Peranan PPATK dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana

2. Peranan PPATK dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana

Pencucian Uang Tujuan pembentukan lembaga PPATK adalah dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Pada dasarnya peran PPATK adalah sebagai strategi untuk mengatasi kejahatan baik kejahatan asal maupun kejahatan money laundering mengejar para pelaku kejahatan terutama profesionalnya, dan mengejar hasil harta kekayaan hasil kejahatan. PPATK sebagai FIU di Indonesia memiliki peranan baik yang bersifat preventif maupun represif. PPATK sebagian besar besifat preventif dalam mencegah kejahatan asal maupun tindak pidana pencucian uang dengan menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, dan laporan pembawaan uang tunai dengan menganalisa laporan tersebut dan menyerahkannya laporan hasil analisis kepada penegak hukum. Disamping itu, sebagai institusi sentral focal point dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, PPATK juga mengadakan berbagai kegiatan dalam membangun kesadaran publik akan bahaya pencucian uang. 116 Pelaksanaan upaya preventif dalam menaggulangi tindak pidana pencucian uang yang teleh dilakukan oleh PPATK yaitu baik secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang seperti mengeluarkan pedoman atau membuat peraturan dan pengawasan tingkat kepatuhan penyedia jasa keuangan maupun yang secara implisit seperti penyelengaraan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan. Kemudian untuk represif sifatnya tidak langsung, sifatnya lebih dengan cara membantu 116 Utami Triwidayati, Peranan PPATK Dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta : Universitas Indonesia, 2009, hal.66. aparat penegak hukum memberikan informasi-informasi keuangan dalam rangka mengungkapkan kasus-kasus yang ditangani. Kerja sama yang dilakukan PPATK dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 88 sampai Pasal 89 UU RI No.8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yaitu sebagai berikut : 117 1. Kerjasama nasional yang dilakukan PPATK dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal. 2. Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 3. Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas. PPATK telah melakukan penandatangan kerja sama dengan FIU dari beberapa negara sebagai bagian dari peranan PPATK dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, yaitu dengan FIU negara Filipina, Australia, Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Rumania, Belgia, Italia, Polandia, Peru, Cina, Spanyol, Kanada, Meksiko, Amerika Serikat. Kerja sama dengan FIU negara lain tersebut terutama berkaitan dengan pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Informasi yang dipertukarkan bersifat rahasia dan merupakan kewajiban masing-masing lembaga untuk menjaga kerahasiaannya, tidak dapat digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, tidak dapat dieruskan kepada pihak manapun tanpa izin tertulis dari pemilik informasi, serta masing- 117 Juni Sjafrien Jahja, Op.Cit., hal 71 masing lembaga dapat menolak untuk memberikan informasi yang diminta jika bertentangan dengan kepentingan negara masing-masing. 118 Selain itu PPATK juga berperan untuk melakukan kerjasama dengan PJK termasuk PJK bank sebagai salah satu pihak pelapor. PPATK bekerjasama dengan PJK bank dalam hal meminta laporan dari PJK bank apabila ada indikasi transaksi keuangan mencurigakan dari suatu transaksi yang dilakukan nasabah dengan bank, yang kemudian terhadap laporan yang telah diberikan PJK bank tersebut akan dianalisis oleh PPATK, untuk mengetahui benar atau tidaknya suatu transaksi yang dilaporkan PJK bank tersebut merupakan transaksi keuangan mencurigakan atau tidak. Bank merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan menyalurkan dana sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang baik melalui placement, layering, maupun integration. Bank sangat rentan bagi tindak pidana yang terorganisir sehingga sangat strategis untuk dimanfaatkan. Tindak pidana yang terorganisir biasanya bersembunyi dibalik suatu perusahaan atau nama lain nominees dengan melakukan perdagangan internasional palsu dab berskala besar dengan maksud untuk memindahkan uang yang tidak sah dari suatu negara ke negara lain. 119 Perusahaan yang digunakan untuk menyembunyikan kegiatan tindak pidana tersebut biasanya meminta kreditpembiayaan dari bank untuk menyamarkan aktivitas pencucian uang. Oleh karena itu perbankan harus berhati-hati terhadap kemungkinan dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang. 120 118 Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.193. 