Kesetaraan pembagian waris dalam adat Bawean Gresik Jawa Timur

(1)

GRESIK JAWA TIMUR Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Moh. Ikhwan Mufti 107044201799

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL- SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1432 H /2011 M


(2)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Moh. Ikhwan Mufti

NIM: 107044201799

Di Bawah Bimbingan:

Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA NIP: 1950 0361 9760 31001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1432 H /2011 H


(3)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 April 2011


(4)

iv

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah.

Jakarta, 31 Mei 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof.Dr.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA

NIP: 1950 0361 9760 3100 : (...)

Sekertaris : Hj.Rosdiana, MA

NIP. 1969 0610 2003 122001 : (...) Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA

NIP. 1950 0361 9760 3100 : (...) Penguji I : Prof.Dr.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM

NIP. 19550505 198203 1 012 : (...)

Penguji II : Afwan Faizin, MA


(5)

v

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i

walmursalīnMuhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yaitu:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA dan Hj. Rosdiana, MA., selaku ketua dan sekertaris Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

vi

4. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat.

5. Segenap Staf, Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan kemudahan penulis dalam mencari referensi.

6. Kedua orang tua ayah Mufdhalah (Alm) dan umi Wati’ah (Alm) yang telah merawat dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih syang dan tentu biaya yang sangat besar untuk pendidikan penulis. Penulis berjanji tidak akan mengecewakan kalian berdua. Anakmu hanya bisa mendoakan, semoga Allah memberikan yang layak disisi-Nya. Amin

7. Kepada kakakku: Khairus Sholeh, Dr. Syahrul A’dam, MA, Masni, A.Ma, Sakdallah, S. Psi, M. Si, Mahmud dan juga semua kakak ipar dan kepanonakan. Terima kasih yang telah memberikan semangat serta dukungan, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Kepada K.H. Bajuri Yusuf, K.H. R. Ahmad Buang Aziz, K.H. hazin

Zainuddin, dan Abd. Kamil, selaku pihak yang telah bersedia penulis wawancarai sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vii

serta gagasan dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga Allah membalas semua amal baik dengan pahala yang berlipat ganda.

Jakarta: 27 Jumadil Akhir 1432 H

29 Mei 2011 M


(8)

viii

PERNYATAAN KEASLIAN..………..iii

LEMBAR PENGESAHAN………..………..………iv

KATA PENGANTAR……….……..….….…v

DAFTAR ISI ………..…....…ix

BAB I PENDAHULUAN………..………1

A. Latar Belakang Masalah……….…..1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..……..7

D. Metodologi dan Teknik Penelitian ……….…..8

E. Studi Review Terdahulu....………...…..11

F. Sistematika Penulisan………...13

BAB II KEWARISAN, HUKUM WARIS ADAT DAN KESETARAAN HUKUM WARIS………..………..15

A. Pengertian Kewarisan………...15

B. Dasar Hukum Kewarisan Dalam Fiqih dan Hukum Perdata...…...17

C. Sistem Kekeluargaan dalam Hukum waris...………...22

D. Pengertian Hukum Adat……….23

E. Hukum Waris Adat………...27


(9)

ix

A. Letak Geografis Bawean……….………33

B. Sejarah Singkat Bawean………...…...38

C. Keadaan Demografis………....39

BAB IV PEMBAGIAN HARTA WARIS BERDASARKAN ADAT BAWEAN………..………49

A. Cara Pembagian Harta Waris Adat Bawean ……….………..49

B. Kedudukan Laki-Laki Dan Perempuan Adat Bawean……….………52

C. Proses Pembagian Harta Waris...……….……..……….…53

D. Orang-Orang yang Di Undang dalam Pembagian Harta Waris………....…55

E. Dasar Hukum Pembagian Waris Menurut Adat Bawean………..…...57

F. Pendapat Ulama Setempat Tentang Pembagian Waris Menurut Adat Bawean………..….…..58

G. Analisa Penulis ………60

BAB V PENUTUP ………..71

A. Kesimpulan.……….71

B. Saran………...73

DAFTAR PUSTAKA……….74 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

x

- Hasil Wawancara dengan K.H. R. Ahmad Aziz……….84

- Hasil Wawancara dengan K.H. Hazin Zainuddin………87

- Hasil Wawancara dengan Abdul Kamil………..90

- Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh K.H. Bajuri Yusuf………93

- Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh K.H. R. Ahmad Aziz...94

- Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh K.H. Hazin Zainuddin……….95

- Surat Pernyataan Telah Melakukan Wawancara Oleh Abdul Kamil……96

- Surat Keterangan Desa Lebak………97

- Surat Keterangan Desa Kepuh Legundi………..98

- Surat Keterangan Desa SawahMulya………..99

- Surat Keterangan Desa Kumalasa……….100

- Lampiran Peta Bawean………..…101


(11)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. 1

Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara orang tuanya, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.2

Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan pemeluk agama yang harus tunduk, taat dan patuh kepada ketentuan syariat dalam seluruh totalitas kehidupannya.3

Demikian pula kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya (fardhu kifayah). Dengan kematian itu timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang

1

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2002), cet. II, hal.1.

2

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1. 3


(12)

menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (Baitul Mal) pun, dalam keadaaan tertentu, mempunyai hak atas peninggalan tersebut.4

Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, dikelan dengan nama hukum waris. Dalam syariat Islam ilmu tersebut terkenal dengan ilmu mawaris, fiqh mawaris atau faraidh.5

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Pengaruh itu terbatas dan tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri.6

Allah telah menentukan bagian warisan kepada orang yang berhak dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan diri mereka.7

Dalam surat an-Nisa' ayat 34 dijelaskan Laki-laki dijadikan pemimpin bagi wanita dan mereka dilebihkan atas wanita karena dua perkara, yaitu anugerah Allah dan karena usaha mereka (dengan ijin-Nya).8

4

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1. 5

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, hal.1. 6

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2008), cet. IX, hal.1.

7


(13)

Karena anugerah Allah azza wa jalla, kaum laki-laki diberi kelebihan pada diri mereka yaitu akal yang sempurna, baik dalam mengatur dan diberi kekuatan yang lebih dalam berbuat dan taat. Oleh karena itu kaum laki-laki diberi keistimewaan di atas kaum wanita dengan angkat sebagai nabi, sebagai pemimpin, menegakkan syi'ar –syiar (Islam) dan kesaksian dalam semua permasalahan, wajib berijtihad, menegakkan shalat Jum'at dan sejenisnya, juga mereka dijadikan sebagai ahli waris yang mendapatkan bagian 'Ashabah, mendapatkan bagian warisan yang lebih dan sejenisnya.9

Karena usaha, mereka yaitu kaum laki-laki memberikan harta kepada wanita ketika menikahi mereka dengan memberikan mahar dan nafkah dalam kebutuhan hidupnya.10

Dalam bagian warisan laki-laki dibedakan dengan bagian perempuan yaitu bagian laki-laki sepertinya dua orang perempuan, sebagaimana ketika ahli waris terdiri dari anak-anak kandung dari jenis laki-laki dan perempuan. Terkadang bagian anak laki-laki disamakan dengan bagian anak perempuan ketika ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan perempuan ketika ahli waris terdiri dari beberapa anak laki-laki dan dari anak-anak ibu (saudara-saudara yang seibu), dan bahkan terkadang bagian

8

Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan

dalam Syariat Islam, penerjemah Abu Nahiyah Muhaimin, (Jakarta: Ash-Shaf Media, 2007), cet.I,

Hal.X-Xi. 9

Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan

dalam Syariat Islam, Hal.XI.

