Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam suatu perkawinan, hal yang paling dinantikan adalah kehadiran seorang anak, khususnya anak laki-laki karena bagi orang Batak anak laki-laki akan mewarisi marga, hak tanah, milik, nama dan jabatan hal ini disebabkan karena suku Batak Toba menganut sistem kekerabatan secara patrilineal. Anakkhon hi do hamora di ahu adalah ungkapan suku bangsa Batak Toba untuk menyatakan bahwa anak adalah harta yang tertinggi baginya. Anak dalam keluarga adalah kebahagiaan, perkawinan salah satu tujuannya adalah mendapat keturunan terutama adalah anak laki-laki sebab anak laki-laki merupakan pewaris marga, harta, dan penerus budaya Dalihan na tolu, jadi, apabila dalam suatu keluarga tidak ada anak laki-laki maka itu merupakan aib yang dapat mengancam punahnya silsilah keluarga tersebut karena marga tidak akan diturunkan lagi www.wikipedia.co.aunilai_budaya?_batak-toba diakses pada 11-Agustus-2009 Nilai anak dalam prinsip hidup suku bangsa Batak Toba meliputi hagabeon, hamoraon, hasangapon. Kehidupan menjadi sempurna bila ketiganya telah tercapai. Hagabeon adalah keturunan yang banyak laki-laki dan perempuan. Anak yang banyak akan membentuk keturunan yang besar yang merupakan kekuatan di hari depan. Bukan hanya dari jumlah anak yang banyak tetapi mutu sang anak juga diperhatikan pada masyarakat suku Batak Toba. Orang tua menginginkan anak-anak yang lahir itu rajin bekerja dan bijaksana, menjadi panutanteladan bagi masyarakat. Itulah sebabnya orang tua menyekolahkan anak-anaknya sampai setinggi-tingginya. Segala upaya dilakukan untuk dapat Universitas Sumatera Utara membiayai pendidikan anak. Dengan pendidikan yang baik si anak akan mendapat pekerjaan atau kedudukan yang baik sekaligus membawa nama baik keluarga. Anak menunjukkan hamoraon merupakan kekayaaan utama bagi suku bangsa Batak Toba. Bila keluarga memiliki anak banyak terutama anak laki-laki disebut mora. Hamoraon tidak dilihat dari segi material. Keluarga yang kaya materi tetapi tidak ada anak laki-laki tidak disebut mora, keluarga sederhana dan memiliki anak laki-laki akan disebut mora. Anak menunjukkan hasangapon kemuliaan, seorang yang sangap dimuliakan adalah orang yang memiliki prestise yang tinggi, antara lain memahami adat, menerapkan adat dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat akan tetapi orang tersebut harus memiliki anak laki-laki, bila tidak memiliki anak laki-laki maka tidak disebut sangap. Jadi pada diri anaklah Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon itu. Masyarakat Batak Toba menganut sistem keturunan adalah patrilineal yaitu menurut garis keturunan laki-laki ayah. Garis laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi musnah atau hilang kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkannya. Sistem keturunan patrilineal menjadi tulang punggung masyarakat Batak dalam melanjutkan keturunan, marga, kelompok suku, yang semuanya saling berhubungan menurut garis laki-laki. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga karena merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Marga adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang leluhur yang diperhitungkan malalui garis keturunan pria atau wanita. Berbicara tentang marga, marga hanya bisa diturunkan oleh seorang laki-laki kepada keturunannya baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak yang lahir akan meneruskan marga dari ayahnya dan bukan dari marga ibunya seperti pada adat Universitas Sumatera Utara Minangkabau. Salah satu alasan itulah mengapa hanya anak laki-laki yang berhak atas harta warisan. Anak laki-laki penyambung garis silsilah si pewaris, sedangkan anak perempuan ketika menikah ia akan bergabung dengan keluarga suami, melahirkan anak-anak yang akan meneruskan marga suami. Dalam masyarakat Batak Toba, suatu perkawinan akan mengalami atau memunculkan permasalahan apabila dalam perkawinan tersebut tidak lahir seorang anak pun atau adanya kegagalan dalam mendapatkan anak laki-laki. Bagi kehidupan keluarga Batak, keturunan itu sangat penting terutama dalam menurunkan marganya. Dahulu, jika dalam sebuah perkawinan tidak melahirkan keturunan atau tidak juga mendapatkan anak laki-laki, maka si suami akan melakukan poligami yaitu suatu perkawinan yang