99 sehingga dengan menyumbang ini dimaksud agar mereka tetap bisa hadir walau tidak
secara langsung pada pergaulan masyarakat sekitarnya.
Melihat perbandingan antara penghasilan dan pengeluaran pramuniaga perempuan, maka dapat terbayang bagaimana sulitnya kondisi kehidupan pramuniaga
perempuan. Sehingga apa yang dikatakan Bermana 1996: 12 bahwa salah satu fungsi kerja bagi manusia adalah mendapatkan penghargaan serta memperoleh penghasilan yang
layak, tidak didapatkan oleh pramuniaga perempuan.
4. 5. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Pihak Toko
Pramuniaga perempuan berstatus sebagai buruh, yaitu tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerjanya dibawah perintah orang lain dengan imbalan upah, maka segala
tindakannya mendapat pengawasan dari pimpinan toko Ariani, 1989: 88. Hal ini kemudian membentuk pola hubungan antar pramuniaga perempuan dengan pihak toko.
Pola hubungan yang terbentuk adalah pola hubungan yang bersifat vertikal. Hubungan ini mempunyai dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Dimana, lapisan yang
diatas mempunyai kekuatan untuk menentukan atau mengatur kelompok yang berada di lapisan bawah. Pola inilah yang terjadi didalam hubungan antara pramuniaga perempuan
dengan pihak toko. Pihak toko, yang merupakan lapisan atas, menempatkan dirinya pada posisi
mengatur dan menentukan nasib lapisan bawah, yang dalam hal ini adalah pramuniaga perempuan. Pola hubungan vertikal tersebut tentu saja membawa implikasi terhadap
perlakuan-perlakuan yang diterima oleh pramuniaga perempuan. Perlakuan terhadap
Universitas Sumatera Utara
100 pramuniaga perempuan memang akan sangat tergantung pada pandangan pihak toko,
apakah pramuniaga perempuan hanya dianggap sebagai alat produksi, seperti benda mati yang setiap saat dapat diganti, atau sebagai human asset yang berhak atas kepuasan kerja
dan kesempatan berkembang yang adil Hasibuan, 1996: 226. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa didalam hubungan keseharian, tidak
banyak masalah yang terjadi antara pramuniaga perempuan dengan pihakpemilik toko. Dalam pergaulan sehari-hari tetap ada keramahan, tegur sapa, bahkan kadangkala diselipi
dengan guyonan, walaupun tetap dalam batas-batas kedisiplinan toko. Akan tetapi, sebenarnya didalam hubungan kerja antara pihak toko dengan pramuniaga perempuan,
pihak toko hanya menganggap pramuniaga perempuan tidak ubahnya seperti “alat pencetak uang” bagi toko, dimana mereka diwajibkan bekerja siang malam dan jika
sewaktu-waktu dipandang tidak produktif lagi maka akan dengan mudah diganti dengan yang baru. Lagi-lagi hal ini tidak disadari oleh para pramuniaga perempuan. Mereka
menganggap hubungan dengan pihak toko, seperti yang tampak dipermukaan, tetap terjalin dengan baik. Kondisi ini membuat pramuniaga perempuan tidak banyak menuntut
ketika hak-hak mereka fasilitas kerja, tunjangan, uang lembur, dan lain-lain tidak diberikan. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka mempunyai hak yang harus
diperjuangkan. Melalui penelitian ini, penulis mendapati bahwa diantaranya ada juga pramuniaga
perempuan yang secara terang-terangan mengaku takut untuk menuntut apa yang menjadi haknya tersebut. Mereka masih banyak yang takut bicara atau menyerukan hak-haknya
kepada pihak toko, karena mereka juga takut untuk diminta mengundurkan diri atau dipecat. Ketakutan yang ada pada pramuniaga perempuan ini sebenarnya disebabkan
Universitas Sumatera Utara
101 karena telah terbentuk pola ketergantungan pada diri mereka. Ketergantungan ini bisa
tercipta atas dasar kepercayaan, akan tetapi bisa juga terjadi karena terpaksa Murniati, 1992:20.