10

Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan


(14)

wanita lebih banyak dari bagian laki-laki seperti ketika ahli waris terdiri dari seorang suami, seorang ibu dan seorang bapak, maka dalam masalah in bagian ibu lebih banyak dari bagian bapak, hanya saja masalah ini diperselisihkan oleh para oleh para imam.11

Hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengandung dualisme hukum, yaitu ada pasal yang menjelaskan menjelaskan bahwa bagian laki-laki dengan bagian perempuan adalah dua berbanding satu dan juga bisa juga dengan jalur perdamaian.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 mengatur bahwa besaran bagian harta warisan bagi anak laki-laki dan perempuan. Kepastian ketetapannya tetap berpegang teguh pada norma surat An-Nisa' ayat 11. Namun dalam pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 membuka kemungkinan untuk menyimpang melalui jalur perdamaian. Dalam pasal ini disebutkan bahwa patokan penerapan besarnya bagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Bagian anak laki di bandingkan dengan bagian anak perempuan adalah dua berbanding satu (2:1).

b. Melalui jalur perdamaian, dapat dapat disepakati oleh para ahli waris pembagian yang menyimpang dari ketentuan pasal 176.12

11

Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan

dalam Syariat Islam, Hal. XI.

12

Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem


(15)

Dalam gejala sosiologis yang di ketengahkan masyarakat Bawean adalah yaitu mereka mendukung emansipasi wanita Bawean. Mereka dalam masalah pendidikan, wanita mengambil porsi yang sama.13 Berkaitan dengan masalah warisan, setelah penulis melakukan observasi sementara, menyebutkan bahwa masalah pembagian waris di Bawean menggunakan waris Bawean. Pembagian waris Bawean, untuk porsi pembagiannya adalah 1:1 yaitu untuk laki-laki mendapat satu bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian, pembagian waris berdasarkan waris adat Bawean apabila tidak ada sengketa dalam pembagiannya. namun apabila ada sengketa dalam pembagian harta warisan tersebut, maka pembagiannya tidak diselesaikan dengan menggunakan pembagian waris adat Bawean, melainkan di selesaikan di Pengadilan Agama. Jadi penyelesaian masalah kewarisan dengan porsi 1:1 bisa diterapkan apabila tidak ada sengketa diantara pihak-pihak yang berhak menerima warisan.

Dengan adanya dualisme hukum yang ada dalam KHI pasal 176 dan 183, untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang kewarisan yang digunakan masyarakat Bawean, maka penulis mencoba untuk meneliti praktek dilapangan berkaitan waris tersebut. dan penulis menemukan dalam masyarakat yaitu khususnya masyarakat Bawean yang membagi harta warisan dengan menggunakan formasi 1:1. Maka penulis mengambil judul: KESETARAAN PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT BAWEAN GRESIK JAWA TIMUR.

13

Jacob Vredenbergt, Islam dan Bawean. Penerjemah A.B. Lapian, (Jakarta: INIS, 1990), hal.211.


(16)

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Menurut A. Chaedar al-Wasilah mengatakan bahwa dalam sebuah penelitian diperlukan adanya titik fokus untuk membatasi masalah atau limitasi dari penelitian, pembatasan tersebut dimaksudkan untuk membangun pagar sekeliling lahan penelitian, membangun criteria inklusif atau ekslusif dalam penelitian, dan memudahkan cara kerja sehingga tidak ada satupun yang mubadzir.14 Maka, untuk Mempermudah pembahasan dan agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta meluas maka penulis membatasi pembahasan ini pada masalah warisan. Dalam masalah warisan ini, menuliskan membatasi pada pembagian harta waris berdasarkan adat bawean dan untuk objek penelitian penulis membatasi objeknya hanya di Pulau Bawean.

2. Rumusan Masalah

Dalam pembagian harta waris semestinya aturan hukum Islam semestinya bagian laki-laki dua bagian dari perempuan. Namun, dalam kenyataannya pembagian harta waris adat Bawean pembagian harta warisnya bagi sama yakni 1:1 yaitu satu bagian perempuan satu bagian dan laki-laki juga satu bagian. Adanya perbedaaan antara teori dengan praktik di masyarakat, maka penulis merinci rumusan masalahya dalam bentuk pertanyaan. Dibawah ini adalah beberapa pertanyaan dalam rumusan masalah yang terdapat dalam rumusan masalah, yaitu:

14

A. Chaidar al-Wasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan


(17)

a. Bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris menurut adat Bawean?

b. Apa dasar hukum pembagian waris menurut adat Bawean?

c. Bagaimana pendapat ulama setempat tentang pembagian waris menurut adat? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a) Untuk mengetahui kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris berdasarkan adat Bawean.

b) Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pembagian waris dengan menggunakan adat Bawean.

c) Untuk mengetahui Pendapat ulama setempat tentang pembagian waris adat Bawean.

2. Manfaat Penulisan

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1.

b. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan intelektualitas bagi mahasiswa atau masyarakat yang membaca hasil penelitian ini, khusunya penulis sendiri.

c. Sebagai pengembangan wawasan mengenai masalah waris, terutama pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean.

d. Menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat yang ingin mendalami masalah hukum kewarisan di Indonesia, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(18)

D. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-antropologis mengingat data yang diperlukan persepsi dan perilaku masyarakat Pulau bawean mengenai perkara kewarisan. Karena persepsi terpengaruh oleh budaya-busaya maka penelitian menggunakan pendekatan antropologis,15 dan karena antara nilai-nilai budaya dengan perilaku adakalanya selaras dan adakalanya tidak selaraas atau bertentangan maka pendekatan sosiologi juga digunakan.

2. Jenis penelitian

Berdasarkan pada tujuan penelitian, jenis penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, maka cara yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat penelitian lapangan (field research), yaitu upaya untuk mengungkap secara faktual "Kesetaraan Pembagian Waris Dalam Adat Bawean Gresik Jawa Timur". Secara mendetail penelitian ini untuk menemukan jawaban tentang pembagian harta waris yang berlaku dalam adat Bawean. Jadi bisa mengetahui secara jelas pelaksanaan pembagian harta waris dengan adat Bawean.

3. Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber data yaitu sumber data primer dan data skunder. Di bawah ini tentang penjelasan sumber data, yaitu:

15

T.O. Ihromi (Penerjemah), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2001), hal.236.


(19)

a) Data primer yaitu data yang dihasilkan dari wawancara dengan tokoh masyarakat Bawean yang mengerti seluk beluk tentang pembagian waris adat Bawean. Jadi, dapat menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.

b) Data skunder, data yang didapat melalui studi kepustakaan yang dilakukan melalui penelusuran buku-buku, jurnal dan literatur lain yang berkenaan dengan masalah warisan dan juga tentang profil Pulau Bawean itu sendiri.

4. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpul data atau instrumen dalam penelitian sosial adalah suatu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang diinginkan. Isntrumen biasaya digunakan oleh penelitin untuk menanyakan atau mengamati responden sehingga diperoleh informasi yang dibutuhkan. Instrumen penelitian antara lain dapat berbentuk kuisioner, petunjuk wawancara atau daftar isian, observasi, dan juga studi dokumentasi tergantung pada jenis penelitian yang akan dilakukan.16

Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Observasi

Dengan obsevasi ini penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian yaitu tentang pembagian waris berdasarkan adat Bawean. Untuk kevalidan data juga, menggunakan juga buku catatan lapangan. Pengamatan yang dilakukan difokuskan pada berbagai peristiwa yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

16

Syamsir Salam dan Jaenal Arifin, Metodologi Penelitian sosial, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), hal.64.


(20)

b. Wawancara

Wawancara17 dilakukan dalam penelitian ini, yaitu wawancara terstruktur yang dilakukan secara mendalam yang ditulis secara sistematis, penulis menggunakan juga lembar catatan. Tujuan menggunakan catatan adalah untuk meminimalisir kemungkinan kekeliruan penulis dalam mencatat hasil wawancara yang sudah dilakukan. Jadi, hasil yang didapat oleh penulis dari hasil wawancara dengan menggunakan catatan kecil bisa mengurangi adanya kesalahan dalam menulis hasil wawancara tersebut.

5. Teknik Analisa

Teknik analisis data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta menata secara sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang kewarisan khususnya tentang kesetaraan pembagian waris dalam adat Bawean Gresik Jawa Timur dengan data-data yang diperoleh penulis dari observasi, wawancara dan studi dokumen sebagai upaya meningkatkan pemahaman penulis berkaitan dengan pembahasan.

