2.6.3.1 Pengendalian pada sumber bunyi Noise Source
Menurut Heru Subaris dan Haryono 2007, pengendalian kebisingan pada sumber bunyi dapat dilakukan dengan cara
berikut ini : a. Meredam bising atau getaran yang ada.
b. Mengurangi luas permukaan yang bergetar. c. Mengatur kembali tempat sumber
d. Mengatur waktu operasi mesin. e. Pengecilan atau pengurangan volume.
f. Pembatasan lalu lintas dan lainnya. Sedangkan menurut Chandra 2006, pengendalian pada
sumber kebisingan dapat juga dilakukan dengan cara : a. Melakukan modifikasi mesin atau bangunan.
b. Mengganti mesin dan menyusun perencanaan bangunan baru. c. Bagian-bagian bergerak dari seluruh mesin, perlengkapan
dan peralatan senantiasa diberikan minyak pelumas.
2.6.3.2 Pengendalian pada jalanya transmisi Sound Path
Pengendalian kebisingan pada jalannya transmisi Sound Path menurut Heru Subaris dan Haryono 2007 dapat dilakukan
dengan cara :
a. Memperbesar jarak sumber bising dengan pekerjaan atau pemukiman.
b. Memasang peredam suara pada dinding dan langit-langit. c. Membuat ruang kontrol agar dapat dipergunakan mengontrol
pekerjaan dari ruang terpisah. d. Bila sumber bising adalah lalu lintas, bisa dialkukan
pembatasan jalan dengan rumah atau gedung atau rumah sakit dan lain-lain. Dengan penanaman pohon, pembuatan
gundukan tanah, pembuatan tembok atau pagar, pembuatan jalur hijau, daerah penyangga dan lainnya.
2.6.3.3 Pengendalian Pada Penerima Suara Receiver
Pengendalian kebisingan pada penerima suara Receiver menurut Heru Subaris dan Haryono 2007 dapat dilakukan
dengan cara : a. Memberi alat pelindung diri seperti ear plug, ear muff dan
helmet. b. Memberikan
latihan dan
pendidikan kesehatan
dan keselamatan kerja, khususnya tentang kebisingan dan
pengaruhnya. c. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara
memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.
2.6.4 Pengendalian Administratif Administratif Control
Pengendalian administratif merupakan suatu pengendalian bahaya dengan cara melakukan modifikasi pada interaksi pekerja dengan
lingkungan kerja. Penerapan pengendalian administrstif merupakan upaya yang berdasarkan prilaku manusia, yakni upaya mengurangi pemaparan
bahaya yang didukung perilaku untuk bekerja selamat dan sehat. Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain : a. Pengaturan waktu kerja yaitu dengan di buat sistem shift.
b. Pengurangan waktu bekerja di tempat bising. c. Pemeriksaan kesehatan pekerja.
d. Monitoring area pekerja atau pekerja. e. Memberikan latihan dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja,
khususnya tentang kebisingan dan pengaruhnya. f. Memasang tanda-tanda atau peringatan keselamatan Safety Sign.
g. Tindakan pengamanan juga dapat dilakukan dengan cara memindahkan tenaga kerja yang terkena bising.
2.6.5 Alat Pelindung Telinga APT
Bekerja sebagai penghalang bising pada telinga. Alat pelindung telinga ini umumnya dibagi menjadi dua jenis yaitu sumbat teling ear
plug dan tutup telinga ear muff.
Setiap alat pelindung telinga memiliki kemampuan tingkat meredam kebisingan yang berbeda, tergantung dari jenis dan kebutuhan.
Dengan adanya perbedaan kemampuan meredam kebisingan tersebut ada perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan tingkat
meredam kebisingan suatu alat pelindung telinga dapat digunakan perhitungan sebagai berikut :
dB A’ = dB A - NRR-7 Keterangan :
dB A’ : standar kebisingan
dB A : tingkat kebisingan di area kerja
NRR : kemampuan mereduksi kebisingan dari suatu ear protector
2.6.5.1 Sumbat Telinga ear plug Menurut Beranek, LL, 1992
Ukuran, bentuk dan posisi saluran telinga untuk tiap-tiap individu berbeda, bahkan antara kedua telinga dari individu yang
sama berlainan pula. Oleh karena itu, sumbat telinga harus dipilih sesuai bentuk, ukuran dan posisi saluran teling pemakainya.
Diameter saluran telinga berkisar antara 3 – 14 mm, tetapi
paling besar antara 5 – 11 mm. Umumnya bentuk saluran telinga
adalah lonjong, tetapi beberapa diantaranya berbentuk bulat.
Saluran manusia umumnya tidak lurus, walaupun sebagian kecil dapat diketemukan berbentuk lurus. Penyebaran ukuran saluran
telinga laki-laki dalam hubungannya dengan ukuran-ukuran alat sumbat telinga ear plug kurang lebih sebagai berikut : 5
sangat kecil, 15 kecil, 30 sedang, 30 besar, 15 sangat besar dari sumbat telinga yang disuplai oleh pabrik-pabrik
pembuatnya. Sumbat telinga dapat dibuat dari kapas, malam wax,
plastik karet alami dan sintetik. Menurut cara pemakaiannya, dibedakan jenis sumbat telinga yang hanya menyumbat lubang
masuk telinga luar semi insert type dan yang menutupi seluruh telinga luar insert type.
Menurut cara
penggunaanya, dibedakan
menjadi “disposible ear plug” yaitu sumbat telinga yang digunakan sekali
pakai saja kemudian dibuang, misalnya sumbat telinga dari kapas dan malam. Dan “non-disposible ear plug” yaitu sumbat telinga
yang di gunakan untuk waktu yang lama yang dibuat dari karet atau plastik yang dicetak.
Keuntungan dan kerugian sumbat telinga ear plug adalah sebagai berikut :
1. Keuntungan a. Mudah dibawa karena ukuranya yang kecil.
b. Relatif lebih nyaman dipakai ditempat kerja yang panas. c. Tidak mebatasi gerakan kepala
d. Harga relatif murah dari pada tutup telinga ear muff. e. Dapat dipakai dengan efektif tanpa dipengaruhi oleh
pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut.
2. Kerugian a. Memerlukan waktu yang lebih lama dari tutup telinga untuk
pemasangan yang tepat. b. Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga.
c. Sulit untuk memonitor tenaga kerja apakah ia memakai atau tidak. Oleh karena pemakaiannya sulit dilihat oleh pengawas.
d. Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga yang sehat. e. Bila tangan yang digunakan untuk memasang sumbat telinga
kotor, maka saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena iritasi.
2.6.5.2 Tutup Telinga ear muff Menurut Beranek, LL, 1992
Tutup telinga ear muff terdiri dari dua buah tudung untuk tutup telinga, dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk
menyerap suar berfrekuensi tinggi. Pada pemakaian yang lama, sering ditemukan efektifitas telinga menurun yang disebabkan
karena bantalannya mengeras dan mengerut akibat reaksi bahan
bantalan dengan minyak kulit dan keringat. Reaksi ini juga dapat terjadi pada sumbat telinga, sehingga pada pemilihan sumbat
telinga disarankan agar memilih jenis yang berukuran agak besar. Keuntungan dan kerugian tutup telinga ear muff adalah
sebagai berikut: 1. Keuntungan
a. Atenuasi suara oleh ear muff umumnya lebih besar dari ear plug.
b. Satu ukuran ear muff dapat digunakan oleh beberapa orang dengan ukuran telinga yang berbeda.
c. Mudah dimonitor pemakainnya oleh pengawas. d. Dapat dipakai pada telinga yang terkena infeksi ringan.
e. Tidak mudah hilang terselip.
2. Kerugian a. Tidak nyaman dipakai di tempat kerja yang panas
b. Efektifitas dan kenyaman pemakanya dipengaruhi pemakaian kacamata, tutup kepala, anting-anting dan rambut yang
menutupi telinga. c. Relatif tidak mudah dibawa atau disimpan.
d. Dapat membatasi gerakan kepala pada ruang kerja yang agak sempit.
e. Harganya relatif lebih mahal dari ear plug.
f. Pada penggunaanya yang terlalu sering atau bila pita penghubungnya yang berpegas sering ditekuk pemakainya,
daya atenuasinya akan berkurang. Seorang yang pendengarannya normal bila berada
ditempat kerja yang bising intensitas kebisingan 85 dB – 105
dB, kebisingan kontinu dikatakan baginya untuk mengerti pembicaraan orang lain bila ia memakai Alat Pelindung
Telinga. Tetapi bila orang tersebut telah kehilangan pendengarannya pada suara frekuensi tinggi, atau bila tingkat
kebisingan tempat kerja kurang dari 80 dB, maka pemakaian Alat Pelindung Telinga ditempat kerja dengan kebisingan
yang terputus-putus yang intensitasnya 85 dB – 105 dB
komunikasi dikatakan lebih mudah pada saat suara mengeras dan komunikasi menjadi terganggu pada saat suara melemah
A. Siswanto, 1983.
2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran
Menurut Rangga Adi Leksono 2009 dalam poernomo 1996, banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain :
Intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, jenis kebisingan, lamanya pajanan perhari, masa kerja, usia pekerja dan kerentanan individu individual
susceptibility. Kemudian Buchari 2007 mengemukakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja occupational hearing loss antara
lain intensitas kebisingan, penyakit telinga sebelum bekerja, frekuensi kebisingan, usia pekerja, masa kerja, jarak dari sumber suara dan gaya hidup diluar pekerjaan.
Kemudian Basharudin dan Soetirto 2007 menambahkan bahwa banyak hal yang mempengaruhi gangguan pendengaran akibat bising antara lain intenitas
kebisingan, frekuensi kebisingan, lama paparan dan penggunaan obat ototoksik.
2.7.1 Dosis Kebisingan
Semakin besar dosis bising yang diterima oleh seorang pekerja, maka semakin besar pula potensi terjadinya gangguan pendengaran. Nilai
ambang batas adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan
dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu KEPMENAKER No.Kep-51 MEN1999.
NAB kebisingan di tempat kerja adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata, yang masih dapat diterima tenaga kerja
tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu
A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003. Berikut adalah pedoman pemaparan terhadap Nilai Ambang Batas
atau NAB Kebisingan berdasarkan lampiran II Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51MEN1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika Di Tempat Kerja :
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB walaupun hanya sesaat Sumber : Kepmenaker No. 51MEN1999
Berikut Keptusan Menteri Lingkungan Hidup No. 481996 tentang Nilai Baku Tingkat Kebisingan di indonesia.
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan Per Hari Intensitas Kebisingan dalam dB
8,00 jam 4,00 jam
2,00 jam 1,00 jam
85 88
91 94
30,00 menit 15,00 menit
7,50 menit 3,75 menit
1,88 menit 0,94 menit
97 100
103 106
109 112
28,12 detik 14,06 detik
7,03 detik 3,52 detik
1,76 detik 0,88 detik
0,44 detik 0,22 detik
0,11 detik 115
118 121
124 130
133 136
139
No Peruntukan
Kawasan Lingkungan
Kesehatan Tingkat Kebisingan dB
A Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 2. Perdagangan dan jasa
3. Perkantoran dan perdagangan 4. Ruang terbuka hijau
5.
Industri
6. Pemerintahan dan fasilitas umum 7. Rekreasi
8. Khusus : 55
70 65
50 70
60 70
Sumber : Kepmen LH No. 481996
Adapun waktu paparan yang diizinkan akibat intensitas kebisingan dapat dihitung dengan rumus berikut :
Keterangan : T
= Lama paparan kebisingan Jam L
= Tingkat kebisingan 85 dBA
= Konstanta NAB kebisingan per 8 jam 2
= exchange rate Dosis kebisingan dapat dilihat dari hasil pengukuran tingkat kebisingan
dengan waktu paparan kebisingan. Perhitungan dosis kebisingan dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:
B Bandar udara
Stasiun Kereta api Pelabuhan
Cagar budaya
Lingkungan Kegiatan 1. Rumah sakit atau sejenisnya
2. Sekolah atau sejenisnya 3. Rumah ibadah atau sejenisnya
70 60
70 60
55 55
55
2
3
T =
L-85
2
3
C
1
+ C
2
+ C
n
D = T
1
+ T
2
+ T
n
Keterangan :
D = Jumlah dosis kebisingan
T = Lama paparan kebisingan Jam
C = Konsentrasi kebisingan Jam
Dari hasil penelitian yang dilakukan Srisantyorini 2002 diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebisingan dengan terjadinya
penurunan pendengaran setelah bekerja dan lingkungan kerja yang sangat bising berpeluang memberikan risiko terhadap terjadinya penurunan
pendengaran 5 kali dibandingkan dengan lingkungan kerja yang tidak bising. Kemudian pada studi tentang hubungan antara kebisingan dengan ganggguan
pendengaran pekerja di Petrochina pada hasil analisis hubungan antara intensitas kebisingan dengan status pendengaran diperoleh ada 2 orang dari 5
orang 28,6 pekerja dengan intensitas kebisingan lebih dari 85 dBA mempunyai status pendengaran tidak normal. Pekerja dengan intensitas
kebisingan ≤ 85 dBA ada sebanyak 18 orang dari 30 orang 37,5 yang mempunyai status pendengaran tidak normal Herman, 2000.
2.7.2 Masa Kerja
Semakin lama masa kerja sesorang pekerja, maka semakin besar pula risiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran. Menurut
National Safety Council, 1975, Gangguan pendengaran terjadi 5 – 10
tahun setelah pekerja bekerja di tempat bising. Menick, 1998, menambahkan semakin lama pajanan kebisingan setiap tahunnya maka
semakin besar kerusakan yang terjadi pada pendengaran. Sedangkan menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya
gangguan pendengaran karena kebisingan akan terlihat pada seseorang sesudah ia bekerja dilingkungan kerja yang bising selama kurang lebih 3
– 4 tahun Stellman, 1998. Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa masa kerja
mempunyai pengaruh yang bermakna dengan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang
mempunyai masa kerja lebih dari 10 tahun. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun mempunyai risiko 5 kali lebih besar dibandingkan
pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun Abdul Baktiansyah, 2004.
2.7.3 Usia Pekerja
Menurut Nasri, 1997 sensitivitas pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya usia, semakin tua usia maka semakin
besar terjadinya gangguan pendengaran. Pada usia tua relatif akan mengalami penurunan kepekaan rangsangan suara karena adanya faktor
proses penuaan Presbycusis yaitu proses degeneratif organ pendengaran yang umumnya dimulai sejak usia 40 tahun ke atas. Biasanya, sensitivitas
pendengaran seseorang akan berkurang dengan bertambahnya umur Gloria dan Nixon, 1962 dalam WHO, 1980.
Kemudian Achmadi 1994 berpendapat bahwa orang yang berusia 40 tahun akan lebih mudah mengalami gangguan pendengaran
akibat bising. Sedangkan menurut Iskandar 1996 pengaruh usia terhadap terjadinya gangguan pendengaran terlihat pada usia 30
tahun.
2.7.4 Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi pendengaran melalui efek dari nikotin dan CO atau karbonmonoksida yang
mengganggu peredaran darah manusia. Nikotin merupakan zat yang yang bersifat ototoksik secara langsung merusak sel saraf manusia pada organ
dalam telinga yang bernama koklea, sedangkan karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin ikatan
antara CO dan haemoglobin, dimana akibat terbentuknya ikatan tersebut, hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Akibatnya ialah
terjadinya gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea, dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek lainnya adalah spasme
pembuluh darah, kekentalan darah, atau juga melalui terjadinya
arteriosklerosis Ditalia, 2011
Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa merokok menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya gangguan pendengaran, suatu
penelitian pada tahun 2006 yang melibatkan lebih dari 1.500 remaja Amerika Serikat yang berusia 12
– 19 tahun menunjukkan bahwa merokok pasif berdampak langsung merusak telinga anak-anak muda.
Semakin besar paparan, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Pada beberapa kasus, keruakan tersebut cukup mengganggu kemampuan
seorang remaja untuk memahami pembicaraan Mc Geaw-Hill, 2008.
2.7.5 Penggunaan Obat Ototoksik
Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obat-
obatan yang mempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik. Obat-
obatan tersebut
adalah neomisin,
kanamisin, amikasin
dan dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada komponen akustik Gan,
1999. Gangguan akustik ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga
sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap gelombang frekuensi tinggi akan berkurang dan tidak disadari. Gejala dini berupa tinitus bernada
tinggi dapat bertahan sampai dua minggu setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akustik terutama berupa
degenerasi berat sel rambut organ corti mulai di bagian basilar menjalar ke apeks Gan, 1999.
Gangguan akustik akibat streptomisin bila terapi lebih dari satu minggu, gentamisin, tobramisin dan amikasin tergantung dosis dan faktor
lain. Neomisin paling mudah menyebabkan tuli saraf, dan amikasin menyebabkan gangguan pendengaran terutama bila pengobatan lebih dari
14 hari Gan, 1999.
2.7.6 Riwayat Penyakit Telinga
1 Otitis Media
Yaitu suatu peradangan telinga tengah yang terjadi akibat infeksi
bakteri Streptococcus
pneumoniae, Haemopilus
influenzae, atau Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus otitis media infeksiosa yang biasanya
diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi otitis media serosa yang dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa
antibiotik Corwin, 2000. Peradangan telinga tengah terjadi apabila tuba eustakhius
yang secara normal mengalirkan sekresi telinga tengah ke tenggorokan tersumbat. Hal ini menyebabkan penimbunan sekresi
telinga tengah. Sewaktu tuba tersebut membuka kembali, tekanan di telinga yang mengalami kongesti tersebut dapat menarik
sekresi hidung yang tercemar melalui tuba eustakhius untuk masuk ke telinga tengah sehingga terjadi infeksi telinga tengah.
Infeksi telinga tengah yang terjadi berulang-ulang dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut di gendang telinga dan hilangnya pendengaran secara permanen Corwin, 2000.
2 Tinnitus
Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau kedua telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga
atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan infeksi telinga Corwin, 2000.
2.7.7 Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama
kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran telinga bagian dalam, maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat
bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam
Sasongko, 2000. Alat pelindung telinga berupa tutup telinga Ear Muff lebih efektif
daripada tipe sumbat telinga Ear Plug, karena dapat mengurangi intensitas suara hingga 20 sd 30 dB. Namun pelindung telinga tipe Ear
Muff kurang efektif dipakai untuk orang yang berkacamata dan bertopi keras, agak berat dan panas dibanding pelindung telinga tipe Ear Plug
Budiono, 2003.
2.8 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Buchari 2007 ; Rangga Adi Leksono 2009 ; Basharudin dan Soetirto 2007.
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Dosis Kebisingan Masa Kerja
Usia Pekerja Kebiasaan Merokok
Penggunaan Obat Ototoksik Riwayat Penyakit Telinga
Pemakaian Alat Pelindung Telinga
Gangguan Pendengaran
44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Penelitian ini untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pekerja di Unit Utilities PT. PERTAMINA Persero
Refinery Unit VI Balongan, Indramayu Tahun 2014. Variabel independen yang di teliti adalah dosis kebisingan, masa kerja, usia pekerja, kebiasaan merokok dan
pemakaian APT. Untuk variabel penggunaan obat ototoksik dan riwayat penyakit telinga tidak diteliti dikarenakan harus melewati serangkaian fase uji klinis yang
kompleks, seperti pemeriksaan penunjang pemeriksaan darah, radiologi atau ct scan, dan dikhawatirkan terjadi bias data jika dilakukan recall atau wawancara
tanpa didukung data medical check up yang valid.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Dosis Kebisingan Masa Kerja
Usia Pekerja Kebiasaan Merokok
Gangguan Pendengaran
Pemakaian Alat Pelindung Telinga
3.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional Cara Ukur
Alat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
Gangguan Pendengaran
adalah berkurangnya
atau hilangnya pendengaran seseorang
yang terdapat pada kedua telinga atau dapat juga ditemukan pada
salah satu sisi telinga saja. Tes Audiometri
Pemeriksaan ambang dengar pada
frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz,
2000 Hz, 4000 Hz dan 8000 Hz.
Audiometer Jibelmed
AS5-AOM 1. Menderita gangguan pendengaran
25 dB 2. Tidak Menderita gangguan
pendengaran ≤ 25 dB ISO, dalam Istantyo 2011.
Ordinal
Dosis Kebisingan
Total jumlah pajanan bising yang dihasilkan oleh sumber bunyi dari
kegiatan pengoperasian. Pengukuran kebisingan
dengan cara memasangkan alat
Personal Noise Dosimeter PND pada
para pekerja dengan posisi PND berada di
pundak pekerja selama 8 jam kerja.
PND Larson
Davis Spark 706
1. 100 Nilai TWA yang melebihi NAB
2. ≤ 100
Nilai TWA yang tidak melebihi NAB
KEPMENAKER,
No.Kep-51 MEN1999.
Ordinal
Masa Kerja Lamanya pekerja bekerja diarea
bising, dihitung
dari waktu
pertama diterima diperusahaan sampai dengan saat pengambilaan
data penelitian dilakukan.
Wawancara Kuesioner
1. 10 Tahun 2.
≤ 10 Tahun Baktiansyah, 2004.
Ordinal
Usia Pekerja Jumlah tahun lahir para pekerja,
yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan saat pengambilaan
data penelitian dilakukan.
Wawancara Kuesioner
1. 40 Tahun 2.
≤ 40 Tahun Achmadi, 1994.
Ordinal
Kebiasaan Merokok
Kegiatan menghisap atau mengkonsumsi bahan tembakau
dan hasil olahannya rokok dalam sehari.
Wawancara Kuesioner
1. Merokok 2. Tidak Merokok
Ordinal
Pemakaian APT
Dipakainya Alat
Pelindung Telinga APT pada saat bekerja
dengan baik dan benar. Wawancara dan
Observasi Kuesioner
1. Tidak Pernah 2. Kadang-kadang
3. Selalu Ordinal