opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam
tubuh. Untuk penderita AIDS yang sudah didiagnosa 3 tahun sebelumnya menunjukkan CFR 75 dan CFR yang sudah menderita AIDS selama 5 tahun adalah
100 Irianto, 2014.
c. Environment
Lingkungan fisik, kimia, biologis berpengaruh terhadap HIV. HIV tidak tahan hidup lama di lingkungan luar seperti panas, zat kimia desinfektan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, HIV relatif tidak mudah ditularkan dari satu orang ke orang lain jika tidak melalui cairan tubuh penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain Irianto,
2014. Faktor ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan norma-norma dalam masyarakat dapat mempengaruhi perilaku kelompok individu, baik perilaku seksual
maupun perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan tertentu. Bila lingkungan memberikan peluang pada perilaku seksual yang
“permisiveness” maka kelompok masyarakat yang seksual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas, sehingga
akan meningkatkan penyebaran HIV dalam masyarakat Irianto, 2014.
2.4 Transmisi HIVAIDS
Pola transmisi yang berhubungan dengan unsur tempat ke luar dan masuknya agen adalah proses penularan virus HIV melalui berbagai cara yaitu: secara horizontal
Universitas Sumatera Utara
melalui hubungan seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal
penularan dari ibunya ke bayi yang dikandungnya Murtiastutik, 2008. a.
Transmisi Seksual
Penularan utama dari HIV adalah melalui hubungan seksual dengan orang terinfeksi. Virus HIV dapat memasuki tubuh melalui vagina, vulva, penis, rektum
atau mulut saat melakukan hubungan seksual. Hal ini karena pada area-area tersebut, kulit sangat tipis dan dapat mudah robek sehingga menjadi pintu masuknya virus
HIV. Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa alat pelindung bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air
mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah.
Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual
Kurniawati, 2011.
Hubungan seksual penetrative sexual intercourse baik vaginal maupun oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual pasif
yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkirakan ¾ dari jumlah pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui
hubungan seksual dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria. Pada hubungan seksual ano-genital, yang dilakukan oleh para homoseks, mukosa rektum mudah mengalami
Universitas Sumatera Utara
perlukaan karena lapisan mukosa tipis dan tidak diperuntukkan untuk hubungan seksual seperti halnya dinding vagina. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-
genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Dan tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genito heteroseksual. Transmisi HIV melalui
hubungan heteroseks dapat terjadi dari pria-wanita maupun sebaliknya. Data yang ada menunjukkan bahwa transmisi dari pria pengidap HIVAIDS kepada wanita
pasangannya lebih sering terjadi dibandingkan dari wanita pengidap HIV kepada pria pasangannya. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang melaporkan bahwa 10
wanita pasangan seks telah terinfeksi HIV yang berasal dari 55 pria pengidap HIV dan hanya 2 pasangan seks terinfeksi HIV dari 25 wanita pengidap HIV.
b. Transmisi Non-seksual