Dalam penelitian ini data-data yang terkumpul, selanjutnya diidentifikasi, diolah dengan menggunakan pola deskriptif analitis18lalu diuraikan secara sistematis. Kemudian data kemudian dielaborasi dengan teori-teori yang berkaitan dengan hukum waris.

6. Teknik Penulisan

17

J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis,dan Karakteristik dan Keunggulannya, (Jakarta: Grasindo,2010 )Hal. 62.

18

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000), cet. XII, hal. 178.


(21)

Teknik penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007".19

E. Studi Review Terdahulu

Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Review kajian terdahulu yag berkaitan dengan penulis diantaranya:

Studi review kajian terdahulu yag pertama adalah skripsi dari Fatehah Binti Zulkafli, Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008 dengan judul skripsi Pembagian harta pusaka menurut hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat perpatih di daerah Rembau propinsi Negeri Sembilan Malaysia. Di dalam skripsi ini pembahsannya masalah kedudukan harta warisan dalam adat perpatih di rembau, Tata cara pembagian harta pusaka menurut adat perpatih, pelaksanaan harta pusaka menurut hukum adat perpatih, juga membahas perbedaan sistem pembagian harta pusaka antara hukum Islam dan adat perpatih.

Studi review kajian terdahulu yang kedua adalah skripsi Arif Rahman, Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 dengan judul Skripsi : “Tradisi Pembagian Waris Di lingkungan

19

Djawahir Hejazziey (Editor), Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).


(22)

Masyarakat Arab (Studi kasus dikampung Arab Tegal)”.Fokus bahasan pada skripsi ini adalah tentang tata cara pembagian harta waris berdasarkan adat arab Tegal, tentang tradisi waris adat arab Tegal, dan juga bentuk pembagian harta waris berdasarkan adat arab Tegal.

Studi reviev kajian terdahulu yang ketiga adalah skripsi Siti Azizah Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2009, judul skripsi : “Pembagian Waris Masyarakat Betawi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Pada Masyarakat Kel. Lebak Bulus Kec. Cilandak, Jakarta Selatan)”.skripsi ini Membahas masalah bagaimana tata cara pembagian harta waris berdasarkan adat Betawi.

Studi review kajian terdahulu selanjutnya adalah Ruri Hasan Jayati, skripsinya berjudul “Sikap Masyarakat Semanan Kali Deres Terhadap Hukum Waris Islam”. Ia mengatakan masyarakat di wilayah Semanan Kalideres menyambut dengan antusias terhadap penerapan hukum kewarisan Islam walaupun dalam kenyataannya hukum kewarisan Islam itu belum dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, pedahal pemahaman masyarakat terhadap hukum kewarisan cukup mengerti. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai penerapan pelaksanaan hukum kewarisan Islam.

Perbedaan dengan skripsi yang penulis teliti adalah dalam penelitian ini penulis meneliti tentang pembagian waris berdasarkan adat bawean, dari bagaimaa tata cara pembagiannya, kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian


(23)

waris adat Bawean, dan juga dasar hukum dari pembagian waris berdasarkan adat Bawean tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui bagaimana logika yang di pakai dalam penulisan skripsi ini, maka penulis paparkan sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari:

Bab pertama adalah pemaparan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, review kajian terdahulu, sistematika penulisan. Dari bab ini dapat diketahui apa yang melatar belakangi pembahasan ini, kemudian juga bisa mengetahui batasan pembahasan dan juga rumusan masalah dalam skripsi ini. Selanjutnya juga untuk mengetahui apa metode yang dipakai, teknik penelitian apa yang di pakai, serta mengetahui bahasan-bahasan orang lain yang berkaitan dengan judul ini. Dalam review kajian terdahulu kita bisa mengetahui perbedaan karya kita dengan orag lain. Dalam bab ini juga di jelaskan tentang sistematika dalam penulisan skripsi ini.

Bab kedua adalah pemaparan tentang teori-teori yang di mendukung pembahasa, skripsi ini. Dalam teori ini Membahas tentang kewarisan dan hukum adat yang terdiri dari beberapa sub bab yaitu tentang teori pembagian harta waris yang terdiri dari pengertian hukum waris, Dasar Hukum waris, sistem kekeluargaan dalam Hhukum waris, hukum waris adat, dan kesetaraan dalam hukum waris.


(24)

Bab ketiga tadalah pemaparan tentang objek penelitian yaitu tentang potret masyarakaat Bawean yang terdiri dari terdiri dari memuat letak geografis Bawean, Sejarah Singkat Bawean, dan keadaan Demografis.

Bab keempat adalah bab yang memaparkan tentang hasil penelitian yang di peroleh di lapangan. Dalam bab ini Membahas masalah pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean yaitu cara pembagian waris adat Bawean, Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam waris adat Bawean, dan juga analisis Penulis Tentang Pembagian Waris Adat Bawean.

Bab Kelima adalah bab yag mejelaskan tentang kesimpulan dari penulisan skripsi ini dan juga saran yang ingin disampaikan. Dalam bab ini membasah tentang kesimpulan dan saran.


(25)

15

KEWARISAN DAN HUKUM WARIS ADAT A. Pengertian Kewarisan

1. Pengertian Hukum Kewarisan dalam Fikih

Kata berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli waris.1

Ilmu faraidh atau mawaris dita'rifkan sebagai berikut:

َاْﻟ

ِﻔْﻘ

ُ ﮫ

ْﻟا

ُﻤَﺘ

َﻌﱠﻠ

ُﻖ

ِﺑ

ْ ﺎ

ِﻻ

ْر

ِث

َو

َﻣ

ْﻌ

ِﺮ

َﻓِﺔ

ْﻟا

ِﺤ

َﺴ

ِبﺎ

َﻤﻟا

ْﻮ

ِﻞِﺻ

ِا

َﻰﻟ

َﻣ

ِﺮﻌ

ِﺔﻓ

َذ

ِﻟ

َﻚ

َو

َﻣ

ْﻌ

ِﺮ

َﻓِﺔ

َﻗ

ْﺪ

ِر

َﻮﻟا

ِﺟا

ِﺐ

ِﻣ

ْﻦ

َﺘﻟا

ْﺮ

َﻛ

ِﺔ

ِﻟُﻜ

ﱢﻞ

ِذ

ْى

َّﺣ

ﱠﻖ

.

2

"ilmu yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang tata cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap penilik hak pusaka.

Hukum waris dalam Islam dalam Bahasa Arab dinamakan ilmu faraid artinya ilmu "pembagian", atau lebih jelas di artikan suatu ilmu yang menerangkan tata cara pembagian harta dari seseorang yang telah meninggal dengan pembagian-pembagian yang telah ditentukan untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.3

1

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal.11. 2

Muhammad Asy-Syarbini, Mughnil Mukhtaj, (Kairo: Musthafa Al-Babil Halaby, 1958), hal.3.

3

Saifuddin Arief, Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam,


(26)

Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan memgambil kata asal “waris” dengan tambahan awal “ke” dan akhiran “an”. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula proses. Dalam arti yang pertama mengandung makna “hal ihwal orag yang menerima harta warisan” dalam arti kedua mengandung kata “hal ihwal peralihan harta dari yang mati kepada yang masih hidup”. Arti terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.4

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris merupakan hukum yang mengatur tentang perpindahan harta warisan dari orang yang meninggal kepada para ahli waris dan dengan keentuan bagian tertentu.

2. Pengertian Kewarisan dalam Hukum Perdata

Hukum waris (effercht) ialah hukum yang mengatur kedudukan harta kekayaan seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia. Wirjono Prododikoro menyebutkan pengertian warisan sebagai alasan apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang yang waktu meniggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup. Dalam lain perkataan, hukum waris dapat dirumuskan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang ditunjuk.5

4

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.7. 5

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2007), hal. 47.


(27)

Sebagaimana yang di kutip Oleh Sudarsono tentang definisi hukum waris yag didefinisikan oleh Ali Affandi, bahwa hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.6

B. Dasar Hukum dan Sumber Hukum Kewarisan 1. Dasar Hukum Kewarisan dalam Fikih

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam (fikih), sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi, ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah-sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan dan juga ijtihad para ulama. Berikut ini adalah beberapa dasar hukum:7

a. Al-Qur'an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard tiap-tiap ahli waris, seperti yang tercamtum dalam Surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lainnya.8

Q.S. An-Nisa' ayat 7 adalah sebagai berikut:









































































6

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 11-12. 7

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal.7. 8


(28)

"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan( Q.S. An-Nisa' ayat 7).

Q.S. An-Nisa' ayat 11 adalah sebagai berikut:





































































































































































"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."


(29)



























































































































"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu."

Ayat-ayat diatas adalah ayat yang menjelaskan langsung tentang kewarisan dan masih ada banyak lagi ayat-ayat yang berkenaan dengan kewarisan yang dijadikan sebagai sumber dan juga dasar hukum kewarisan.

b. Hadis, yaitu hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum waris.

Hadis Nabi yang mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut:

Hadis Dari Muhammad Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

ِْﻦَﻋ

ِا

ِﻦْﺑ

ٍسﺎﱠﺒَﻋ

َر

ِﺿ

َﻲ

ُﷲا

َﻋ

ْﻨُﮫ

ِﻦَﻋ

ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟَا

َﺻ

ّﻠ

َﻰ

ُﷲا

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ًﻠَﻢ

َﺎﻗ

َل

:

ﺎَﮭِﻠْھَﺄِﺑ َﺾِﺋاَﺮَﻔْﻟَا اﻮُﻘِﺤْﻟَأ

,

ﺎَﻤَﻓ

ﺮَﻛَذ ٍﻞُﺟَر ﻰَﻟْوَﺄِﻟ َﻮُﮭَﻓ َﻲِﻘَﺑ

)

ﱡيِرﺎَﺨُﺒْﻟَا ُهاَوَر

(

9

9


(30)

"Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat."

Hadis Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin hussein menurut riwayat Imam Abu Daud:

َﻋ

ْﻦ

ِﻋ

ْﻤ

َﺮ

َنا

ْﺑ

ُﺣ ﻦ

َﺴ

ْﯿ

ِﻦ

َأ

ﱠن

َر

ُﺟ

َﻞ

َﺗأ

َﻨﻟا ﻰ

ِﺒ

ﱠﻲ

َﺻ

ّﻠ

َﻰ

ُﷲا

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠَﻢ

َﻓ

َﻘﺎ

َل

َأ

ﱠن

ِا

ْﺑ

َﻦ

ْﺑ ِا

ُِﻦ

ِا

ْﺑَﻨ

ِﺘ

ْﻰ

َﺎﻣ

َت

َﻓ

َﻤ

ِﻟ

ْﻰ

ِﻣ

ْﻦ

ِﻣ

ْﯿ

َﺮ

ِﺛا

ِﮫ

َﻓَﻘ

َل

َﻟ

َﻚ

ﱞﺴﻟا

ُﺪ

ِس

)

واد ﻮﺑأ هاور

(

10

"Dari 'Umron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatang nabi Saw. Sambil berkata: "bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang dapat dari harta warisannya". Nabi Berkata: "kamu mendapat seperenam".

Hadis Nabi Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi:

َﻋ

ْﻦ

ُا

َﺳ

َﻣﺎ

َﺔ

ْﺑ

ِﻦ

َز

ْﯾٍﺪ

َر

ِﺿ

َﻲ

ُﷲا

َﻋ

ْﻨُﮭ

َﻤ

َا ﺎ

ﱠن

ﱠﻨﻟا

ِﺒ

ﱠﻲ

َﺻ

ّﻠ

َﻰ

ُﷲا

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠَﻢ

َﻗ

َلﺎ

)

َﺮِﻓﺎَﻜْﻟَا ُﻢِﻠْﺴُﻤْﻟَا ُثِﺮَﯾ ﺎَﻟ

,

َﻢِﻠْﺴُﻤْﻟَا ُﺮِﻓﺎَﻜْﻟَا ُثِﺮَﯾ ﺎَﻟَو

)

ُر

َو

ُها

ﱡﺘﻟا

ِﻣﺮ

ِﺬ

ْي

(.

11

"Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw, bersabda: Seorang muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim".

Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu Majah juga menjelaskan tentang kewarisan yaitu:

َﻋ

ْﻦ

ْﻰِﺑ َا

ُھ

َﺮ

َة َﺮْﯾ

َﻋ

ْﻦ

ﱠﻨﻟا

ِﺒ

ﱠﻲ

َﺻ

ﱠﻰﻠ

ُﷲا

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠْﻢ

َﻗ

َلﺎ

:

َا

ْﻟَﻘ

ِﺗ

ٌﻞ

َ ﻻ

َﯾ

ِﺮ

ٌث

)

ﮫﺟﺎﻣ ﻦﺑا هاور

(

12

10

Abu Daud, Sunanu Abi Dawud, Juz II, (Kairo: Mustafa Al-Babiy, 152), hal.109. 11

Abu Musa Al-Tirmidziy, Al-Jami'u Ash-Shahih, Juz IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy, 1938), hal. 432.

12


(31)

"Dari Abu Hurairah dar Nabi Muhammad Saw. Bersabda: "orang yang membunuh tidak bisa menjadi ahli waris ".

c. Ijtihad Para Ulama

Meskipun Al-Quran dan al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad. Yaitu terhadap hhal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur'an maupun al-Hadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waris), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suamin atau istri dan sebagainya.13

2. Dasar Hukum Kewarisan Perdata

M. Idris Mulyo Menjelaskan dalam bukunya Perbandingan Hukum Kewarisann Islam di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-Undang

Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri bahwa dasar hukum dan sumber

kewarisan Perdata adalah Kitab Undang-Undang Hukum perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal 528, tentang mewaris di-identikka dengan hak kebendaan, sedangka ketentuan dari pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke-II KUH Perdata (tentang kebendaan).14

13

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahud, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan

Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 22.

14

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Huku Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan

Kewarisa Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pedoman


(32)

Berdasarkan pasal 528 BW, hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan pasal 584 menyebutkan hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karenanya dalam BW, penempatannya dimasukkan dalam Buku II BW tentang kebendaan (Pasal 830 s/d 1130).15

Dapat penulis simpulkan bahwa sumber hukum waris perdata adalah BW (Burgerlijk Wetboek) terdapat dalam pasal 528 BW yang dijadikan dasar hukum C. Sistem Kekeluargaan Dalam Hukum Waris

Menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh A-Yasa Abu Bakar bahwa sistem kewarisan tidak terlepas dari bentuk kekeluargaan dan bentuk kekeluargaan berpangkal pada sistem (prinsip keturunan yang pada gilirannya dipengaruhi pula oleh bentuk perkawinan).16 Pada pokoknya ada tiga macam sistem keturunan dalam sistem kekeluargaan yang berkaitan dengan hokum waris, yaitu:

a. Sistem Kekeluargaan Patrilineal, Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan wanita di dalam pewarisan. Jadi, dalam sistem kekeluargaan patrineal garis ketrurunan ditarik dari garis bapak. Contoh daerah yang memakai sistem kekeluargaan patrilinial adalah (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).17

15

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal.51. 16

Al Yasa AbuBakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap

Penalaran Hazairin dan penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1998), hal.16.

17

Absar Surwansyah وSuatu Kajian Tentang Hukum Waris Adat Masyarakat Bangko Jambi,


(33)

b. Sistem Kekeluargaan Matrilineal Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan pria di dalam pewarisan. Contoh daerah yang memakai sistem kekeluargaan matrineal adalah Minangkabau, Enggano Timor. 18

c. Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral19 Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Contoh daerah yang memakai sistem kekeluargaan parental atau bilateral adalah Aceh, Sumatera Timur, Riau, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.

D. Hukum Adat

Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Pendapat lain yang menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta a (berarti bukan) dan dato (yang artinya "sifat kebendaan)". Dengan demikian , maka adat sebenarnya berarti sifat immateril: artinya adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.20

Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,menjelaskan dalam tesisnya yang berjudul

Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, berkenaan tentang hukum

18

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Jakarta: LKiS, 2005), hal. 82.

19

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, hal. 82.

20


(34)

adat, bahwa hukum adat Hukum adat mengatur tentang hukum perkawinan adat, hukum waris adat, dan hukum perjanjian adat.21

Para pakar akademisi mendefinisikan hukum adat dengan berbeda, berikut adalah beberapa pengertain/definisi dari para kara akademisi:

Menurut C. Van Vollenhoven, Hukum adat adalah aturan-aturan hukum yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan "hukum") dan di lain pihak di kodifikasi (maka dikatakan “adat”).22

Menurut Ridwan Halim, Hukum adat adalah keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang berbhineka tunggal ika, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-masing.23

Soerjono Soekanto mendefinisikan hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian integralnya, sebagian bagian kelengkapannya. Adat

21

Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat

Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, Tesis: Undip

Semarang, 2005, hal. 10. 22

Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal.5.

23


(35)

selengakapnya ialah seluruh kebudayaan yang berkaidah sebagaimana tumbuh dan dikenal dalam masyarakat hukum adat.24

Menurut B. Ter Harr Bzn mendefinisikan hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa (dengan tanpa termasuk surat-surat perintah raja-raja, kepala adat dan sebagainya) dari para fungsionalis hukum (misalnya hakim adat, kepala ada, kepala desa, dan sebagainya), yang langsung berdasarkan pada ikatan-ikatan struktural dalam masyarakat daan ikatan-ikatan lainnya dalam hubungannya antara satu sama lain dan dalam ketentuan yang timbal balik. 25

Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan atas dasar alam pikiran masyarakat Indonesia yang sudah jelas berbeda dengan alam pikiran masyarakat lain (hukum Barat). Jadi, hukum adat yang dipakai oleh masyarakat Indonesia berasal dari kebiasan masyarakat Indonesia. 26

Untuk lebih memahami tentang hukum adat, berikut ini adalah beberapa

karakter/corak dari hukum adat, yaitu:

24

Soerjono Soekanto,Kedudukan dan peranan Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: Kurnia Esa, 1982), hal. 30.

25

Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, hal. 10. 26

Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat


(36)

- Keagamaan (Religius Magis) adalah pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur atau perpaduan kata yang mengandung unsure beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika, animism, pantangan, ilmu ghaib dan lain-lainnya. 27

- Kebersamaan, mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, Manusia menurut hukum merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat dan memperhatikan kepentingan sesama anggota keluarga, kerabat dan tetangga atas dasar tolong menolong, serta saling membantu satu sama lain.28

- Serba konkret dan serba jelas, artinya hubungan-hubungan hukum yang dilakukan tidak tersembunyi atau samar-samar, antara kata-kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata.29

- Visual maksudnya, pada umumnya dalam masyarakat Indonesia kalau melakukan (mengadaklan) perbuatan hukum itu selalu konkrit (nyata); Misalnya adanya pemberian "uang muka atau uang panjer" dalam hubungan hukum jual beli.30

- Tidak dikodifikasi, artinya tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab undang-undang menurut sistem hukum tertentu. 31

- Bersifat tradisional, artinya bersifat turun temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan dan dihormati.

27

Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, hal. 35. 28

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 23. 29

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, hal 23. 30

Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, hal. 35. 31


(37)

- Dapat berubah, biasanya perubahan tersebut terjadi karena adanya perkembangan zaman, perubahan keadaan tempat dan waktu.

- Mampu menyesuaikan diri dalam keadaan-keadaan yang baru.

- Terbuka dan sederhana, artinya dapat menerima unsur-unsur yang datang dari luar sepanjang unsur-unsur asing itu tidak bertentangan dengan pandangan hidup kita dan ia bermanfaat bagi kehidupan masyarakat serta tidak sukar untuk menerima dan melaksanakannya. Namun jika unsur-unsur dari luar tersebut tidak sesuai dengan pikiran masyarakat, akan dapat ditolak oleh masyarakat tersebut.32

E. Hukum waris Adat

Menurut Hilman Hadikusuma definisi dari hukum adat adalah sebagian dari ilmu pengetahuan tentang hukum adat yang berhubungan dengan kekeluargaan dan kebendaan. Sebagai ilmu pengetahuan ia mememrlukan penguraian yang sistematis, yang tersusun bertautan antara yang satu dan yang lain sebagai kesatuan. Ilmu pengetahuan menuntut adanya kebenaran yang objektif, walaupun sesungguhnya kebenaran dalam ilmu sosial itu dipengaruhi oleh perkembangan keadaan.33

Menurut Ter Haar dan dikutip oleh Torop Eriyanto Sabar Nainggolan mendefinisikan Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan atau hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang

32

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 23. 33


(38)

berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke generasi berikutnya sebagai kelanjutan dari peralihan harta yang dimiliki oleh generasi sebelumnya.34

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan perihal/perpindahan harta-kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut:

a. Hak Purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.

b. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris; c. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap

berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal.

d. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.

e. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu: penyelenggaraan pemindah-tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.35

Asas-asas hukum waris adat adalah:

34

Torop Eriyanto Sabar Nainggolan,Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat

Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, hal.22.

35


(39)

1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri. 2. Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak. 3. Asas kerukunan dan kekeluargaan.

4. Asas musyawarah dan mufakat. 5. Asas keadilan dan parimirma. 36

Jadi, asas ini banyak dipakai oleh hukum waris hukum adat adalah asas yang tercantum di atas. Karena hukum waris adat lebih mengutamakan kebersamaan dan juga kekeluaargaan.

F. Kesetaraan dalam Hukum Waris

Kesetaraan dalam hukum waris berkaitan dengan masalah jender yaitu berkaitan dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Arskal Salim Dkk dalam Bukunya Demi Keadilan dan Kesetaraan bahwa persoalan keadilan jender dalam masalah Kewarisan Islam selalu menjadi Isu kontroversial. Hal ini disebabkan oleh doktrin yang sudah diterima tanpa mempertanyakan lagi (taken for granted) bahwa hak waris anak perempuan setengah dari hak waris anak laki-laki. Karenanya, setiap upaya penerapan hukun yang berbeda dari doktrin ini secara

36

Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat


(40)

normatif dipandang sebagai langkah yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.37

Namun upaya untuk menafsirkan ketentuan itu tak henti-hentinya dilakukan sepertui oleh pemikir dan ulama kontemporer. Semuanya mencari solusi bagaimana rasa keadilan dapat diterapkan. Dan, jika rasa keadilan dapat tidak dapat terpenuhi, tak mengherankan bila masyarakat pergi ke pengadilan untuk meminta penetapan atau putusan yang adil. Fikih Indonesia sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah menawarkan konsep keadilan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Keinginan itu tidak lantas terjelma dalam kesetaraan porsi yang harus diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan dalam warisan, tetapi dapat terlihat pada kesamaan kedudukan dalam menghalangi pihak lain untuk menerima warisan dari orang tua mereka. Meski tidakmengakomodasi ketentuan satu banding satu bagi anak laki-laki dan perempuan, KHI menetapkan bahwa anak, tanpa menyebutkan jenis kelaminnya, dapat menghalangi saudara pewaris untuk memperoleh warisan. Ketentuan kesetaraan kedudukan anak lelaki dan perempuan ini dipahami dari aturan KHI yang menetapkan bahwa saudara pewaris baru berhak menerima warisan manakala pewaris tidak mempunyai anak. Aturan ini memberikan pemahaman bahwa jika ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara pewaris dikeludikeluarkan dari lingkaran kelompok yang berhak atas warisan. Ketentuan ini merupakan salah satu upaya KHI untuk menempatkan kesetaraan posisi

