Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih Di Kota Medan Tahun 2009

(1)

PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN

TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH

DI KOTA MEDAN TAHUN 2009

T E S I S

OLEH

SRI SURIANI PURNAMAWATI

077033031/ IKM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH

DI KOTA MEDAN TAHUN 2009

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

OLEH

SRI SURIANI PURNAMAWATI 077033031/IKM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH DI

KOTA MEDAN TAHUN 2009 Nama Mahasiswa : Sri Suriani Purnamawati Nomor Induk Mahasiswa : 077033031

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Fikarwin Zuska) (Drs. Eddy Syahrial, MS) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (dr. Ria Masniari Lubis, MSi)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 7 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, MS

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM 3. Dra. Syarifah, MS


(5)

PERNYATAAN

PERILAKU PEKERJA PEREMPUAN PENYAPU JALAN TERHADAP KOSMETIK PEMUTIH DI KOTA MEDAN TAHUN 2009

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2009

Sri Suriani Purnamawati 077033031/IKM


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena penggunaan kosmetik pemutih di kalangan perempuan yang semakin masif, termasuk pekerja perempuan penyapu jalan di Kota Medan. Fenomena tersebut didasari adanya keinginan perempuan untuk tampil cantik dan menarik. Agar dapat tampil cantik menarik dengan cara yang relatif cepat, salah satu caranya adalah dengan menggunakan kosmetik pemutih.

Konsep cantik bagi pekerja perempuan penyapu jalan tidak terlepas dari pengaruh media elektronik, yang mencitrakan bahwa cantik itu putih. Image cantik itu putih terus-menerus menyerbu ke benak pemirsa, melalui berbagai tayangan iklan kosmetik pemutih, membentuk konsep cantik itu putih.

Untuk itu penelitian ini mengkaji perilaku pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan terhadap kosmetik pemutih. Perilaku pekerja perempuan penyapu jalan terhadap kosmetik pemutih tidak terlepas dari dua faktor saling mempengaruhi, yaitu faktor yang ada dalam dirinya dan faktor dari luar dirinya..

Hasil penelitian ini menggambarkan pengetahuan pekerja perempuan penyapu jalan mengenai kosmetik masih parsial, dengan pengalaman pemakaian kosmetik pemutih yang bervariasi, serta sikap yang bervariasi pula. Beberapa pekerja perempuan penyapu jalan berpendapat bahwa cantik itu putih. Selain itu lingkungan fisik dan sosial, sumber informasi dan referensi, serta situasi dan kondisi yang memungkinkan turut memberi andil bagi pekerja perempuan penyapu jalan dalam menggunakan kosmetik pemutih.

Adanya pekerja penyapu jalan ada yang tidak lagi menggunakan kosmetik pemutih karena takut akan efek samping kosmetik pemutih, memberikan peluang kemungkinan dilakukannya penyadaran mengenai efek samping kosmetik pemutih.

Rancangan model perubahan perilaku terhadap kosmetik pemutih yang peneliti tawarkan adalah perubahan perilaku Health Belief Model Rosenstock.

Kata Kunci: Perilaku, Kosmetik Pemutih


(7)

ABSTRACT

This study was conducted based on the phenomenon of the massive use of whitening cosmetics among the women including those working as street sweepers in Medan. The phenomenon is based on the desire of the women to look beautiful and interesting. One of the ways in order to be beautiful in a relatively short time is by using the whitening cosmetics.

The concept of being beautiful for the female workers is also influenced by the electronic media which always say that being beautiful is identical with white. The image of being beautiful is white keeps attacking their mind through the commercial break showing the whitening cosmetics.

The purpose of this study is to analyze the behavior of women working as the street sweepers in Medan toward the whitening cosmetics which are based on two factors-internal and external-which influence each other.

The result of this study shows that the knowledge of the women working as the street sweepers on cosmetics was still partial and their attitude also varies. Some of the women working as the street sweepers have the concept this being beautiful is being white. In addition, the physical and social environment, information resources and reference have contribution to encourage the women working as the street sweepers to use whitening cosmetics.

Several women working as the street sweepers who do not use the whitening cosmetics anymore because they afraid of its side effect brings an opportunity to socialize the side effect of using the whitening cosmetics.

The design of the model to change the behavior toward the whitening cosmetics offered by the researcher is the Rosenstock’s Health Belief Model.

Key Words : Behavior, Whitening Cosmetics


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan limpahan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan Judul “Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Magister lmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada suami dan anak-anak tercinta, atas bantuan moral dan materil yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. dr. Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Sudi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 4. Drs. Eddy Syahrial, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan sabar


(9)

5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, selaku Dosen Pembanding yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan saran-saran perbaikan bagi tesis ini.

6. Dra. Syarifah, MS, selaku Dosen Pembanding yang juga telah meluangkan waktu untuk memberikan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Magister (S-2) Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman angkatan tahun 2007, mahasiswa Program Studi Magister (S-2) Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU atas segala kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang telah terjalin selama ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua.

Medan, September 2009 Penulis,

SRI SURIANI PURNAMAWATI 077033031


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama penulis Sri Suriani Purnamawati, lahir di Medan tanggal 7 Desember 1967, jenis kelamin perempuan, beragama Islam. Alamat rumah Jalan Rinte IV No.133 Lingkungan XIII Kompleks Kejaksaan Simpang Selayang Kecamatan Medan Tuntungan dan alamat kantor Jalan Tali Air No.21 Medan.

Riwayat Pendidikan pada tahun 1975 s/d 1981 tamat dari SD Negeri No. 064021 Medan. Tahun 1981 bersekolah di SMP Negeri 1 Medan dan tamat tahun 1984. Selanjutnya pada tahun 1984 s/d 1987 mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Medan. Pada Tahun 1987 mulai kuliah di Fakultas MIPA USU, jurusan Farmasi dan tamat pada tahun 1993. Kemudian mengikuti pendidikan Profesi Apoteker FMIPA USU dan selesai pada tahun 1995. Pada tahun 2007 mengikuti pendidikan jenjang S2 di Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Riwayat pekerjaan, pada tahun 1997 s/d 2000 bekerja di RSU Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara. Tahun 2000 s/d 2001 bekerja di Kanwil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Tahun 2001, adanya otonomi daerah meyebabkan Kanwil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara melakukan merger dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, sehingga status PNS penulis menjadi PNS daerah yang bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, sampai tahun 2005. Sejak tahun 2005 sampai sekarang bekerja di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(11)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK………... ABSTRACT……… KATA PENGANTAR………... RIWAYAT HIDUP………...……… DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecantikan... 2.2. Kosmetik... 2.2.1. Penggolongan Kosmetik... 2.2.2. Empat Faktor yang Berpengaruh... 2.2.3. Jenis-Jenis Reaksi Negatif Kosmetik pada Kulit... 2.2.4. Krim Pemutih... 2.2.5. Bahaya Kosmetik Pemutih... 2.3. Perilaku ... 2.3.1. Perilaku Kesehatan... 2.3.2. Faktor yang mempengaruhi Perilaku Kesehatan ... 2.4. Landasan Teori... 2.5. Kerangka Pikir... BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.3. Informan... 3.4. Metode Pengumpulan Data ... 3.5. Metode Analisis Data... BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Kota Medan dan Kosmetik Pemutih... 4.2. Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Dinas Kebersihan Kota Medan... i ii iii v vi viii ix x 1 9 10 10 11 16 17 17 19 20 21 23 25 28 30 31 32 32 33 36 40 43 57


(12)

4.3. Karakteristik Informan... 4.4. Konsep Cantik Pekerja Perempuan Penyapu Jalan... 4.5. Pengetahuan dan Sikap terhadap Kosmetik Pemutih... 4.6. Sumber Informasi... 4.7. Penggunaan Kosmetik Pemutih... BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Perilaku Penggunaan Kosmetik Pemutih... 5.2. Alasan Penggunaan Kosmetik Pemutih yang Murah... 5.3. Kosmetik Pemutih Berbahaya... BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA...

65 69 73 81 86 90

98 106 113 115 118


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 4.1 Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya... 46 4.2 Merek Bedak dan Kosmetik Pemutih yang digunakan... 87 5.1 Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya dan Zat Pewarna


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Kerangka Pikir... 31


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana Universitas 121

Sumatera Utara………..

2. Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan 122 Pemerintah Kota Medan ………


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tesis ini mengkaji pandangan-pandangan pekerja perempuan penyapu jalan yang ada di kota Medan tentang kosmetik pemutih, baik yang menggunakan kosmetik pemutih dan yang tidak menggunakannya. Informasi yang digali mengenai kosmetik pemutih meliputi jenis kosmetik yang digunakan, sumber informasi, cara penggunaan dan manfaat atau efek samping yang terjadi. Dimana dari berbagai informasi yang terkumpul diperoleh gambaran salah satu tujuan penggunaan kosmetik pemutih adalah agar tampil lebih cantik dan menarik.

Menjadi cantik dan menarik merupakan dambaan bagi setiap perempuan. Hampir semua perempuan di berbagai kelompok sosial masyarakat menginginkan hal tersebut. Dengan menjadi cantik seorang perempuan merasa lebih percaya diri dan lebih diterima di masyarakatnya. Kecantikan bukanlah sebuah konstruk fisik yang dapat diukur secara eksak, tetapi kecantikan adalah suatu konstruk sosial yang subyektif dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh tren, mode dan kesukaaan temporer banyak orang (Nasiruddin, 2008:1).

