan konteks sosial yang ada dalam masyarakat (Grinder dalam Kinayungan, 2008).

5. Tahap Penerimaan Diri

a) Tahap penerimaan diri secara umum

Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase, antara lain:

1. Penghindaran (Aversion)

Pertama-tama, reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan (uncomfortable feeling) adalah menghindar. Contohnya kita selalu memalingkan pandangan kita saat kita melihat adanya pemandangan yang tidak menyenangkan. Bentuk penghindaran tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.

2. Keingintahuan (Curiosity)

Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka merasa cemas.


(38)

Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut akan hilang dengan sendirinya.

4. Membiarkan Begitu Saja (Allowing)

Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.

5. Persahabatan (Friendship)

Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.

b) Tahap Penerimaan Diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu : Tahap – tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross (dalam Anugrahani, 1998) :

a. Tahap 1

Pada tahap ini seseorang mengalami perasaaan shock/kaget, melakukan penyangkalan terhadap kondisi yang dialami sehingga memungkinkan orang tersebut mengasingkan dirinya sendiri. b. Tahap 2


(39)

21

Tahap ini memunculkan perasaan marah dan cenderung melakukan proyeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian atau perhatian yang berlebih dari orang terdekat terhadap kondisinya, harapan tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan. Dalam tahap ini, selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau karena kelemahan yang dimiliki.

c. Tahap 3

Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi. Namun pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus menuntut permintaan yang lainnya. Memiliki perjanjian dengan Tuhan ataupun dengan orang lain di sekitarnya. Di tahap ketiga ini memungkinkan munculnya perasaan bersalah, ketakutan, atau merasa dihukum karena kesalahannya.

d. Tahap 4

Terdapat 2 jenis depresi pada tahap ini, yaitu :

- Depresi reaktif : keinginan untuk mengungkapkan banyak hal secara verbal/ interaksi secara verbal, ada rasa bersalah, keinginan untuk mati.


(40)

- Depresi preparation : hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada reaksi secara verbal melainkan lebih ke non verbal seperti : sentuhan, ingin ditemani.

e. Tahap 5

Munculnya sikap penerimaan terhadap kondisi yang dialami. Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap sebelumnya dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi maupun marah terhadap kondisinya.

Respon psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-Ross (1998) dikemukakan oleh teori “The Five stages of Grief”. Teori ini membagi respon psikologis dalam lima tahap yaitu, penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas itu, lima tahap respon psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal atau keputusasaan. Teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami seseorang.


(41)

23

Reaksi pertama individu adalah terkejut, tidak percaya dan menyangkal bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi (Suliswati, 2005). Secara sadar maupun tidak sadar seseorang yang berada dalam tahap ini menolak fakta, informasi dan sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Pada tahap ini seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar dari masalah. Dia tidak siap menerima kondisinya (Kozier, 2004). Oleh karena tahap pengingkaran merupakan tahap yang tidak nyaman dan situasi yang menyakitkan ( French, 1992).

Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini berupa keletihan, kelemahan, pucat, mual, diare, sesak nafas, detak jantung cepat, manangis, gelisah (Suliswati, 2005).

2. Tahap Marah (Anger)

Kemarahan yang dialami seseorang dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini, individu tidak memerlukan nasehat, baginya nasehat adalah sebuah bentuk pengadilan (judgement) yang membuatnya lebih terganggu. Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain wajah merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal (Suliswati, 2005).


(42)

3. Tahap Tawar-menawar (bargaining)

Pada tahap ini seseorang berfikir seandainya ia dapat menghindari kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada dosa yang pernah dilakukan (Kozier, 2004). Seringkali seseorang yang berada pada tahap ini berusaha tawar menawar dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya tidak menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan kata-kata “kenapa harus terjadi pada keluarga saya”. Tahap tawar-menawar yang dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi permasalahan yang dia hadapi.

4. Tahap Depresi (Depression)

Pada tahap ini individu mengalami disorganisasi dalam batas tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan (Niven, 2002). Individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dihadapi (Chapman, 2006). Gejala fisik yang sering muncul adalah menolak makan, susah tidur, letih dan libido menurun. (Suliswati, 2005)


(43)

25

Pada tahap ini individu akan menyadari bahwa hidup mereka terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada objek atau orang yang hilang akan mulai berkurang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan, gambaran tentang objek mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian akan beralih pada objek yang baru (Suliswati, 2005).

6. Manfaat Penerimaan Diri

Menurut Supratiknya (1995) menerima diri secara positif ditunjukkan dari sikap penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan lawannya sehingga tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan individu untuk membuka atau mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita terhadap orang lain (kesehatan psikologis individu, serta penerimaan individu terhadap orang lain).

Calhoun dan Accocela (1990) berpendapat bahwa penerimaan diri yang positif berkaitan dengan konsep diri yang positif. Seseorang yang memiliki konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang berbeda antara harapan dan realitas diri. Individu yang bersangkutan tetap mampu menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga ia mampu mengevaluasi diri dengan positif.


(44)

Menurut Roger (dalam Handayani 1998) penerimaan diri dapat dicapai apabila real self dalam keadaan congruence dengan ideal self. Dengan keadaan tersebut, individu telah menjadi diri sendiri karena ia dapat menyelaraskan harapan akan dirinya dengan keadaan diri yang sesungguhnya.