37

Arskal Salim DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas

Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSHUKHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(41)

perempuan dengan laki-laki. Sangatlah menarik bahwa secara normatif para hakim di tiga daerah ini selalu berpegang pada ketentuan yang digariskan Al Qur’an dan penafsiran para ulama klasik yang tak beranjak jauh dari ketentuan Al Qur’an, yaitu 2:1 bagi masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. Namun di tingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya parsial yang bertujuan menerapkan hukum waris secara kontekstual.38

Hazairin berbeda pendapat tentang pembagian harta waris. Menurut Hazairin bahwa pembagian waris dengan secara bilateral mengarah kepada persoalan bilateral sebagai pengganti patrinial di mana keutamaan garis keturunan adalah ibu-bapak tanpa menggugat perbandingan bagian-bagian antara laki-laki da waita 2:1, maka Munawir Sjadali menfokuskan perhatiannya kepada konsep "egalitarianisme" sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengaan ditandainya bagian porsi 1:1 antara laki-laki dan wanita. Dengan kata Hazairin menggugat pola penafsiran teks-teks suci selama ini terhadap patrinial melewati konteks-teks kesejarahannya, maka Munawir Syadjali menggugat konsep keadilan lama ketika berhadapan dengan konsekuensi baru zaman dalam kehidupan sosial yang dianggapnya berbeda.39 Munawir Syadzali yaitu pembagian harta waris secara bagi rata bukan parental. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi

38

Arskal Salim DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas

Jender Hakim Agama di Indonesia,hal. 80.

39

Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), Cet. I, hal 6.


(42)

(bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. 40

Munawir Syadjali dalam bukunya yang berjudul Ijtihad Kemanusiaan

dikemukakan bahwa dalam pembagian harta waris para tokoh agama atau pakar hukum waris cenderung untuk tidak mau dikatakan melanggar faraidh. Mereka mencari jalan keluar dengan membagikan kekayaan kepada anak-anak mereka dengan bagi sama besar antara anak laki-laki dan perempuan semasa mereka masih hidup sebagai hibah. Sementara itu, mereka melupakan implikasinya yang cukup gawat bahwa dengan menempuh cara tersebut secara tidak langsung mereka mengakui bahwa hukum waris Islam tidak sesuai lagi dengan keadilan, jika diterapkan pada masyarakat kita sekarang. Tegasnya, menghindar secara tidak jantan dari hukum waris Islam.41

Kalau penafsiran Al-Qur'an itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Mislanya memahami surah al-Nisa' ayat 176, yang menyatakan bahwa laki-laki mendapatkan dua bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan surat an-nahl ayat 90 yang berbunyi: " Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,…". Tegasnya, kita diharapkan agar memanfaatkan akal dan nalar kita untuk menilai apakah suatu

40

Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,

(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988), Hal. 1-11. 41


(43)

ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan.42

42


(44)

33

Jika kita melihat peta Propinsi wilayah Jawa Timur, maka nampak jelas beberapa pulau kecil yang ada di sekitar wilayah ini. Seperti diantaranya: Pulau Madura, Pulau Sapudi, Pulau Nusaburung, Pulau Raas, dan Pulau Bawean sendiri. Disamping masih terdapat pulau-pulau kecil lainnya yang masih belum berpenghuni.1

Secara politis dan administratif, Pulau Bawean termasuk dalam wilayah kerja Pemerintah Kabupaten Gresik dan merupakan salah satu wilayah kerja paling terpencil, yang terletak di tengah lautan antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan.2

Luas Pulau Bawean adalah 196, 27 Km2, sedangkan secara geografis Pulau Bawean terletak antara: 112 032’ – 112 044’ Bujur Timur 5 0 43’ – 5 0 5’ Lintang Selatan tinggi tempat antara 0 – 646 m di atas permukaan laut, Sebelah barat berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa.3

Dengan letak geografis yang seperti itu, Pulau Bawean mempunyai peran penting dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dari Timur sampai Barat yang

1

Jacob Vanderberg. Bawean dan Islam (De Baweanner in Hun Moederland en In Singapore)

(Jakarta: INIS, 1990), hal. 13. 2

J acob Vanderberg. Bawean dan Islam (De Baweanner in Hun Moederland en In Singapore), hal. 13.

3

Jacob Vanderberg. Bawean dan Islam (De Baweanner in Hun Moederland en In Singapore), hal. 13.


(45)

sejak dahulu sudah merupakan alur laut internasional. Sedangkan dari sudut wilayah udara, Pulau Bawean juga merupakan jalur lalulintas udara yang banyak dilalui berbagai penerbangan, baik domestik atau Internasional.4

Pulau Bawean mempunyai luas wilayah 196, 27 Km2, terdiri dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak.

1. Wilayah Kecamatan Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu: Sawah Mulyo, Kota Kusuma, Sungai Rujing, Gunung Teguh, Patar Selamat, Daun, Balik Terus, Sidogendung Batu, Kebun Teluk Dalam, Sungai Teluk, Bulu Lanjang, Lebak, Pudakit, Komalasa, Suwari, dan Dekat Agung.

2. Wilayah Kecamatan Tambak terdiri dari 13 desa, yaitu: Tambak, Pekalongan, Sukalela, Sukaoneng, Kelompang Gubug, Gelam, Teluk Jati Dawang, Tanjung Ori, Paromaan, Gerejek, Diponggo, Kepuh Teluk, dan Kepuh Legundi.5

Pulau Bawean terbentuk dari sisa-sisa gunung berapi tua, sekitar 85% terdiri atas lapisan sidemen (batuan tua) yang diantaranya batu kapur, lapisan pasir, tanah liat dan batu alam. Juga ada beberapa buah gunung seperti: Gunung Raje, Gunung Nangka, Gunung Lumut, Gunung Totoghi dan Gunung Tingghi (menangis) yang tertingginya 655 m. Bentangan pegunungan ini berada di tengah-tengah Pulau Bawean dengan keterjalan lereng antara 5 hingga 75 m.

4

Fathan Al Irsad, Neropong Wisata Bawean,(Surabaya: FP3B, 2003), hal. 3. 5


(46)

Di tahun 1934, areal pegunungan yang banyak ditumbuhi pepohonan, ditebang dan diganti dengan pohon jati. Hal ini kembali terjadi pada tahun 1960-an. Hanya di sekitar puncak gunung dan areal tanah yang sangat terjal yang bebas dari penanaman pohon jati.6

Berdasarkan hasil pemetaan penghunian tanah Kecamatan di wilayah Pulau Bawean, secara keseluruhan jenis penggunaan tanah berikut luas masing-masing adalah:

TABEL I

PEMBAGIAN PENGHUNIAN TANAH BAWEAN7

No. Penghunian Tanah Luas/Ha

1 2 3 4 5 6 7 8

Kampung/perumahan Sawah

Ladang/tegal Kebun campuran Perkebunan Hutan

Tambak/kolam ikan Danau/rawah

2.492 3.152

73 35 7.585 4.557 755 75

Jumlah 955.786

Menurut Dr. Gono Semiadi dari Puslitbang LIPI Bogor dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa; Hutan Bawean terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: hutan primer, hutan sekunder dan hutan jati. Sedangkan hutan jati dapat

6

Fathan Al Irsad, Neropong Wisata Bawean(Surabaya: FP3B, 2003), hal. 3. 7


(47)

dibagi dua kelompok yaitu hutan jati yang bersemak sebagai akibat adanya penebangan serta hutan jati terbuka, dimana dasar hutan tidak tertutup oleh apapun kecuali pohon jati. Lebih lanjut dikatakan juga, dengan keadaan demikaian Pulau Bawean termasuk dalam katagori beriklim kering tipe C.8

Keadaan suhu hampir merata sepanjang masa, tanpa adanya fluktuasi

(perubahan) yang terlalu tinggi dengan rata-rata suhu maksimum 320 C dan suhu minimum 220C. Curah hujan tertinggi antara bulan Januari hingga bulan Maret yang disertai dengan angin kencang dan baru berakhir pada bulan April. Pulau Bawean yang mempunyai luas 196,27 km, masih dikelilingi oleh pulau-pulau kecil antara lain: Pulau Manukan, pulau Gili, Pulau Noko, Pulau Selayar, Pulau Cina, Pulau Nosa dan Pulau Karang Bile. Namun dari keberadaan pulau-pulau kecil ini, mayoritas tidak berpenghuni. Sisanya ditumbuhi hutan dan hamparan pasir putih yang luas.9

Menurut laporan penelitian Sally Suhonggo dari Universitas Kristen Petra Surabaya yang pernah mengadakan penelitian wisata di Pulau Bawean, bahwa secara

topografi(pemetaan), 12,32%. Pulau Bawean merupakan daerah pantai dan luas areal yang berbentuk perbukitan, memiliki bukit sebanyak 99 buah dengan ketinggian mencapai 500 m di atas permukaan laut. Disebutkan pula bahwa kondisi topografi

Pulau Bawean mempunyai tingkat kemiringan yang beraneka ragam antara 0 - 40%. Adapun sebagian besar wilayahnya berada di pesisir pantai sebelah utara Kecamatan

8

Gono Semiadi, Sifat Biologi Rusa Bawean dan Pengembangan Model Pembudidayaannya

Untuk Tujuan Konservasi Satwa Langka Endemik(Bogor: LIPI, 1999) hal. 13.

9


(48)

Tambak. Kemiringan 0-8% berada dibagian selatan Kecamatan Sangkapura, sedangkan 40% merupakan gugusan gunung yang terdapat dibagian tengah Pulau Bawean.10

Dengan kondisi alam yang seperti itu, yakni dengan bebukitan, timbul konsekuensi logis pengembangan, baik secara fisik maupun sumberdaya manusianya. Drs. Soenarto, kepala dinas P dan K Kabupaten Gresik pernah mengatakan bahwa “kondisi alam Pulau Bawean yang berbukit bukit, telah membuat berbagai permasalahan dalam proses belajar mengajar”.

Bahkan, berangkat ke sekolah saja, kadang masih timbul kesulitan, yakni tempat yang jauh dan jalan yang susah di lewati, sehingga para guru yang bertugas, banyak yang mengeluh lantaran kondisi alam yang demikian. 11

Untuk memaksimalkan pembangunan ini, sebetulnya pemerintah telah mengalirkan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Pembangunan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di Sangkapura, misalnya, telah menelan biaya milyaran rupiah; begitu juga dengan pembangunan jalan lingkar keliling Pulau Bawean dan obyek-obyek wisata.12

Dalam rangka menyambut diterapkannya Undang-Undang Otonomi Daerah 2001, Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, mulai memberdayakan potensi yang ada

10

Sally Suhonggo dkk. Obyek-Obyek Wisata Bahari di Bawean Potensi dan

Pengembangannya(Surabaya Universitas Kristen Petra 1995), hal. 6.

11

Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pulau Bawean Gresik Jawa Timur Tahun 2002-2003), (Jakarta: Tesis Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), Hal. 26.

12


(49)

di daerah, baik sektor industri, maritim, perdagangan, terutama pariwisata yang di nilai cukup dan mampu menarik wisatawan dan mempunyai prospek yang cerah.13 B. Sejarah Singkat Bawean

Nama asal dari Pulau Bawean adalah Pulau Majedi. K.H.R. Abdurrahman Badruddin di dalam bukunya “Sekilas Lintas Pulau Bawean”, menyebutkan bahwa nama Bawean berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari kata: Ba - We – An. Ba: berarti sinar, We berarti matahari, dan An berarti ada. Secara keseluruhan Bawean mengandung arti: “ada sinar matahari”. 14

Nama Bawean mulai digunakan pada tahun 1350 M, ketika ada beberapa pendatang dari pantai utara pulau Jawa ke pulau ini. Sedangkan orang-orang asing atau para turis menyebutnya dengan istilah Pulau Boyan. Begitu juga putra putri keturunan Bawean yang dilahirkan dan dibesarkan di Malaysia, Singapura, ataupun di Australia, istilah Boyan lebih akrab bagi mereka, sehingga lahirlah apa yang disebut suku Boyanessdi Singapura.15

Namun, media-media massa di Indonesia memberi julukan pulau ini dengan

Pulau Putri atau Pulau Perempuan. Julukan ini diberikan karena jumlah mayoritas penghuni yang tinggal menetap di Bawean rata-rata adalah kaum perempuan. Pendapat lain diungkapkan oleh Immanuel Subangun, seorang wartawan Kompas,

13

Naufal, Problematika Merantau, Perceraian Dan Upaya Mengatasinya…., hal. 26. 14

Abdurrahman Badruddin, Sekilas Lintas Pulau Bawean(Bawean: YAPI Umma, 1985), hal. 7.

15

Zulfa Usman, Kisah Kisah Pulau Putri (Next Generation Fundatiaon, Perwakialan Bawean: 1992), hal. 12.


(50)

pada tahun 1976, menyebut Pulau Bawean sebagai “Pulau Kelahiran dan Kematian”. Sebutan ini merupakan sindiran bagi orang Bawean, bahwa mereka menempati Bawean ketika mereka dilahirkan, dan selebihnya mereka datang kembali ketika mereka akan menghabisi masa tuanya, menjelang kematian mereka.16

C. Demografi Masyarakat Bawean

1. Jumlah Penduduk

Menurut hasil sensus penduduk Tahun 2010 jumlah penduduk Pulau Bawean mencapai 70.242 jiwa yang tersebar di Kecamatan Tambak sebanyak 24.488 jiwa dan di Kecamatan Sangkapura 45.754 jiwa.17 Penduduk Bawean semuanya berkewarga negaraan Indonesia (WNI) dan tidak ada warga asing (WNA).

Kecamatan sangkapura: laki-laki : 21.791 perempuan: 23.963 laki-laki danperempuan: 45.754 sex ratio: 90,94 dan kecamatan Tambak : laki-laki: 11.393, perempuan: 13.095 laki-laki dan perempuan : 24.488 sex rasio: 87,00. Wilayah Bawean hampir sama dengan wilayah eks pembantu bupati Sidayu, dua kecamatan di wilayah Bawean yaitu Kecamatan Sangkapura dan Tambak juga memiliki laju pertumbuhan penduduk dibawah 1 persen, yaitu masing 0,69 persen dan 0,59 persen.18

16

Zulfa Usman, Kisah Kisah Pulau Putri, hal. 12. 17

http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jatim/3525.pdf , artikeldi akses pada tanggal 1 April 2011.

18

http://www.bps.go.id/hasilSP2010/jatim/3525.pdf , artikeldi akses pada tanggal 1 April 2011.


(51)

2. Pendidikan Masyarakat Bawean

Masyarakat Pulau Bawean mempunyai gairah yang tinggi dalam persoalan pendidikan. In iditunjukkan dengan maraknya lembaga pendidikan, dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi. Selain sekolah formal juga terdapat pesantren di hampir semua desa di Bawean. Secara lengkap kondisi pendidikan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :19

36 67 47 36 6 14 4 6 0 10 20 30 40 50 60 70 Jumlah T K S

D MI

P e s a n tr e n S L T P M T s S M U M A

Jenis dan Tingkatan Sekolah

Jumlah Sekolah di Pulau Bawean

Selain pelajar yang belajar di Pulau Bawean, mereka yang hidup dalam ekonomi kuat banyak yang melanjutkan pendidikannya di tanah Jawa, baik di pesantren maupun di sekolah-sekolah formal. Sebut saja, Sidogiri, Tebuireng, Nurul Jadid, Nurjo, Darul Lughah wadda’wah, Tambak Beras, dan Langitan merupakan pesantren yang banyak diminati santri Bawean, begitu juga dengan sekolah-sekolah formal terutama tingkat SLTA juga menjadi incaran pelajar Bawean. Walaupun di

19

Syahrul Adam, Pesantren Hasan Jufri Menatap Masa Depan: Sejarah, Fakta, dan Cita, (Jakarta: Pustaka Lazuardi, 2005), hal. 22.


