Kesetaraan dalam Hukum Waris

1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri. 2. Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak. 3. Asas kerukunan dan kekeluargaan. 4. Asas musyawarah dan mufakat. 5. Asas keadilan dan parimirma. 36 Jadi, asas ini banyak dipakai oleh hukum waris hukum adat adalah asas yang tercantum di atas. Karena hukum waris adat lebih mengutamakan kebersamaan dan juga kekeluaargaan.

F. Kesetaraan dalam Hukum Waris

Kesetaraan dalam hukum waris berkaitan dengan masalah jender yaitu berkaitan dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Arskal Salim Dkk dalam Bukunya Demi Keadilan dan Kesetaraan bahwa persoalan keadilan jender dalam masalah Kewarisan Islam selalu menjadi Isu kontroversial. Hal ini disebabkan oleh doktrin yang sudah diterima tanpa mempertanyakan lagi taken for granted bahwa hak waris anak perempuan setengah dari hak waris anak laki-laki. Karenanya, setiap upaya penerapan hukun yang berbeda dari doktrin ini secara 36 Torop Eriyanto Sabar Nainggolan, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, hal.22. normatif dipandang sebagai langkah yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. 37 Namun upaya untuk menafsirkan ketentuan itu tak henti-hentinya dilakukan sepertui oleh pemikir dan ulama kontemporer. Semuanya mencari solusi bagaimana rasa keadilan dapat diterapkan. Dan, jika rasa keadilan dapat tidak dapat terpenuhi, tak mengherankan bila masyarakat pergi ke pengadilan untuk meminta penetapan atau putusan yang adil. Fikih Indonesia sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam KHI telah menawarkan konsep keadilan kedudukan antara anak laki- laki dan anak perempuan. Keinginan itu tidak lantas terjelma dalam kesetaraan porsi yang harus diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan dalam warisan, tetapi dapat terlihat pada kesamaan kedudukan dalam menghalangi pihak lain untuk menerima warisan dari orang tua mereka. Meski tidakmengakomodasi ketentuan satu banding satu bagi anak laki-laki dan perempuan, KHI menetapkan bahwa anak, tanpa menyebutkan jenis kelaminnya, dapat menghalangi saudara pewaris untuk memperoleh warisan. Ketentuan kesetaraan kedudukan anak lelaki dan perempuan ini dipahami dari aturan KHI yang menetapkan bahwa saudara pewaris baru berhak menerima warisan manakala pewaris tidak mempunyai anak. Aturan ini memberikan pemahaman bahwa jika ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara pewaris dikeludikeluarkan dari lingkaran kelompok yang berhak atas warisan. Ketentuan ini merupakan salah satu upaya KHI untuk menempatkan kesetaraan posisi 37 Arskal Salim DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, Jakarta: PUSHUKHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Asia Foundation, 2009.hal. 79-80. perempuan dengan laki-laki. Sangatlah menarik bahwa secara normatif para hakim di tiga daerah ini selalu berpegang pada ketentuan yang digariskan Al Qur’an dan penafsiran para ulama klasik yang tak beranjak jauh dari ketentuan Al Qur’an, yaitu 2:1 bagi masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. Namun di tingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya parsial yang bertujuan menerapkan hukum waris secara kontekstual. 38 Hazairin berbeda pendapat tentang pembagian harta waris. Menurut Hazairin bahwa pembagian waris dengan secara bilateral mengarah kepada persoalan bilateral sebagai pengganti patrinial di mana keutamaan garis keturunan adalah ibu-bapak tanpa menggugat perbandingan bagian-bagian antara laki-laki da waita 2:1, maka Munawir Sjadali menfokuskan perhatiannya kepada konsep egalitarianisme sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengaan ditandainya bagian porsi 1:1 antara laki-laki dan wanita. Dengan kata Hazairin menggugat pola penafsiran teks- teks suci selama ini terhadap patrinial melewati konteks kesejarahannya, maka Munawir Syadjali menggugat konsep keadilan lama ketika berhadapan dengan konsekuensi baru zaman dalam kehidupan sosial yang dianggapnya berbeda. 39 Munawir Syadzali yaitu pembagian harta waris secara bagi rata bukan parental. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi 38 Arskal Salim DKK, Demi Keadilan dan kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, hal. 80. 39 Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, Jakarta: RajaGrafindo, 1997, Cet. I, hal 6. bapak-ibu, dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. 40 Munawir Syadjali dalam bukunya yang berjudul Ijtihad Kemanusiaan dikemukakan bahwa dalam pembagian harta waris para tokoh agama atau pakar hukum waris cenderung untuk tidak mau dikatakan melanggar faraidh. Mereka mencari jalan keluar dengan membagikan kekayaan kepada anak-anak mereka dengan bagi sama besar antara anak laki-laki dan perempuan semasa mereka masih hidup sebagai hibah. Sementara itu, mereka melupakan implikasinya yang cukup gawat bahwa dengan menempuh cara tersebut secara tidak langsung mereka mengakui bahwa hukum waris Islam tidak sesuai lagi dengan keadilan, jika diterapkan pada masyarakat kita sekarang. Tegasnya, menghindar secara tidak jantan dari hukum waris Islam. 41 Kalau penafsiran Al-Quran itu dilakukan secara menyeluruh, artinya dalam mengartikan suatu ayat harus dikaitkan dengan ayat-ayat al-Quran yang lain, kiranya masalah itu dapat diatasi. Mislanya memahami surah al-Nisa ayat 176, yang menyatakan bahwa laki-laki mendapatkan dua bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan, itu dikaitkan dengan surat an-nahl ayat 90 yang berbunyi: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu Berlaku adil dan berbuat kebajikan,…. Tegasnya, kita diharapkan agar memanfaatkan akal dan nalar kita untuk menilai apakah suatu 40 Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam dalam polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1988, Hal. 1-11. 41 Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 62. ketentuan hukum itu sesuai dengan semangat keadilan di tengah masyarakat di mana hukum itu akan diberlakukan. 42 42 Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan, hal. 26-27. 33

BAB III POTRET MASYARAKAT BAWEAN