119 Bismar Nasution, Op.Cit., hal. 56 120 Ibid., hal.57. PPATK juga harus bekerjasama dengan penegak hukum lainnya seperti Jaksa, Polisi serta penegak hukum lainnya, sesuai dengan sistem peradilan pidana yang terpadu menjalin kerjasama antar sub sistem, dalam upayanya mencapai tujuan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, serta menghentikan para perilaku kejahatan, agar tidak memanfaatkan kegiatan pencucian uang, terutama menghentikan dari adanya kemungkinan untuk menikmati hasil yang diperoleh dari pencucian uang, mencegah pelaku untuk memanfaatkan kembali hasil kejahatannya, dan maupun mencegah pelaku untuk menginvestasikan kembali hasil yang diperoleh dari kejahatan. 121 Dengan demikian PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat melakukan kerja sama pertukaran informasi berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan, informasi dengan pihak, baik dalam lingkup nasional maupun internasional meliputi: 122 1. Instansi penegak hukum 2. Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan. 3. Lembaga yang bertugas memeriksa pengelola da tanggung jawab keuangan negara. 4. Lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang 5. Dan Financial Intelligence Unit FIU negara lain PPATK menyediakan sistem bagi para kriminal agar keadilan dapat ditegakkan melalui sistem hukum yaitu dengan cara mendeteksi dan menginvestigasi kegiatan kriminal yang dilakukan. Sehingga dengan hasil laporan dari PPATK dapat digunakan oleh penegak hukum sebagai bukti yang 121 Phatorang Halim, Penegakan hukum terhadap kejahatan pencucian uang di Era Globalisasi, Yogyakarta: Total Media, 2013 , hal.134. 122 Juni Sjafrien Jahja, Op.Cit., hal.72. relevan dalam mengungkapkan suatu kejahatan tindak pidana pencucian uang. PPATK hanya sebagai pusat informasi intelijen keuangan yang sifatnya hanya laporan saja yang selanjutnya lembaga tersebut akan menganalisisnya berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak pelapor. 123 Apabila ada indikasi tindak pidana pencucian uang dengan dilakukannya analisis transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK maka laporan tersebut akan di lanjutkan ke pihak yang berwenang melakukan penyidikan. Untuk selanjutnya akan ditindak lanjuti oleh pihak penyidik sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Namun apabila laporan hasil analisis transaksi keuangan yang mencurigakan yang sudah dilaporkan tersebut tidak ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum. Maka aparat penegak hukum harus menjelaskan secara detail kepada PPATK mengapa laporan hasil analisis transaksi mencurigakan tersebut tidak ditindak lanjuti. PPATK dapat menagih tindak lanjut laporan hasil analisis transaksi yang mencurigakan yang telah dilaporkan kepada penegak hukum. 124 Dengan demikian, PPATK melakukan penghimpunan dan penganalisisan informasi transaksi keuangan yang diperoleh PPATK dari Penyedia Jasa Keuangan baik itu PJK bank serta non-bank. Bila hasil analisis PPATK menunjukkan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil analisis tersebut akan diteruskan penuntutan kepengadilan oleh Kejaksaan. Sebagai badan negara, PPATK pun harus melaporkan hasil kerja kepada Presiden, DPR 123 Phatorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi,hal.134 124 Ibid., hal.135. dan otoritas industri keuangan yang terkait secara berkala. 125 Dalam upaya memberantas tindak pidana pencucian uang ada beberapa kendala yang dihadapi oleh PPATK, yaitu: 126 1. Kendala interen dari dalam seperti yang berasal dari peraturan perundang- undangan; dapat terdiri dari: a. Jangkauan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang; b. Kedudukan PPATK sebagai lembaga penegak hukum menurut sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan pencucian uang, yaitu hanya menyatak PPATK berfungsi secara administratif membantu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan; c. Belum terakomodirnya 49 Rekomendasi FATF sebagai acuan suatu negara dalam upaya memberantas tindak pidana pencucian uang; d. UU TPPU belum mengatur hukum acara dalam pemeriksaan tindak pidana pencucia uang secara khusus; e. Kendala yang berasal dari kelembagaan PPATK, yang berupa antara lain: jumlah persinil ang relatif sedikit, jika dibandingkan dengan tugas menganalisis yang dilaporkan PJK kemampuan personil PPATK yang mampu menganalisis baik laporan maupun bentukbentuk baru tindak pidana pencucian uang, penggunaan prasarana yang mutakhir dan jumlah personil yang mampu menggunakan prasarana; 2. Kendala ekstern yang berasal dari luar, seperti pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan PPATK, tingkat kepatuhan PJK dalam melaporkan transaksi yang wajib dilaporkan, kerjasama yang dibangun antara PPATK dengan lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang belum optimal dimana PPATK jarang dilibatkan, dan analisis PPATK yang tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian dengan alasan tidak cukup bukti. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala terutama yang berhubungan dengan kelemahan hukum dan perundang-undangan, yaitu : 127 125 Ivan Yustiavandana, ArmanNefi, Adiwarma, Op.Cit, hal.111. 126 Idham Timin, Andi Sofyan dan H.M. Djafar Saidi, Kedudukan PPATK Dalam Kaitan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jurnal Hukum, 2008, hal 5. a. Memperluas deteksi tindak pidana pencucian, yaitu melalui perluasan ruang lingkup tindak pidana pencucian uang mulai dari sumber atau lokasi asal sampai pada peruntukkannya; b. Menghindari keragaman penafsiran dan atau menutup celah hukum atau loopholes, yaitu untuk menyatukan penafsiran tentang tindak pidana pencucian uang dan pengaturan mengenai hukum beracara terutama pengaturan beban pembuktian terbalik; c. Memperluas jangkauan aparat penegak hukum dalam penanganan TPPU, yaitu diantaranya dengan pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan adanya tindak pidana pencucian uang d. Menata hubungan dan kewenangan dari pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang, dan, e. Memperkuat kelembagaan PPATK, yaitu dengan meningkatkan status PPATK menjadi penyelidik, pembentukan PPATK melalui UU TPPU dengan tujuan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonasia dalam pelaksaannya menemui beberapa kelemahan baik dari sisi perundang- undangan maupun dari sisi kesiapan personil dari PPATK sendiri, ini semua tentu saja menjadi kendala bagi penegakan rezim anti pencucian uang yang sedang digalakkan. Beberapa arah kebijakan yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan sebagai antisipasi dari PPATK untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat menggangu dan menjadi penghambat bagi PATK khususnya dan bagi penegakan anti rezim pencucian uang pada umumnya. Adapun yang menjadi arah kebijakan penanganan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah upaya dan langkah yang tepat berupa penguatan enam pilar utama yang satu sama lain erat kaitannya, yaitu: 128 Pilar Pertama, penguatan hukum dan peraturan perundang-undangan, ditujukan agar tersedianya peraturan dan perundang- undangan yang kuat, yaitu yang dapat menciptakan ketegasan dan kejelasan tentang pelaksanaan rezim anti pencucian uang sehingga mempermudah proses penegakan hukumnya. Penegakan ini dimaksudkan juga untuk menyesuaikan peraturan perundangan agar sesuai dengan norma yang berlaku secara 127 Ibid., hal.6. 128 Ibid., hal 7 internasional seperti yang diamanatkan dalam revisi 40 rekomendasi dan 9 rekomendasi khusus FATF. Penguatan ini diwujudkan dengan aktif dalam penyusunan penyusunan RUU yang berkaitan dengan penegakkan rezim anti pencucian uang seperti RUU Tindak Pidana korupsi, RUU Pengadilan Tindak Pidana korupsi, RUU Penyitaan dan Pengembalian Aset dan lain-lain, melakukan kajian atas beberapa putusan perkara tindak pidana pencucian uang, pemberian keterangan dalam statusnya sebagai saksi ahli dalam persidangan tindak pidana pencucican uang, pemberian analisis dan pendapat hukum, aktif dalam pembahasan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi, menindak lanjuti Ratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized crime TOC, aktif di FATF Working Group on Evaluations and Implementation WGEI, serta melakukan sosialiasai rezim anti pencucian uang di Indonesia, dan lain-lain aktifitas yang berhubungan dengan penguatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Pilar kedua, penguatan sumber daya manusia dan sistem teknologi informasi yang bertujuan untuk menyediakan sarana informasi dan komunikasi global yang terintegrasi dan terjamin keamanannya, serta menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, terampil dan memiliki moral yang tinggi dan pada gilirannya dapat mengefektifkan dan mengefisienkan rezim anti pencucian uang. Untuk itu Indonesia perlu memiliki sistem informasi dan teknologi dengan database yang cukup memadai dan dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Untuk