6. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Rekan Kerjanya

103 pihak yang dibutuhkan, melainkan hubungan keduanya adalah atas dasar saling membantu dan saling membutuhkan.

4. 6. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Rekan Kerjanya

Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis diperoleh data bahwa hubungan antar sesama pramuniaga perempuan pada dasarnya terjalin dengan baik. Tidak hanya terbatas dengan sesama pramuniaga perempuan saja, bahkan hubungan dengan pramuniaga laki-laki pun kelihatan cukup dekat. Bercanda dan bercerita adalah hal biasa yang mereka lakukan sebelum dan setelah selesai bekerja. Kehangatan hubungan diantara pramuniaga perempuan ini tidak hanya terbatas di lingkungan kerja saja, tetapi kebanyakan dari mereka juga akrab diluar lingkungan kerja. Terutama bagi mereka yang berasal dari daerah yang sama, atau tinggal satu kos, maupun mereka yang bertugas pada counter yang sama atau berdekatan. Antara pramuniaga perempuan biasanya mempunyai hubungan yang akrab disebabkan karena intensitas interaksi mereka yang tinggi. Hampir setiap hari mereka bertemu dalam suatu wilayah kerja yang terbatas. Mereka bisa saling bertukar pikiran dan pengalaman diwaktu-waktu senggang mereka melalui suatu kebiasaan yang sering disebut sebagai “ngobrol”. Fenomena “ngobrol” ini ternyata sedikit banyak telah menjadi media yang membangun dan memunculkan sikap dan rasa senasib sepenanggungan diantara mereka. Melalui media “ngobrol” ini mereka dapat saling berkeluh kesah, membagi suka duka dan melepaskan beban yang secara tidak sadar telah melahirkan solidaritas kelompok. Tentu saja terbentuknya kebersamaan tersebut tidak bisa dilepaskan Universitas Sumatera Utara 104 dari kecenderungan manusia itu sendiri, untuk senantiasa hidup bersama dan mengelompok untuk mewujudkan jaringan relasi sosial www.freelists.com. Walaupun hubungan antar pramuniaga perempuan dapat terjalin dengan baik, bukan berarti tidak pernah ada konflik diantara mereka. Konflik yang terjadi biasanya adalah konflik pribadi yang biasanya disebabkan karena kesalahpahaman antara dua pramuniaga perempuan atau lebih. Dalam hal ini fenomena “ngobrol” juga turut berperan dalam memunculkan konflik. Karena ketika mereka “ngobrol”, tidak hanya masalah pribadi yang dibicarakan, akan tetapi biasanya juga membicarakan tentang orang lain, dalam hal ini yang terdekat adalah teman sesama pramuniaga perempuan. Lewat “ngobrol” maka apa yang dibicarakan itu dengan cepat akan tersebar, sehingga cepat atau lambat akan didengar oleh orang yang menjadi objek pembicaraan. Jika sudah demikian, terjadi konflik, baik konflik terbuka maupun secara diam-diam. Namun, konflik semacam ini adalah konflik yang biasa terjadi, tidak hanya di kalangan pramuniaga perempuan saja, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga konflik seperti ini sifatnya umum. Kebersamaan yang tumbuh di kalangan pramuniaga perempuan sebenarnya bisa meredam munculnya konflik. Namun konflik yang terjadi kebanyakan justru bukan berasal dari hubungan antar pramuniaga perempuan itu sendiri, akan tetapi konflik yang muncul disebabkan karena hubungannya dengan pihak toko. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan toko secara tidak langsung seakan-akan “mengadu domba” para pramuniaga perempuan tersebut. Seperti misalnya kebijakan tentang kenaikan gaji. Selain faktor masa kerja, standart lain yang diperlukan sebagai pertimbangan kenaikan gaji ini adalah faktor- faktor yang melalui proses penilaian yang subjektif dari pihak toko. Seperti misalnya Universitas Sumatera Utara 105 faktor kerajinan, keterampilan dan kepandaian, kerapian, peringatan dan sanksi-sanksi adalah faktor-faktor yang mempunyai tingkat kesubjektifan tinggi. Bisa jadi ada perasaan suka atau tidak suka si pihak toko terhadap salah satu atau lebih dari para pramuniaga perempuannya ikut serta didalam proses penilaian tersebut. Oleh karena itu, ketika ada pramuniaga perempuan yang gajinya cepat naik, sering dianggap oleh pramuniaga perempuan yang lain mempunyai kedekatan tersendiri dengan pihak toko atau biasa disebut dengan “cari muka” dengan pihak toko agar gajinya melebihi pramuniaga lain. Hal inilah yang kemudian memunculkan konflik antar pramuniaga perempuan. Kebijakan lain yang sering memunculkan konflik diantara pramuniaga perempuan adalah mengenai penggantian barang yang hilang. Sanksi penggantian barang hilang yang seluruhnya dibebankan kepada seluruh pihak pramuniaga perempuan yang bekerja di toko tersebut. Hal ini selain sangat memberatkan, juga sangat potensial memunculkan konflik. Pramuniaga perempuan yang merasa tidak menghilangkan barang tetapi juga harus ikut menanggung sanksi yang diberikan toko, tentu saja akan menyalahkan temannya yang menghilangkan barang. Banyak kasus dimana ada pramuniaga perempuan yang dikucilkan berhari-hari oleh teman-teman satu counternya, gara-gara ia menghilangkan barang. Kejadian semacam ini tentu saja akan merenggangkan hubungan sesama pramuniaga perempuan, dan secara tidak langsung akan memunculkan suasana kerja yang tidak nyaman. Apakah situasi tersebut dikondisikan oleh pihak toko atau tidak, tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi yang jelas, tumbuhnya rasa solidaritas dan kebersamaan yang semakin kuat di kalangan pramuniaga perempuan, sedikit banyak akan meresahkan pihak toko. Apalagi jika nantinya para pramuniaga perempuan ini sampai mampu untuk membentuk semacam serikat pekerja, maka hal itu tentu akan menjadi Universitas Sumatera Utara 106 ancaman tersendiri bagi pihak toko, yang selama ini telah banyak mengeruk keuntungan dari pramuniaga perempuan.

4. 7. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Pembeli