Orang yang dapat menerima diri memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah. Individu tidak perlu cemas akan keterbatasannya karena ia mengetahui bagaimana menghadapi keterbatasan tersebut. Kritikan dari orang lain merupakan suatu alarm untuk semakin mengenali diri. Kritikan tersebut tidak membuat diri merasa semakin kecil dan tak berdaya sehingga individu tidak perlu merasa cemas ( Sugoto dan Eshty, 1998).

Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan seorang individu untuk mengetahui, menerima, dan mengembangkan dirinya. Individu yang mampu menerima diri secara positif yaitu: percaya diri, merasa diri berharga, berprinsip, bebas dan spontan, mengembangkan diri,

B. Perkawinan Katholik

Menurut Kitab Hukum Kanonik, perkawinan merupakan hidup berkeluarga dalam suatu ikatan dan merupakan cara hidup yang sangat lazim dan normal bagi kebnyakan orang, termasuk di dalamnya orang-orang yang telah dibabtis secara Katolik atau diterima dalam Gereja Katolik.


(45)

27

1. Definisi perkawinan Katolik menurut Ajaran Gereja Katolik dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik.

Bagian yang menyebutkan mengenai perkawinan katolik terdapat dalam :

Kanon 1055

1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

2. Karena itu antara orang-orang yang dibabtis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

Kanon 1057

1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang meurut hukum mampu, membuat perkawinan, kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun. 2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali.


(46)

2. Perkawinan Katolik yang mampu secara hukum menurut Ajaran Gereja Katolik dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik.

1. Kodrati Kanon 1083

1. Laki-laki sebelum berumur genap enam belas tahun, dan perempuan sebelum berumur genap empat belas tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah.

2. Konferensi para Uskup berwenang penuh menetapkan usia yang lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.

Kanon 1084 Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan yang bersifat tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki atau perempuan, entah bersifat mutlak atau relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut kodratnya sendiri.

Kanon 1085

Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum consummatum.

2. Gerejawi

Kanon 1086 Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibabtis adalah tidak sah.


(47)

29

Kanon 1087 tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.

Kanon 1088 tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religious.

Kanon 1089 antara laki-laki dan perempuan yang diculiknya atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauan sendiri memilih perkawinan itu.

Kanon 1090 Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.

Kanon 1091 Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan kebawah, baik yang sah maupun yang natural.

Kanon 1092 Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun.

Kanon 1093 Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak sah setelah terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang diketahui umum atau publik, dan menggagalkan perkawinan dalam


(48)

garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan wanita dan sebaliknya.

Kanon 1094 tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.

3. PERPISAHAN PASANGAN

Menurut ajaran gereja, setiap perkawinan mempunyai sifat atau karakter tak-terceraikan (indissolubilis). Namun dalam sejarah yurisprudensi kanonik, kelihatan bahwa dalam keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu Gereja mengizinkan pemutusan ikatan nikah yang tidak sekaligus ratum dan consummatum. Dalam hal ini, Gereja menerapkan prinsip kanonik umum bahwa secara intrinsik perkawinan tidak dapat diputuskan atas kehendak dan keputusan pasangan sendiri; namun secara ekstrinsik- kecuali ratum et consummatum – dapat diputuskan oleh kuasa Gereja yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.

Artikel 1 Pemutusan Ikatan

Kanon 1141 Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain kematian.


(49)

31

Kanon 1142 Perkawinan non-consummatum antara orang-orang yang telah dibabtis atau antara pihak dibabtis dengan pihak tidak dibabtis, dapat diputus oleh Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua pihak atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.

Kanon 1143 Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tidak dibabtis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman pihak yang telah menerima babtis, oleh kenyataan bahwa ia yang telah dibabtis tersebut melangsungkan perkawinan baru, asalkan yang tidak dibabtis pergi.

Kanon 1145 1. Interpelasi hendaknya pada umumnya dilakukan atas otoritas Ordinaris wilayah dari pihak yang bertobat; kepada pihak yang lain, Ordinaris itu dapat memberikan tenggang waktu untuk menjawab, jika ia memintanya, tetapi dengan peringatan bahwa jika tenggang waktu itu lewat tanpa dimanfaatkan, maka sikap diam itu dianggap sebagai jawaban negatif.

Artikel 2 Berpisah dengan tetap Adanya Ikatan Perkawinan Kanon 1151-1155 membicarakan perpisahan perkawinan secara tidak sempurna, dalam arti bahwa ikatan perkawinan sendiri masih tetap ada karena yang dipisahkan hanyalah kebersamaan pasangan menyangkut soal ranjang, meja, dan tempat tinggal.


(50)

Kanon 1151 Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim yang membebaskan mereka.

Kanon 1152 1. Sangat dianjurkan agar pasangan, tergerak oleh cintakasih kristiani dan prihatin akan kesejahteraan keluarga, tidak menolak mengampuni pihak yang berzinah dan tidak memutus kehidupan perkawinan. Namun jika ia tidak mengampuni kesalahannya secara jelas atau diam-diam, ia berhak untuk memutus hidup bersama perkawinan, kecuali ia menyetujui perzinahan itu atau menyebabkannya atau ia sendiri juga berzinah.

Kanon 1153 1. Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakannya.

Kanon 1154 Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.

Kanon 1155 Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi; dalam hal demikian ia melepaskan haknya untu berpisah.


(51)

33

Perpisahan ini tetap mempertahankan ikatan perkawinan. Oleh karena itu, perpisahan ini tidak sempurna dan dapat bersifat :

- Total (menyangkut keseluruhan hidup perkawinan) atau parsial (hanya pisah ranjang, atau pisah meja makan, atau pisah kediaman, atau meliputi ketiganya).

- Tetap (untuk batas waktu yang tidak ditentukan atau selamanya) atau sementara waktu(hanya untuk kurun waktu tertentu, missal satu tahun)

- Atas inisiatif kedua belah pihak atau inisiatif salah satu pihak saja

- Atas prakarsa sendiri atau atas izin kuasa gerejawi yang berwenang (misalnya, Ordinaris wilayah atau tribunal diosesan)

- Dapat disebabkan oleh perbuatan zina oleh salah satu pasangan atau karena sebab-sebab lain.

C. Kerangka Berfikir

Pernikahan menjadi tujuan hidup setiap pasangan. Bersatunya pasangan dalam ikatan perkawinan dan membentuk rumah tangga dengan segala pemenuhan harapan menjadi impian sebuah keluarga. Pada pasangan perkawinan Katolik, mengucapkan janji perkawinan di depan altar hanya dapat dilakukan satu kali seumur hidup. Artinya, perkawinan Katolik hanya dapat dilaksanakan satu kali seumur hidup tidak dapat


(52)

diulangi. Gereja Katolik tidak memperkenankan adanya perceraian pada pasangan yang telah menikah Katolik. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (KHK 1055).

Dalam perjalanan perkawinan, pasangan mengenal dan menjalani baik dan buruk, suka dan duka perkawinan. Buruk dan dukanya perkawinan seringkali menjadi pemicu konflik yang ada dalam rumah tangga. Ketika pasangan siap dengan kekurangan pasangannya maka konflik dapat diredam. Namun, ketika pasangan tidak siap akan kekurangan pasangannya maka konflik rumah tangga dapat terjadi.

Konflik dalam perkawinan yang terjadi berulang dan dalam waktu yang tidak singkat mengurangi keharmonisan dalam perkawinan. Ketika menghadapi permasalahan yang besar banyak pelaku pernikahan yang kemudian memutuskan untuk melakukan perceraian dengan pasangan. Namun, gereja Katolik tidak menghendaki adanya perceraian dengan kata lain istilah dalam gereja yaitu hanya ada perpisahan. Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun selain kematian (KHK 1141).


(53)

35

Perpisahan menjadi keputusan untuk menyelesaikan konflik dengan pasangan. Namun, setelah perpisahan terjadi maka pelaku harus siap bila seumur hidup harus dijalani tanpa adanya pasangan. Oleh karena perkawinan dalam Katolik hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup. Pelaku dihadapkan dengan situasi tersebut maka, pelaku hendaknya melakukan penerimaan diri dan menjalani hidup selanjutnya tanpa pasangan.

Ketidaksiapan pasangan untuk berpisah seringkali menjadikan individu menghadapi frustasi dan depresi. Segelintir individu yang dapat menerima keputusan perpisahan dalam waktu yang singkat. Orang dapat menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya sehingga evaluasi tentang dirinya juga positif (Calhoun dan Acocella,dalam Handayani dkk, 1998).

Menjadi sebuah tantangan kehidupan di mana Gereja Katolik menghendaki individu hanya dapat menikah satu kali seumur hidup. Artinya, ketika seorang individu melakukan perpisahan dengan pasangannya maka individu tersebut sudah tidak dapat menikah lagi dalam perkawinan Katolik. Menjadi konflik dalam diri individu untuk melakukan penerimaan diri. Individu kehilangan pasangan walaupun tetap terikat dalam ikatan perkawinan dan tidak dapat menikah dengan orang lain lagi dalam gereja Katolik.

Dibutuhkan waktu bagi seseorang yang tengah memiliki konflik untuk dapat melakukan penerimaan diri. Sebelum melakukan penerimaan


(54)

diri, akan terasa berat bagi seseorang yang kehilangan pasangan dan tetap terikat dalam ikatan perkawinan. Pelaku perpisahan harus menerima kenyataan kehilangan pasangan, kemudian pelaku perpisahan melalui tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri setelah menghadapi tahapan-tahapan tersebut, barulah pelaku sampai pada rasa kedamaian dan melakukan penerimaan diri atas apa yang ia alami.

Tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri tidaklah mudah oleh karena dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Pada pelaku perpisahan Katolik, selain kehilangan pasangan pelaku juga menghadapi kenyataan bila ke depan tidak dapat menikah lagi dalam gereja Katolik. Penerimaan diri dibutuhkan dalam kenyataan ini, agar kelangsungan hidup pelaku perpisahan dapat lebih positif.

Penerimaan diri pelaku perpisahan akan menimbulkan respon penerimaan diri dalam kondisi tidak menyenangkan, yaitu tahap – tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross (dalam Anugrahani, 1998) seperti penyangkalan, rasa marah, tawar menawar, lalu depresi kemudian penerimaan diri. Tidak semua pelaku melewati tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri tersebut. Namun untuk sampai pada tahap respon psikologis proses penerimaan diri tersebut, pelaku melewati beberapa tahap respon psikologis sebelumnya.

Pada pelaku perpisahan, seumur hidup ia akan menyandang status terikat perkawinan seumur hidup tapi tanpa pasangan. Bahkan ketika ia menikah lagi tetap masih terikat pernikahan sebelumnya. Namun


(55)

37

keputusan tersebut adalah kehendak dia sendiri. Maka, penerimaan diri kemudian menjadi sebuah pilihan agar di dalam menjalani kehidupan tidak terperangkap pada rasa penyesalan. Sedangkan ketika pelaku tidak melakukan penerimaan diri maka pelaku akan tetap berada situasi tersebut tanpa berkembang.

D. Pertanyaan Penelitian

Menurut Creswell (2003) pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif terdiri dari:

a. Central Question

Central Question merupakan pertanyaan utama yang bersifat umum. Dalam penelitian ini Central Question yang peneliti hendak capai yaitu bagaimana tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan katolik yang berpisah dengan kondisi akan tetap terikat seumur dengan pasangannya.

b. Subquestion

Subqustion merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada pertanyaan utama dalam penelitian. Maka, subquestion pada penelitian ini adalah :

2.1 Apa yang dirasakan oleh pelaku perpisahan dalam proses penerimaan diri.


(56)

2.2 Faktor apa yang membuat subjek pelaku perpisahan mampu melewati tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri.

Skema Tahapan Respon Psikologis dalam Proses Penerimaan Diri pada Pelaku Perpisahan Katolik

Pelaku Perpisahan

Kehilangan pasangan akibat perpisahan

Menghadapi Kenyataan

Pengalaman Tahap Respon Psikologis dalam Proses Penerimaan Diri

1. Tahap Penyangkalan (Denial 2. Tahap Marah(Anger)

3. Tahap Tawar – menawar (Bargaining)

4. Tahap Depresi (Depression) 5. Tahap Penerimaan (Acceptance)


(57)

39 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jenis penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif naratif.

Penelitian ini menggambarkan tahapan proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan katolik yang berpisah. Seperti telah dijelaskan oleh Suryabrata (2002) bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pencatatan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Berdasarkan tujuan tersebut, maka tipe studi naratif dalam penelitian ini adalah Personal Experience Story (Lyons & Coyle, 2007). Personal experience story memungkinkan untuk menggambarkan pengalaman tertentu di satu fase kehidupan, di mana dalam penelitian ini adalah proses respon penerimaan diri pada pelaku perkawinan katolik yang berpisah.

Menurut Smith (2009), terdapat dua langkah dalam penelitian pendekatan psikologi naratif. Pertama adalah mengumpulkan narasi melalui wawancara kisah kehidupan. Kedua adalah menganalisis narasi melalui fase deskriptif. Proses analisis pada fase deskriptif ini dapat dibantu dengan membaginya dalam sekuensi awal, tengah, dan akhir lalu menyoroti isu


(58)

penting dan mengidentifikasi keterkaitan antar bagian. Selain itu, kemudian dibuat ringkasan dalam bentuk cerita.

Langkah studi naratif dalam penelitian ini adalah :

a. Membuat daftar pertanyaan yang mengungkap pengalaman sebelum, selama, dan sesudah perpisahan.

b. Mengumpulkan data

c. Menganalisa kisah informan dan menceritakan kembali dalam story line. d. Menganalisa tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah deskripsi tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri pada pelaku perkawinan Katolik yang berpisah. Deskripsi tahapan respon psikologis dalam proses penerimaan diri ini dapat diketahui dengan cara meminta informan menceritakan pengalamannya awal sebelum berpisah, saat berpisah dan setelah berpisah.

C. Informan Penelitian

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian

Menurut Arikunto (1990) subjek penelitian adalah benda, hal atau organisasi tempat data atau variable penelitian yang dipermasalahkan melekat. Tidak ada satu pun penelitian yang dapat dilakukan tanpa adanya subjek penelitian, karena seperti yang telah diketahui bahwa dilaksanakannya penelitian dikarenakan adanya masalah yang harus


(59)

41

dipecahkan. Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk memecahkan persoalan yang timbul tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan. Informan penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tiga orang pelaku perkawinan Katolik yang berpisah.

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian

Pemilihan informan yang dianggap sesuai dengan kerangka kerja penelitian ini bersifat purposive (subjek bertujuan). Menurut Untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan valid, peneliti mencari informan penelitian yang memahami permasalahan yang akan diteliti. Terkait dengan pertimbangan dan karakteristik tertentu dibutuhkan kriteria. Kriteria tersebut adalah:

1. Melakukan perkawinan secara hukum Gereja Katolik 2. Berpisah dengan pasangan dengan tetap adanya ikatan

perkawinan.

D. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam. Lebih rinci teknik tersebut dijelaskan sebagai berikut:


(60)

1. Wawancara Mendalam

Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara bebas terpimpin yang memuat permasalahan pokok dalam penelitian. Menurut Bungin (2007) karakteristik utama dari wawancara ini adalah dilakukan secara bertahap dan pewawancara tidak harus terlibat dalam kehidupan sosial subjek. Kehadiran pewawancara sebagai peneliti yang sedang mempelajari objek penelitian dapat dilakukan secara tersembunyi atau terbuka.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mempersiapkan pertanyaan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Metode wawancara dipilih oleh peneliti agar mendapatkan data tanpa membatasi informasi yang diterima dari informan. Beberapa sarana yang peneliti siapkan guna mendukung proses wawancara yaitu: alat perekam, buku untuk membuat catatan kecil serta alat tulis yang akan membantu peneliti membuat catatan kecil.

E. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini,dilakukan analisis data menurut Smith (2009) yaitu:

1. Mencari tema dalam setiap kasus setelah membaca transkip verbatim secara keseluruhan.


(61)

43

2. Mengaitkan tema yang sudah terkumpul dan membaginya dalam sekuensi awal, tengah, dan akhir lalu menyoroti isu penting dan mengidentifikasi keterkaitan antar bagian.

3. Menganalisa kisah informan dan menceritakan kembali dalam story line.

4. Menganalisa tahap respon psikologis dalam proses penerimaan diri.

F. Verifikasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian kualitatif, perlu memastikan bahwa temuan dan interpretasi tersebut akurat Creswell (2009). Verifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik member checking. Member Checking, merupakan salah satu proses mengecek akurasi data dengan cara konfirmasi terkait hasil penelitian kepada informan penelitian. Peneliti akan kembali menemui informan serta membawa laporan akhir yang berisikan tema maupun deskripsi yang sudah ada dan menanyakan apakah deskripsi yang sudah dibuat oleh peneliti sudah lengkap dan realistis. Selanjutnya peneliti membuat deskripsi yang padat tentang hasil penelitan beberapa pengalaman informan dan menyajikan banyak perspektif mengenai tema, sehingga mendapatkan hasil yang lebih realistis.


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian Secara Keseluruhan

1. Informan

Peneliti tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh informan penelitian. Informan 1 merupakan orang tua dari teman komunitas peneliti. Sedangkan informan 2 dan informan 3 merupakan rekomendasi dari teman informan dalam komunitas. Keterlibatan informan dalam penelitian didasarkan pada kerelaan informan dengan syarat menjaga kerahasiaan identitas informan.

Sebelum dilaksanakan penelitian, peneliti juga melakukan wawancara pendahuluan kepada informan untuk memastikan kesanggupan serta memenuhi persyaratan sebagai informan. Pada wawancara pendahuluan, peneliti didampingi dan dikenalkan oleh teman peneliti kepada informan. Sehingga ketika melakukan pendekatan pada informan 1, 2 dan 3 informan tidak mengalami kendala yang berarti. Namun, peneliti memang perlu berhati-hati dalam menanyakan kesanggupan. Hal ini karena, topik yang peneliti ambil merupakan topik yang sensitif serta dikhawatirkan dapat membuka luka lama bagi informan yang belum berada dalam tahap penerimaan diri.

B. Pelaksanaan Penelitian 1. Deskripsi


(63)

45

Setelah peneliti mendapatkan informan penelitian yang memenuhi kriteria, peneliti melakukan tahap pengambilan data awal yang berguna untuk melakukan kesepakatan dengan informan. Kesepakatan tersebut ditandai dengan informan menandatangani inform consent. Dalam inform consent menyatakan bahwa informan bersedia untuk melakukan proses pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti.

Setelah peneliti dan informan melakukan kesepakatan bersama, peneliti melanjutkan dengan tahap selanjutnya yaitu rapport. Pada tahap ini, peneliti dapat membangun hubungan yang lebih dekat dengan informan. Dengan adanya kedekatan satu dengan yang lain, diharapkan informan dapat lebih nyaman dan terbuka dalam memberikan informasi kepada peneliti. Rapport dilakukan dengan cara berkunjung lalu berkenalan dan saling bertegur sapa antara informan dan peneliti. Jumlah bertemu dengan ketiga informan dilaksanakan berbeda. Hal ini dikarenakan kesibukan dan karakter dari masing-masing informan berbeda satu dengan yang lain.


(64)

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

a.Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1

Tabel 2.1. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 1

KETERANGAN TEMPAT HARI, TANGGAL WAKTU

Wawancara I Rumah Informan

20 Mei 2016 18.00 – 18.45

Wawancara II Rumah Informan

22 Mei 18.30 -19. 30

Wawancara III Rumah Informan

24 Mei 19.00- 19.30

b.Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2

Tabel 2.2. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 2

KETERANGAN TEMPAT HARI, TANGGAL WAKTU

Wawancara I Rumah Informan

22 Mei 2016 16.00- 16.30

Wawancara II Pasturan

Gereja St. Theresia

Liseux Boro

23 Mei 2016 19.00- 20.00

Wawancara III Rumah Informan


(65)

47

c.Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3

Tabel 2.3. Pelaksanaan Wawancara dengan Informan 3

KETERANGAN TEMPAT HARI, TANGGAL WAKTU

Wawancara I SD Kanisius K

23 Mei 2016 11.15 – 11.45

Wawancara II SD Kanisius K

24 Mei 2016 11.30 – 12.45

Wawancara III SD Kanisius K

1 Juli 2016 16.00-16.30

Tabel 2.4. Identitas Informan dan Ringkasan Deskripsi Relasi Informan 1 Informan 2 Informan 3

Inisial YR AA LA

Usia 47 tahun 32 tahun 53 tahun

Jenis kelamin Perempuan Laki- laki Perempuan

Pendidikan SMA SD S1

Pekerjaan Karyawan Pelaksana Guru

Suku Jawa Jawa Jawa

Agama Katolik Katolik Katolik

Jumlah Anak 1 - 1

Penyebab Perpisahan

Perselingkuhan Ekonomi , Perbedaan

Perselingkuhan, hubungan jarak


(66)

menurut Informan

umur jauh

Tinggal Bersama dengan

Ibu, anak kandung,

saudara laki-laki

Ibu, bapak, adik

informan

Ayah

Pada penelitian ini menggunakan Personal Experience Story. Pengalaman yang diambil adalah pengalaman tahap respon penerimaan diri pada pelaku perkawinan katolik yang berpisah. Guna menunjukkan pengalaman tahap respon penerimaan diri, proses penceritaan kembali akan menggunakan kerangka waktu yang secara kronologis akan dinarasikan lewat (a.) sebelum berpisah (beginning), (b.) ketika perpisahan (middle), (c.) pasca berpisah (end).

3. Analisis Hasil Wawancara Informan 1 A. Sebelum Berpisah (beginning)

Informan memaparkan bila awal keretakan rumah tangga dengan suami adalah karena informan cemburu pada salah satu rekan kuliah suaminya. Informan menyadari bila berasal dari desa dan tidak ingin dibanding-bandingkan dengan teman suaminya. Informan menyadari kekurangannya dan merasa rendah diri. Namun, memang suami


(67)

49

informan tidak memiliki hubungan khusus dengan teman kuliahnya. Dugaan yang informan takutkan ternyata tidak ada buktinya.

“Kalau nggak salah ada satu namanya R ya agak dekat sekali makanya saya kan cemburu begitu lho awal-awalnya. Saya bilang, saya jangan dibanding-bandingkan dengan temenmu pak saya kan cuma orang desa saya ya bilang begitu ya saya kan cemburu tapi ya nggak taunya ternyata nggak ada apa-apa gitu lho.”( informan 1, 11-19)

Informan memaparkan bahwa awal mengetahui situasi suami memiliki hubungan khusus dengan perempuan lain adalah dari orang lain. Dan informan merupakan istri yang tidak mudah percaya kata orang lain. Informan ingin membuktikan kebenarannya sendiri namun kenbenarannya suami informan memiliki hubungan perempuan lain. Perempuan yang memiliki hubungan khusus dengan suami informan adalah teman informan. Informan mengenal dekat teman khusus dari suaminya. Relasi informan dengan temannya juga tergolong dekat, mereka kerap saling bertukar makanan.

“Pak Y kan suami saya namanya Pak Y itu suaminya tadi saya lihat di Purworejo, di Gesing mboncengin teman saya itu terus saya bilang gini, kalau saya belum lihat dengan mata kepala saya sendiri saya nggak percaya saya bilang begitu. Tapi ya slentingan-slentingan ternyata benar gitu lho.” ( informan 1, 27-32)

Informan memaparkan pengalaman ketika mengetahui kebenaran kabar perselingkuhan suaminya dan teman dekatnya. Informan


(68)

mendapat kabar dari adik mertuanya oleh karena bekerja satu tempat dengan suaminya. Informan mengungkapkan rasa sakit hatinya. Informan mendapatkan informasi bila teman dekatnya secara sembunyi-sembunyi sering menemui suaminya di tempat kerja.

”Tapi ya slentingan-slentingan ternyata benar gitu lho. Lha mulai retaknya itu benar-benar retak waktu itu suami saya masih bekerja di IKIP PGRI di kembang itu, dia kan jadi biro tiga waktu itu satpam, biro kemahasiswaan, terus sama TU. Lha si teman saya itu, sering ke sana. Nha kebetulan, adiknya mertua saya kan rektor di situ sama dosen gitu lho. Terus ya ngomong sama ngomong artinya ya siapa to yang nggak sakit hati ada orang bilang gitu sama aku. “ (informan 1, 32-42)

B. Ketika Berpisah (middle)

Hubungan informan dengan suaminya semakin memburuk. Informan mendapat ajakan dari suaminya untuk ikut ke balai desa, dan di tempat tersebut informan diminta untuk mengungkapkan apabila hubungan rumah tangga yang mereka bina sudah tidak ada kecocokan lagi. Informan memenuhi ajakan suaminya oleh karena informan masih menyukai suaminya dan menurut apa kata suaminya. Pada pernyataan informan bagian ini, informan meminta kepada peneliti untuk menghentikan sementara wawancara. Hal ini informan lakukan karena informan tidak dapat menahan air matanya.

“Tapi kan suami saya, katanya waktu itu sudah tidak srek lagi gitu lho udah nggak ada kecocokan saya kan tambah sakit hati terus waktu itu kan dia mengajak saya ke balai desa. Di sana saya diajak disuruh ngomong kalau ditanya pak lurah suruh bilang


(69)

51

nggak ada kecocokan gitu. Saya juga manut-manut aja saking saya itu seneng sama dia sama suami saya itu. Sebentar ya mbak,, (Ibu menangis) “ (informan 1, 46-54)

Informan sebenarnya tidak menginginkan perpisahan dengan suami, namun informan merasa sakit hati melihat hubungan suami dengan teman dekatnya. Akhirnya menyetujui untuk berpisah. pada saat di pengadilan, ada pegawai yang beragama Katolik dan memberi informan saran agar tetap mempertahankan perkawinan informan dengan suaminya.

“Tapi kan ya waktu itu gimana ya hati perempuan kalau dipanas-panasi sama perempuan itu ya tetap sakit hati saya mau aja pokoknya udah tak hadiri tapi waktu itu kan di pengadilan ada orang Katolik juga. Mbak kamu nanti nggak usah bilang ke bapak bilangnya kalau mbak tetep mencintai suami mbak. Waktu itu pak W apa ya, pegawai pengadilan itu.” (informan 1, 79-87)

Informan melalui proses persidangan dan di pengadilan ditawarkan apakah rumah tangga bisa diperbaiki atau tidak. Informan memaparkan masih mencintai suami namun bertolak belakang dengan suami yang sudah tidak mencintai informan. Informan memaparkan apabila memang bercerai secara sipil dengan suami dan hal tersebut terasa menyakitkan bagi informan.

“Akhirnya sidang demi sidang terus saya ditanya, ibu gimana buk kok istilahnya bisa diperbaiki atau tidak? Kalau saya sih bisa pak


(70)

tapi suami saya sudah terlanjur mencintai orang lain dia katanya sudah tidak mencintai saya lagi, saya bilang gitu.“ (informan 1, 90-95)

“Saya diceraiin tapi ya sangat menyakitkan mbak. “ (informan 1, 110-111)

C. Setelah Berpisah (end)

a. Berpisah dengan Tetap Adanya Ikatan Perkawinan

Informan merupakan pribadi yang percaya akan kehendak Tuhan. Informan memiliki harapan suami akan kembali dan percaya Tuhan dapat mempersatukan rumah tangga mereka lagi. Informan percaya apabila dulu Tuhan mempertemukan dan segalanya dipercayakan kepada kehendak Tuhan. Informan mengungkapkan apabila masih mencintai suaminya.

“Jadi saya berharap suatu saat saya kembali gitu lho, kalau Tuhan berkehendak itu, ya saya mohon saya percaya Tuhan bisa mempersatukannya. Dulu kan yang mempertemukannya kan Tuhan, saya cuma bilang gitu kalau berdoa. Tapi sampai sekarang saya masih berharap masih mencintai. “( Informan 1, 119-124)

Harapan besar informan kembali rujuknya hubungan rumah tangganya dengan suaminya ternyata memiliki alasan. Setelah perceraian sipil terjadi, suami informan masih kerap menjalin hubungan dekat. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan informan yaitu masih sering menginap bersama, masak bersama, kemudian makan


(71)

53

bersama serta jajan bersama-sama. Relasi dekat ini membuat informan memiliki harapan besar untuk kembali rujuk.

“Sebelum 3 tahun ini ya ada baiknya ada sedihnya juga ada sukanya senangnya kalau kita bertiga (saya, anak, dan bapak) nginep di sana kita masak bareng, kita makan bareng, kita ya jajan bareng itu” (Informan 1, 159-162)

Informan merasa bahwa ketika sudah berpisah suami masih menjalin relasi yang baik dengan informan. Suami informan sering mengirim pesan singkat yaitu ajakan kepada informan untuk mengajak anak mereka berkunjung ke rumah suaminya. Informan tanpa mempertimbangkan serta tidak memperdulikan walaupun waktu malam tapi tetap datang ke tempat suaminya. Kebersamaan yang ada terjalin baik, informan tetap memperdulikan suaminya seperti membelikan lauk-pauk. Pada waktu berkumpul bersama suami dan anaknya, relasi hangat terjalin melalui canda gurau bersama. Walaupun berpisah dengan suami, namun informan memaparkan bahwa jika ada acara mereka tetap datang bertiga.

Kalau sering apa ya masalah senengnya kalau suami bilang “mak nanti ke sini ya sama-sama”. Saya kan di sms ke sana kan sama A malam mbok jam berapa nanti beli lauk sekalian belikan lele atau apa terus nanti yo kita bergurau kita bertiga sambil nonton tv, itu senengnya disyukuri. Nanti kalau pas ada acara apa kita bertiga. (informan 1, 193-199)

Berpisah dengan pasangan membuat informan menyadari bahwa informan masih mencintai suaminya dan perasaan mencintai suami


(1)

362 363 364 365

bisa tanya saja orang tempat saya. “kaya apa sih bu Lasini di kampung ?”gitu. paling sosialisasi memang saya kurang, saya tidak ikut ibu-ibu PKK, nggak ada daftar nya (sambil tertawa kecil). Tapi yang secara norma tata aturan ya tetep baik.


(2)

Kategorisasi /Tema (Analitical Category) Subyek 3

Label Analisis Tema

Ketidaksiapan psikis dalam pernikahan serta belum kokohnya fondasi ekonomi.

Faktor intern perpisahan.

Faktor ketidaksetiaan terhadap pasangan menyebabkan perpisahan.

Faktor intern perpisahan

Berpisah dengan pasangan anggapan dulunya egois namun berubah menjadi kewajaran karna faktor hubungan jarak jauh.

Faktor intern perpisahan.

Menyadari keegoisan dari kedua pihak.

Faktor intern perpisahan

Memegang teguh perkawinan Katolik sekali seumur hidup dan hanya dipisahkan oleh kematian.

Perpisahan dengan tetap adanya ikatan perkawinan.

Putus asa sehingga berniat bunuh diri namun sadar bahwa tidak dapat menyelesaikan masalah. Tuntunan dari Romo sampai menerima sebagai kenyataan yang harus terjadi.

Putus asa dan perasaan depresi hendak mengakhiri hidup

Keinginan mempertahankan perkawinan namun hanya bisa

menerima yang terjadi.

Menerima apa yang terjadi.

Berpisah dengan tetap adanya ikatan perkawinan.

Berpisah dengan tetap adanya ikatan perkawinan

Rasa putus asa dan menyalahkan Tuhan.

Sakit hati dan putus asa


(3)

privacy. Memberi informasi pada figure ayah.

Perkawinan katolik sekali seumur hidup.

Dampak psikologis bagi anak serta menghindarkan anak ke tempat lebih aman bagi psikisnya.

Perkawinan sekali seumur hidup dan dipisahkan oleh kematian

Mengajarkan untuk tidak membenci figure ayah.

Bijak dalam menyikapi situasi

Komunikasi terputus hanya pada saat tertentu. Hubungan di media sosial berlabel anggota keluarga.

Komunikasi pasif

Trauma mempunyai hubungan khusus dengan laki-laki.

Rasa trauma

Taat pada ajaran agama dan tidak hanya mengejar keinginan duniawi. kenyamanan untuk hidup sendiri.

Taat pada ajaran agama.

Label janda sering dilecehkan tapi kembali pada masing-masing pribadi. Rasa trauma terhadap pengalaman pahit lalu menutup diri.

Label negatif masyarakat

Manusia punya kelemahan dan membutuhkan waktu panjang untuk memberi maaf dengan tulus.

Kelemahan dan kelebihan manusia

Ketulusan untuk memaafkan namun tidak ada keinginan rujuk walaupun tetap terikat perkawinan seumur hidup secara gereja.

Perasaan tulus memaafkantidak adanya harapan rujuk.


(4)

suami. Percaya rencana baik Tuhan. Tidak punya gajalan pada figure suami. Rasa syukur dapat mendidik anak dengan baik.

Rasa syukur pada kehendak Tuhan

Rasa syukur kepada Tuhan. Tidak ada ganjalan pada figure suami.

Rasa syukur pada Tuhan

Membutuhkan waktu untuk jujur dalam kondisi. Pengertian dan support dari keluarga.

Support keluarga

Mempercayakan privacy pada pendampingan Romo.

Pendampingan figure Romo.

Support keluarga dan fokus pada anak. Support dan fokus pada anak. Kegiatan positif respon lingkungan

juga positif.

Repon positif lingkungan

Menghargai diri sendiri maka orang juga akan menghargai kita.

Menghargai diri sendiri

Ikatan perkawinan sekali seumur hidup.

Perpisahan dengan tetap adanya ikatan pernikahan


(5)

Narasi Informan 3

Informan memulai cerita dengan menjelaskan alasan pernikahannya dengan suaminya. Pernikahan dengan suaminya di awali dengan kehamilan di luar nikah, jadi sebenarnya belum siap untuk menikah. Berlanjut pada alasan kegagalan pernikahannya dengan suaminya yaitu karena adanya pihak ke-tiga. Informan juga mengatakan bahwa “kesalahan juga ada di saya” oleh karena informan mengingkari janji bahwa hendak tinggal bersama mertua selepas anaknya lulus kelas 6 SD. Namun, informan tidak siap bila tinggal bersama mertua dan tidak mempunyai penghasilan. Oleh karena hubungan informan dengan suami adalah hubungan jarak jauh, maka suami informan tertarik dengan adik dari atasannya di tempat ia bekerja. “sesetia apapun suami kalau jarak waktu perpisahan lama, ibaratnya dia setia tapi setiap hari kaya kucing ya setiap hari dikasih gereh di atas meja lalu di makan juga”. Dulu saat perpisahan terjadi, merasa jika suami egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Perceraian terjadi dengan suaminya dan saat itu informan tidak dapat hadir karena jarak tempuh yang jauh. informan sebenarnya tidak menginginkan perceraian terjadi “saya juga manusia biasa, siapa sih orang yang menikah secara Katolik mau berpisah kan istilahnya menikah untuk selamanya sampai mati”. Informan juga sempat putus asa dengan perceraian tersebut. “saat itu ya mbak, rasane lho apa ya rasanya sakit banget rasanya pengen bunuh diri sampe pengennya njegur progo gitu lho”. Tapi informan tidak melakukannya karena informan sharing dengan salah seorang Romo dan diberi pemahaman bila hal yang ingin informan lakukan adalah salah, karena tidak dapat menyelesaikan masalah. Romo mendampingi informan sampai informan tenang.


(6)

Informan merasa ditinggalkan Tuhan, “masak saya seperti ini rasanya kok Tuhan tidak adil to?” “saya merasa Tuhan meninggalkan saya”. Di sisi lain, anak informan juga terkena dampak dari perceraian yang terjadi. Anak informan dekat dengan ayahnya. Lalu informan menitipkan anaknya ke panti asuhan bukan karena tidak kuat membiayai namun karena takut anak kena dampak dari ibunya. “saya nanti takutnya saya melampiaskan kebencian ke anak saya. Saya nanti tanpa sadar mendidik dia untuk tidak mencintai ayahnya maka saya titipkan dia”. Namun informan juga tetap menengok anaknya, serta informan membenahi diri untuk hidup ke depan. Informan dengan suaminya tidak ada komunikasi, serta informan tidak mempunyai surat cerai dan hanya mempunyai risalla. Informan menyatakan bila statusnya janda dan biasanya janda dilecehkan rendah, tapi informan percaya hal tersebut tergantung dari orangnya. Informan memaparkan apabila membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk memaafkan suaminya. “artinyadalam jangka waktu itu jika dia datang saya nggak mau menemui. Tapi dengan berjalannya waktu saya mulai menyadari bahwa setiap manusia punya kelemahan kesalahan, sekarang tidak punya ganjalan apapun”.