penguatan sumber daya manusia ini diwujudkan melalui perekrutan pegawai tetap dan pegawai kotrak untuk bekerja di PPATK dimana kedepan diharapkan Kepala PPATK memiliki kewenangan untuk dapat mengangkat pegawai tetap sendiri, selanjutnya upaya pemberdayaan sumber daya manusia ini PPATK memprogramkan studi lanjut melalui pendidikan formal Strata 2 S2 di dalam dan di luar negeri bagi pegawainya guna meningkatkan kompetensinya, selain itu mengikut sertakan pegawainya dalam program sertifikasi di bidang Anti Money Laundering AML antara lain: Counter Financing Terrorisme, Certified Froud Examination dan Mutual EvaluationTraining Workshop, dan untuk peningkatan karir bagi pegawainya PPATK menerapkan Sistem Pengolahan SDM PPATK yang berbasis kinerja merrit system. Sedangkan penguatan sistem teknologi diwujudkan melalui peningkatan pelayanan dengan pengadaan perangkat keras hardware, perangkat lunak software, pengembangan sistem aplikasi yang dilaksanakan secara intensif bekerjasama dengan direktorat terkait, perbaikan dari sisi database yang dilaksanakan berkelanjutan sehingga aplikasi yang dihasilkan dapat mendukung pelaksaaan tugas-tugas serta dapat meningkatkan kualitas data yang akurat. Pilar ketiga, penguatan pada analisis dan kepatuhan, yang bertujuan untuk membangun suatu kondisi yang dapat mendorong dan peningkatkan kepatuhan PJK untuk melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan dan transaksi keuangan tunai kepada PPATK, dan dengan melaksanakan program-program pelatihan khusus secara berkesinambungan mengenai metode dan teknik analisis Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan LTKM dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai LTKT serta senantiasa mengikuti perkembangan tipologi pencucian uang. Pilar keempat, penguatan kerjasama domestik dan internasional, ditujukan untuk menjalin kerjasama yang baik dan menciptakan koordinasi yang solid antar instansi domestik dan memperkuat kerjasama internasional agar kerjasama dan koordinasi lintas sektoral yang efektif dan efisien dapat terwujud diperlukan suatu kerangka berfikir, orientasi dan pemahaman yang sama dalam penanganan tindak pidana pencucian uang, sedangkan untuk meningkatkan kerjasama internasional, Indonesia perlu menggalang dan memperkuat kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional seperti FIU dari negara-negara lain sehingga proses tukar-menukar informasi intelijen dibidang keuangan menjadi semakin mudah dan cepat, tanpa perlu mengorbankan aspek kerahasian dan kedaulatan negara. Pilar kelima, penguatan pada kelembagaan, bertujuan untuk mewujudkan kelembagaan yang kokoh, efisien dan berkinerja tinggi yang sangat diperlukan dalam upaya pembentukan rezim anti pencucian uang yang efektif di Indonesia. Termasuk dalam pilar kelima ini adalah bagaimana membangun, mengembangkan, melembagakan dan mensosialisasikan kelembagaan dalam bentuk pranata-pranata sosial seperti nilai-nilai budaya yang sejalan dengan pencegahan dan pemberantasan money laundering. Pilar keenam, peningkatan penelitian dan pengembangan, merupakan salah satu prasyarat penting di dalam mengembangkan rezim anti pencucian uang Indonesia. Penelitian dan pengembangan merupakan kegiatan think thank yang bertujuan untuk menyusun hasil penelitian dan membuat rekomendasi yang objektif, sistematis dan komprehensif mengenai kelemahan dan keunggulan yang dimiliki oleh rezim. Kegiatan penelitian dan pengembangan merupakan kebutuhan nyata mengingat bahwa money laundering merupakan kejahatan yang modus operandinya terus berkembang dengan memanfaatkan layanan jasa keuangan yang semakin canggih serta berbagai skema perdagangan bisnis yang semakin kompleks, ataupun dengan modus operandi lainnya. Berdasarkan uraian-uraian di atas terlihat betapa dominannya peran lembaga keuangan dalam terjadinya tindak pidana pencucian uang, mulai dari masuknya harta kekayaan hasil dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan tahap penempatan sampai pada pemanfaatan kembali harta tersebut tahap integrasipenggabungan. Keterlibatan Bank Indonesia sebagai lembaga yang turut mengawasi lembaga keuangan perbankan dalam pelaksanaan dan penerapan prinsip mengenal nasabah dan kewajiban terkait dengan undang-undang tindak pidana pencucian uang, menandakan hukum ekonomi dapat dilibatkan dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dengan demikian, PPATK dapat melakukan pendekatan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi. Walaupun berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang tetapi kedua pendekatan tersebut hanya bisa dibedakan dan tidak dapat dipisahkan, bahkan dinyatakan antara pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi merupakan suatu keterpaduan. Pendekatan ini dimaksudkan bahwa, pada setiap kejahatan pencucian uang terdapat dua kejahatan, dimana pada kejahatan yang pertama merupakan kejahatan sebagai predicate offence, tapi pada kejahatan yang kedua merupakan kejahatan yang berhubungan dengan lembaga keuangan yang pengaturannya lebih banyak menggunakan hukum ekonomi. Pendekatan hukum ekonomi ini diawali dengan pendekatan preventif yang mengutamakan agar lembaga keuangan tidak dimanfaatkan untuk menempatkan harta dari kejahatan dengan menggunakan prinsip mengenal nasabah yang mengharuskan nasabah memberikan informasi yang benar dan akurat tentang identitas nasabah dan harta kekayaannya, pengawasan kepatuhan lembaga keuangan dalam melakukan pelaporan dan penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, dilanjutkan dengan upaya represif melalui pendekatan hukum pidana dengan member sanksi bagi lembaga keuangan yang tidak melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan atau transaksi yang telah ditentukan oleh UU TPPU. 129 129 Ibid., hal 8 BAB III IDENTIFIKASI TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN BANK A. Peranan Penyedia Jasa Keuangan Bank Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang mendefenisikan Penyedia Jasa Keuangan PJK dalam Pasal 17 huruf a, bahwa PJK ialah setiap pihak yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya baik secara formal maupun non formal yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, namun juga termasuk perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro, pedagangan valuta asing, penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, penyelenggara e-money danatau e-wallet,koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi, dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. 130 Sedangakan penyedia jasa keuangan bank ialah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit serta jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. 131 Pihak PJK baik itu PJK bank maupun non-bank perlu menyadari pentingnya pembersihan lembaganya dari berbagai peluang pencucian uang. Tidak hanya bagi penegak hukum, tetapi juga menghadapi resiko yang sangat mungkin menerpa terhadap pihaknya, yakni resiko reputasi, resiko operasional, 130 Pasal 17 huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 131 Wiji Nurastuti., Loc.Cit. resiko hukum, dan resiko konsentrasi. 132 Dari aspek resiko hukum, PPATK bertekad mengefektifkan sanksi pidana bagi PJK yang tidak melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. 133 Peranan PJK bank dalam upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang ialah mengefektifkan penerapan ketentuan agar lembaga keuangan harus mengenal dengan baik setiap nasabahnya dan transaksinya yaitu dengan menerapkan prinsip mengenali nasabah. Dengan mengenal profil nasabah dan transaksi yang dilakukannya maka lembaga keuangan dapat mengidentifikasi terjadinya transasksi keuangan mencurigakan atau transaksi yang tidak normal, untuk kemudian dilaporkan kepada PPATK. 134 Dengan kata lain bahwa setiap PJK, baik itu PJK bank maupun PJK non- bank juga berperan untuk melaporkan maupun menyampaikan laporan kepada PPATK apabila ada indikasi transakasi keuangan yang mencurigakan, yang kemudian laporan tersebut akan di periksa oleh PPATK dan apabila memang benar bahwa ada indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan maka PPATK akan menyampaikannya kelembaga penegak hukum lainnya yang memiliki kewenangan akan hal itu. 135 Laporan akan adanya indikasi transaksi keuangan mencurigakan dilakukan PJK bank dengan mengidentifikasi transaksi yang dilakukan nasabah dan apabila PJK bank tidak melaksanakan kewajiban identifikasi transaksi keuangan mencurigakan untuk kemudian dilaporkan kepada PPATK maka PJK bank akan dikenai sanksi administratif. 