Sejak zaman dahulu, wanita sudah dikonstruksikan sebagai makhluk yang cantik, identik dengan keindahan. Bila cantik dilabelkan pada laki-laki maka akan mengesankan sifat banci. Oleh karenanya kecantikan selalu melekat pada unsur feminitas bukan maskulinitas. Konstruksi ini berlaku sepanjang sejarah perempuan


(17)

sehingga kecantikan dipandang sesuatu yang inheren dalam diri perempuan (Munfarida, 2007:2)

Mitos seputar kecantikan mengalami perubahan dari masa ke masa. Di era tahun 1960-an standar tentang kecantikan menunjukkan bahwa bentuk tubuh yang padat berisi merupakan yang paling menarik dengan ikon Marilyn Monroe. Kemudian di era tahun 1980-an tubuh yang jauh lebih kurus dikatakan lebih menarik, sehingga banyak model yang berbadan kurus dan menderita anorexia (Baron, 2003:11). Hal ini disebabkan karena para gadis mati-matian berdiet untuk kurus. Berbagai artikel dan buku yang membahas tentang berbagai cara diet laris manis di pasaran (Munfarida, 2007:5).

Memasuki tahun 1990-an, akibat adanya berbagai penemuan di bidang kosmetik memberikan angin segar bagi perempuan yang merasa tubuhnya kurang sempurna untuk ’merenovasi’ fisiknya. Sedot lemak, pengelupasan kulit merupakan contoh keberhasilan teknologi kosmetika (Munfarida, 2007:6). Sehingga sekarang yang dikatakan cantik selain ramping juga berkulit putih.

Menurut Purnamasari (2008:12) konstruksi kulit putih sebagai citraan kecantikan terus digembar-gemborkan media massa melalui berbagai iklan, menyerbu ke benak perempuan hingga terbentuk kesadaran semu bahwa berkulit putih memang cantik. Konsep kecantikan tersebut membuat para perempuan berlomba-lomba merekonstruksi warna kulitnya menjadi putih, bahkan oleh perempuan yang sebenarnya sudah memiliki warna kulit yang terang. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Jepang bahwa 60% perempuan Jepang dan 75% perempuan Cina


(18)

masih menginginkan warna kulit yang lebih putih/cerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang putih (Badan POM, 2006: 8)

Untuk bisa tampil cantik dan menarik sebenarnya diperlukan perawatan tubuh (termasuk wajah) secara rutin dan memerlukan waktu relatif lama. Tetapi banyak perempuan ingin cantik secara instan, salah satunya adalah dengan memakai kosmetik. Keinginan ini semakin kuat karena didukung dengan adanya iklan kosmetik yang mengatakan perubahan pada wajah anda dapat diperoleh hanya dalam waktu singkat (hanya dalam 7 hari). Menurut Indarti (2002:1), mengutip Shannon (1997) hasil test yang dilakukan di Amerika menggambarkan bahwa 88% perempuan yang berusia 18 tahun ke atas berusaha mempercantik diri dengan menggunakan kosmetik. Mereka merasa bahwa kosmetik tersebut membuat mereka lebih cantik dan percaya diri.

Kosmetik berasal dari kata Yunani ”kosmetikos” yang berarti ketrampilan menghias, mengatur. Defenisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/Menkes/Permenkes/1998 adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono dkk, 2007: 6). Dari defenisi ini jelas bahwa kosmetik umumnya digunakan pada bagian luar tubuh, sehingga jauh dari kesan berbahaya.

Namun pada kenyataanya tidak semua kosmetik aman digunakan. Tanggal 26 November 2008 Badan POM mengeluarkan Public Warning yaitu berupa pelarangan


(19)

peredaran 27 merk kosmetik karena mengandung bahan berbahaya. Larangan tersebut ditindaklanjuti dengan penarikannya oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di berbagai daerah di seluruh Indonesia, seperti yang dilakukan BBPOM Surabaya dengan menarik 57 merk kosmetik yang dilarang termasuk kosmetik yang tidak terdaftar, diantaranya kosmetik pemutih (Surabaya Post, 28 Nov 2008). Hal yang sama juga dilakukan oleh BBPOM di Medan (Sumutcyber, 28 Nov 2008).

Menurut Manurung (2008:4) mengutip Dwiyatmoko (2007)) data dari Tim MESKOS (Monitoring Efek Samping Kosmetik) Badan POM RI tahun 2007, menunjukan pengaduan yang masuk kepada mereka mengenai efek samping kosmetik adalah akibat kosmetik pemutih (35%), Pelembab (20%), Bleaching (15%), Bedak (10%), Cat rambut (5%) dan parfum (5%), dengan demikian efek samping yang paling sering terjadi di masyarakat adalah akibat penggunaan kosmetik pemutih sehingga diklasifikasikan sebagai kosmetik berisiko tinggi. Ketidakamanan kosmetik pemutih salah satunya disebabkan mengandung bahan berbahaya seperti merkuri.

Menurut Tranggono (2007:47) kosmetik pemutih yang mengandung merkuri menyebabkan toksisitas yang tinggi terhadap organ tubuh seperti ginjal, syaraf dan sebagainya. Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi (kemerahan dan pembengkakan kulit) dan alergi, berupa perubahan warna kulit sampai kehitam-hitaman. Penelitian yang dilakukan Manurung (2008:85) di salah satu pusat kebugaran di kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31% responden ternyata menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya yaitu merkuri.

Sebenarnya efek samping kosmetik pada kulit sudah sejak lama ditemukan. Beberapa peneliti telah melakukan berbagai penelitian mengenai hal tersebut.


(20)

Menurut Tzank (1955) sebanyak 7% dari semua kasus kerusakan kulit di sebuah klinik di Paris adalah akibat kosmetik. Sidi (1956) memperkirakan bahwa untuk seluruh Perancis angka ini mencapai 20%. Schulz (1954) menemukan bahwa di Hamburg, Jerman sekitar 10% dari semua kontak dermatitis disebabkan oleh preparat kosmetik. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan Dr.Retno Tranggono (1978) terhadap 244 pasien RSCM yang menderita noda-noda hitam 18,3% disebabkan oleh kosmetik (Tranggono dkk, 2007: 44).

Berdasarkan penelitian Manurung juga diperoleh informasi bahwa 75,79% responden yang menggunakan kosmetik pemutih adalah perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Purnamasari (2008) bahwa tubuh, kosmetik dan kecantikan merupakan tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain membentuk satu kesatuan representasi akan kesempurnaan perempuan. Bahkan untuk mencapai kesempurnaannya perempuan terkadang mengabaikan bahaya yang mengancam dari pemakaian kosmetik pemutih yang bahan berbahaya tersebut dan cenderung tidak percaya.

Seperti halnya Ratna yang menggunakan kosmetik pemutih Doctor Kayama, mengaku tidak rela menghentikan pemakaian kosmetik tersebut. Apa tidak takut kanker? ”Justru saya malah mempertanyakan, jangan-jangan BBPOM yang salah menguji. Rasanya selama pemakaian produk ini saya tidak merasakan efek samping yang membahayakan. Misalnya kemerah-merahan pada kulit wajah. Kayaknya lancar-lancar saja” (Sumutcyber, 28 Nov 2008).

Demikian juga yang diungkapkan Evelyn mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum. ”Saya benar-benar kaget waktu baca koran, kalau Blossom juga termasuk produk yang berbahaya. Padahal, sudah lebih dari satu tahun saya menggunakannya. Selama ini tak pernah ada masalah dengan kulit wajah saya. Malah sejak pakai Blossom, kulit wajah


(21)

saya malah jadi makin bagus. Dulu, sebelum pakai wajah saya hitam dan kusam.” bebernya. ”Duh, bagaimana nasib kulit saya ke depannya. Kalau dihitung-hitung pemakaian satu tahun, mungkin di usia 30 tahun, bisa-bisa saya menghabiskan waktu dirawat inap di rumah sakit gara-gara kanker. Tapi, apa betul berbahaya?” (Sumutcyber, 28 Nov 2008).

Perempuan yang terpelajar saja ada yang tidak percaya akan bahaya yang mengancam dari penggunaan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya. Bagaimana lagi dengan perempuan-perempuan yang berpendidikan rendah dan kurang memiliki akses informasi yang benar mengenai kosmetik pemutih sedangkan di satu sisi pekerjaannya dianggap mengharuskannya menggunakan kosmetik pemutih. Contohnya adalah pekerja perempuan penyapu jalan.

Penelitian mutaakhir yang dilakukan Yani (2008:56) menunjukkan bahwa 90% pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan menderita melasma. Penggunaan kosmetik dan sinar matahari merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian melasma dan diantara responden 60% menggunakan kosmetik dari berbagai jenis seperti bedak putih dan pelembab selama bekerja.

Hasil tinjauan peneliti (Desember 2008) dari 9 orang pekerja perempuan penyapu jalan yang dijumpai 6 (enam) orang menggunakan kosmetik pemutih wajah, 1 (satu) orang wajahnya bercak-bercak kecoklatan menyerupai gejala klinis melasma, 2 (dua) orang lagi tidak memakai kosmetik pemutih yang bila dillihat dari usianya sudah relatif tua. Hal ini dikuatkan oleh hasil wawancara dengan mandor pekerja perempuan penyapu jalan (Desember 2008) dikatakannya hampir 80% pekerja perempuan penyapu jalan diperkirakan menggunakan kosmetik pemutih.


(22)

Hasil bincang-bincang dengan salah seorang pekerja perempuan penyapu jalan diperoleh informasi bahwa pekerja tersebut menggunakan kosmetik pemutih. Kosmetik pemutih yang digunakannya termasuk kosmetik pemutih yang dilarang (yaitu salah satu merek RDL) dan sudah digunakannya dalam waktu yang relatif lama. ”Ini pun sudah mulai timbul bercak-bercak hitam di wajahku, karena aku belakangan ini mulai jarang memakainya, sehari cuma sekali aja, pas mau berangkat kerja” katanya. Padahal bercak coklat kehitaman tersebut mungkin saja efek samping samping yang timbul akibat pemakaian kosmetik pemutih tersebut.

Umumnya masalah kesehatan, seperti halnya efek samping penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan, menurut Green dalam Sarwono (2004;64) dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat (Sarwono, 2004:1).

