II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Pertanian
Tanah pertanian merupakan faktor produksi yang langka di pedesaan Jawa, dimana banyak manfaat yang dapat diperoleh. Tanah dapat digunakan untuk
memperoleh segala sumber strategis seperti kesempatan ekonomi, kekayaan, kekuasaan dan pendapatan. Ketimpangan dalam pemilikan tanah akan
menimbulkan ketimpangan kekuasaan di kalangan anggota masyarakat. Hal tersebut akan membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat pedesaan
terutama dalam kaitannya dengan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja dan jangkauan pelayanan pemerintah dan lain sebagainya Hidayat, 1985.
Tanah pertanian sebagai tanah usaha dapat dikuasai menurut beberapa cara, yaitu dimiliki, dipinjam, dibagi hasil, disewa dengan jangka pendek, dan disewa
dengan jangka panjang Adiwilaga, 1982. Menurut Maulana 2003, lahan usahatani dapat berupa lahan pekarangan, tegalan sawah, dan sebagainya. Lahan
tersebut dapat diperoleh dengan membeli, menyewa dan bagi hasil atau menyakap.
2.2. Kepemilikan Tanah
Hak milik secara hukum mengukuhkan pemilik suatu sumberdaya dan menjelaskan cara-cara bagaimana sumberdaya tersebut dapat digunakan. Ada dua
tipe hak milik ini, yaitu hak milik bersama common property dan hak milik pribadi private property. Harta bersama, menurut definisi, dimiliki oleh
masyarakat luas untuk kegunaan bersama. Dalam hal ini tidak ada orang
perorangan yang dapat membatasi penggunaan sumberdaya tersebut hanya untuk dirinya sendiri saja. Harta perorangan, dimiliki langsung oleh orang yang
mempunyainya, dan boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut di dalam batas- batas yang diperbolehkan oleh hukum. Nicholson, 2001.
Bagi rumah tangga dengan pemilikan lahan sawah luas dan menengah, tanah milik merupakan modal bagi pengembangan luas usahatani melalui
persewaan, dalam arti dari usahatani di sawah milik diperoleh surplus usahatani. Surplus ini bagi rumah tangga golongan pemilikan lahan luas dan menengah
merupakan modal yang dapat digunakan untuk menyewa sawah orang lain dan modal untuk usaha di luar sektor pertanian. Selain itu tanah milik dari kedua
golongan rumah tangga tersebut merupakan modal untuk usaha di sektor pertanian dengan jalan menyewakan sebagian dari tanah tersebut. Jarang sekali rumah
tangga golongan kepemilikan sawah luas dan menengah yang menyakapkan tanah, karena seiring dengan adopsi teknologi pertnian baru usahatani, semakin
komersial pengelolaan usahataninya. Bagi rumah tangga dengan luas pemilikan lahan sempit, hasil usahatani di tanah milik tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sering mereka terpaksa melepaskan hak garapan tanahnya kepada orang lain melalui sistem sewa. Sedang peluang untuk memperoleh tanah
sakapan kecil sekali pada rumah tangga dengan pemilikan tanah sempit dan rumah tangga tak bertanah, karena jarang pemilik tanah luas dan menengah yang
bersedia menyakapkan tanahnya Hidayat, 1985. Menurut Soeharjo dan Patong 1977, petani pemilik adalah golongan petani
yang memliki tanah dan ia pulalah yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor- faktor produksi baik yangberupa tanah, peralatan
dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani sendiri. Dengan demikian, ia bebas dalam menentukan kebijaksanaan usahataninya tanpa perlu
dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain. Golo ngan petani yang agak berbeda statusnya adalah yang agak berbeda statusnya adalah yang mengusahakan
tanmannya sendiri dan juga mengusahakan lahan orang lain.
2.3. Fragmentasi Lahan