memperbolehkan masing-masing jenis baik pria maupun wanita mempunyai lebih dari seorang istri atau suami berdasarkan adat. Saat ini bentuk perkawinan ini jarang dilakukan, walaupun satu keluarga itu tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai anak perempuan saja. Perangin angin 2004 mengemukakan bahwa salah satu alasannya adalah karena rasa saling mencintai dan menerima keadaan dengan pasrah serta pengaruh agama kristiani yang dianut masyarakat Batak Toba melarang keras untuk berpoligami. Agama Kristiani masuk ke wilayah Nusantara dibawa oleh Misionaris Belanda khususnya aliran Protestan. Protestan lahir dari suatu gerakan yang menegakkan ajaran yang di duga sudah mulai melenceng. Tokoh reformator gereja seperti Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingly yang kesemuanya dari Eropa. Aliran Kristen Protestan sangat menekankan ajaran agama menurut kitab suci, namun disamping itu juga sangat menekankan aspek kesejahteraan bagi jemaatnya. Etika Protestan yang menggali Alkitab menyimpulkan bahwa ajakan-ajakannya, telah mendorong Universitas Sumatera Utara jemaatnya menjadi lebih maju salah satunya meninggalkan kebiasaan perkawinan poligami. Sekarang ini ada pilihan bagi pasangan-pasangan suami istri yang sama sekali tidak mempunyai keturunan atau tidak mempunyai anak laki-laki salah satunya adalah mengambil anak angkat mengadopsi anak. Pengangkatan anak sering diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoptions dalam bahasa Inggris adoptions artinya pengangkatan atau pemungutan, jadi Pengangkatan anak disebut adoptions of a child, yaitu mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri. Ter Haar menyatakan ada beberapa alasan dalam pengangkatan anak di beberapa daerah, antara lain : 1 Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga yang bersangkutan akan punah Fear of extinction of afamily; 2 Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat kuatir akan hilang garis keturunannya Fear of diving childless and so suffering the axtinction of the line of descent. Dari motivasi di atas terkandung asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan. Di daerah Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Maluku, Kepulauan Timor dan Bali yang menganut garis patrilineal, pengangkatan anak pada prinsipnya hanya pengangkatan anak laki-laki dengan tujuan utamanya adalah untuk meneruskan keturunan. Pengangkatan anak secara hukum adat yang dilakukan di beberapa daerah seperti pada masyarakat Batak Karo yang menganut sistem patrilineal yaitu, setelah anak itu diangkat menjadi anak oleh orang tua angkatnya, maka hubungan Universitas Sumatera Utara kekeluargaan dengan ayah kandungnya menjadi terputus sama sekali dan anak tersebut menjadi masuk kedalam Clan ayah angkatnya. Di daerah Jawa Barat, di samping mewaris harta gono gini kaya reujeung dari orang tua kandungnya sendiri. Dalam hukum perdata hal tersebut dikenal dengan sebutan anak angkat menerima air dari dua sumber. Di Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian kekeluargaan dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berstatus seperti anak kandung, untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. Di daerah Rejang Bengkulu anak angkat mempunyai kedudukan sebagai anak kandung dari orang tua angkatnya dan merupakan ahli waris mereka sepenuhnya Masalah- masalah Hukum Perdata Adat, 1981 Permasalahan yang menarik dalam hal ini adalah bagaimana kedudukan anak angkat tersebut dalam pembagian harta warisan yang dimiliki oleh orang tua angkatnya, khususnya pada masyarakat yang menganut sistem keturunan patrilineal. Sistem keturunan patrilineal dianut oleh masyarakat Batak Toba yang menarik sistem pewarisan dari pihak laki-laki. Di daerah Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Pada masyarakat Batak Toba, apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka ia dapat mengangkat seorang anak laki-laki yang disebut dengan anak naniain dengan syarat anak laki-laki yang diangkat haruslah berasal dari lingkungan keluarga atau kerabat dekat orang yang mengangkat. Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus terang yaitu dilakukan di hadapan dalihan na tolu dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di desa sekeliling tempat tinggal orang yang mengangkat anak. Apabila syarat-syarat Universitas Sumatera Utara pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah terpenuhi, maka anak tersebut akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya. Sementara itu, ketentuan pokok dalam hukum warisan Batak Toba adalah bahwa anak laki-laki merupakan pewaris harta peninggalan bapaknya. Janda dengan, atau tanpa, anak laki-laki tidak dapat mewarisi. Anak laki-laki dari ibu yang berlainan dalam suatu perkawinan bigami merupakan kelompok tersendiri, sebagaimana dengan anak laki-laki dari bapak yang berlainan tetapi dari ibu yang sama, seperti yang terdapat dalam perkawinan ganti tikar. Anak sulung sihahaan, yang menggantikan bapak, dan anak bungsu siampudan atau sianggian yang mengurus orang tua di usia senja, menempati kedudukan khusus dalam hukum waris dibandingkan dengan anak- anak yang di tengah silitonga Vergoewen:1986. Demikian juga halnya dengan anak angkat. Ia juga berhak atas warisan sebagai anak bukan orang asing. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak atau adopsi telah menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan menjadikannya sebagai anak maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orangtua yang mengangkat anak, anak tersebut tetap asing dan tidak mendapatkan apa-apa dari harta benda orang tua angkatnya. Mengangkat anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan Ter Haar :247. Anak angkat mendapat warisan dari orang yang mengangkatnya dan akan menjadi ahli waris. Dalam hal pengangkatan anak, apabila anak yang diangkat laki- laki maka anak tersebut harus merujuk pada marga orang tua yang mengangkatnya. Sehingga sistem keturunan akan tetap dapat dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan hukum Universitas Sumatera Utara adat yang berlangsung pada kehidupan masyarakat Batak Toba yaitu Sistem Dalihan na tolu yang terdiri dari tiga buah batu, ketiga hubungan itu adalah: 1. Dongan sabutuha teman semarga 2. Hula-Hula keluarga dari pihak istri 3. Boru keluarga dari pihak laki-laki Posisi kekerabatan sebagai dongan sabutuha, sebagai boru dan sebagai hula- hula tidak statis, tetapi bergerak terus, adakalanya sebagai hula-hula tetapi di kala lain dia menjadi boru, bergantung pada acara adat apa yang sedang di gelar. Sistem dalihan na tolu tersebut merupakan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat suku Batak Toba seperti halnya dengan pengangkatan anak tersebut. Berbeda halnya dengan anak laki-laki dari seorang perempuan yang berada dalam suatu ikatan perkawinan yang tidak resmi tidak akan mendapat warisan. Jika orang yang meninggal tidak memiliki keturunan, dan juga tidak memiliki bapak ataupun kakek maka harta warisan berpindah ke sanak koletoral panean. Pihak yang terpenting di antara mereka adalah saudara kandung orang yang meninggal, seandainya tidak ada maka menyusul paman dan sepupu dari kakek yang sama dan begitu seterusnya. Jika orang yang meninggal tidak lagi memiliki isteri ataupun anak perempuan maka panean dapat mengambil seluruh harta peninggalan. Namun jika orang yang meninggal memiliki isteri dan anak peempuan maka panean harus merelakan sebagaian dari harta warisan itu untuk diberikan kepada mereka, selain itu panean juga harus menyerahkan apa yang menjadi hak anak-anak perempuan itu, baik saat itu juga maupun dikemudian hari. Vergoewen, 1986 : 337-338. Masyarakat Batak Toba yang terdapat di daerah Desa Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Di daerah tersebut terdapat beberapa pasang keluarga yang mempunyai anak angkat. Mereka mengangkat anak Universitas Sumatera Utara mengadopsi anak dengan berbagai alasan. Ada yang mengangkat anak laki-laki karena semua anak kandungnya perempuan, ada yang memang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak dan ada juga yang mengangkat anak kerabatnya, berdasarkan hal-hal tersebut maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian bagaimana sebenarnya realitas posisi anak angkat tersebut dalam sistem pewarisan adat Batak Toba dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan anak angkat tersebut dalam hak dan kewajiban sebagai bagian masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Bagan Batu Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

1.2 Perumusan Masalah.