Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerja sama antara ayah dan ibu dalam melakukan tugas ini. Jalinan kerja sama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orang tua itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang memperlancar tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan dibesarkan. 5 Harapan diatas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apa pun alasanya merupakan malapetaka bagi si anak. Di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang sekaligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan mental seorang anak.Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya menurut ajaran islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam sebuah hadits diingatkan, bahwa “Sesuatu yang halal dibolehkan yang paling tidak disukai Allah adalah perceraian”.HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. 6 5 Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Jakarta: Kencana,2010,hal.166. 6 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 1, h. 650. Abu Daud, Sunan Abi Daud , Penerbit SDA, Juz 2, h. 255. Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak hukumnya wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua terutama ibu atau hak anak. Menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak. 7 Hadhanah yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik- baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak. 8 Pemeliharaan Anak juga mengandung arti sebuah tangung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat terus menerus sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. 9 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a, menyebutkan bahwa dalam terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian, dalam pasal 156 huruf a, akibat putusnya perkawinan karena perceraian 7 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2012, h. 293. 8 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 235. 9 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading, 1975, h. 204. ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak asuh dari ibunya. 10 Dari ketentuan di atas, dapat di lihat bahwa peranan ibu sangatlah penting terhadap anak yang belum mumayyiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian. Adapun siapa yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz, bila kita melihat argumen di atas, maka yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz adalah pihak ibu. Pada point yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya anak yang belum mumayyiz itu hak asuhnya jatuh pada ibunya, tapi tidak demikian kenyataannya yang terjadi di Pengadilan Agama, banyak pihak yang mengajukan perkara tentang hadhanah anak setelah terjadinya perceraian, dimana anak merupakan hasil dari perkawinan yang selama ini mereka rajut bersama selama perkawinan. Kemudian bagaimana hakim yang menangani perkara hak hadhanah anak sehingga terjadi penetapan hak tersebut, jika anak yang di perebutkan masih dalam keadaan mumayyiz atau masih dibawah umur tidak jatuh ke tangan ibu, melainkan kepada seorang ayah. Tentunya Majelis Hakim memiliki beberapa pertimbangan hukum terhadap putusan yang ditetapkan. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti oleh penulis berupa: putusan Majelis Hakim, dasar hukum,alasan- alasan serta implikasi lain dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap 10 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika pressindo,2007,hal.151. yang disepakati oleh Majelis Hakim. Inilah yang memotivasi dan mendorong penulis untuk mengkaji dalam skripsi dengan judul “Hak Hadhanah Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz” Analisa Putusan No. 184Pdt.G2011PA.Dpk. B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari meluasnya pembahasan, maka studi ini dibatasi hanya pada kasus Hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz yang terdapat pada putusan Pengadilan Agama Depok No. 184Pdt.G2011PA.Dpk 2. Perumusan Masalah Pada dasarnya baik dari nash maupun fikih, pengasuhan anak yang belum mumayyiz berada pada asuhan ibu, demikian juga diatur dalam hukum materil atau undang-undang. Pada kenyataannya anak yang belum mumayyiz telah diputus oleh hakim, bahwa hadhanah bisa jatuh kepada bapak. Hal ini yang ingin penulis teliti mengenai putusan hakim terhadap hadhanah anak yang belum mumayyiz yang jatuh kepada bapak terhadap perkara hadhanah di pengadilan agama Depok perkara No. 184pdt.G2011PA.Dpk. Untuk menemukan dan memecahkan masalah yang ada, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Apa dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim PA Depok dalam menetapkan Ayah sebagai Pemegang hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz? b. Bagaimana ijtihad majelis hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah kepada bapak dalam putusan perkara nomor. 184pdt.G2011PA.Dpk ditinjau dari hukum Islam dan per- Undang-undangan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara yang menetapkan hak hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz. b. Untuk mengetahui ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara Nomor. 184pdt.G2011PA.Dpk. yang ditinjau dari hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara praktis

Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan suatu keputusan. b. Secara akademis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang Ilmu hukum Keluarga dan umumnya pada ilmu pengetahuan.

D. Review Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Skripsi oleh Aditya Nur Pratama, tahun 2009 Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, konsentrasi peradilan agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul “Pencabutan Hak Asuh dari Ibu Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok No. 430pdt.G2006PA.Dpk. berisi tentang landasan teori seputar hak asuh hadhanah anak meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum hadhanah, syarat-syarat hadhanah dan hadhin, masa hadhanah serta analisa terhadap putusan pengadilan Agama tentang pencabutan hak asuh anak dari ibu yang kemudian diberikan kepada ayah. Secara umum, skripsi tersebut membahas tentang pencabutan hak asuh hadhanah anak dari ibu kepada ayah sedangkan penulis memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184pdt.G2011PA.Dpk. 2. Skripsi oleh Sabarudin, tahun 2008, program studi Ahwal Al- Syakhshiyah, Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Jakarta. Judul “Hadhanah Perspektif Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i dan prakteknya Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Studi putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185pdt.G2006PAJS tentang Hadhanah”. Pembahasan mengenai hak asuh anak bagi orang tua yang murtad di pengadilan agama Jakarta selatan No. 1185pdt.G2006PAJS serta ditinjau menurut mazhab Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Secara umum, skripsi tersebut berisi tentang hak asuh hadhanah anak bagi orang tua yang murtad dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan dan juga membandingkan antara dua perspektif yaitu Mazhab Imam Hanafi dan Mazhab Syafi’i mengenai Hadhanah, sedangkan penelitian penulis tidak membandingkan keduanya akan tetapi penulis memfokuskan pada analisa putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak yang belum mumayyiz dengan perkara No. 184pdt.G2011PA.Dpk. 3. Skripsi oleh Firman Sulaeman, tahun 2005 Fakultas Syariah dan Hukum , UIN Jakarta. Judul “Hak Pemeliharaan Anak Yang Belum Mumayyiz Studi kritis terhadap pasal 105 point A Kompilasi Hukum Islam’’. Secara umum skripsi ini membahas tentang Syarat-syarat Hadhanah dan fokus terhadap efektifitas pasal 105 point a Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa hadhanah dilingkungan peradilan agama. Yang menjadi