disepakati  dengan  menggunakan  hukum  waris  apa,  kemudian  bisa  dibagi  sesuai dengan kesepakatan ahli waris.
32
G. Analisa Penulis
Dalam  pembagian  harta  waris  di  Bawean  terdapat  dua  cara  pembagian  yaitu pembagian  harta  waris  berdasarkan  hukum  waris  Islam  dan  juga  pembagian  harta
waris  berdasarkan  hukum  waris  adat  Bawean  secara  kekeluargaansecara musyawarah mufakat. Tergantung pada kebiasaan  yang ada pada tiap desa di pulau
Bawean. Bahwa dalam pembagian harta waris   didasarkan adanya kesepakatan dari semua  ahli  waris  untuk  menentukan  cara  pembagian  yang  mana  yang  akan
digunakan.    Hal  ini  di  sebabkan  sistem  kekeluargaan  yang  sangat  kuat,  sehingga keluarga-keluarga  pada  masyarakat  pada  masyarakat  Bawean  menggunakan  hukum
waris  adat  secara  kekeluargaan.  Dengan  menggunakan  forrmasi  pembagian  1:1 yaitu satu  bagian  untuk  anak  laki-laki  dan  satu  bagian  untuk  anak  perempuan. Jadi,
bagian antara anak laki-laki dan perempuan disamakan bagiannya.
33
Hukum  kewarisan  adat  tercipta  kerena  budaya  hukum  dari  masyarakat Bawean  sendiri.  Budaya  hukum  merupakan  budaya  menyeluruh  dari  sebuah
masyarakat  sebagai  kesatuan  pandangan, sikap,  dan  perilaku.  Maka  dari  itulah,  adat
32
Wawancara  pribadi  dengan  K.H.  R.  Ahmad  Buang  Aziz,  Bawean,  12  Februari  2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Hazin Zainuddin, Bawean,  19 Februari 2011.
33
Wawancara  pribadi  dengan  K.H.  R.  Ahmad  Buang  Aziz,  Bawean,    26  Maret  2011. Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri yusuf, Bawean, 15 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan,
Abd. Kamil, Bawean, 22 Februari 2011. Wawancara pribadi dengan K.H.  Hazin  Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
bawean tercipta karena adanyaa kesatuan pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat Bawean.
34
Lawrance  M.  Friedman  mendefinikan  budaya  hukum  sebagai  seluruh gagasan  yang  ada  pada  masyarakat  tertentu  tentang  hukum  dan  tempatnya  dalam
tatanan  sosial,  termasuk  praktek-praktek  hukum,  sikap  masyarakat  terhadap  hukum, dan kemauanketidakmauan masyarakat melakukan litigasi, dsb.
35
Menurut  Pitirim  Sorokin  pernah  pula  mengemukakan  teori  tentang perkembangan  hukum  dan  gejala-gejala  sosial  lainnya  yang  disesuaikannya  dengan
tahapan-tahapan tertentu yag dilalui oleh masyarakat.
36
Dalam  bingkai  kaidah  taghayyur  al-hukm  bi  tagayyur al-azminat  wa  al- amkinat,  perubahan  hukum  Islam  adalah  sebuah  kewajaran.  Bahkan  perubahan
hukum,  secara  sosiologis  adalah  suatu  obyek-subyek  keniscayaan  ketika  ketentuan hukum    hukum  dan  perilaku  masyarakat  yang  diaturnya.  Imam SyafiI  w.  204  H
telah mencontohka melalui praktek qawl qadim pendapat lama saat beliau berada di Kufah, dan qawl jadid pendapat baru setelah pindah menetap di Mesir.
37
Dalam  ketentuan  Al-Quran  dijelaskan  bahwa  2:1  bagi  masing-masing  anak lelaki dan anak perempuan. namun dalam tingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya
34
Dewi  Sukarti,  Penyelesaian  Perkara  Waris  di  Basemah:  Dualisme  Hukum  Waris  antara Hukum Adat Basemah dan Hukum Positif, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2010, hal.45.
35
Roger Cotterrell, The Sosiology of Law, Edinburg: Buttter, 1990, hal.23.
36
Soerjono Soekanto,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, ed. 1, hal.107.
37
Noryami  Aini,Dasar  Legitimasi  Sosiologis  Gagasan  Perubahan  Undang-Undang  No.  .1 Tahun 1974 dalam Konteks Perubahan Sosial, Syariah: Jurnal Ilmu Hukum Vol.7no.1, 2007, hal.6.
parsial  yang  bertujuan  menerapkan  hukum  waris  secara  kontekstual.  Tidak  hanya dalam hukum adat saja upaya itu dilakukan, namun juga pada hakim juga melakukan
upaya  tersebut.  contoh:  para  hakim  mahkamah  Syariyah  Aceh  yaitu  dengan  tegas menyatakan  bahwa  warisan  islam  bahwa  mengikuti  aturan  hukum  kewarisan  Islam
sebagaimana  yang  terekam  dalam  Al-Quran  dan  kitab-kitab  fikih  klasik.  Namun, juga  seperti  diakui  oleh para  hakim  pembagian  waris  yang  diatur  oleh  hukum  adat
seperti  pemberian  hibah  kepada  anak  perempuan  berupa  tanah  rumah  dan pekarangannya  yang  dipraktikkan  dalam  masyarakat  Aceh  Besar,  Pidie,  dan  lamno
mereka terima sebagai ketentuan yang tidak bertentangan dengan aturan agama.
38
Dalam KHI dijelaskan pada pasal 183 Kompilasi Hukum Islam bahwa melalui pasal  ini,    ada    kemungkinan  untuk  menyimpang  melalui  jalur  perdamaian.    Dalam
pasal ini  disebutkan bahwa patokan penerapan besarnya bagian  harta warisan  antara anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bagian  anak  laki  di  bandingkan  dengan  bagian  anak  perempuan  adalah  du
berbanding satu 2:1. b.
Melalui jalur perdamaian, dapat dapat disepakati oleh para ahli waris pembagian yang menyimpang dari ketentuan pasal 176.
39
38
Salim  Arskal,  DKK,  Demi  Keadilan  dan  kesetaraan:  Dokumentasi  Program  Sensitivitas Jender  Hakim  Agama  di  Indonesia,  Jakarta:  PUSHUKHAM  UIN  Syarif  Hidayatullah  Jakarta
bekerjasama dengan Asia Foundation, 2009, Hal.81.
39
Cik Hasan Bisri Penyunting, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.68.
Maka  dengan  adanya  pasal  ini,  tidak  menutup  kemungkinan  seseorang  yang menginginkan  harta  warisnya  dibagi  melalui  jalur  perdamaian  bisa  dilakukan  yaitu
dengan kesepakatan semua ahli waris yang berhak menerima.
40
Berdasarkan  teori  diatas  bahwa  pembagian  secara  kekeluargaan  yang  ada  di Bawean  tidak  menyalahi  aturanundang-undang  dikarenakan  dalam  KHI  juga
menjelaskan bahwa menyimpang dari aturan 2:1 satu tidak ada larangan.
41
Di  Indonesia  hingga  sekarang,  konflik  tentang  hukum  waris  Islam  terutama antara  kelompok  tradisional  dengan  kalangan  yang  menamakan  dirinya  kelompok
modernis  masih  merupakan  fenomena  yang  mengisi  teks-teks  hukum  waris  Islam, walaupun  dapat  dipastikan  doktrin  fiqh  waris  Sunni  pro-Syafi’I  yang  banyak  dianut
dalam  masyarakat  muslim  Indonesia.  Hal  ini  terkait  dengan  kesejarahannya  yang panjang  sejak  masuknya  Islam  di  Indonesia.  Doktrin  fiqh  waris  ssunni  pro-Syafi’i
hingga  sekarang  masih  mewarnai  dan  menjadi  pedoman  yuridis  para    hakim  di Pengadilan  Agama.  Munculnya  Kompilasi  Hukum  Islam  sebagai  hasil  lokakarya
ulama  Indonesia  yang  dituangkan  dalam  Inpres  No.1  1991  merupakan  fakta keberadaan  fiqh  sunni  versi  Syafi’I,  walaupun  pda  bagian-bagian  tertentu  di
dalamnya  ditemukan  refleksi-refleksi  pemikiran  baru  untuk  mengisi  ruang  kosong dalam rangka penyesuaian dengan kondisi-kondisi di Indonesia.
42
40
Cik Hasan Bisri Penyunting, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, hal. 68.
41
Cik Hasan Bisri Penyunting, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, hal. 68.
42
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal.3.
Hazairin  pada  tahun  60-an  telah  menawarkan  reinterpretasi  baru  terhadap kewarisan  Islam  yang  selama  ini  menjadi  doktrin  keagamaan  sebagai  warisan
intelektual  klasik.  Hazairin    telaah  menkonfirmasikan  bahwa  doktrin  sunni  yang selama  ini  dipegang  oleh  kaum  muslimin  Indonesia  bercoraak  paatriliialistik
sedangkan  yang  dikehendaki  al-Qur’an  adalah  sistem  kewarisan  bilateral.
43
Secara faktuaal  menurut  Hazairin  bentuk  masyarakat  yang  dikehendaki  al-Qur’an  juga
bilateral sekaligus isyarat langsung terhadap fenomena hukum kewarisan Islam yang sesungguhnya.  Penafsiran  hukum  kewarisan  yang  merefleksikan  sistem  kewarisan
paatrinial  dalam  doktri  Sunni  merupakan  adanya  pengaruh  cultural  bangsa  Araab yang  bercorak  patrinial.  Disamping  para  pemikir  muslim  klasik  hidup  dalam  sossio
kulturaal  patrinial.  Kenyataannya  ini  berakibaat  beberapa  konstruksi  hukum  waris Islam dalam hal-hal penafssiran ulang agar sesuai dengan corak hukum waris bilateral
sebagaimana yang sesungguhnya dipresentasikaan al-Qur’an. Bentuk pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean merupakan tata cara
dan  sistem  tersendiri.  Dengan  adanya  perbedaan  dari  yang  lain  ini  maka  terdapat kesamaan  dan  juga  perbedaan  dengan  pembagian  waris  Islam.  Dalam  sistem
pembagian  harta  waris  Islam  pembagian  harta  warisnya  2:1  yaitu  dua  bagian  untuk laki-laki  dan  satu  bagian  untuk  perempuan  sedangkan  dalam  pembagian  waris  adat
43
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, t.t: IND HILL-CO, 1987, hal. 2-3.
secara  kekeluargaan  adalah  1:1,  yaitu  satu  bagian  untuk  laki-laki  dan  satu  bagian untuk perempuan.
44
Pada  akhirnya,  walaupun  Hazairin  telah  memeparkannya  secara  khusus  apa dan  bagaimana  sistem  kewarisan  bilateral  dalam  bukunya  yang  berjudul  Hukum
Kewarisan  Bilateral  al-Qur’an  secara  rinci  disamping  berbagai  ceramah  ilmiahnya dalam  pertemuan  ilmiah  tingkat  nasional  hingga  sekarang  boleh  jadi  masih
merupakan  sesuatu  dalam  lingkaran  ide.  Seluruh  yang  dikehendaki  Hazairin  masih merupakan suatu yang amat berat bagi kalangan tradisional Islam Indonesia.
45
Pembelaan  terhadap  pendapat  Hazairin  dikemukakan  dalam  berbagai  diskusi ilmiah. Dalam studi kajian-kajian hukum waris, teori Hazairin merupakan teori baru,
dimana ia telah mengembangkan prinsip-prinsip sosiologi dan antropilogi dan secara jujur  lewat  refleksi  ilmiah  telah  membentangkan  sisi  realistis  ketika  wahyu  sebagai
dokumen suci bersentuhan dengaan masyarakat  Arab. Disini dapat dikatakan wahyu telah mengaksikan dekosntruksi sistem kekeluargaan masyarakat Arab ketika itu yang
bercorak  tribialisme-kesukuan  untuk  menggantikaannya  dengan  sistem  egalitarisme dan mengaajarkan sistem rasional kehidupan social. Dengan demikian Hazairin telah
44
Wawancara  pribadi  dengan  K.H.  R.  Ahmad  Buang  Aziz,  Bawean,    26  Maret  2011. Wawancara  pribadi  dengan  K.H.  Bajuri  Yusuf,  Bawean,  15  Februari  2011.  Wawancara  pribadi
dengan,  Abd.  Kamil,  Bawean,  22  Februari  2011.  Wawancara  pribadi  dengan  K.H.  Hazin  Zainuddin, Bawean, 19 Februari 2011.
45
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal.4-5.
mendudukkan  hukum  kewarisan  sebagaimana  bagian  pokoknya  dari  sistem kekeluargaan.
46
Dipenghujung  tahun  80-an,  Munawir  Syadzali  yang  ketika  itu  menjabat Menteri  Agama  RI  melontarkan  gagasan  perlunya  reaktualisasi  hukum  waris.  Sutau
yang sangat sederhana tetapi sangat mendasar di mana ia menginginkan “jika perlu” bagian  2:1  antara  kaum  laki-laki  dengan  kaum  wanitaa  disamakan  menjasi  1:1.
Gagasan ini menjadi polemik yang berkepanjangan.
47
Sebenarnya  yang  menjadi  persoalan  bukannyaa  hanya  pada  pokok  persoalan 2:1  menjadi  1:1  tetapi  juga  dalaam  konsekuensi-konsekuensi  baru  yang  merupakan
akibat  langsung  perubahan  tersebut.  Bagian  istri  dan  suami  juga  akan  berubah  dari sistem  pembagian  semulaa  sebagaimana  pula  halnya  terhadap  ayah  dan  ibu.
Konsekuensi lainnya adalah kemungkinaan keharusan bersamanya cucu pancar laki- laki  juga  cucu  pancar  perempuan  dalam  kesatuan  derajaat  yang  sebelumnya  fiqh
klasik  membedakannya  dalam  gariss  keutamaan.  Bila  ijtihad  Hazairin  mengarah kepaada  persoalan  bilateral  sebagai  pengganti  patrinial  di  mana  keutamaan  garis
keturunan  adalah  ibu-bapak  tanpa  menggugat  perbandingan  bagian-bagian  antara laki-laki  da  waita  2:1,  maka  Munawir  Sjadali  menfokuskan  perhatiannya  kepada
konsep  egalitarianisme  sebagai  konsep  yang  rasional  dalam  kehidupan  sosial dengaan  ditandainya    bagian  porsi  1:1  antara  laki-laki  dan  wanita.  Dengan  kata
46
Hazairin,  Hukum  Kewarisan  Bilateral  Menurut  Al-Qur’an,  Jakarta:  Tintamas,  1982, hal.11.
47
Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran  Islam dalam polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, hal.1-11.
Hazairin    menggugat  pola  penafsiran  teks-teks  suci  selama  ini  terhadap  patrinial melewati  konteks  kesejarahannya,  maka  Munawir  Syadjali  menggugat  konsep
keadilan  lama  ketika  berhadapan  dengan  konsekuensi  baru  zaman  dalam  kehidupan sosial yang dianggapnya berbeda.
48
Munawir  Syadzali  dalam  Bukunya  yang  berjudul  ijtihad  kemanusiaan menjelaskan  bahwa  kita  telah  mendapat  banyak  contoh  dan  juga  pembenaran  untuk
mempergunakan  akal  budi  dalam  memahami  untuk  kemudian  melaksanakan  ajaran dan  hukum  Islam  prinsip  bahwa  pelaksanaan  hukum  Islam  itu  dapat  berubah  atau
berbeda karena perbedaan zaman, tempat dan budaya.
49
Dalam Al-Quran surah al-Hujurat ayat 13 berbunyi:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya  kamu  saling  kenal-mengenal.  Sesungguhnya  orang  yang  paling  mulia diantara  kamu  disisi  Allah  ialah  orang  yang  paling  taqwa  diantara  kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Ayat  itulah  yang  oleh  kita  umat  Islam  diperguakan  sebagai  dasar  bagi
keyakinan  bahwa  Islam  mengajarkan  prinsip  persamaan  antara  manusia,  tanpa  ada perbedaan  derajat  atau  tingkat  yang  didasarkan  atas  kebangsaaan,  kesukuan  dan
48
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal 6.
49
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan,  hal. 58.
keturunan.  Di  mata  Allah  semua  manusia  itu  mempunyai  tidak  lebih  tinggi  dari orang-orang  bukan  Arab  dan  yang  membedaka  tingkat  antara  mereka  adalah  kadar
ketaqwaan kepada Allah.
50
Suatu hal yang tampaknya kurang mendapat perhatian kita adalah bahwa ayat juga  mengisyaratkan  persamaan  kedudukan  antara  pria  dan  wanita  yang  merupakan
asal dari umat manusia yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa dan suku itu.  Kalau  umat  manusia  yang  lahir  dari  pasangan  suami-istri  itu  menikmati
persamaan  kedudukan  di  antara  mereka,  maka  logikanya  sepasang  suami-istri  dari mana  umat  manusia  itu  berasal  juga  meimiliki  persamaan  kedudukan  di  antara
merekaa berdua, tanpa perbedaan yang didasarkan atas kelamin. Singkatnya, menurut Islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan itu sama.
51
Munawir  Syadzali  mengatakan  tentang  penafsiran  al-Quran  khusunya berkaitan  dengan  kewarisan.  Pendapat  Munawir  Syadzali  bahwa  penafsiran  Al-
Quran itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan  dengan  ayat-ayat  al-Quran  yang  lain,  kiranya  masalah  itu  dapat  diatasi.
Misalnya  memahami  surah  al-Nisa  ayat  176,  yang  menyatakan  bahwa  laki-laki mendapatkan  dua  bagian  dua  kali  lebih  besar  dari  yang  diterima  oleh  anak
perempuan,  itu  dikaitkan  dengan  surat  an-nahl  ayat  90  yang  berbunyi: Sesungguhnya  Allah  menyuruh  kamu  Berlaku  adil  dan  berbuat  kebajikan,….
Tegasnya,  kita  diharapkan  agar  memanfaatkan  akal  dan  nalar  kita  untuk  menilai
50
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan,  hal. 59.
51
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan,  hal. 59.
apakah  suatu  ketentuan  hukum  itu  sesuai  dengan  semangat  keadilan  di  tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.
52
Polemik  hukum  waris  Islam  yang  mungkin  juga  agak  menggelitik  adalah persoalan  mengenai  persentuhan  dengan  hukum  adat.  Munculnya  teori  receptio  in
complexu,  teori  receptie,  dan  teori  receptio  a  contrario—suatu  konflik  keberaadaan hukum  waris  Islam  ketika  bersentuhan  dengan  hukum  kewarisan  adat  di  Indonesia.
Sehingga melahirkan beberaapa konsekuensi, diantaraanya adalah sikap kekeraabatan di  antara  mereka  sejak  lamaa  telah  terpupuk  dan  bisa jadi,  ketikaa  huku  Islam
diterapkan merekaa memeluk agama islaam akan melaksakannya dengaan membuka kemungkinan  perdamaian  pembagian  harta  warisan,  jika  ini  yang  dianggap  kurang
produktif  adalah  situasi  yang  aakan  mendukung  terjadinya  perdamaiaan  pembagian Islah.
53
Bagaimanapun,  pola  keadilan  tersebut  selaalu  akaan  ditolak  oleh  kelompok tradisional Islam. Menurut tradisional Islam, disini hukum Islam telah sempurna dan
tidak pernah aakaaan berkompromi terhadap segala kesepakatan ahli waris lewat jalur Islah  ataupun  penghibaan  untuk  niat  pelebihan  bagi  ahli  waris  tertentu
sepeninggalnya.
54
Namun  kelompok  Islam  Modernis  berpendapat  bahwa  kesetaraan dalam  pembagian  waris  diperbolehkan  dan  juga  seperti  yang  terdapat  dalam
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 183  yang memperbolehkan adanya perdaiaman.
52
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan, hal. 26-27.
53
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal 6-7.
54
Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, hal 9.
Dalam  pembagian  harta  wari berdasarkan  kekeluargaan  pada  adat  Bawean juga memperbolehkan  adanya  perdamaian  dengaan  mengadakan kesepakatan semua  ahli
waris  yang  didasarkan  adanya  musyawarah  mufakat,  adanya  keridhaaan, dan kemaslahatan bagi  semua.  Sehingga,  ahli  waris  untuk bisa membagikan  harta
tersebut dengan bagi rata dan tanpa melahirkan pertengkaran diantara ahli waris yang satu dengan yang lainnya.
71
BAB V PENUTUP