Pola ketergantungan ini akan terus terbentuk jika pola hubungan yang terjadi antara pramuniaga perempuan dengan pihak toko masih berpola hubungan yang bersifat
vertikal atas bawah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan masih adanya pola lapisan atas dan bawah ini, maka pihak toko akan merasa berkuasa dan sebagai
tempat bergantung bagi pramuniaga perempuan. Seakan-akan pihak toko adalah “pelindung” bagi pramuniaga perempuan yang merasa aman “berlindung” dibawahnya.
Ketergantungan dari pramuniaga perempuan terhadap pihak toko, selain dikarenakan terbentuknya pola hubungan vertikal, juga secara tidak langsung disebabkan
oleh adanya over supply of worker didalam pasar tenaga kerja. Pihak toko akan dengan mudah melepas pramuniaga perempuan yang dianggap “mengulah”, karena penggantinya
akan sangat mudah didapat. Kondisi ini disadari betul oleh pramuniaga perempuan, sehingga mereka sangat menjaga hubungan dengan pihak toko. Di satu sisi karena dari
dalam diri mereka juga sudah timbul rasa tidak percaya diri untuk berontak karena takut dipecat. Kemudian di sisi lain, kondisi persaingan tenaga kerja yang ketat juga turut
menekan karena sewaktu-waktu banyak tenaga kerja perempuan lain yang akan dengan senang hati mengambil alih posisi mereka. Sungguh kenyataan yang sangat memilukan.
Sebenarnya hal ini bisa saja diatasi, jika saja diantara keduanya ada sistem perjanjian kerja yang jelas. Seharusnya pada awal akan masuk kerja, antara calon
pramuniaga perempuan dan pihak toko dilakukan suatu perjanjian kerja yang berupa surat perjanjian kerja bersama. Surat perjanjian ini akan memuat berbagai aturan perusahaan
Universitas Sumatera Utara
102 serta hak maupun kewajiban kedua belah pihak Bermana, 1996: 98. Namun pada
prakteknya perjanjian kerja tersebut tidak pernah ada. Banyak pramuniaga perempuan yang bahkan sama sekali tidak mengerti atau bahkan tidak mengetahui apa itu surat
perjanjian kerja bersama. Karena dulu ketika awal diterima bekerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak hanya dibacakan dalam bentuk pengarahan. Sehingga tidak aneh jika
banyak pramuniaga perempuan yang tidak paham hak dan kewajibannya. Lemahnya posisi pramuniaga perempuan kemudian dimanfaatkan oleh pihak toko
untuk terus-menerus mengeksploitasi mereka. Fasilitas minim, tidak diberikannya seluruh tunjangan, jam kerja yang panjang, kebijakan toko yang memberatkan pramuniaga
perempuan, diskriminasi didalam sistem pelatihan, diperlakukan seperti pembantu rumah tangga dan lain-lain adalah bentuk-bentuk pemanfaatan dari kondisi tersebut. Kalaupun
ada pramuniaga perempuan yang menuntut, maka tanggapan yang diberikan akan tidak memuaskan. Didalam banyak kasus perselisihan antara pramuniaga perempuan dengan
pihak toko, penyelesaian selalu dilakukan secara sepihak, dengan kerugian paling besar selalu dipihak pramuniaga perempuan.
Selama masih ada ketergantungan yang bersifat vertikal dari pramuniaga perempuan terhadap pihak toko, maka hubungan yang terjadi antara keduanya adalah
hubungan yang bersifat eksploitatif, dan kerugian akan selalu berada dipihak pramuniaga perempuan. Kondisi ini sebenarnaya bisa diubah, jika ketergantungan yang tidak bersifat
vertikal, akan tetapi mempunyai posisi horizontal. Posisi horizontal menunjukka n posisi yang bukan satu tergantung yang lain, melainkan saling tergantung Murniati, 1992:20.
Pramuniaga perempuan tidak selalu berada pada pihak yang membutuhkan dan toko pada
Universitas Sumatera Utara
103 pihak yang dibutuhkan, melainkan hubungan keduanya adalah atas dasar saling
membantu dan saling membutuhkan.
4. 6. Hubungan Sosial Pramuniaga Perempuan Dengan Rekan Kerjanya