132 Yunus Husein, Op.Cit., hal.109 133 Ibid,. hal.110 134 Ibid 135 Yunus Husein., Op.Cit., hal.109. Pasal 24 Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-111.02PPATK062013, sanksi administratif tersebut dapat berupa : a. Teguran tertulis b. Pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi, danatau c. Denda administratif. Pengenaan sanksi administratif ini dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur LPP dan juga oleh PPATK. Lembaga Pengawas dan Pengatur LPP adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, danatau pengenaan sanksi terhadap PJK bank maupun non-bank. Lembaga pengawas untuk PJK adalah Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut OJK, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penyidikan sektor jasa keuangan di Indonesia. OJK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Sebelum OJK dibentuk, pengawasan lembaga jasa keuangan di industri pasar modal dan industri keuangan non-bank dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Bapepam-LK, dan industri perbankan diawasi oleh Bank Indonesia BI. Pengalihan pengawasan lembaga jasa keuangan dari kedua lembaga dimaksud ke OJK dilakukan secara bertahap. Untuk industri pasar modal dan industri keuangan non-bank pengalihan dimaksud dilakukan pada tanggal 31 Desember 2012, sedangkan untuk industri perbankan pada tanggal 31 Desember 2013. Di samping itu, pada tahun 2015, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, OJK memiliki tugas untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan lembaga keuangan mikro. 136 Pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk melakukan penataan kembali lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Hal tersebut dilandasi oleh berbagai hal, yaitu: 137 1. Amanat undang-undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. Undang-undang tersebut mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. 2. Perkembangan industri keuangan Proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi keuangan telah menciptakan industri keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait. 3. Konglomerasi lembaga jasa keuangan 136 Kusumaningtuti S. Soetiono, Mengenal Otoritas Jasa Keuangan dan Industri Jasa Keuangan, Jakarta : OJK, hal.11. 137 Ibid., hal 12. Saat ini terdapat kecenderungan lembaga jasa keuangan besar memiliki beberapa anak perusahaan di bidang keuangan yang berbeda-beda kegiatan usahanya konglomerasi. Misalnya, bank memiliki anak perusahaan dalam bentuk asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan pembiayaan, dan dana pensiun. Konglomerasi lembaga keuangan tersebut mendorong terciptanya kompleksitas kegiatan usaha lembaga jasa keuangan. 4. Perlindungan konsumen Permasalahan di industri jasa keuangan yang semakin beragam, antara lain meningkatnya pelanggaran di bidang jasa keuangan dan belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, mendorong diperlukannya fungsi edukasi, perlindungan konsumen, dan pembelaan hukum. Dari hal-hal tersebut perlu dibentuk suatu lembaga yang dapat mengatur dan mengawasi semua lembaga jasa keuangan secara terintegrasi, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Salah satu karakteristik khusus yang dimiliki OJK serta menjadi nilai tambah keberadaan OJK sebagaimana diamanatkan dalam UU OJK adalah kewenangannya di bidang edukasi dan perlindungan konsumen. Kewenangan ini tercermin dalam amanat Pasal 4 UU No.21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: 138 a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. OJK juga mempunyai fungsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 yaitu OJK berfungsi menyelenggarakan sistem 138 Ibid., hal 14. pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Dan Pada Pasal 6, di sebutkan bahwa OJK memiliki tugas yaitu melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor perbankan, dalam Pasal 7 UU No.21 Tahun 2011 menyebutkan OJK mempunyai wewenang: 139 a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur; 4. pengujian kredit credit testing; dan 5. standar akuntansi bank; c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank; 3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. pemeriksaan bank. 139 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, OJK mempunyai wewenang: 140 a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tenjak OJK; b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK; d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, maka OJK mempunyai wewenang: 141 a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, danatau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan danatau pihak tertentu; e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter; g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h. memberikan danatau mencabut: 1. izin usaha; 140 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 141 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 2. izin orang perseorangan; 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.

B. Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah