2.6.3.1 Pengendalian pada sumber bunyi Noise Source
Menurut Heru Subaris dan  Haryono 2007, pengendalian kebisingan  pada  sumber  bunyi  dapat  dilakukan  dengan  cara
berikut ini : a.  Meredam bising atau getaran yang ada.
b.  Mengurangi luas permukaan yang bergetar. c.  Mengatur kembali tempat sumber
d.  Mengatur waktu operasi mesin. e.  Pengecilan atau pengurangan volume.
f.  Pembatasan lalu lintas dan lainnya. Sedangkan  menurut  Chandra  2006,  pengendalian  pada
sumber kebisingan dapat juga dilakukan dengan cara : a.  Melakukan modifikasi mesin atau bangunan.
b.  Mengganti mesin dan menyusun perencanaan bangunan baru. c.  Bagian-bagian bergerak dari seluruh mesin, perlengkapan
dan peralatan senantiasa diberikan minyak pelumas.
2.6.3.2 Pengendalian pada jalanya transmisi Sound Path
Pengendalian  kebisingan  pada  jalannya  transmisi  Sound Path menurut Heru Subaris dan Haryono 2007 dapat dilakukan
dengan cara :
a.  Memperbesar  jarak  sumber  bising  dengan  pekerjaan  atau pemukiman.
b.  Memasang peredam suara pada dinding dan langit-langit. c.  Membuat  ruang  kontrol  agar  dapat  dipergunakan  mengontrol
pekerjaan dari ruang terpisah. d.  Bila  sumber  bising  adalah  lalu  lintas,  bisa  dialkukan
pembatasan jalan dengan rumah atau gedung atau rumah sakit dan  lain-lain.  Dengan  penanaman  pohon,  pembuatan
gundukan  tanah,  pembuatan  tembok  atau  pagar,  pembuatan jalur hijau, daerah penyangga dan lainnya.
2.6.3.3 Pengendalian Pada Penerima Suara Receiver
Pengendalian kebisingan pada penerima suara Receiver menurut Heru Subaris dan Haryono 2007 dapat dilakukan
dengan cara : a.  Memberi  alat  pelindung  diri  seperti  ear  plug,  ear  muff  dan
helmet. b.  Memberikan
latihan dan
pendidikan kesehatan
dan keselamatan  kerja,  khususnya  tentang  kebisingan  dan
pengaruhnya. c.  Tindakan  pengamanan  juga  dapat  dilakukan  dengan  cara
memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.
2.6.4 Pengendalian Administratif Administratif Control
Pengendalian administratif merupakan suatu pengendalian bahaya dengan  cara  melakukan  modifikasi  pada  interaksi  pekerja  dengan
lingkungan kerja. Penerapan pengendalian administrstif merupakan upaya yang  berdasarkan  prilaku  manusia,  yakni  upaya  mengurangi  pemaparan
bahaya yang didukung perilaku untuk bekerja selamat dan sehat. Pengendalian  dengan  cara  ini  dapat  dilakukan  dengan  beberapa
cara, antara lain : a.  Pengaturan waktu kerja yaitu dengan di buat sistem shift.
b.  Pengurangan waktu bekerja di tempat bising. c.  Pemeriksaan kesehatan pekerja.
d.  Monitoring area pekerja atau pekerja. e.  Memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja,
khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya. f.  Memasang tanda-tanda atau peringatan keselamatan Safety Sign.
g.  Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.
2.6.5 Alat Pelindung Telinga APT
Bekerja  sebagai  penghalang  bising  pada  telinga.  Alat  pelindung telinga  ini  umumnya  dibagi  menjadi  dua  jenis  yaitu  sumbat  teling  ear
plug dan tutup telinga ear muff.
Setiap  alat  pelindung  telinga  memiliki  kemampuan  tingkat meredam kebisingan  yang berbeda, tergantung dari  jenis dan kebutuhan.
Dengan adanya perbedaan kemampuan meredam kebisingan tersebut ada perhitungan  yang  dilakukan  untuk  mengetahui  kemampuan  tingkat
meredam  kebisingan  suatu  alat  pelindung  telinga  dapat  digunakan perhitungan sebagai berikut :
dB A’  =  dB A - NRR-7 Keterangan :
dB A’ : standar kebisingan
dB A : tingkat kebisingan di area kerja
NRR                : kemampuan mereduksi kebisingan dari suatu ear protector
2.6.5.1 Sumbat Telinga ear plug Menurut Beranek, LL, 1992
Ukuran,  bentuk  dan  posisi  saluran  telinga  untuk  tiap-tiap individu berbeda, bahkan antara kedua telinga dari individu yang
sama berlainan pula. Oleh karena itu, sumbat telinga harus dipilih sesuai bentuk, ukuran dan posisi saluran teling pemakainya.
Diameter saluran telinga berkisar antara 3 – 14 mm, tetapi
paling besar antara 5 – 11 mm. Umumnya bentuk saluran telinga
adalah  lonjong,  tetapi  beberapa  diantaranya  berbentuk  bulat.
Saluran  manusia  umumnya  tidak  lurus,  walaupun  sebagian  kecil dapat  diketemukan  berbentuk  lurus.  Penyebaran  ukuran  saluran
telinga  laki-laki  dalam  hubungannya  dengan  ukuran-ukuran  alat sumbat  telinga  ear  plug  kurang  lebih  sebagai  berikut  :  5
sangat kecil, 15  kecil, 30  sedang, 30  besar, 15  sangat besar  dari  sumbat  telinga  yang  disuplai  oleh  pabrik-pabrik
pembuatnya. Sumbat  telinga  dapat  dibuat  dari  kapas,  malam  wax,
plastik  karet  alami  dan  sintetik.  Menurut  cara  pemakaiannya, dibedakan  jenis  sumbat  telinga  yang  hanya  menyumbat  lubang
masuk  telinga  luar  semi  insert  type  dan  yang  menutupi  seluruh telinga luar insert type.
Menurut cara
penggunaanya, dibedakan
menjadi “disposible ear plug” yaitu sumbat telinga yang digunakan sekali
pakai saja kemudian dibuang, misalnya sumbat telinga dari kapas dan  malam.  Dan  “non-disposible  ear  plug”  yaitu  sumbat  telinga
yang  di  gunakan  untuk  waktu  yang  lama  yang  dibuat  dari  karet atau plastik yang dicetak.
Keuntungan dan kerugian sumbat telinga ear plug adalah sebagai berikut :
1.  Keuntungan a.  Mudah dibawa karena ukuranya yang kecil.
b.  Relatif lebih nyaman dipakai ditempat kerja yang panas. c.  Tidak mebatasi gerakan kepala
d.  Harga relatif murah dari pada tutup telinga ear muff. e.  Dapat  dipakai  dengan  efektif  tanpa  dipengaruhi  oleh
pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut.
2.  Kerugian a.  Memerlukan  waktu  yang  lebih  lama  dari  tutup  telinga  untuk
pemasangan yang tepat. b.  Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga.
c.  Sulit  untuk  memonitor  tenaga  kerja  apakah  ia  memakai  atau tidak. Oleh karena pemakaiannya sulit dilihat oleh pengawas.
d.  Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga yang sehat. e.  Bila  tangan  yang  digunakan  untuk  memasang  sumbat  telinga
kotor, maka saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena iritasi.
