Keaslian Penulisan Sejarah Terjadinya Pencucian Uang

memberantas tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan pemberian informasi tentang adanya transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi tindak pidana pencucian uang kepada PPATK. 2. Untuk memberikan masukan bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme kerjanya dalam upaya membantu PPATK dalam memberantasan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, maupun media elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf Belanda, yang ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht. 17 Dalam KUHPid Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tidak diberikan defenisi terhadap istilah tindak pidana 17 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal.24. atau strafbaarfeit. Karenanya, para penulis hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam undang- undang, antara lain dalam KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . 18 Menurut Moeljatno, pengertian hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 19 1. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 2. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Mengenai definisi dari tindak pidana ada 2 dua pandangan yang berbeda dari para sarjana yakni pandangan dualisme dan pandangan monisme. Pertama, Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Salah satu sarjana terkenal penganut pandangan ini adalah Moeljatno. 20 Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada 18 Frans Maramis, Hukum Pidana umum dan tertulis di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal.57. 19 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal.1. 20 Adami Chazawi,Op.Cit.,hal.72. perbuatannya yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. 21 Kedua, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Salah satu sarjana terkenal yang menganut pandangan ini adalah Simon. 22 Simon merumuskan strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena: 23 1. Untuk adanya suatu srafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh Undang- Undang. 3. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling. Suatu perbuatan dapat dikatan sebagai suatu perbuatan pidana tentunya ada unsur-unsur dari suatu yang dikatakan tindak pidana telah dilakukan oleh yang bersangkutan. Adapun unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut. a. Unsur Objektif 21 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal.7. 22 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.75. 23 Evi Hartanti, Op.Cit., hal.5. Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : 1 Sifat melanggar hukum, 2 Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sabagai akibat. 24 b. Unsur Subjektif Unsur subjektif ialah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari : 25 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. 2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP. 3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya. 4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. 5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP. Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut azas yang dinamakan azas legalitas principle of legality, yakni suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dalam bahasa latin, berbunyi: Nullum delictum nulla poena sine previa legi 24 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers, 2102, hal.50. 25 Ibid.,hal.51. poenalli tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. 26

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Tidak ada defenisi yang seragam dan komprehensif meneganai pencucian uang atau money laundering. Masing-masing negara memiliki defenisi mengenai pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan menurut hukum negara yang bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, dan negara-negara maju mempunyai defenisi sendiri mengenai pencucian uang berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda, tetapi semua negara sepakat, bahwa pemberantasan pencucian uang sangat penting untuk melawan tindak pidana yang bekenaan dengan tindak pidana pencucian uang. 27 Terdapat beberapa pengertian tentang pencucian uang money laundering, namun secara umum pengertian atau defenisi tersebut tidak jauh berbeda satu sama lain. Departemen Perpajakan Amerika Serikat tahun 1960 mendefenisikan bahwa: Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang, yang secara akal sehat dipercayai berasal dari tindak pidana, yang dialihkan, ditukarkan, atau disatukan dengan dana yang sah, dengan tujuan untuk menutupi ataupun mengaburkan asal, sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun kepemilikan dari proses tersebut. Tujuan dari proses pencucian uang adalah membuat dana yang berasal dari atau diasosiasikan dengan kegiatan yang tidak jelas menjadi sah. 28 Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan 26 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2003, hal.2. 27 Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Op.Cit., hal.10. 28 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana khusus , Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hal 18 bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal, dengan demikian asal uang itu pun tertutupi. 29 Dalam Black’s Law Dictionary, istilah Money Laundering diartikan : Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drung transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that it’s original sources can not be traced. Money laundering is a federal crime. Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang adalah penyetoranpenanaman uang atau bentuk lain dari pemindahanpengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang illegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahuidilacak. 30 Tidak jauh berbeda dengan pengertian itu, Sarah N.Welling mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh seseorang menyembunnyikan keberadaan, sumber ilegal atau aplikasi ilegal dari pendapatan dan kemudian menyamarkan pendapatan itu menjadi sah. Sarah N. Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu proses mengaburkan, menyembunyikan uang-uang ileegal melalui sistem keuangan sehingga ia akan muncul kembali sebagai uang yang sah. 31 Berdasarkan pengertian money laundering yang terdapat di dalam Black’s Law Dictionary diatas, secara umum yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang adalah sebagai berikut : 32 29 Philips Darwin, Money Laundering- Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2002, hal.9. 30 Black’s Law Dictionary dalam Juni Sjafrein Jahja, Op.Cit., hal. 4. 31 Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Log.Cit. 32 Black’s Law Dictionary dalam Juni Sjafrein Jahja, Op.Cit.,hal.7. a. Adanya uang dana yang merupakan hasil yang illegal. b. Uang haram tersebut diproses dengan cara-cara tertentu melalui kelembagaan yang legal sah. c. Dengan maksud menghilangkan jejak, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat atau sulit diketahui dan dilacak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan perundang-undangan tersebut, dan telah disempurnakan dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, menyebutkan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dengan ketentuan dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang- undang ini. Hal-hal yang tergolong dan dimasukkan sebagai hasil tindak pidana pencucian uang dapat ditemukan dalam pasal 2 ayat 1 yang dikenal sebagai tindak pidana asal. 33 Dari beberapa defenisi dan penjelasan mengenai tindak pidana pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah: “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal- usul harta tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara lain dan terutama memasukkan 33 Ibid.,hal. 6. uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal. 34

3. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan

Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak danatau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Sedangkan Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, danatau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan danatau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. 35 Undang-undang tindak pidana pencucian uang menggunakan istilah “Transaksi Keuangan Mencurigakan”, istilah “mencurigakan” memiliki konotasi bahwa transaksi keuangan tersebut seolah-olah sudah pasti terkait dengan tindak pidana sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan istilah transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan dan tidak wajar dan selalu terkait dengan tindak pidana tertentu. Istilah “transaksi keuangan mencurigakan” atau suspicious transaction dalam terminologi anti pencucian uang digunakan pertama kali oleh the Financial Action Task Force on Money Laundering FATF dalam the Forty Recomendations tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam prakteknya setiap negara dapat menggunakan istilah yang berbeda. Istilah yang digun akan tidak hanya „transaksi keuangan mencurigakan”, tetapi juga dengan 34 Yusup Saprudin, Op.Cit.,hal.16. 35 Pasal 1 ayat 4,5, Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor PER-041.02PPATK032014. istilah lainnya seperti “transaksi yag menyimpang dari kebiasaan” atau unsual transaction. 36 Berdasarkan peraturan yang telah dibuat oleh PPATK, mendefenisikan bahwa transaksi keuangan mencurigakan selanjutnya di singkat dengan TKM, adalah: 37 a. Transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. b. Transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah : 38 a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karateristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Penggguna Jasa yang bersangkutan: b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana ; atau, d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk diaporkan oleh Pihak Pelapor karea melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari transaksi 36 Bismar Nasution, Op.Cit., hal 506 37 Pasal 1 ayat 6, Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuagan Nomor PER-041.02PPATK032014. 38 Pasal 1 Ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan, yaitu: 39 a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas b. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar danatau dilakukan secara berulang-ulang diluar kewajaran c. Diluar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah. Apabila diperlukan PJK dapat melakukan klarifikasi atau meminta dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi.

4. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan PJK

Penyedia Jasa Keuangan PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan, termasuk tapi tidak terbatas pada bank tetapi juga lembaga non-bank. PJK termasuk sebagai pihak pelapor yaitu pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK apabila terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 butir 5 memberikan defenisi tentang PJK, yaitu : 40 bahwa PJK ialah setiap pihak yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelolaan reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos. Defenisi PJK besifat luas, mencangkup semua PJK yang bergerak di bidang keuangan, baik berada didalam sistem keuangan maupun yang diluar itu. 39 Bismar Nasution, Loc.Cit 40 Yusup Saprudin, Op.Cit., hal. 61. Namun yang menjadi tumpuan dalam penulisan skripsi ini ialah PJK yang bergerak dalam sistem keuangan bank. Bank merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan menyalurkan dana sehingga sangat strategis digunakan sebagai sarana pencucian uang. Pada Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kerdit danatau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menerapkan taraf hidup rakyat banyak. 41 Sedangkan berdasarkan SK Menteri Republik Indonesia Nomor 792 tahun 1990 pengertian bank adalah suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna untuk membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. 42 Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila penyedia jasa keuangan melaksanakan kewajibannya dalam melaporkan setiap transaksi keuangan mencurigakan. Laporan disampaikan kepada PPATK sebagai lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan sesuai UU TPPU yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Laporan yang disampaikan oleh PJK termasuk PJK Bank kepada PPATK akan menjadi bahan analisis bagi PPATK dan hasil analisis tersebutlah yang 41 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 42 Wiji Nurastuti, Teknologi Perbankan, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011, hal. 22. kemudian akan menentukan apakah laporan tersebut akan diserahkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti atau tidak. Sehingga, PJK adalah pihak yang paling berperan sebagai unjung tombak dalam melacak transaksi keuangan mencurigakan. 43

F. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan bahan-bahan di dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan suatu cara atau metode yaitu :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normativ merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. 44

2. Bahan Hukum

Sebagaimana umumnya, penelitian normativ dilakukan dengan penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang- 43 Ibid., hal.262. 45 Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal.67. undangan yang diurut berdasarkan hirarki, 45 seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PPATK yakni: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, 4. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-111.02PPATK062013 Junto Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER- 041.02PPATK032014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 1128PBI2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. 46 Dalam hal penulisan sikripsi ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku teks tentang Pencucian Uang money laundering, Tindak Pidana Pencucian Uang 46 Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Metodologi Hukum Normatif, Surabaya : Bayumedia, 2008, hal.282. 47 Ibid., hal.296. TPPU,tentang Penyedia Jasa Keuangan PJK dan tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 47 Misalnya kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya yang relevan dengan skripsi ini. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir. 48

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan library research, yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analisis Bahan Hukum

Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diuraikan secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalan skripsi ini. 47 Ibid 48 Bambang Sunggono, Op.Cit., hlm.117.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 empat bab, dan masing-masing terdiri dari beberapa sub-sub bab. Adapun susunannya adalah :

BAB I : Bab ini berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai

latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penelitian dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Bab ini berisikan tentang Upaya Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan yang dalam garis besarnya dituangkan dalam 4 empat sub, yaitu : Sejarah Terjadinya Pencucian Uang, Objek dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang, Alasan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK. BAB III: Bab ini berisikan tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank. Dalam Bab ini Penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan, yang dalam garis besarnya dituangkan ke dalam 6 enam sub, yaitu: Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan, Peranan Penyedia Jasa Keuangan Bank, Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah, Tujuan Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah Kepada Penyedia Jasa Keuangan, Tata Cara Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank, Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank.

BAB IV: Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang

Istilah pencucian uang atau money laundering baru diperkenalkan kurang lebih pada tahun 1920-an, meskipun perbuatan pencucian uang sesungguhnya telah ada sejak abad ke-17, perbuatan ini dilakukan oleh bangsawan Prancis yang membawa uangnya dari hasil kejahatan untuk disimpan di Swiss, berkat pertolongan bangsawan Swiss, harta tersebut dapat dinikmati oleh bangsawan Prancis dengan tenang. Pada tahun 1920-an, para pelaku kejahatan terorganisasi di Amerika Serikat, mencuci uang hasil kejahatannya melalui usaha binatu laundry. Mereka banyak mendirikan usaha binatu sebagai tempat atau kedok untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya. 49 Tahun 1980-an adalah masa perkembangan bisnis haram di berbagai negara. Perdagangan narkotika dan obat bius, misalnya mampu menghasilkan omset yang sangat besar. Dari sinilah mulai muncul istilah narco dollar untuk menyebut uang haram yang dihasilkan dari perdagangan narkotika. Fenomena tersebut merupakan pemantik lahirnya istilah “Pencucian Uang”. Istilah ini mulai digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1986, kemudian dipakai secara internasional serta konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB pada tahun 1988. 50 49 J.E Sahetapy, Bisnis Uang Haram, Jakarta : KHN, 2003, hal.11. 50 Philips Darwin, Op.Cit., hal.12. Berdasarkan prosesnya, pencucian uang dalam sejarahnya dibedakan menjadi : 51 a. Cara modern, yaitu yang umumnya dilakukan melalui tahap placement, layering, dan integration. b. Cara Tradisional, yaitu dilakukan melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat tertutup, misalnya bank rahasia hui hoi atau The Chinese Chip Chop di China, sistem pengiriman uang tradisional yang disebut hawala di India, dan hundi di Pakistan. Menurut Billy Steel, istilah money laundering berasal dari Laundromats, nama sebuah tempat pencucian pakaian secara otomatis di Amerika Serikat. Perusahaan yang dimiliki oleh kelompok mafia ini dipilih untuk menyamarkan uang haram menjadi uang sah. 52 Kalangan mafia memperoleh penghasilan besar dari bisnis pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penyelundupan minuman keras. Mereka kemudian membeli atau mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang bisnis halal untuk mengaburkan asal usul uang dari bisnis haram. 53 Sejak itulah, perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang hasil kejahatan disebut dengan money laundering. Money laundering merupakan sebuah istilah yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat untuk menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah diperoleh dari sumber yang sah. Singkatnya, istilah money laundering pertama kali digunakan dalam konteks hukum dalam sebuah kasus di Amerika Serikat tahun 1982 menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokain Colombia. 51 Ibid. 52 Billy Steel dalam Philips Darwin, Money Laundering-cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian uang, Sinar Ilmu, 2010, hal.12. 53 Ibid.,hal.13. Dalam perkembangannya, proses yang dilakukan lebih kompleks lagi, dan sering menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah benar secara alami. Dengan cara demikian, membuat suatu kejelasan pembenaran untuk pengawasan atau kepemilikan uang yang dicuci. 54 Pengaturan hukum tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam undang-undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Perubahan dalam undang-undang ini, antara lain meliputi : 55 a. Cangkupan pengertian penyedia jasa keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan, tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada dimasyarakat. b. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga hasil tindak pidana. c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp.500.000.000,00 atau lebih atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena tidak sesuai lagi dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh. d. Cangkupan tindak pidana asal predicate crime diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal- usul hasil tindak pidana, tetapi perbuatan tersebut tidak dipidana. e. Jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar harta kekayaan yang 54 Arief Amrullah, Money Laundering, Malang : Bayumedia, 2004, hal.9. 55 Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal.9. diduga berasal hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak. f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik anti-tipping off. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum mutual legal assistance dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama timbal balik tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasioanl untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral, tetapi juga regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisasi. Pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 56 Dalam perkembangannya tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yuridiksi dan berbagai modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuagan bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Peraturan yang telah ada yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pegeseran beban pembuktian, keterbatasan informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jesnis pelaporannya serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari pelaksana undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang 56 Ibid., hal 10. ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional perlu disusun undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. Perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, antara lain: 57 1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang ; 2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang ; 3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi adaministratif ; 4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa ; 5. Perluasan pihak pelapor ; 6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedian barang danatau jasa lain ; 7. Penataan mengenai pengawasan kepatuhan ; 8. Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi; 9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain kedalam atau ke luar daerah pabean; 10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang; 11. Perluasan instansi yag berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK; 12. Penataan kembali kelembagaan PPATK; 13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi; 14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang;dan 15. Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. 57 Penjelasan Umum Undang-Undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur- unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. 58 Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pemerintah seperti pembentukan undang-undang tindak pidana pencucian uang masih belum bisa sepenuhnya mencegah dan mengatasi kejahatan pencucian uang hal ini disebabkan berbagai aspek, yaitu : 59 1. Lemahnya penegakan hukum, terlepas dari korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik, masalah serius lainnya dalam menangani pencucian uang dan pelanggaran hukum. Dalam hal narkoba misalnya, para pengguna dan pemasok narkoba tidak benar-benar takut tertangkap karena hukuman maksimal terhadap para pengedarnya jarang dijatuhkan. 2. Kurangnya kesadaran masyarakat, pada umumnya kesadaran masyrakat umum tentang tindak pidana pencucian uang masih sangat rendah. Hanya sedikit orang yang memahami bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana. 3. Lambatnya hukum badan legislatif, hal ini terlihat jelas, dimana Indonesia menolak untuk mengesahkan rancangan undang-undang pada tahun 1996. Terdapat kekhawatiran bahwa pemberlakuan undang-undang dan peraturan mengenai pencucian uang secara tergesa-gesa akan menimbulkan resiko kaburnya modal investor ke luar negeri dan mengancam perekonomian nasional. Kendala lainnya dalam penegakan hukum atas kejahatan pencucian uang adalah persoalan pembuktian yang harus dilakukan oleh Jaksa. Undang-undang tindak pidana pencucian uang menganut sistem pembuktian terbalik, dimana justru terdakwa yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia bersalah. Keten tuan ini menyimpang dari prinsip “jaksa membuktiakan”, yaitu prinsip hukum pidana yang menganut bahwa jaksa diwajibkan membuktikan dalil-dalil 58 Aziz Syamsuddin, Op.Cit. hal.21. 59 Philips Darwin, Op.Cit., hal.96. dakwaan yang diajukan. Namun, adanya hak terdakwa demikian tidak berarti bahwa jaksa penuntut umum tidak lagi mengajukan pembuktian sebaliknya, namun bagi jaksa penuntut umum diberikan tetap keawajiban untuk membuktikan dakwaannya. Pembuktian terdakwa hanya merupakan fakta yang menguntungkan dirinya, pembuktian seperti ini lah yang disebut pembuktian terbalik terbatas. 60 Menurut Raj Bhala, terdapat dua hal mendasar dalam setiap penuntutan pencucian uang yang merupakan tugas Jaksa. Pertama, pemahaman unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang sangat rumit. Permasalahan akan semakin meningkat manakala kejahatan itu melibatkan pengguna jasa wire system akiabat tuntutan efesiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka. Kedua, saat ini hampir semua negara telah menerapkan wire transfer system secara internal antar-bank dan lembaga keuangan. Ini merupakan cara memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah dilacak oleh jangkauan hukum, sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail. 61 Pada umumnya unsur yang harus dibuktikan dalam ketentuan anti- pencucian uang adalah unsur subyektif mens rea dan unsur obyektifnya actus reus. Dalam mens rea, yang harus dibuktikan adalah knowledge mengetahui atau patut diduga dan intended bermaksud. Hal-hal mendasar yang telah disebutkan berkaitan dengan terdakwa yang mengetahui dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Namun pembuktian ini sulit karena apabila terdakwa sangat mungkin dapat menyembunyikan hasil kejahatannya secara baik. Oleh karena penegakan hukum progresif menjadi faktor yang sangat penting dalam mencegah TPPU. 62 60 Yusup Saprudin, Op.Cit., hal.89 61 Raj Bhala dalam Philips Darwin, Money laundering –cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian Uang,Penerbit Sinar Ilmu,2021,hal. 99. 62 Philips Darwin, Op.Cit., hal.42.

B. Objek dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang