Analisis Atas Putusan Perkara Nomor 184pdt.G2011Dpk.
akan tetapi kedua orang tua wajib memelihara anak tersebut sampai anak itu menikah.
93
Duduk perkara Nomor 184pdt.G2011PA.Dpk penulis melihat memang hubungan suami istri tersebut sudah tidak mampu diselamatkan
lagi, sehingga timbul perceraian yang mengakibatkan kedua anaknya yang masih kecil itu mengalami tekanan mental yang amat berat. Dari
penjelasan keduanya jelas bahwa sang istri pernah melakukan hal-hal yang kurang cakap, misalkan sering keluar rumah tanpa izin suami, kemudian
sang istri suka berbohong kepada suami masalah keuangan seperti sang istri mengambil tabungan anak-anaknya dan menggadaikan motor tanpa
izin suami, terlebih sang istri tidak bertanggung jawab terhadap rumah tangga
dengan terbukti
suka meninggalkan
anak-anak tanpa
sepengetahuan suami. Meskipun pernah melakukan tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri nya, itupun dikarenakan ulah sang istri
yang membuat suami melakukan tindakan kekerasan. Pertimbangan yang disebutkan oleh Majelis Hakim sehingga hakim memutuskan bahwa hak
asuh anak jatuh kepada ayahnya suami, mengingat anak tersebut selama ini tinggal bersama ayahnya dan suami minta hak asuh anak agar
ditetapkan kepada ayahnya dan ibunya sendiri tidak keberatan jika hak asuh anak di berikan kepada suami nya, adapun landasan hakim
menetapkan hak asuh anak ini jatuh kepada bapak sesuai dengan
93
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata= Burgerlijk Wetboek: dengan tambahan Undang-undang Pokok Agrarian dan Undang-undang Perkawinan,
Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, h. 549.
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 KAG2007 tanggal 7 Desember 2007 menyatakan bahwa masalah utama dalam hadhanah
adalah kemaslahatan dan kepentingan anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak dan sesuai pula dengan Undang-Undang
Nomor: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan di ikuti dengan bukti-bukti seperti akta kelahiran dan penjelasan saksi-saksi terkait yang
menerangkan tentang perlakuan ayah terhadap anaknya dengan penuh kasih sayang dan mampu memelihara dan memberi kenyamanan terhadap
anak-anaknya.
94
Melihat dari
pertimbangan hakim
yang menggunakan
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110 KAG2007 yang menggunakan kemaslahatan sebagai landasan untuk menentukan
hadhanah. Maka dalam hal ini, menurut penulis hakim menggunakan metode ijtihad Maslahah Mursalah. Maslahah Mursalah ialah maslahat-
maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak di topang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau
membatalkan maslahat tersebut.
95
Sedangkan menurut Basiq Djalil bahwa terdapat satu makna yang dirasa ketentuan itu cocok dengan akal sedang
dalil yang disepakati tentang hal tersebut tidak terdapat.
96
Dalam perkara ini, berkenaan dengan penetapan hadhanah, nilai kemaslahatan yang
diutamakan dalam menentukan suatu hukum. Walaupun hakim tidak
94
Putusan pengadilan Agama Depok No 184pdt.G2011PA.Dpk h. 14.
95
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’sum, Slamet Bashir, Mujib Rahmat, Hamid Ahmad, Hamdan Rasyid, Ali Zawawi, Fuad Falahuddin
, Jakart a, PT. Pust aka Firdaus, 2011, h. 427.
96
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta, Kencana, 2010, h. 160.
secara tegas menggunakan metode ini namun melihat dari rujukan yurisprudensi tersebut hakim cenderung kepada metode tersebut.
Penggunaan metode yang menggunakan kemaslahatan seperti yang digunakan hakim dalam memutus perkara tersebut, seharusnya hakim
mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudharatan ketika hadhanah jatuh kepada bapak dan tidak beralasan hanya dengan anak tersebut sudah
tinggal bersama ayahnya. Untuk itu seharusnya hakim mempertimbangkan lebih mendalam tentang hadhanah tersebut. Melihat si anak belum
mumayyiz, mantan istri belum menikah dengan laki-laki lain dan anak secara psikologis butuh kasih sayang seorang ibu. Untuk itu hadhanah
jatuh kepada ibu atau ayah sama-sama memiliki kemudharatan. Ketika ada kedua mudharatan maka dicari mudharat yang paling ringan sebagaimana
kaidah fiqh yang berbunyi:
ﺫﺍ ﺍ
ﺎﻌﺗ ﺭ
ﺎﻤﻬﻤﻈﻋﺍ ﻲﻋﻭﺭ ﻥ ﺎﺗﺪﺴﻔﻣ ﺽ ﺎﻤﻬﻔﺧﺍ ﺏ ﺎﻜﺗﺭﺎﺑ ﺭﺍﺮﺿ
“Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil mafsadat yang lebih ringan”.
97
Maksud dari kaidah tersebut, jika dilihat secara harfiah pun sebenarnya sudah dapat dipahami dengan jelas, yaitu ketika kita
dihadapkan pada dua pilihan dimana keduanya sama-sama memiliki sisi mudharatnya, maka kita harus memilih salah satu yang nilai mudharatnya
lebih ringan. Dilihat dari perkara tersebut, penulis memposisikan ijtihad hakim
yang berlandaskan kemaslahatan dengan menggunakan metode ijtihad
97
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta, Kalam Mulia, 2001, h. 40.
maslahah mursalah ini sudah tepat, karena kemudharatan yang ditimbulkan dari ayah lebih ringan daripada ibu, karena ibu sering
berbohong berkenaan dengan nafkah anak, seperti ibu menggunakan tabungan anak untuk hal lain bukan untuk keperluan anak, hal ini yang
mengindikasikan ibu akan menggunakan uang yang diberikan oleh ayah tidak untuk keperluan anak-anaknya. Jika hadhanah jatuh keibu
dikhawatirkan sifat yang tidak amanah ini akan menelantarkan anak- anaknya dalam hal kebutuhan nafkah anak.
Perkara hadhanah tersebut, penulis melihat adanya penyimpangan dalam putusan hakim ini dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf
a yang mana dijelaskan: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
98
Hakim melakukan penyimpangan terhadap pasal 105 huruf a dalam memutuskan perkara Nomor. 184pdt.G2011PA.Dpk. yang mana
hak asuh anak yang terjadi setelah perceraian dan anak itu belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ayahnya. Disini
hakim bisa Contra Legem, yakni hakim bisa melawan undang-undang selama putusan hakim itu dapat memberikan kemaslahatan, karna tujuan
pengadilan itu memberikan keadilan dan memberikan kepastian hukum. Jika dirasa adil anak itu diberikan kepada ayah nya kenapa tidak.
Disinilah alasan dari putusan majlis hakim membolehkan untuk menyimpang dari KHI pasal 105 a dan yurisprudensi Mahkamah Agung
98
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika pressindo,2007,hal.151.
Nomor : 110 KAG2007 tanggal 7 Desember 2007 adalah sebagai landasan hukumnya yang disesuaikan pula dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Penulis berpendapat, ketentuan fiqh yang memberikan prioritas hak
hadhanah pada isteri dinilai bias jender dan merugikan laki-laki. Alasan yang diapakai oleh fuqoha selama ini bahwa isteri lebih mempunyai jiwa
keibuan disbanding suami, ternyata terbantahkan.Karena dalam realitas sehari-hari sungguh banyak bukti yang menunjukan bahwa ibu tidak
selamanya berjiwa keibuan dan justru laki-laki lebih semangat dalam mengasuh dan memelihara anak. Oleh karena itu, mereka berpendapat
bahwa sebaiknya penentuan hak hadhanah tidak diprioritaskan kepada salah satu pihak suami atau istri saja. Melainkan diserahkan kepada
kebijakan suami istri melalui musyawarah atau kebijakan hakim bila musyawarah tidak berhasil, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
obyektif yang memungkinkan dan lebih menjamin perkembangan anak tidak mengalami hambatan. Dengan sendirinya, penentuan hak hadhanah
dengan cara demikian diharapkan tidak melahirkan diskriminasi antara suami dan istri.
99
Penulis sependapat dengan kebijakan dan keputusan majlis hakim yang menetapkan hak asuh anak dalam kasus ini kepada ayahnya,
sekalipun tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam, dan ada landasan
99
Mesraini, Fiqh Munakahat Jakarta ,Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren cet I, Agustus 2008. h. 172.
hukum lain yang diambil oleh majlis hakim demi kemaslahatan anak itu sendiri, mengingat masalah utama dalam hadhanah adalah kemaslahatan
dan kepetingan anak bukan semata-mata siapa yang paling berhak mengasuh anak.