Menurut Sarwono (2004) perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Notoatmodjo (2007:133) yang mengatakan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Baik Sarwono (2004:1) maupun Notoatmodjo (2007:133) keduanya mengutip pendapat Skiner menyimpulkan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan) dari luar maupun dari dalam dirinya.


(23)

Bila dikaitkan dengan perilaku penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan, diperkirakan perilaku tersebut merupakan tindakan untuk mempertahankan kesehatan kulit wajah dan kecantikan mereka (respons) karena pekerjaan tersebut memaksa mereka lebih sering terpapar sinar matahari (stimulus). Atau boleh jadi perilaku penggunaan kosmetik pemutih tersebut merupakan respons atas berbagai iklan produk kecantikan di media massa (stimulus) yang menyiratkan pesan bahwa cantik itu identik dengan tubuh langsing dan kulit putih.

Bila ditinjau dari perilaku kesehatan, penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan diperkirakan merupakan bentuk perilaku pemeliharaan kesehatan, karena tujuan pengunaan kosmetik tersebut selain untuk menutupi wajah dari paparan sinar matahari langsung juga bagian dari merawat kecantikan (Yani, 2008:56). Walaupun ternyata mempunyai efek samping yang kontradiktif dengan tujuan penggunaannya.

Menurut Green dalam Notoatmojo (2007:178) perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: 1) Faktor Predisposisi (Predisposing factors), 2) Faktor pendukung (Enabling factor). 3) faktor pendorong (Reinforcing faktor). Sedangkan menurut Kar perilaku merupakan fungsi dari niat, dukungan sosial, ada tidaknya informasi tentang kesehatan, otonomi pribadi dalam mengambil tindakan dan situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak.

Dengan memahami alasan-alasan yang mendasari perilaku penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan tersebut diharapkan dapat dirancang suatu promosi kesehatan. Dimana promosi kesehatan menurut Piagam


(24)

Ottawa merupakan suatu proses untuk memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka (Notoatmodjo dkk, 2005:25).

Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa kelas sosial merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam memutuskan membeli kosmetik wajah (Indarti,2002). Dari sisi kelas sosial, pekerja perempuan penyapu jalan cenderung merupakan konsumen produk kosmetik pemutih yang murah dan mengandung bahan berbahaya. Sampai saat ini ternyata produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih tetap laris dijual di pasaran (Waspada, 10 Maret 2009).

1.2. Permasalahan

Walaupun sudah diketahui adanya faktor resiko penggunaan kosmetik pemutih, diumumkannya public warning dan razia kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya oleh Balai Besar POM di Medan, namun pada kenyataannya mengapa penggunaan kosmetik pemutih di kalangan pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan masih relatif tinggi.

1.3. Tujuan Penelitian

Mengetahui alasan-alasan yang mendasari perilaku penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan. Dengan demikian dapat dirancang suatu model promosi kesehatan sebagai alternatif yang dapat direkomendasikan yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.


(25)

1.4. Manfaat Penelitian

a. Dinas Kebersihan kota Medan mendapat masukan upaya pemeliharaan kesehatan pekerja perempuan penyapu jalan.

b. Memberikan masukan bagi promotor kesehatan dalam mengembangkan model promosi kesehatan yang tepat sebagi upaya peningkatan kesehatan masyarakat.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecantikan

Kecantikan bukanlah sebuah konstruk fisik yang dapat diukur secara eksak, tetapi kecantikan adalah suatu konstruk sosial yang subyektif dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan karakteristik masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh tren, mode dan kesukaan temporer banyak orang (Nasiruddin,2008:1).

Secara garis besar berbagai pendapat tentang definisi kecantikan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok: pertama, kecantikan hanya bersifat fisik saja (outer beauty). Wajah yang ayu, tubuh yang langsing, kulit putih, tinggi semampai, hidung mancung merupakan manifestasi kecantikan fisik. Kedua, hakikat kecantikan itu ada dalam Diri yang diistilahkan dengan inner beauty. Kepribadian, intelektualitas, kecakapan emosional, dan kualitas-kualitas nonfisik merupakan gambaran kecantikan model kedua ini. Ketiga, kecantikan itu bersifat fisik dan nonfisik. Artinya perempuan yang memiliki inner beauty juga harus memiliki outer

beauty (Munfarida,2007:3).

2.1.1. Mitos dan Sejarah Kecantikan

Kecantikan merupakan mitos, tidak ada definisi yang baku dan kriteria kecantikan yang bersifat umum. Kecantikan merupakan sesuatu yang dianggap paling berharga bagi seorang perempuan. Sejarah kemanusiaan dan mitologi kuno seperti


(27)

kisah Adam dan Hawa, Julius Cesar dan Cleopatra, Rama dan Shinta mengisahkan perempuan cantik yang menjadi rebutan dan kaum pria rela berkorban untuk mendapatkannya.

Mitos seputar kecantikan mengalami perubahan dari masa ke masa. Di era tahun 1960-an standar tentang kecantikan menunjukkan bahwa bentuk tubuh yang padat berisi merupakan yang paling menarik dnengan ikon Marilyn Monroe. Kemudian di era 1980-an tubuh yang jauh lebih kurus dikatakan lebih menarik, sehingga banyak model yang berbadan kurus dan menderita anorexia (Baron, 2003:11). Memasuki tahun 1990-an, akibat adanya berbagai penemuan di bidang kosmetik memberikan angin segar bagi perempuan yang merasa tubuhnya kurang sempurna untuk “merenovasi” fisiknya. Sedot lemak, pengelupasan kulit merupakan contoh keberhasilan teknologi kosmetika (Munfarida, 2007:6). Sehingga yang dikatakan cantik selain ramping juga berkulit putih.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Jepang bahwa 60% perempuan Jepang dan 75 % perempuan Cina masih menginginkan warna kulit yang lebih putih/cerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang lebih putih (Badan POM, 2006:8). Penelitian yang dilakukan Manurung (2008:85) di salah satu pusat kebugaran di kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31% responden menggunakan kosmetik pemutih.

Sejarah kecantikan di atas menunjukkan bahwa pada awalnya mitos kecantikan dibentuk oleh konstruksi masyarakatnya saat itu. Namun selanjutnya perubahan mitos kecantikan ini lebih dipengaruhi oleh media iklan. Hal ini disepakati oleh para pemerhati kecantikan bahwa sejak 1960-an citra ideal perempuan dibentuk


(28)

oleh industri media dan periklanan. Contohnya zaman 1950-an kecantikan perempuan diidentikkan dengan perempuan bertubuh subur, pada era 1980-an merupakan puncak dimana tubuh kurus menjadi simbol kecantikan. Media massa saat itu banyak memunculkan figur langsing, selain dijadikan simbol kecantikan, tubuh langsing juga dianggap sebagai simbol pemberontakan perempuan (Munfarida, 2007:5)

Kata “cantik” telah dibentuk oleh media di dalam benak masyarakat secara tidak sadar. Baik melalui iklan maupun tayangan-tayangan sinetron yang ada. Sebagian besar endorser yang dipakai dalam iklan adalah perempuan-perempuan dengan tubuh yang langsing dan tinggi, berkulit putih. Stereotype ini telah terbentuk dan menjadi pemisah untuk perempuan “cantik” dan “tidak cantik” (Goenawan, 2007:15)

Berkaitan dengan kekuatan pengaruh media massa ini, Yasraf Amir Piliang mengatakan ada tiga kekuasaan yang beroperasi di balik produksi dan konsumsi komoditi yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser serta kekuasaan media massa. Ketiga kekuasaan ini saling berjalin berkelindan untuk menciptakan permintaan (demand) secara terus menerus. Melalui media massa keinginan-keinginan psikologis diciptakan sehingga komoditi bisa terus-menerus diproduksi. Pada akhirnya, pola konsumsi ternyata lebih menguntungkan bagi para pemilik modal daripada benar-benar mengubah perempuan menjadi cantik (Munfarida, 2007:9).

Adanya campur tangan kapitalis melalui media massa seperti iklan juga diakui oleh gerakan feminisme. Tampilan iklan di televisi dan media cetak memberikan pengaruh besar dalam penggambaran citra perempuan. Hal ini mendorong Betty Friedan seorang feminis melakukan analisa isi atas majalah-majalah perempuan


(29)

maupun kritik iklan dalam bukunya The Feminine Mystique. Friedan menghasilkan stereotip-stereotip gender yang dibangun oleh media (Goenawan, 2007:18).

Pencitraan perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan menjadi 4 macam, (Bungin, 2005: 103-104) yaitu:

1. Citra Pigura, citra yang ditonjolkan adalah sisi biologis dari perempuan-perempuan tersebut.

2. Citra Pilar, citra yang ditonjolkan adalah perempuan sebagai tulang punggung keluarga. Perempuan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam hal mengurus domestik. umber daya rumah tangga, sebagai istri dan ibu yang bijaksana.

3. Citra Pinggan, perempuan dicitrakan tidak bisa keluar dari dapur, karena dapur adalah dunia perempuan.

4. Citra Pergaulan, citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Perempuan dilambangkan sebagai makhluk yang anggun, menawan serta berhak “dimiliki” oleh kelas tertentu.

Naomi Wolf juga melihat bahwa media massa lebih dari sekedar agen penkonstruksi, media mengambil bagian, menjadi ritus kecantikan. Media massa muncul sebagai agama baru kecantikan. Perempuan model cover, iklan, majalah wanita, menjadi panutan sejati pesan kecantikan (Utomo,2007: 3).

Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam buku “Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop” melihat feminitas perempuan dideterminasi oleh imajinasi laki-laki dan budaya patriarki di dalam ilustrasi iklan dalam media massa. Sosok


(30)

perempuan yang diilustrasikan dalam beberapa iklan kosmetik, menggambarkan kualifikasi kecantikan pada tubuh perempuan yang melibatkan penilaian laki-laki sebagai representasi budaya patriarki. Nilai intrinsik pasar adalah pada produk kecantikan yang ditawarkan, misalnya iklan krim pemutuh menghendaki laki-laki mengakui yang cantik adalah yang perempuan yang berkulit putih, sedangkan warna di luar putih tidak layak mendapatkan perhatian laki-laki. Perempuan diarahkan untuk mematuhi imajinasi iklan krim pemutih itu, taat pada imajinasi laki-laki. Putih dan tidak putih adalah sebuah kategorisasi feminitas perempuan, kecantikan perempuan (Utomo, 2007 :6)

Konstruksi sosial bagi kapitalisme memandang perempuan hanya semata-mata dilihat sebagai komoditas. Akibatnya berbagai mitos kecantikan yang diciptakan, memberikan penekanan yang lebih pada kualitas fisik. Dunia perempuan selalu ditampilkan dalam ruang yang serba fisikal. Konstruksi ini menjadikan perempuan teralienasi dengan dirinya sendiri. Dirinya sendiri semakin jauh dari totalitas kediriannya karena terfragmentasi dalam diri fisik semata. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi industri kapitalis. Tidak adanya konsep diri yang utuh, akan menjadikan kaum perempuan mudah terpedaya oleh persuasi-persuasi iklan-iklan kecantikan dalam media massa yang lebih banyak menampilkan aspek kecantikan fisik saja (Munfarida,2007:9)

Perempuan disubordinasikan oleh sebuah sistem dan struktur yang kokoh yang antara lain dibangun oleh kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah sistem telah membentuk struktur-struktur dimana perempuan ditempatkan pada posisi yang lemah. Kepentingan pasar menjadi suatu ideologi dalam keseluruhan proses produksi iklan


(31)

dimana setiap orang tunduk pada kepentingan-kepentingan pasar,khususnya dalam meningkatkan daya saing suatu produk (Abdullah, 2001:40).

2.2. Kosmetik

Kosmetik sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke- 19, pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Menurut Tranggono sambil mengutip Jellinek dkk (1970) perkembangan ilmu kosmetik serta industrinya baru dimulai secara besar-besaran pada abad ke-20.

Kosmetik berasal dari kata Yunani ”kosmestikos’ yang berarti ketrampilan menghias, mengatur. Defenisi kosmetik dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.42.1018 adalah Setiap bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada seluruh bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar), atau gigi dan membran mukosa di sekitar mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan dan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik (Badan POM, 2008).

Menurut TMitsui dalam Tranggono (2007:7), tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat modern adalah untuk kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar ultra violet, polusi dan faktor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup.


(32)

2.2.1. Penggolongan kosmetik

Tranggono (2007:8), menggolongkan kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit adalah sebagai berikut:

1. Kosmetik perawatan kulit (Skin-care cosmetics)

Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit. Termasuk di dalamnya:

a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).

b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya moisturizing

crem, night cream.

c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream, dan sunscreen

foundation, sun block cream/lotion.

d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit (peeling), misalnya scrub cream yang berisi buttiran-butiran halus yang berfungsi sebagai pengampelas (abrasiver)

2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up)

Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya diri (self confidence). Dalam kosmetik riasan peran zat pewarna dan zat pewangi sangat besar.

2.2.2. Empat Faktor yang Berpengaruh.

Ada 4 faktor yang mempengaruhi hasil pemakaian kosmetik terhadap kulit, baik yang akan memberikan hasil positif yang menguntungkan kulit, atau hasil


(33)

negatif yang merugikan kulit. Keempat faktor itu adalah faktor manusia, faktor kosmetik, faktor lingkungan dan interaksi ketiga faktor tersebut (Tranggono,2007:43).

1. Faktor manusia

Perbedaan ras, warna kulit, misalnya antara Asia yang coklat dan Eropa yang putih serta pandangan mengenai kecantikan yang berbeda menyebabkan efek kosmetik yang berbeda.

a. Kurangnya pengetahuan akan seluk beluk kulit dan seluk-beluk kosmetik dapat menimbulkan kesalahan dalam pemakaian kosmetik.

b. Orang-orang tertentu berkulit sensitif sehingga kosmetik yang bagi orang lain tidak berpengaruh apa-apa, baginya dapat menimbulkan iritasi dan lain-lain

2. Faktor kosmetik

a. Bahan baku tidak berkualitas tinggi, iritan, alergenik, aknegenik, toksik dan photosentitizer.

b. Formulasi tidak sesuai dengan jenis kulit dan keadaan lingkungan. Sejumlah bahan, misalnya dalam kosmetik tabir surya, zat pewarna dan zat pewangi bersifat photosensitizer jika terkena sinar matahari di iklim tropis.

c. Prosedur pembuatan tidak canggih dan higienis 3. Faktor lingkungan

Di negara-negara tropis seperti Indonesia, matahari yang bersinar terik praktis sepanjang hari sepanjang tahun menyebabkan kulit lebih berkeringat dan


(34)

berminyak. Karena itu jika kosmetik pelembab yang lengket berminyak untuk kulit orang Eropa yang kering di iklim dingin digunakan oleh orang Asia, kosmetik ini dapat merangsang terjadinya jerawat. Begitu pula tabir surya yang mengandung PABA (Para Amino Benzoic Acid) yang populer yang mencoklatkan kulit di Eropa, di Indonesia tidak disukai dan berbahaya karena PABA bersifat photosensitizer.

4. Interaksi ketiga faktor tersebut di atas.

2.2.3. Jenis-Jenis Reaksi Negatif Kosmetik pada Kulit

Ada berbagai reaksi negatif yang disebabkan oleh kosmetik yang tidak aman pada kulit maupun pada sistem tubuh, antara lain: (Tranggono, 2007:44-45)

1. Iritasi: reaksi langsung timbul pada pemakaian pertama kosmetik karena salah satu atau lebih bahan yang dikandungnya bersifat iritan. Sejumlah deodoran, kosmetik pemutih kulit (misalnya kosmetik impor Pearl Cream yang mengandung merkuri) dapat langsung menimbulkan reaksi iritasi.

2. Alergi: reaksi negatif pada kulit muncul setelah dipakai beberapa kali, kadang-kadang setelah bertahun-tahun, karena kosmetik itu mengandung bahan yang bersifat alergenik bagi seseorang meskipun mungkin tidak bagi yang lain. 3. Fotosensitisasi: reaksi negatif muncul setelah kulit yang ditempeli kosmetik

terkena sinar matahari karena salah satu atau lebih dari bahan, zat pewarna, zat pewangi yang dikandung oleh kosmetik itu bersifat photosensitizer.

4. Jerawat (Acne): beberapa kosmetik pelembab kulit yang sangat bermiyak dan lengket pada kulit, seperti yang diperuntukkan bagi kulit kering di iklim dingin, dapat menimbulkan jerawat bila digunakan pada kulit yang


(35)

berminyak. Terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia karena kosmetik demikian cenderung menyumbat pori-pori kulit bersama kotoran dan bakteri.

5. Intoksikasi: keracunan dapat etrjadi secara lokal maupun sistemik melalui penghirupan lewat mulut dan hidung, atau lewat penyerapan melalui kulit. Terutama jika salah satu atau lebih bahan yang dikandung oleh kosmetik itu bersifat toksik.

6. Penyumbatan fisik: penyumbatan oleh bahan-bahan berminyak dan lengket yang ada di dalam kosmetik tertentu, seperti pelembab atau dasar bedak terhadap pori-pori kulit atau pori-pori kecil pada bagian-bagian tubuh yang lain.

2.2.4. Krim Pemutih

Pemutih kulit merupakan suatu bahan yang digunakan untuk mencerahkan atau merubah warna kulit yang tidak diinginkan (Rieger,2000). Beberapa krim pemutih mengandung pigmen putih untuk menutupi kulit dan para konsumen merasa kulitnya menjadi lebih putih, namun sebenarnya kulit mereka hanya terlihat saja lebih putih akibat efek pelapisan pigmen putih pada lapisan terluar kulit dan tidak ada pengurangan pada kadar pigmen kulit yang sebenarnya. Krim pemutih yang mengandung bahan yang dapat mengganggu produksi pigmen merupakan krim yang dianggap paling efektif (Scott et al, 1985).

Berdasarkan cara penggunaannya produk whitening kulit dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:


(36)

1. Skin Bleaching

Adalah produk whitening yang mengandung bahan aktif yang kuat, yang berfungsi memudarkan noda-noda hitam pada kulit. Cara penggunaan produk tersebut adalah dengan mengoleskan tipis-tipis pada daerah kulit dengan noda hitam, tidak digunakan secara merata pada kulit dan tidak digunakan pada siang hari. Bahan aktif yang digunakan antara lain hidrokuinon dan kombinasi hidrokuinon dengan asam retinoat.

2. Skin lightening

Adalah produk perawatan kulit yang digunakan dengan tujuan agar kulit pemakai tampak lebih putih, cerah dan bercahaya. Produk whitening katagori ini dapat digunakan secara merata pada seluruh permukaan kulit. Bahan aktif yang digunakan antara lain asam askorbat dan derivatnya, kojic acid,

niasinamid, licorice ekstract.

2.2.5. Bahaya kosmetik pemutih

Dalam beberapa kosmetik dapat ditemukan berbagai bahan kimia yang berbahaya bagi kulit, seperti merkuri, hidrokinon, asam retinoat dan zat warna sintetis seperti Rhodamin B dan Merah K3. Bahan-bahan ini sebetulnya telah dilarang penggunaanya sejak tahun 1998 melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MENKES/PER/V/1998. Sejauh ini bahan-bahan kimia tersebut belum tergantikan dengan bahan-bahan lainnya yang bersifat lebih alami. Bahan-bahan kimia tersebut dapat memicu kanker (Badan POM, 2008:5).

Merkuri (Hg)/air raksa termasuk logam berat berbahaya, dalam konsentrasi kecilpun dapat menimbulkan racun dan biasa terdapat pada krim pemutih. Merkuri


(37)

dapat menyebabkan alergi dan iritasi kulit. Pemakaian dengan dosis tinggi menyebabkan kerusakan otak secara permanen, gagal ginjal yang berakibat kematian dan gangguan perkembangan janin yang berakibat keguguran dan mandul (Badan POM,2008:5).

Selain merkuri, hidrokinon dalam krim pemutih yang kandungannya di atas 2% juga dikategorikan sebagai bahan berbahaya bagi kesehatan. Hidrokinon termasuk golongan obat keras yang hanya dapat digunakan berdasarkan resep dokter. Pemakaian hidrokinon dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar, juga menyebabkan kelainan pada ginjal, kanker darah (leukemia) dan kanker sel hati (Badan POM, 2008:6).

Asam retinoat atau Tretinoin adalah bentuk asam dari vitamin A, merupakan zat yang populer digunakan dalam kosmetik karena kemampuannya mengatur pembentukan dan penghancuran sel-sel kulit. Kemampuannya mengatur siklus hidup sel ini juga dimanfaatkan oleh kosmetik anti aging (efek-efek penuaan). Tretinoin juga mempunyai efek samping bagi kulit yang sensitif, seperti kulit menjadi gatal, memerah dan terasa panas seperti terbakat.

Penggunaan tretinoin yang sebagai obat keras, hanya boleh dengan resep dokter, namun kenyataannya ditemukan dijual bebas kosmetik yang mengandung tretinoin buatan Filipina (Badan POM, 2006:7). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, produk kosmetik pemutih yang dilarang penggunaannya dan mengandung asam retinoat, antara lain RDL Hydroquinon


(38)

2.3. Perilaku

Menurut Sarwono (2004:1) perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.

Menurut Notoatmodjo (2007:133) dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak langsung.

Skiner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:133-134) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori ”S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Skiner membedakan adanya dua respon:

1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh


(39)

eliciting stimulstion karena menimbulkan respons-respon yang relatif tetap.

Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih dan sebagainya.

2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons. Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.

Parson dalam Poloma (1987: 184) dengan tingkat ”teori bertindak yang umum”, ialah bahwa perilaku cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis: (1) pencarian pemuasan psikis, (2) kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis, (3) kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan (4) usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.

Selain pendapat di atas masih banyak lagi teori dalam sosiologi yang sering digunakan untuk menganalisa perilaku individu maupun kelompok, (Sarwono, 2004: 18-25) yaitu antara lain: Teori Aksi Max Weber yang kemudian dikembangkan oleh Parsons melihat bahwa tindakan individu atau kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem,


(40)

yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian. Selain itu juga Kotler (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu : faktor-faktor budaya, faktor sosial, faktor kepribadian dan faktor psikologis. 2.3.1. Perilaku Kesehatan

Green dalam Notoatmodjo (2007:178 ) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor

pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku

(non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor yaitu:

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,


(41)

sikap dan perilaku petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Skiner dalam Notoatmodjo (2007:136) memberikan batasan perilaku kesehatan yaitu suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu 1) perilaku pemeliharaan kesehatan 2) perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan dan 3) perilaku kesehatan lingkungan. Kar dikutip oleh Notoatmodjo (2007:179) menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik-tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:

1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention).

2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).

3. Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebility of information).

4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy).

5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action

situation).

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan, kebebasan dari individu


(42)

untuk mengambil keputusan/bertindak, dan situasi yang memungkinkan ia berperilaku/bertindak atau tidak berperilaku/ tidak bertindak.

Teori World Health Organization (WHO) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:180) dimana tim kerja dari WHO menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok.

1. Pemikiran dan Perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi,sikap, kepercayaan, dan penilaian-penialaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan). Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Kepercayaan, seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:

a. Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. b. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada

pengalaman orang lain.

c. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.


(43)

Di dalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

2. Orang penting sebagai referensi

Perilaku orang lebih-lebih perilaku anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila orang tersebut dianggap penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuatan cenderung dicontoh. 3. Sumber- sumber daya (resources)

Sumber daya di sini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.

4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari suatu kehidupan masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Perilaku yang normal adalah salah suatu aspek kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.

2.3.2. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan

Jika kita membahas kembali kerangka Blum tentang status kesehatan, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi status kesehatan yaitu: lingkungan yang


(44)

terdiri dari lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, perilaku, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Selanjutnya Blum menjelaskan, bahwa lingkungan sosial budaya tersebut tidak saja mempengaruhi status kesehatan, tetapi juga mempengaruhi perilaku kesehatan (Notoatmodjo,2007:18 ).

Menurut H. Ray Elling dalam Notoadmodjo (2005:71) ada beberapa faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan, antara lain : 1) self concept,dan 2)

image kelompok. Disamping itu, G.M Foster menambahkan, bahwa identifikasi

individu kepada kelompoknya juga berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. 1. Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan.

Self concept ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita

rasakan terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Bila orang lain melihat kita positif dan menerima yang kita lakukan, kita akan meneruskan perilaku kita. Secara tidak langsung self concept kita cenderung menentukan apakah kita berusaha menerima diri kita seperti adanya atau berusaha untuk merubahnya. 2. Pengaruh image kelompok terhadap perilaku kesehatan.

Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok.

3. Pengaruh identifikasi individu kepada kelompok sosialnya terhadap perilaku kesehatan.

Identifikasi individu kepada kelompok kecilnya sangat penting untuk memberikan keamanan psikologis dan kepuasan dalam pekerjaan.


(45)

2.4. Landasan Teori.

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2007:133-134) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Menurut Sarwono (2004:1) perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.


(46)

2.5. Kerangka Berpikir Faktor internal (individu):

- Pengetahuan - Pengalaman - Sikap

- Konsep cantik

Kosmetik pemutih perilaku

pekerja perempuan

Faktor Eksternal:

- Sumber informasi dan referensi

- Lingkungan fisik dan sosial

- Situasi dan kondisi yang memungkinkan


(47)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis dari penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif pendekatan kualitatif, dengan menggunakan paradigma alamiah. Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigm (paradigma keilmuan) dan naturalistic paradigm (paradigma alamiah). Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis (Moleong,2000:30). Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berfikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri.

Perilaku yang tampak di permukaan baru bisa dipahami manakala bisa mengungkap apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran atau dunia pengetahuan si pelaku. Sebab realitas itu sesungguhnya bersifat subjektif dan maknawi. Ia bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang (Bungin, 2007:44). Dalam penelitian ini fenomena yang digali adalah perilaku penggunaan kosmetik pemutih pada pekerja perempuan penyapu jalan dengan mencari faktor-faktor yang mendasari perilaku tersebut.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kota Medan, merupakan kota tempat bekerja bagi pekerja perempuan penyapu jalan dan mereka menggunakan kosmetik pemutih. Dari


(48)

hasil penelitian sebelumnya (Yani, 2008) diketahui penggunaan kosmetik (bedak putih dan pelembab) pada pekerja perempuan penyapu jalan di kota Medan masih relatif tinggi (60% dari responden). Pengamatan dan wawancara saya lakukan di wilayah kecamatan Medan Polonia, Medan Johor dan Medan Amplas, yang merupakan lintasan jalan-jalan protokol sehingga pekerja perempuan penyapu jalan tersebut mudah dijumpai. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2009 sampai dengan Juli 2009.

3.3. Informan

Informan pada penelitian ini adalah pekerja perempuan penyapu jalan yang memakai kosmetik pemutih maupun yang tidak memakai kosmetik pemutih, berumur antara 33 tahun - 57 tahun dengan rata-rata lama bekerja sebagai penyapu jalan + 10 tahun pada Dinas Kebersihan kota Medan, dengan domisili di kota Medan dan juga di luar kota Medan.

Peneliti memilih melakukan fieldwork di kelurahan Madras Kecamatan Medan Polonia, kelurahan Amplas kecamatan Medan Amplas serta Simpang Limun kecamatan Medan Johor, alasannya karena di daerah ini peneliti bertemu dengan para informan dan masih merupakan wilayah kerja Dinas Kebersihan kota Medan. Daerah ini juga merupakan tempat-tempat yang lebih banyak mendapat perhatian yang lebih karena merupakan jalan protokol sehingga jumlah pekerja perempuan penyapu jalan yang ditugaskan juga relatif cukup banyak sehingga memudahkan saya sebagai peneliti untuk mendapatkan informan untuk penelitian ini.


(49)

Selain itu juga yang menjadi alasan lain adalah ketika dalam melakukan penjajakan awal, peneliti sudah mengenal salah satu pekerja perempuan penyapu jalan yang sudah bekerja sebagai penyapu jalan + 10 tahun di kelurahan Madras, dan merupakan informan pertama bagi peneliti yang peneliti sebut dengan Bu Molek. Peneliti mengenal informan tersebut, karena dia pernah bekerja pada kakak peneliti sebagai tukang cuci gosok di rumahnya.

Pada pertemuan pertama dengan Bu Molek, peneliti menanyakan tentang kabarnya dan juga mengomentari penampilannya, yang sekarang kelihatan lebih cantik, wajahnya nampak lebih putih dari yang peneliti ketahui sebelumnya. Seraya menanyakan “Sekarang pakai bedak apa sih? kok lebih putih dan cantik ?”. “Oh, aku sekarang cuma pakai RDL aja”, jawabnya. Kemudian peneliti menanyakan lebih lanjut, “Bisa nggak kapan-kapan kita ngomong tentang kosmetik yang kakak pake”?. “Bisa aja, Tapi nantilah kalau udah pas jam istirahat, kami kumpul di posko”, jawabnya.

Pada hari yang lain, peneliti menjumpai Bu Molek di posko tempat mereka beristirahat. Yang peneliti maksud dengan posko, bukanlah pos komando seperti tempat pos polisi di pinggir jalan ataupun pos hansip. Posko tersebut hanya merupakan sebuah tempat mangkal di teras samping sebuah gereja yang letaknya berdekatan dengan kamar mandi gereja tersebut. Selain sebagai tempat beristirahat, mereka gunakan juga sebagai tempat untuk membersihkan diri setelah selesai bekerja, ganti pakaian, dan memperbaiki sapu ijuk yang mereka gunakan setiap harinya. Lingkungan halaman samping gereja terasa teduh karena adanya pohon-pohon besar yang tumbuh di sekeliling gereja tersebut. Sehingga memang pas digunakan sebagai


(50)

tempat berteduh, setelah lelah bekerja menyapu sampah di sepanjang jalan yang merupakan area yang menjadi kewajiban mereka.

Ternyata di posko tersebut berkumpul 6 (enam) orang pekerja perempuan penyapu jalan, yang semuanya peneliti jadikan informan. Peneliti menanyakan kepada mereka di mana lagi tempat yang biasa dijadikan posko kelompok lainnya, mereka menyebutkan beberapa tempat di antaranya di jalan Imam Bonjol dan di jalan Sudirman. Pada posko di jalan Imam Bonjol peneliti bertemu dengan 5 (lima) orang pekerja perempuan penyapu jalan yang lain, sedangkan pada posko di jalan Sudirman peneliti tidak berjumpa dengan seorang pun. Posko di jalan Imam Bonjol juga merupakan teras samping sebuah mess, yang di halamannya terdapat kamar mandi. Lain halnya dengan posko di jalan Sudirman yang merupakan sebuah rumah kosong yang tidak berpenghuni, mereka menggunakan bangunan bagian samping rumah tersebut, yang juga ada kamar mandinya. Demikianlah dari satu posko ke posko yang lain peneliti mencoba menemui para informan. Hal yang sama juga peneliti lakukan di kelurahan Amplas kecamatan Medan Amplas dan di Simpang Limun kecamatan Medan Johor.

Hasil wawancara dengan informan, peneliti mendapatkan alasan-alasan yang mendukung perilaku mereka dalam menggunakan kosmetik pemutih, mulai dari pengetahuan, pengalaman, sikap, sumber informasi, lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lain sebagainya yang memengaruhi mereka dalam memilih dan memakai kosmetik pemutih ataupun tidak memakai kosmetik pemutih.

Selain mewawancari pekerja perempuan penyapu jalan, peneliti juga mewawancarai mandor yang ditemukan di lapangan dan beberapa orang lainnya yang


(51)

mengenal mereka dengan baik di tempat istirahat (posko) mereka. Disamping itu peneliti juga mewawancarai beberapa orang petugas dari berbagai instansi seperti Dinas Kebersihan kota Medan, Balai Besar POM Medan dan Klinik Bestari. Dengan kata lain informan yang ada dalam tesis ini bukan hanya semata-mata pekerja perempuan penyapu jalan.

Hal ini peneliti lakukan, untuk melengkapi data dan jawaban dari berbagai pertanyaan yang terus berkembang dalam benak peneliti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik pemutih tersebut. Dengan demikian akan memperkuat informasi yang peneliti peroleh dari pekerja perempuan penyapu jalan sehingga kedalaman informasi dapat tercapai sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Dalam mengumpulkan data, peneliti memastikan bahwa catatan harian hasil wawancara dengan informan dan catatan observasi telah terhimpun.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer, yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi). Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan dengan mendatangi tempat istirahat dan tempat bekerjanya. Pengamatan dilakukan terhadap subjek penelitian yang berkaitan dengan tingkah laku dan tindakan perilaku kesehatannya dalam setting alamiah. Alat bantu yang digunakan peneliti adalah alat tulis, tape recorder dan kamera.

Pengumpulan data peneliti lakukan dengan cermat atas kegiatan-kegiatan yang berlangsung di tempat kerja dan di beberapa tempat posko pekerja perempuan


(52)

penyapu jalan pada saat mereka telah selesai melakukan pekerjaannya. Data-data yang peneliti kumpulkan melalui wawancara terhadap pekerja perempuan penyapu jalan merupakan bagian yang penting dalam mengkaji penelitian ini. Wawancara dengan penyapu jalan dilakukan dengan pendekatan selayaknya bercerita sebagai teman yaitu mengangkat awal pembicaraan yang sederhana sembari mereka merapikan sapu ijuk yang mereka gunakan untuk menyapu jalan, dan sambil menunggu jemputan mereka untuk kembali pulang dan biasanya waktu tersebut antara 30-45 menit.

Hasil wawancara atau percakapan mendalam serta hasil observasi, peneliti tulis langsung di tempat, tetapi ada juga percakapan yang peneliti tulis setelah berlalu beberapa saat atau sekian lama, hal ini terjadi misalnya melihat ketidaknyamanannya melihat alat-alat tulis yang peneliti gunakan, sehingga menimbulkan kekakuan dalam pembicaraan tersebut. Hal ini sangat rentan terhadap kemungkinan untuk terlupakannya beberapa data yang peneliti peroleh, oleh sebab itu kemampuan peneliti mengingat atas apa yang baru saja peneliti dengar dari para informan sangat dibutuhkan. Oleh karenanya peneliti melakukan pengambilan data kepada informan tidak hanya sekali kunjungan saja melainkan lebih dari 2 (dua) kali kunjungan dengan mempertajam setiap pencarian informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Dalam mengambil data, peneliti juga menggunakan alat bantu seperti

handphone yang memiliki recorder dengan alasan penggunaan handphone ini tidak

mengurangi kenyamanan informan dalam menyampaikan apa yang diketahui dan dirasakannya karena informan tidak merasa bahwa pembicaraan mereka direkam karena mereka tidak memiliki kecurigaan akan hal tersebut.


(53)

Hambatan-hambatan yang peneliti temukan pada penelitian ini adalah pada saat awal mencari tempat posko penyapu jalan tersebut. Hal ini menjadi sulit karena di beberapa tempat yang ditunjukkan, oleh seorang petugas pertamanan yang peneliti jumpai di taman kota di jalan Sudirman, peneliti tidak menjumpai seorang pun pekerja perempuan penyapu jalan. Mereka memiliki beberapa posko untuk tempat mereka beristirahat dan melakukan aktivitas lainnya. Setelah peneliti mendatangi beberapa tempat yang biasanya menjadi posko mereka, seperti di jalan Diponegoro, di jalan Sudirman dan di jalan Imam Bonjol dan tidak bertemu dengan seorang pun dari mereka, akhirnya peneliti menanyakan setiap orang yang berada di daerah posko tersebut. Ternyata para pekerja perempuan penyapu jalan tersebut biasanya sudah pulang jika sudah lewat jam 10.00 WIB pagi atau pun kalau lebih paling hanya 10-15 menit saja.

Akhirnya keesokan harinya, peneliti memutuskan untuk mencari para pekerja perempuan penyapu jalan pada posko mereka sebelum jam 10.00 WIB pagi dan akhirnya peneliti pun bertemu dengan mereka di posko di jalan Diponegoro. Ketika berada di tempat posko tersebut peneliti berbincang-bincang dengan mereka dan menemukan beberapa pekerja perempuan penyapu jalan ada yang memakai kosmetik pemutih dalam kesehari-hariannya. Berdasarkan keterangan mereka juga peneliti mengetahui beberapa tempat yang menjadi posko pekerja perempuan penyapu jalan lainnya. Dalam pengumpulan data di lapangan, peneliti juga melakukan pengamatan atas aktivitas yang dilakukan oleh penyapu jalan tersebut.

Ketika pertama kali peneliti melakukan wawancara di posko jalan Diponegoro, dengan Bu Molek, dia memberikan jawaban-jawaban yang diajukan


(54)

tanpa sungkan, tapi pada pertemuan berikutnya dia mulai bertanya ”Sebenarnya untuk apa sih bu Pupun ?”, peneliti menjawab ada tugas dari kampus mengenai kosmetik pemutih. Dia mungkin heran, peneliti kok masih bertanya terus. Tetapi kedekatan peneliti dengan informan tersebut, memudahkan peneliti untuk ”masuk sebagai peneliti” dalam lingkungan pekerja perempuan penyapu jalan tersebut.

Pengumpulan data dimulai dari jenis kosmetik yang digunakan, diperoleh dari mana, macam-macam jenis kosmetik, dan pendapat mereka tentang kecantikan. Dari perbincangan dengan salah seorang pekerja perempuan penyapu jalan yang merupakan informan dalam penelitian ini, Bu Molek menyatakan bahwa dia menggunakan kosmetik pemutih sebagai kosmetik yang dipakainya sehari-hari, sedangkan Jelita mengaku pernah menggunakan kosmetik pemutih dan sekarang tidak menggunakannya lagi. Berikutnya dari perbincangan secara berkelanjutan peneliti memperoleh informasi tentang bagaimana pertama kali mereka menggunakan kosmetik pemutih tersebut. Dalam hal ini Bu Molek bercerita kepada peneliti bahwa pertama kali dia tertarik menggunakan kosmetik pemutih tersebut karena dia melihat wajah temannya yang semakin hari semakin cantik.

Untuk mendapatkan data yang lebih dalam peneliti juga menanyakan tentang riwayat pekerjaan mereka dan kondisinya juga tentang keluarga mereka serta bagaimana pendapat rekan-rekan dan suami mereka (kalau ada) setelah mereka menggunakan kosmetik tersebut. Demikianlah cara peneliti mendapatkan informasi perilaku penggunaan kometik pemutih.


(55)

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data yang peneliti lakukan adalah dengan terlebih dahulu mencari sebab dekat yang mendasari perilaku pekerja perempuan dalam menggunakan kosmetik pemutih. Kemudian berkembang dengan mencari sebab akibat dengan hal-hal lain yang masih berhubungan dan tetap berada dalam konteksnya yaitu mengenai hal-hal yang masih berhubungan dengan kosmetik pemutih. Analisis seperti ini dinamakan dengan analisis progressive contextualization, yaitu suatu metode penelitian dalam ekologi manusia yang dikembangkan oleh seorang ahli antropologi Andrew P.Vadya (1983: 265).

”....these prosedures involve focusing on significant human activities or people-environment interactions and then explaining these interactions by placing them within progressively wider or denser contexis”. (prosedur ini melibatkan fokus pada

aktivitas-aktivitas manusia atau interaksi manusia dan lingkungannya dan menjelaskan interaksi ini dengan menempatkan mereka dalam konteks yang lebih luas dan lebih padat secara progressif).

Seperti yang diajarkan Vadya dalam Metodological rule bahwa untuk mencari tahu sebab musabab munculnya suatu tindakan tidak langsung menghubungkan tindakan itu dengan ’sebab jauh’nya, tetapi lebih dahulu mencari ’sebab dekat’nya, hingga terakhir mencapai ’sebab jauh’nya. Sebab-sebab yang dinamakan ’sebab jauh’ nya suatu kejadian, tidak mungkin terkait dengan kejadian kecuali kalau dikaitkan oleh sebab dan akibat yang countiguous (berdekatan) dengan kejadian tersebut. Oleh karena itu, idealnya analisa dan penjelasan pun berasal dari melakukan identifikasi rantai sebab akibat yang contiguous. Bagaimanapun, suatu penyelidikan mengenai sebab bermula dengan tindakan itu sendiri dan dengan memperhatikan prinsip


(56)

Contohnya ketika dalam benak peneliti muncul pertanyaan ’Mengapa kosmetik pemutih yang tidak terdaftar dan mengandung bahan berbahaya dapat digunakan pekerja perempuan penyapu jalan?’, maka peneliti mencoba menganalisa dari sebab dekatnya, yaitu karena kosmetik pemutih tersebut tersedia di pasaran yang dengan mudah mereka peroleh. Dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan, ”Dari mana mereka memperolehnya?, ”Bukankah ada Balai Besar POM Medan yang mengawasi peredaran kosmetik?”. ”Apakah kosmetik tersebut masuk secara ilegal?”, Bagaimana dengan Bea Cukai?, ternyata berdasarkan data dari Bea Cukai selama 7 (tujuh) bulan terakhir tidak ada pemasukan yang ilegal. Kalau begitu artinya kemungkinan kosmetik tersebut dapat juga berasal dari dalam negeri, mungkinkah ada pemalsuan kosmetik?. Demikianlah cara peneliti, mengumpulkan data sekaligus menganalisanya.

Selain hal tersebut di atas peneliti juga melakukan analisis data secara ”on going

analysis” yaitu analisis yang dilakukan ketika data dikumpulkan melalui wawancara,

baik terhadap informan maupun terhadap orang-orang yang berada di lingkungan informan tersebut, serta melalui hasil pengamatan dari waktu ke waktu selama berada di lapangan. Sehingga dapat diperoleh gambaran tuntas tentang perilaku pekerja perempuan penyapu jalan terhadap penggunaan kosmetik pemutih dan mengetahui makna serta proses dari perilaku tersebut.

Peneliti menyadari sebenarnya hubungan peneliti dengan informan masih bisa lebih dalam dan lebih akrab lagi, karena peneliti juga seorang perempuan seperti halnya para informan. Dengan relasi yang lebih dalam dan lebih akrab antara peneliti dan informan, sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dicapai lebih dalam lagi dari


(57)

penelitian ini. Sehingga dari penelitian ini akan terungkap lebih banyak lagi hal-hal yang berhubungan dengan perilaku penggunaan kosmetik pemutih, intrik-intrik ataupun persaingan yang terjadi sesama pekerja penyapu jalan, bagaimana siasat mereka dalam mengatur keuangan pada kondisi yang serba kekurangan dan juga keluh kesah mereka selama menjalani pekerjaannya. Tetapi karena adanya keterikatan waktu peneliti dengan pekerjaan membuat peneliti tidak terlalu leluasa dalam melakukan penelitian ini. Mudah-mudahan penelitian ini bisa peneliti lanjutkan pada kesempatan yang lain.


(58)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Hasil temuan yang peneliti dapatkan di lapangan, menggambarkan kota Medan sebagai lokasi penelitian memberikan kontribusi bagi pekerja perempuan penyapu jalan dalam menggunakan kosmetik pemutih. Begitu juga halnya dengan konsep kecantikan, karakteristik dan sumber informasi informan memberikan pengaruh terhadap perilaku penggunaan kosmetik pemutih.

4.1. Kota Medan dan Kosmetik Pemutih

Kota Medan, sebagai sebuah kota, menurut Daldjoeni (1978) dalam Menno (1992:35), dapat didekati dari dua aspek, yaitu aspek fisik (pengkotaan fisik) dan aspek mental (pengkotaan mental). Aspek fisik meliputi geografis, luas wilayah, iklim, kepadatan penduduk dan tataguna tanah yang non agraris. Sedangkan aspek mental berhubungan dengan orientasi nilai serta kebiasaan/gaya hidup masyarakat kota. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan aspek fisik kota Medan seperti geografis, iklim dan aspek mental kota Medan seperti gaya hidup masyarakatnya memberikan kontribusi bagi informan terhadap penggunaan kosmetik pemutih.

Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara, dilihat dari aspek fisik kota Medan, secara geografis, kota Medan terletak antara 20.27’-20.47’ Lintang Utara dan 980.35’-980.44’ Bujur Timur. Secara administratif, kota Medan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah selatan, sebelah barat dan sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang.


(59)

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar atau 265,10 Km2 atau sama dengan 3,6% dari total luas wilayah provinsi Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2007 mencapai 2.999.851 jiwa (Dinas Kebersihan Pemko Medan). Di samping itu sebagian wilayah kota Medan merupakan tanah non agraris yang diperuntukkan bagi perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan dan bandara. Dengan demikian kota Medan memiliki modal dasar pembangunan dengan jumlah penduduk dan letak geografis serta peranan regional yang relatif besar (Pemko Medan, 2006).

Bila dilihat dari segi perkembangannya, kota Medan seperti halnya kota Surabaya dan kota Ujung Pandang cenderung untuk menjadi sangat besar dan menjadi metropolitan (Menno, 1992:26). Sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di pulau Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan terbesar di Indonesia, kota Medan memiliki posisi dan kedudukan strategis sebagai pintu gerbang utama bagi kegiatan perdagangan barang dan jasa secara regional/internasional di kawasan barat Indonesia, termasuk juga di dalamnya perdagangan kosmetik.

Berdasarkan data dari Bea Cukai Belawan, selama periode Januari sampai dengan Juli 2009, diperoleh gambaran bahwa kosmetik yang masuk ke Kota Medan melalui Pelabuhan Belawan bernilai lebih kurang 6 (enam) milyar rupiah. Kosmetik yang masuk ke kota Medan melalui Pelabuhan Belawan tersebut merupakan sebagian dari kosmetik yang diperdagangkan di Kota Medan, selain yang berasal dari Jakarta dan daerah lainnya.

Kosmetik yang diperdagangkan di kota Medan ternyata tidak semuanya aman untuk digunakan. Hasil temuan Balai Besar POM Medan, kosmetik yang


(60)

mengandung bahan berbahaya serta tidak terdaftar masih banyak beredar di pasaran. Bahkan menurut Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan), kota Medan termasuk tiga daerah yang paling banyak peredaran kosmetik berbahaya selain Jakarta dan Bali. Hasil razia kosmetik berbahaya di beberapa Balai POM berujung dengan penemuan gudang-gudang yang menyimpan ribuan kosmetik yang tergolong wajib dimusnahkan oleh Badan POM (http://www.kompas.com/read/xml). Di Medan, Balai Besar POM telah menyegel tiga gudang kosmetik, dua diantaranya berada di Pasar Sambas dan satu gudang berlokasi di jalan Rahmadsyah, kelurahan Kotamatsum

(http://waspada.co.id/).

Nilai produk kosmetik yang tidak terdaftar dan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang berhasil di razia oleh Balai POM Medan cukup fantastis, pada tanggal 28 April 2009 dilakukan pemusnahan kosmetik ilegal senilai 2 milyar rupiah dan pada tanggal 1 Juli 2009 berhasil disita ribuan kosmetik bermasalah senilai 1 (satu) milyar rupiah (Waspada,3 Juli 2009). Angka–angka ini menunjukkan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dan yang tidak terdaftar di kota Medan cukup marak. Maraknya peredaran kosmetik berbahaya tersebut, kemungkinan juga menunjukkan bahwa peminatnya pun cukup banyak. Menurut petugas pemeriksaan Balai Besar POM Medan, salah satu yang menjadi alasan bagi pedagang di pasaran tetap menjual kosmetik yang dilarang, karena kosmetik tersebut banyak dicari oleh pembeli, termasuk di dalamnya pekerja perempuan penyapu jalan, seperti Jelita, Jum, Bu Molek dan Bu Sun.

Kosmetik pemutih dengan merek “Natural 99” yang digunakan oleh Jelita dan Jum, ternyata berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara


(61)

termasuk produk yang ilegal yaitu tidak terdaftar dan positif mengandung bahan berbahaya (merkuri). “Natural 99” tersebut merupakan kosmetik pemutih buatan Cina. Demikian Juga kosmetik pemutih yang dipakai oleh Bu Sun dan Bu Molek bermerek “RDL” ternyata juga tidak terdaftar, buatan Taiwan dan mengandung hidroquinon dan asam retinoat.

Selain dua merek kosmetik pemutih di atas, masih banyak lagi kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya yang kemungkinan beredar di kota Medan. Tabel berikut ini memuat tentang kosmetik yang mengandung bahan berbahaya yang diinformasikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 4.1. Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya No. Nama Kosmetik Nama & Alamat

Produsen/Importir

Positif Mengandung 1. Bang Gan Jian Qu Ban

Shuang No.1&No.2 Cream

Shenzhen Jiachuntang Cosmetics Co.LTD Bldg

C Shawaei Industrial Zone Futian District

Shenzhen

Hg (merkuri)

2. Cameo makes You Beauty 3 in 1 complete Make-Up Cream

Korea Hg (merkuri)

3. Chin Chun Su Facial Cream

Shun Yih Chemistry Taiwan

Hg (merkuri) 4. Caike Anti Acarus Pearl

Whitening Set-A

- Hg (merkuri)

5. Lien Hua krim pagi siang Cream merah

- Hg (merkuri)

6. Ling Zhi Vitamin E Putih; Jingga

- Hg (merkuri)

7. Mei Yang Tang Cream - Hg (merkuri)

8. Natural 99 Krim malam putih

- Hg (merkuri)

9. Natural 99 Vitamin E (Putih), Jingga


(62)

10. Puie Beauty Gene Whitening Clearing Facial Spots Cream

- Hg (merkuri)

11. QL Jing Ban Su Super Day Cream & Night Cream

Qian Li Cosmetic Institute

Hg (merkuri) 12. QL Super 7 Day Whiten

& Freckle Dispel Day Cream & Night Cream

Qian Li Cosmetic Institute

Hg (merkuri)

13. Rou Yi Xue Fu A&B - Hg (merkuri)

14. SJM & SJS Special Whitening Cream

- Hg (merkuri)

15. Shee Na Whitening Cream

Atlei Cosmetic Chen Chiao Co.Ltd Kaohsiung

City Taiwan

Hg (merkuri) 16. Xian Li Cream

Putih&(kuning)

- Hg (merkuri)

17. Yoko Whitening Cream/Whitening Cream Yoko

Siam Yokom Co.LTD Made in Thailand

Hg (merkuri) 18. Maxi-peel Solution

Exfoliant

Splash Corporation, F-Lazaro St canumay

Valenzeula City

Kadar hidroquinon 4,94% 19. RDL Hydroquinon

Tretinoin Baby Face Solution 3

RDL Pharceutical Laboratory INC Davao

City Philippines

Hidroquinon 4% & Retinoic Acid/Tertinoin 20. Maxi-peel Papaya

whitening Soap

Splash Corporation, F-Lazaro St canumay

Valenzeula City

Retinoic Acid/Tertinoin

21. Cameo Lipstick No. 4 Taiwan Merah K.10

22. Heng Pang Lip Glos No.3

- Merah K.10

23. Meixue Lipstik Zhejiang Yiwu Meixue Cos

Merah K.10 24. SanKe Zhen Green Tea

Toothpaste

Aksara Cina Diethylene Glikol (DEG) 25. MAXAM Toothpaste

with Fluoride Spearmint (Biru)

Shanghai White Cat Shareholding Co Ltd 1829 Jin Sha Jiang RD

Shanghai Cina

Diethylene Glikol (DEG) 26. MAXAM Toothpaste

with Fluoride

Wintergreen mint (Hijau)

Shanghai White Cat Shareholding Co Ltd 1829 Jin Sha Jiang RD

Diethylene Glikol (DEG)


(1)

Untuk perlu dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kesehatan pekerja perempuan penyapu jalan dan disarankan kepada;

1. Pekerja perempuan penyapu jalan agar jangan menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya. Karena sesungguhnya menggunakan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya sama dengan membeli penyakit. 2. Pihak-pihak yang peduli terhadap kesehatan masyarakat ‘kecil’ misalnya Lembaga

Swadaya Masyarakat untuk melakukan promosi kesehatan di lingkungan pekerja perempuan penyapu jalan dalam meningkatkan pemahaman mereka mengenai kosmetik, yang meliputi jenis-jenis kosmetik yang aman digunakan, tujuan penggunaan kosmetik, kosmetik dan efek samping yang dapat ditimbulkan oleh kosmetik. Promosi kesehatan yang dapat dilakukan adalah Model perubahan perilaku berdasarkan teori Health Belief Model, yaitu meyakinkan pekerja perempuan penyapu jalan akan adanya ancaman penyakit dari kosmetik pemutih yang mereka gunakan, serta menganjurkan menggunakan kosmetik alternatif yang tidak mengandung bahan berbahaya.

3. Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara agar mencegah masuknya kosmetik yang mengandung bahan berbahaya dari berbagai jalur perdagangan serta lebih gencar melakukan pengawasan dan razia terhadap peredaran kosmetik tersebut di pusat-pusat perdagangan kota Medan. Untuk itu perlu dilakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait, seperti Bea Cukai, Balai Besar POM Medan dan Kepolisian.


(2)

4. Dinas Kesehatan Kota Medan agar melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai jenis- jenis kosmetik yang mengandung bahan berbahaya.

5. Dinas Kebersihan Kota Medan agar melakukan sosialisasi kepada pekerja perempuan penyapu jalan akan adanya Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) bagi pekerja di lingkungan Pemerintah Kota Medan, karena ternyata pekerja perempuan yang menjadi informan dalam penelitian ini belum mengetahui hal tersebut dan tidak memiliki kartu Jamkesda.

6. Masyarakat umumnya dan khususnya bagi perempuan, perlu adanya penyadaran bahwa cantik itu tidak selalu identik dengan putih. Karena sesungguhnya di masyarakat pun masih diakui adanya konsep cantik yang lain seperti Cantik itu Sehat-Sehat itu Cantik, Inner Beauty dan Si Hitam Manis.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Tarawang: Yogyakarta.

______________. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Apotek dagdigdug (14/07/2008). Menangkal Peredaran Obat Palsu, dalam http://apotek.dagdigdug.com/

Badan POM RI. 2006. Kosmetik Pemutih (Whitening), Naturakos, Vol.1 No.1. Edisi

Mei 2006. Jakarta.

_____________. 2008. Bahan Tambahan Kosmetik, Naturakos, Vol.III/No.9. Edisi

Nopember 2008. Jakarta.

Baron, Robert A, Byren, Donn. 2003. Psikologi Sosial, Jilid I. Erlangga. Jakarta. Bradford, Linda. 2004. Iner Beauty: Menemukan Serta Memelihara Daya Tarik untuk

sukses Karir dan Pergaulan. Penerbit Cakrawala.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana. Jakarta.

Goenawan, Felicia. 2007. Ekonomi Politik Iklan di Indonesia terhadap Konsep

Kecantikan. Jurnal Ilmiah Scriptura: Surabaya.

Green, Lawrence W.,Kreuter, Marshall W. 1991. Health Promotion Planning and

Educational Enviroment Approach. Second Edition. Mayfield Publish

Company.

Indarti.,Setiawan, Margono.,A.S, Thantawi. 2002. Analisis Faktor-faktor yang

Dipertimbangkan Konsumen dalam Keputusan Pembelian Produk Kosmetik Pemutih Wajah. Malang.

Koentjarinigrat,dkk, 2003. Kamus Istilah Antropologi hal. 126, Proggres. Jakarta. Kompas (26/11/2008). Kosmetik Berbahaya Jumlahnya Jutaan, terdapat dalam

http://www.kompas.com/read/xml, diakses tanggal 4 Juli 2009.

Linda Elida, 1990. Suatu Analisa Deskriptif beberapa factor yang menyebabkan

bekerjanya sekelompok suku jawa daari Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa sebagai keryawan di PD.Kebersihan Kota Madya Daerah TK II Medan. Komputer di Kota Madya Medan.

Manurung, Butet Benny. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tindakan

Pemakaian Kosmetik Krim Pemutih Mengandung Merkuri (Hg) Pada Pusat Kebugaran dan Kecantikan X di Kota Medan.

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang

Relasi Gender. Penerbit Mizan : Bandung.

Menno, S. Mustamin.1992. Antropologi Perkotaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Moleong, Ley J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosakarya. Bandung.

Munfarida, Alya. 2007. Genealogi Kecantikan. Ibda, Vol.5 No.2. Edisi Jul-Des 2007. Purwokerto.


(4)

Nasiruddin, 2008. Kadung Peke Botox, Konstruksi Sosial tentang Kecantikan. http://nasiruddin.edublogs.org/2008/03/31/kadung-pake-botox-konstruksi-sosial-tentang-kecantikan/.

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta: Jakarta.

______________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta.

Noviana,Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Paul.B.Horton, Chestes L.Hunt, 1992. Sosiologi Edisi Ke-6 Hal.187, Erlangga 1992. Poloma, Margaret, M. 1987. Sosiologi Kontemporer. CV. Rajawali: Jakarta.

Purnamasari, Dewi Alessandra, 2008. Hasrat Tubuh, Kosmetik, Kecantikan:

Perempuan Sebagai Kosmon dan Konsumen Citraan.

http://dewialessandrapurnamasari.blogsome.com/2008/08/23/hasrat-tubuh-kosmetik-kecantikan-perempuan-sebagai-kosmos-dan-konsumen-citraan/. Rieger, M.M. 2000. Harry’s Cosmeticologi. Eihgt Edition. Chemical Publishing

Co.Inc.New York:p.359-360,394,523.

Rogers, Everett. M. 1983. Diffusion of Innovations: Third Edition. The Free Press: London.

Tranggono, Retno Iswari., Latifah, Fatma. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan

Kosmetik. Gramedian Pustaka Utama, Jakarta.

Sarwono, Solita. 2004. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Gadja Mada University Press : Yogyakarta.

Scot et al. 1985. The Prentice hall Text book Of Cosmetology. Prentice hall Inc.englewood Cliff’s, New Jersey:p. 194.

Utomo, Franditya. 2007. Menyimak Pesan Kecantikan pada Tubuh Perempuan. http://haideakiri.wordpress.com/2007/11/26/menyimak-pesan-kecantikan-pada tubuh-perempuan/.

Vayda, A.P, 1983. Progressive Contextualization: Methods for Research In Human

Ecology. Page: 265-266.

Yani, Mona Siska. 2008. Hubungan Faktor-faktor Risiko Terhadap Kejadian

Melasma pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan di Kota Medan Tahun 2008.

Medan.

Zuska, Fikarwin. 2008. Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari


(5)

(6)