(1)

HASIL WAWANCARA

Nama :

Hari/tanggal : Jum'at, 19-02-2011 Waktu : 09.30-11.00 WIB Tempat : di Rumah

1. Bagaimana sejarah atau histori waris adat bawean?

Jawab:Hukum waris Islam yang banyak di pakai memang didasarkan pada syariat Islam, namun pembagiannya bisa saja dibagi dengan pembagian bit-tarodhi yaitu pembagian yang didasarkan kesepakatan keluarga untuk selanjutnya dibagi rata. Hukum adat yang ada di Bawean di hayati dari hukum Islam. Jadi awalnya diberikan penjelasan tentang hukum waris Islam, namun apabila mereka bersepakat untuk membagi dengan hukum adat (hukum kekeluargaan), maka bisa dibagi dengan hukum waris adat.

2. Apa penyebab pembagian waris di bawean tidak menggunakan hukum waris Islam dan harus memakai pembagian waris berdasarkan adat bawean?

Jawab:Pembagian waris yang dipakai tetap memang waris Islam, namun pembagian boleh dibagi dengan pembagian waris secara bit- tarodhi yaitu pembagian secara bagi rata. Dengan menjelaskan hukum waris Islam terlebih dahulu. Jadi setelah itu ada disepakati dengan pembagian apa harta waris tersebut dibagi.

3. Selain pembagian waris adat bawean, apakah pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam masih dipakai?

Jawab: pembagian waris yang banyak dipakai masyarakat Bawean tidak hanya memakai hukum adat/pembagian secara mufakat, namun juga pembagian juga dilaksanakan dengan hukum Islam.


(2)

4. Apa dasar hukum waris adat bawean?

Jawab: dasar hukum adat adalah hukum bit-tarodhi yaitu hukum yang didasarkan pada keridhaan dari para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut.

5. Bagaimana praktek pembagian waris adat bawean?

Jawab: sama-sama banyak dilaksanakan oleh masyarakat Bawean baik hukum waris Islam dan juga hukum waris adat (hukum kekeluargaan).

6. Apa masih digunakan sampai sekarang?

Jawab; Sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Bawean. Namun selain menggunakan hukum adat (musyawarah mufakat) juga dilaksanakan hukum waris Islam.

7. Bagaimana proses pembagian waris berdasarkan adat bawean?

Jawab: Untuk pembagian harta waris berdasarkaan adat, sama halnya dengan pembagian harta waris Islam yaitu dari mulai pemanggilan para ahli waris, tokoh adat, lurah, RW dan alain-lain. Setelah itu akan ditanyakan oleh pemuka adat berdasarkan kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara adat atau berdasarkan hukum Islam. Dan akan dibagikan sesuia dengan kesepakatan.

8. Siapa yang di undang dalam pembagaian waris berdasarkan adat bawean tersebut?

Yang di undang dalam pembagian waris adalah: - Lurah

- Ketua dusun (RT/RW) - Ahli waris


(3)

9. Siapa saja yang berhak mendapatkan warisan?

Jawab: Semua ahli waris seperti yang ada dalam pembagian waris Islam. Sesuai dengan yang ada dalam pembagian waris Islam.

10. Mengapa menggunakan pembagian waris berdasarkan adat bawean, kenapa tidak menggunakan hukum waris Islam?

Jawab: menurut beliau, hukum waris adat dipakai ketika ada perselisihan dalam pembagian waris.

11. Apa motifnya?

Jawab:motifnya adalah keadilan.

12. Apakah karena motif keadilan atau motif-motif lainnya?

Jawab: motif keadilan untu menyelesaikan masalah warisan yang sering terjadi perselisihan.

Bawean, 19-02-2011 TTD


(4)

HASIL WAWANCARA

Nama : Abdul Kamil

Hari/tanggal : Selasa, 22-02-2011 Waktu : 12.52-13.30 WIB Tempat : di Rumah Abd. Kamil

1. Bagaimana sejarah atau histori waris adat bawean?

Jawab:Hukum waris Islam yang banyak di pakai memang didasarkan pada syariat Islam, namun pembagiannya bisa saja dibagi dengan pembagian bit-tarodhi yaitu pembagian yang didasarkan kesepakatan keluarga untuk selanjutnya dibagi rata. Jadi kesepakatan antara ahli waris dijadikan patokan dengan menggunakan cara apa untuk membagi harta waris tersebut.

2. Apa penyebab pembagian waris di bawean tidak menggunakan hukum waris Islam dan harus memakai pembagian waris berdasarkan adat bawean?

Jawab:Pembagian waris yang dipakai tetap memang waris Islam, namun pembagian boleh dibagi dengan pembagian waris secara bit- tarodhi yaitu pembagian secara bagi rata. Jadi pembagian hukum waris dengan hukum adat (secara kekeluargaan) bisa dilaksanakan apabila ada kesepakatan dari semua ahli waris untuk membagikan dengan cara tersebut.

3. Selain pembagian waris adat bawean, apakah pembagian harta waris berdasarkan hukum waris Islam masih dipakai?

Jawab: pembagian waris yang banyak dipakai masyarakat Bawean tidak hanya memakai hukum adat/pembagian secara mufakat, namun juga pembagian juga dilaksanakan dengan hukum Islam.

4. Apa dasar hukum waris adat bawean?

Jawab: dasar hukum adat adalah hukum bit-tarodhi yaitu hukum yang didasarkan pada keridhaan dari para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut. dan juga lil-maslahah yaitu dengan haarta waris tersebut didasarkan adanya kesepakatan


(5)

(Islah). Jadi apabila telah sepakat dengan menggunakan hukum waris adat (hukum kekeluargaan), maka akan dibagikan dengan cara tersebut.

5. Bagaimana praktek pembagian waris adat bawean?

Jawab: untuk yang lebih banyak digunakan di daerah tersebut adalah hukum waris Islam. Namun dalam daerah tersebut juga tak sedikit yang menggunakan hukum waris adat (hukum kekeluargaan).

6. Apa masih digunakan sampai sekarang?

Sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Bawean. Namun menurut narasumber bahwa di desa tersebut lebih ditekankan pada pembagian waris berdasarkan Syariat Islam. Jadi sampai sekarang masih tetap dilaksankan waris berdasarkan adat.

7. Bagaimana proses pembagian waris berdasarkan adat bawean?

Jawab: untuk pembagian harta waris berdasarkaan adat, sama halnya dengan pembagian harta waris Islam yaitu dari mulai pemanggilan para ahli waris, tokoh adat, lurah, RW dan alain-lain. Setelah itu akan ditanyakan oleh pemuka adat berdasarkan kesepakatan para ahli waris untuk membagikan secara adat atau berdasarkan hukum Islam. Dan akan dibagikan sesuia dengan kesepakatan.

8. Siapa yang di undang dalam pembagaian waris berdasarkan adat bawean tersebut?

Yang di undang dalam pembagian waris adalah: - Lurah

- Ketua dusun (RT/RW) - Ahli waris

- Ahli tafsir harga dalam kampung/desa tersebut - Tokoh adat/agama


(6)

9. Siapa saja yang berhak mendapatkan warisan?

Jawab: Semua ahli waris seperti yang ada dalam pembagian waris Islam. sesuai dengan bagiaan seperti yang dalam hukum waris Islam.

10. Mengapa menggunakan pembagian waris berdasarkan adat bawean, kenapa tidak menggunakan hukum waris Islam?

Jawab: Hukum waris adat dipakai ketika ada perselisihan dalam pembagian waris. Jadi apabila keluarga sudah sepakat untuk menggunakan hukum adat (hukum kekeluargaan), maka dilaksanakan dengan hukum adat. Sebaliknya, apabila pembagian hukum waris Islam yang menjadi kesepakatn, maka akan dilaksanakan sebagaimana kesepakatan.

11. Apa motifnya?

Jawab: motifnya adalah keadilan.

12. Apakah karena motif keadilan atau motif-motif lainnya?

Jawab: motif keadilan untu menyelesaikan masalah warisan yang sering terjadi perselisihan. Motifnya adalaah bit-tarodhi dan juga lil maslahah yaitu didasarkan kemaslahatan dan juga kesepakatan.

Bawean, 22-02-2001 TTD