2.6.5.2 Tutup Telinga ear muff Menurut Beranek, LL, 1992
Tutup telinga ear muff terdiri dari dua buah tudung untuk tutup telinga, dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk
menyerap  suar  berfrekuensi  tinggi.  Pada  pemakaian  yang  lama, sering  ditemukan  efektifitas  telinga  menurun  yang  disebabkan
karena  bantalannya  mengeras  dan  mengerut  akibat  reaksi  bahan
bantalan dengan minyak kulit dan keringat. Reaksi ini juga dapat terjadi  pada  sumbat  telinga,  sehingga  pada  pemilihan  sumbat
telinga disarankan agar memilih jenis yang berukuran agak besar. Keuntungan  dan  kerugian  tutup  telinga  ear  muff  adalah
sebagai berikut: 1.  Keuntungan
a.  Atenuasi  suara  oleh  ear  muff  umumnya  lebih  besar  dari  ear plug.
b.  Satu  ukuran  ear  muff  dapat  digunakan  oleh  beberapa  orang dengan ukuran telinga yang berbeda.
c.  Mudah dimonitor pemakainnya oleh pengawas. d.  Dapat dipakai pada telinga yang terkena infeksi ringan.
e.  Tidak mudah hilang terselip.
2.  Kerugian a.  Tidak nyaman dipakai di tempat kerja yang panas
b.  Efektifitas  dan  kenyaman  pemakanya  dipengaruhi  pemakaian kacamata,  tutup  kepala,  anting-anting  dan  rambut  yang
menutupi telinga. c.  Relatif tidak mudah dibawa atau disimpan.
d.  Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja  yang agak sempit.
e.  Harganya relatif lebih mahal dari ear plug.
f.  Pada  penggunaanya  yang  terlalu  sering  atau  bila  pita penghubungnya  yang  berpegas  sering  ditekuk  pemakainya,
daya atenuasinya akan berkurang. Seorang  yang  pendengarannya  normal  bila  berada
ditempat kerja yang bising intensitas kebisingan 85 dB – 105
dB,  kebisingan  kontinu  dikatakan  baginya  untuk  mengerti pembicaraan  orang  lain  bila  ia  memakai  Alat  Pelindung
Telinga.  Tetapi  bila  orang  tersebut  telah  kehilangan pendengarannya pada suara  frekuensi tinggi, atau bila tingkat
kebisingan  tempat  kerja  kurang  dari  80  dB,  maka  pemakaian Alat  Pelindung  Telinga  ditempat  kerja  dengan  kebisingan
yang  terputus-putus  yang  intensitasnya  85  dB –  105  dB
komunikasi  dikatakan  lebih  mudah  pada  saat  suara  mengeras dan  komunikasi  menjadi  terganggu  pada  saat  suara  melemah
A. Siswanto, 1983.
2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran
Menurut Rangga Adi Leksono 2009 dalam poernomo 1996, banyak hal yang  mempermudah  seseorang  menjadi  tuli  akibat  terpajan  bising,  antara  lain  :
Intensitas  kebisingan,  frekuensi  kebisingan,  jenis  kebisingan,  lamanya  pajanan perhari,  masa  kerja,  usia  pekerja  dan  kerentanan  individu  individual
susceptibility.  Kemudian  Buchari  2007  mengemukakan  bahwa  faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja occupational hearing loss antara
lain intensitas kebisingan, penyakit telinga sebelum bekerja, frekuensi kebisingan, usia pekerja, masa kerja, jarak dari sumber suara dan gaya hidup diluar pekerjaan.
Kemudian  Basharudin  dan  Soetirto  2007  menambahkan  bahwa  banyak hal  yang  mempengaruhi gangguan pendengaran akibat bising antara lain  intenitas
kebisingan, frekuensi kebisingan, lama paparan dan  penggunaan obat ototoksik.
2.7.1 Dosis Kebisingan
Semakin  besar  dosis  bising  yang  diterima  oleh  seorang  pekerja, maka semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Nilai
ambang  batas  adalah  standar  faktor  tempat  kerja  yang  dapat  diterima tenaga  kerja  tanpa  mengakibatkan  penyakit  atau  gangguan  kesehatan
dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu KEPMENAKER No.Kep-51 MEN1999.
NAB  kebisingan  di  tempat  kerja  adalah  intensitas  suara  tertinggi yang  merupakan  nilai  rata-rata,  yang  masih  dapat  diterima  tenaga  kerja
tanpa  mengakibatkan  hilangnya daya dengar  yang  menetap untuk waktu kerja  terus  menerus  tidak  lebih  dari  8  jam  sehari  dan  40  jam  seminggu
A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003. Berikut adalah pedoman pemaparan terhadap Nilai Ambang Batas
atau  NAB  Kebisingan  berdasarkan  lampiran  II  Keputusan  Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51MEN1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika Di Tempat Kerja :
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat Sumber : Kepmenaker No. 51MEN1999
Berikut  Keptusan  Menteri  Lingkungan  Hidup  No.  481996  tentang  Nilai Baku Tingkat Kebisingan  di indonesia.
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan Per Hari Intensitas Kebisingan dalam dB
8,00 jam 4,00 jam
2,00 jam 1,00 jam
85 88
91 94
30,00 menit 15,00 menit
7,50 menit 3,75 menit
1,88 menit 0,94 menit
97 100
103 106
109 112
28,12 detik 14,06 detik
7,03 detik 3,52 detik
1,76 detik 0,88 detik
0,44 detik 0,22 detik
0,11 detik 115
118 121
124 130
133 136
139
No Peruntukan
Kawasan Lingkungan
Kesehatan Tingkat Kebisingan dB
A Peruntukan Kawasan
1.  Perumahan dan pemukiman 2.  Perdagangan dan jasa
3.  Perkantoran dan perdagangan 4.  Ruang terbuka hijau
5.
Industri
6.  Pemerintahan dan fasilitas umum 7.  Rekreasi
8.  Khusus : 55
70 65
50 70
60 70
Sumber : Kepmen LH No. 481996
Adapun waktu paparan yang diizinkan akibat intensitas kebisingan dapat dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan : T
= Lama paparan kebisingan Jam L
= Tingkat kebisingan 85 dBA
= Konstanta NAB kebisingan per 8 jam 2
= exchange rate Dosis  kebisingan  dapat  dilihat  dari  hasil  pengukuran  tingkat  kebisingan
dengan  waktu  paparan  kebisingan.  Perhitungan  dosis  kebisingan  dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:
B   Bandar udara
  Stasiun Kereta api   Pelabuhan
  Cagar budaya
Lingkungan Kegiatan 1.  Rumah sakit atau sejenisnya
2.  Sekolah atau sejenisnya 3.  Rumah ibadah atau sejenisnya
70 60
70 60
55 55
55
2
3
T =
L-85
2
3
C
1
+ C
2
+ C
n
D = T
1
+ T
2
+ T
n
Keterangan :
D = Jumlah dosis kebisingan
T = Lama paparan kebisingan Jam
C = Konsentrasi kebisingan Jam
Dari  hasil  penelitian  yang  dilakukan  Srisantyorini  2002  diketahui bahwa  terdapat  hubungan  antara  tingkat  kebisingan  dengan  terjadinya
penurunan  pendengaran  setelah  bekerja  dan  lingkungan  kerja  yang  sangat bising  berpeluang  memberikan  risiko  terhadap  terjadinya  penurunan
pendengaran 5 kali dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising. Kemudian pada studi tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan
pendengaran  pekerja  di  Petrochina  pada  hasil  analisis  hubungan  antara intensitas kebisingan dengan status pendengaran diperoleh ada 2 orang dari 5
orang  28,6  pekerja  dengan  intensitas  kebisingan  lebih  dari  85  dBA mempunyai  status  pendengaran  tidak  normal.  Pekerja  dengan  intensitas
kebisingan  ≤  85  dBA  ada  sebanyak  18  orang  dari  30  orang  37,5  yang mempunyai status pendengaran tidak normal Herman, 2000.
2.7.2 Masa Kerja
Semakin  lama  masa  kerja  sesorang  pekerja,  maka  semakin  besar pula  risiko  terhadap  terjadinya  gangguan  pendengaran.  Menurut
National  Safety  Council,  1975,  Gangguan  pendengaran  terjadi  5 –  10
tahun  setelah  pekerja  bekerja  di  tempat  bising.  Menick,  1998, menambahkan  semakin  lama  pajanan  kebisingan  setiap  tahunnya  maka
semakin  besar  kerusakan  yang  terjadi  pada  pendengaran.  Sedangkan menurut  Encyclopedia  of  Occupational  Health  and  Safety,  adanya
gangguan  pendengaran  karena  kebisingan  akan  terlihat  pada  seseorang sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih 3
– 4 tahun Stellman, 1998. Kemudian  dari  hasil  penelitian  diketahui  bahwa  masa  kerja
mempunyai  pengaruh  yang  bermakna  dengan  gangguan  pendengaran. Gangguan  pendengaran  lebih  banyak  terjadi  pada  pekerja  yang
mempunyai  masa  kerja  lebih  dari  10  tahun.  Pekerja  dengan  masa  kerja lebih  dari  10  tahun  mempunyai  risiko  5  kali  lebih  besar  dibandingkan
pekerja  yang  mempunyai  masa  kerja  kurang  dari  10  tahun  Abdul Baktiansyah, 2004.
2.7.3 Usia Pekerja
Menurut  Nasri,  1997  sensitivitas  pendengaran  seseorang  akan berkurang  dengan  bertambahnya  usia,  semakin  tua  usia  maka  semakin
besar  terjadinya  gangguan  pendengaran.  Pada  usia  tua  relatif  akan mengalami  penurunan  kepekaan  rangsangan  suara  karena  adanya  faktor
proses penuaan Presbycusis yaitu proses degeneratif organ pendengaran yang umumnya dimulai sejak usia 40 tahun ke atas. Biasanya, sensitivitas
pendengaran  seseorang  akan  berkurang  dengan  bertambahnya  umur Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980.
Kemudian  Achmadi  1994  berpendapat  bahwa  orang  yang berusia  40  tahun  akan  lebih  mudah  mengalami  gangguan  pendengaran
akibat bising.                   Sedangkan menurut Iskandar 1996 pengaruh usia  terhadap  terjadinya  gangguan  pendengaran  terlihat  pada  usia  30
tahun.
2.7.4 Kebiasaan Merokok
Merokok  dapat  menyebabkan  menurunnya  fungsi  pendengaran melalui  efek  dari  nikotin  dan  CO  atau  karbonmonoksida  yang
mengganggu peredaran darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang bersifat ototoksik secara langsung  merusak sel saraf manusia pada organ
dalam  telinga  yang  bernama  koklea,  sedangkan  karbonmonoksida menyebabkan  iskemia  melalui  produksi  karboksi-hemoglobin  ikatan
antara CO dan haemoglobin, dimana akibat terbentuknya ikatan tersebut, hemoglobin  menjadi  tidak  efisien  mengikat  oksigen.  Akibatnya  ialah
terjadinya  gangguan  suplai  oksigen  ke  organ  korti  di  koklea,  dan menimbulkan  efek  iskemia.  Selain  itu,  efek  lainnya  adalah  spasme
pembuluh  darah,  kekentalan  darah,  atau  juga  melalui  terjadinya
arteriosklerosis Ditalia, 2011
Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa merokok menjadi salah  satu  faktor  pencetus  terjadinya  gangguan  pendengaran,  suatu
penelitian  pada  tahun  2006  yang  melibatkan  lebih  dari  1.500  remaja Amerika  Serikat  yang  berusia  12
–  19  tahun  menunjukkan  bahwa merokok  pasif  berdampak  langsung  merusak  telinga  anak-anak  muda.
Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa  kasus,  keruakan  tersebut  cukup  mengganggu  kemampuan
seorang remaja untuk memahami pembicaraan Mc Geaw-Hill, 2008.
2.7.5   Penggunaan Obat Ototoksik
Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui  suntikan  menyebabkan  terjadinya  gangguan  pendengaran.  Obat-
obatan  yang  mempengaruhi  organ  pendengaran  pada  umumnya  adalah jenis  antibiotik  aminoglikosid  yang  mempunyai  efek  ototoksik.  Obat-
obatan tersebut
adalah neomisin,
kanamisin, amikasin
dan dihidrostreptomisin  yang  berpengaruh  pada  komponen  akustik  Gan,
1999. Gangguan  akustik  ini  tidak  selalu  terjadi  pada  kedua  telinga
sekaligus.  Pada  mulanya  kepekaan  terhadap  gelombang  frekuensi  tinggi akan  berkurang  dan  tidak  disadari.  Gejala  dini  berupa  tinitus  bernada
tinggi  dapat  bertahan  sampai  dua  minggu  setelah  pemberian aminoglikosid  dihentikan.  Patologi  kerusakan  akustik  terutama  berupa
degenerasi berat sel rambut organ corti  mulai di bagian basilar menjalar ke apeks Gan, 1999.
Gangguan  akustik  akibat  streptomisin  bila  terapi  lebih  dari  satu minggu, gentamisin, tobramisin dan amikasin tergantung dosis dan faktor
lain.  Neomisin  paling  mudah  menyebabkan  tuli  saraf,  dan  amikasin menyebabkan gangguan pendengaran terutama bila pengobatan lebih dari
14 hari Gan, 1999.
2.7.6 Riwayat Penyakit Telinga
1 Otitis Media
Yaitu suatu peradangan telinga tengah  yang terjadi akibat infeksi
bakteri Streptococcus
pneumoniae, Haemopilus
influenzae,  atau  Staphylococcus  aureus.  Otitis  media  juga  dapat timbul akibat infeksi virus otitis media infeksiosa yang biasanya
diobati  dengan  antibiotik,  atau  terjadi  akibat  alergi  otitis  media serosa yang dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa
antibiotik Corwin, 2000. Peradangan  telinga  tengah  terjadi  apabila  tuba  eustakhius
yang  secara  normal  mengalirkan  sekresi  telinga  tengah  ke tenggorokan tersumbat. Hal ini menyebabkan penimbunan sekresi
telinga tengah. Sewaktu tuba tersebut membuka kembali, tekanan di  telinga  yang  mengalami  kongesti  tersebut  dapat  menarik
sekresi  hidung  yang  tercemar  melalui  tuba  eustakhius  untuk masuk  ke  telinga  tengah  sehingga  terjadi  infeksi  telinga  tengah.
Infeksi  telinga  tengah  yang  terjadi  berulang-ulang  dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut di gendang telinga dan hilangnya pendengaran secara permanen Corwin, 2000.
2 Tinnitus
Tinnitus  adalah  suara  berdenging  di  satu  atau  kedua telinga.  Tinnitus  dapat  timbul  pada  penimbunan  kotoran  telinga
atau  presbiakusis,  kelebihan  aspirin  dan  infeksi  telinga  Corwin, 2000.
2.7.7 Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Pengendalian  kebisingan  terutama  ditujukan  bagi  mereka  yang dalam  kesehariannya  menerima  kebisingan.  Karena  daerah  utama
kerusakan  akibat  kebisingan  pada  manusia  adalah  pendengaran  telinga bagian dalam, maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat
bantu  yang  bisa  mereduksi  tingkat  kebisingan  yang  masuk  ke  telinga bagian  luar  dan  bagian  tengah  sebelum  masuk  ke  telinga  bagian  dalam
Sasongko, 2000. Alat pelindung telinga berupa tutup telinga Ear Muff lebih efektif
daripada  tipe  sumbat  telinga  Ear  Plug,  karena  dapat  mengurangi intensitas suara  hingga 20  sd  30 dB. Namun pelindung telinga tipe  Ear
Muff  kurang  efektif  dipakai  untuk  orang  yang  berkacamata  dan  bertopi keras,  agak  berat  dan  panas  dibanding  pelindung  telinga  tipe  Ear  Plug
Budiono, 2003.
2.8 Kerangka Teori
Sumber  :  Modifikasi  Buchari  2007  ;  Rangga  Adi  Leksono  2009  ;  Basharudin  dan Soetirto 2007.
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Dosis Kebisingan Masa Kerja
Usia Pekerja Kebiasaan Merokok
Penggunaan Obat Ototoksik Riwayat Penyakit Telinga
Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Gangguan Pendengaran
44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian  ini  untuk  meneliti  faktor-faktor  yang  berhubungan  dengan gangguan  pendengaran  pekerja  di  Unit  Utilities  PT.  PERTAMINA  Persero
Refinery  Unit  VI  Balongan,  Indramayu  Tahun  2014.  Variabel  independen  yang  di teliti  adalah  dosis  kebisingan,  masa  kerja,  usia  pekerja,  kebiasaan  merokok  dan
pemakaian  APT.  Untuk  variabel  penggunaan  obat  ototoksik  dan  riwayat  penyakit telinga  tidak  diteliti  dikarenakan  harus  melewati  serangkaian  fase  uji  klinis  yang
kompleks,  seperti  pemeriksaan  penunjang  pemeriksaan  darah,  radiologi  atau  ct scan,  dan  dikhawatirkan  terjadi  bias  data  jika  dilakukan  recall  atau  wawancara
tanpa didukung data medical check up yang valid.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Dosis Kebisingan Masa Kerja
Usia Pekerja Kebiasaan Merokok
Gangguan Pendengaran
Pemakaian Alat Pelindung Telinga
3.2         Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional Cara Ukur
Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
Gangguan Pendengaran
adalah berkurangnya
atau hilangnya  pendengaran  seseorang
yang  terdapat  pada  kedua  telinga atau  dapat  juga  ditemukan  pada
salah satu sisi telinga saja. Tes Audiometri
  Pemeriksaan ambang dengar pada
frekuensi  250  Hz, 500  Hz,  1000  Hz,
2000  Hz,  4000  Hz dan 8000 Hz.
Audiometer Jibelmed
AS5-AOM 1.  Menderita gangguan pendengaran
25 dB 2.  Tidak Menderita gangguan
pendengaran ≤ 25 dB ISO, dalam Istantyo 2011.
Ordinal
Dosis Kebisingan
Total  jumlah  pajanan  bising  yang dihasilkan oleh sumber bunyi dari
kegiatan pengoperasian. Pengukuran kebisingan
dengan cara memasangkan alat
Personal Noise Dosimeter  PND pada
para pekerja dengan posisi PND berada di
pundak pekerja selama 8 jam kerja.
PND Larson
Davis Spark 706
1.   100 Nilai TWA yang melebihi NAB
2. ≤ 100
Nilai TWA yang tidak melebihi NAB
KEPMENAKER,
No.Kep-51 MEN1999.
Ordinal
Masa Kerja Lamanya  pekerja  bekerja  diarea
bising, dihitung
dari waktu
pertama  diterima  diperusahaan sampai dengan saat pengambilaan
data penelitian dilakukan.
Wawancara Kuesioner
1.   10 Tahun 2.
≤ 10 Tahun Baktiansyah, 2004.
Ordinal
Usia Pekerja Jumlah  tahun  lahir  para  pekerja,
yang  dihitung  sejak  tanggal  lahir sampai dengan saat pengambilaan
data penelitian dilakukan.
Wawancara Kuesioner
1.   40 Tahun 2.
≤ 40 Tahun Achmadi, 1994.
Ordinal
Kebiasaan Merokok
Kegiatan menghisap atau mengkonsumsi bahan tembakau
dan hasil olahannya rokok dalam sehari.
Wawancara Kuesioner
1.  Merokok 2.  Tidak Merokok
Ordinal
Pemakaian APT
Dipakainya Alat
Pelindung Telinga  APT  pada  saat  bekerja
dengan baik dan benar. Wawancara dan
Observasi Kuesioner
1.  Tidak Pernah 2.  Kadang-kadang
3.  Selalu Ordinal