Tafsir Nusantara Kajian Tafsir

67 metode analisis tersebut merupakan konsep siapa, tokoh tertentu ataukah Hamka sendiri yang merumuskan.

4. Tafsir Nusantara

Judul : “Ortodoksi Tafsir; Respons Ulama Terhadap Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien Karya K.H. Ahmad Sanoesi” Penulis: Dadang Darmawan Tahun Lulus: 2009 Pendidikan S1: Fakultas Ushuluddin tafsir hadis IAIN Bandung Pendidikan S2: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menunjukkan bahwa penolakan ulama terhadap sebuah karya tafsir pada dasarnya adalah refleksi perlawanan ortodoksi terhadap apa yang dianggap sebagai heterodoksi dalam penafsiran. Penelitian ini memperkuat pendapat Arkoun bahwa ortodoksi tafsir itu dapat berubah. Ini berbeda dengan Muhammad Husain al-Dzahabî, Hasan Yunus „Abîdû, Khalid Abdurrahman al- „Ak dan lain-lain yang melihat ortodoksi tafsir sebagai sesuatu yang mapan dan statis. Menurut mereka Sunnisme adalah ukuran untuk menentukan mana tafsir yang ortodok dan mana yang heterodok. Penelitian ini membuktikan bahwa walaupun ortodoksi tafsir Sunni telah bertahan cukup lama, namun ia tidaklah permanen, melainkan dapat berubah. Fazlur Rahman, Arkoun dan Abdullah Saeed melihat cara untuk mengubah ortodoksi tafsir Sunni itu adalah dengan menciptakan metode tafsir baru. Namun dalam kasus tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien penelitian ini menemukan bahwa perubahan ortodoksi ternyata dapat terjadi tanpa melibatkan perubahan metodologi. Semua berpolemik dengan metodologi dan sumber yang sama. Hanya saja dalam polemik itu pemikiran baru yang sejalan dengan kebutuhan umat diarus-utamakan dengan argumentasi- argumentasi tradisional dan dukungan yang kuat dari institusi keagamaan yang otoritatif. 68 Dalam konteks ke-Indonesiaan, kehadiran tafsir Tamsjijjatoel- Moeslimien meruntuhkan pendapat Howard M. Federspiel dan Martin van Bruinnessen bahwa pada awal abad ke-20 tidak ada ulama tradisionalis yang menulis tafsir. Karena tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien ternyata ditulis oleh tokoh kaum tradisionalis. Namun di sisi lain, polemik yang terjadi diseputar tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien, membenarkan pendapat Howard M. Federspiel, Martin van Bruinnessen, Mahmud Yunus, Karel Steenbrink dan Michael Feneer bahwa hingga awal abad ke-20 para ulama di Indonesia pada umumnya memandang tabu penulisan tafsir, terjemah dan transliterasi al- Qur‟an. Tabu ini bukan berasal dari tekanan Belanda seperti yang dikatakan oleh Nashruddin Baidan melainkan berasal dari sejumlah nash dalam beberapa kitab kuning. Sumber utama disertasi ini adalah Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien karya K.H. Ahmad Sanoesi, Ibrâz al- Muntadâ karya „Abd Allâh Bin Husain, Tathhîr al-Syîn wa al-Rîn karya C.C.P.A. Soekabumi, dan beberapa surat terbuka yang masing-masing ditulis atas nama K.H. Ahmad Sanoesi, K.H. Mansoer, K.H. Oesman Peraq dan Oemmat Islam Bogor. Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien dianalisis dengan pendekatan Iyâzian sehingga diketahui bagian mana dari corak tafsir itu yang telah memicu respon negatif para ulama. Sedangkan sumber-sumber lainnya yang merekam polemik seputar tafsir tersebut dianalisis dengan pendekatan Foucaltian sehingga ditemukan wacana dominan yang menjadi mainstream pada masa itu, juga struktur diskursif yang pada waktu itu digunakan oleh para ulama untuk menghujat eksistensi tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien. Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien ditolak karena beberapa karakteristiknya dianggap bertentangan dengan ortodoksi. Tafsir ini ditolak karena mufasirnya dianggap tidak memenuhi qualifikasi mujtahid. Selain itu isinya dianggap mengandung unsur- unsur ra‟yi yang disesuaikan dengan keadaan zaman, padahal tafsir harusnya berdasarkan atsâr. Isi tafsir ini juga dianggap subyektif, karena telah membela kepentingan K.H. Ahmad Sanoesi dan mencela para ulama tradisional yang tidak sesuai dengannya. Isi tafsir ini 69 juga mengandung berbagai provokasi untuk bangkit membebaskan diri dari penjajahan. Tentu saja menjadi penting bagi ulama yang pro Belanda untuk segera menghentikannya. Tafsir ini juga ditolak karena dianggap menyajikan terjemah dan transliterasi al- Qur‟an, padahal keduanya adalah perkara yang haram karena dapat menyebabkan adanya tahrîf dalam al- Qur‟an. Beruntung saat tafsir dihujat, penulisnya masih hidup dan dapat memberikan pembelaan dalam berbagai diskusi, debat, juga melalui media tulis. Polemik ini demikian intens dan sangat hebat, karena pihak-pihak yang terlibat sama-sama dipandang otoritatif serta berpijak pada dasar argumentasi yang sama yaitu kitab kuning. Akibatnya timbul pergeseran batas-batas ortodoksi. Disertasi ini menemukan bahwa dalam setiap tema yang diperdebatkan; batas-batas ortodoksi lambat laun berubah memihak kepada pihak K.H. Ahmad Sanoesi. Walupun di lain pihak, kasus ini untuk beberapa saat telah menghancurkan kredibilitas K.H. Ahmad Sanoesi sebagai tokoh ulama tradisional yang disegani di wilayah Priangan. Ringkasan disertasi Dadang Darmawan ini menunjukkan bahwa disertasi ini bukan untuk menjawab persoalan realitas masyarakat ketika disertasi ini ditulis tetapi untuk pembuktian skaligus menangkis pendapat Federsphil yang mengklaim bahwa abad 20 tidak ditemukan tafsir Nusantara, sebagimana yang dijelaskan dalam latar belakang masalah pada bab pertama. Penangkisan tersebut dilengkapi dengan titik-titik penyebab tafsir ini menjadi controversial di kalangan ulama setempat. Disertasi ini telah berusaha melakukan pengembangan keilmuan terutama dalam bidang tafsir Nusantara. Sedangkan dari sisi metodologi, tim peneliti sangat menyayangkan karena Dadang hanya menulis metode deskripsi analitis tanpa menjelaskan lebih detail apa dan bagaimana terkait dengan metode deskripsi analitis. Pendekatan yang Dadang terapkan adalah teori dari Ali Iyazi yang ia istilahkan dengan Iyazian. Pendekatan hanya digunakan dalam bab IV ketika menyoroti karakteristik tafsir Sanoesi 70 tersebut. Sedangkan untuk garapan selain bab V dan seterusnya dia terapkan pendekatan Foucault. Pada akhir tulisannya, temuan-temuan Dadang tersimpulkan dalam 3 perkara, yaitu: Pertama , bahwa sebuah karya tafsir yang hendak dicetak dan disebarluaskan hendaknya memperhatikan seluruh unsur yang terkait baik judul, isi, maupun lay out atau unsur perwajahannya. Ini sangatlah penting, karena dapat memancing tanggapan positif maupun negatif. Seluruh unsur itu harus ditangani secara serius agar tidak bertentangan dengan ortodoksi. Kedua , mengingat peran K.H. Ahmad Sanoesi sebagai salah seorang pelopor penulisan tafsir dan terjemah al- Qur‟an di Indonesia pada awal abad ke-20 di samping Mahmud Yunus dan A. Hassan, dan pemrakarsa pertama transliterasi al- Qur‟an ke dalam huruf latin, maka sudah sepantasnya jika peranannya itu tidak lagi diabaikan oleh siapapun yang berniat meneliti sejarah perkembangan tafsir di Indonesia. Ketiga , polemik seputar tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimien menunjukkan bahwa para ulama Indonesia memiliki pemikiran ulum al- Qur’an yang khas. Alangkah baiknya jika para peneliti selanjutnya mengeksplorasi lebih jauh geneologi dan arkeologi pemikiran ulum al- Qur’an yang dikembangkan oleh ulama-ulama Indonesia. Judul : “Tafsir Bahasa BugisTafsir al-Qur’an al-Karim Karya Majelis Ulama Indonesia MUI Sulawesi Selatan; Kajian Terhadap Pemikiran- Pemikirannya” Penulis: Mursalim Tahun Lulus: 2009 Pendidikan S1: Fakultas Adab IAIN Alauddin Makasar Pendidikan S2: Pascasarjana UIN Alauddin Makasar. Disertasi ini menunjukkan bahwa tafsir Bahasa BugisTafsir al- Qur‟an al-Karim Karya Majelis Ulama Indonesia MUI Sulawesi Selatan ini 71 di dalam mengelobarasi ayat-ayat al- Qur‟an cenderung kepada pemikiran tekstualis, yaitu suatu praktik penafsiran yang lebih berorientasi pada teks dalam dirinya. Artinya di dalam memahami suatu teks, ia hanya melacak konteks penggunaannya pada masa di mana teks itu muncul. Menurut Mursalim, kitab tersebut cenderung bersifat kearaban, karena teks al- Qur‟an turun pada masyarakat Arab sebagai audiensinya. Model seperti ini analisisnya cenderung bergerak dari refleksi Teks ke praksis konteks. Itupun, praksis yang menjadi muaranya adalah lebih bersifat konteks turunnya ayat, sehingga pengalaman lokal sejarah dan budaya di mana seorang mufassir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifikan atau bahkan sama sekali tidak punya peran. Sehingga tafsir ini “hampir” tidak menyentuh konteks pemikiran yang ada dan wacana pemikiran keagamaan kontemporer, yaitu dinamika perkembangan keagamaan bagi masyarakat Bugis di mana penulisnya berada dan sasaran dari pada karya ini. Tafsir ini lebih kepada sisi pengambilan hidayah dari al- Qur‟an. Kesimpulan ini di dasarkan pada beberapa masalah issu-issu kontemporer yang diangkat, misalnya dalam hal masalah kewarisan, di sana MUI tidak banyak mengeleborasi ayat-ayat yang menjelaskan persoalan ini dan hampir-hampir saja dalam penafsirannya hanya berkutat pada ayat itu sendiri, artinya tidak melihat konteks, baik konteks pada saat turunnya ayat maupun konteks masyarakat Islam di mana penulis tafsir hidup. Demikian halnya dengan masalah-masalah lainnya, misalnya persoalan terhadap bagaimana posisi perempuan, baik dalam wilayah domestik maupun dalam wilayah publik. Jadi, pembahasannya terhadap ayat-ayat yang membincangkannya bergerak pada teks-teks yang ada. Disertasi ini memberikan suatu pandangan bahwa pemikiran tafsir al- Qur‟an al-Karim Tafesere Mabbasa Ugi karya MUI Sulawesi Selatan cenderung kepada pemikiran yang tekstualis, yaitu suatu corak yang berorientasi pada teks dalam dirinya. Artinya di dalam memahami suatu teks, ia hanya melacak konteks penggunaannya pada masa di mana teks itu 72 muncul. Dengan demikian, analisisnya cenderung bergerak dari refleksi teks ke praksis konteks, sehingga pengalaman lokal sejarah dan budaya di mana seorang mufassir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifikan atau bahkan sama sekali tidak punya peran. Oleh karena itu, Tafsir MUI masih sangat kuat pengaruh karya-karya tafsir pendahulunya. Disertasi ini memperkuat pendapat pakar yang memberikan penilaian bahwa kajian beberapa karya tafsir ulama, khususnya karya ulama di Indonesia, antara lain; Pertama, Drewes menyatakan bahwa karya-karya dalam bahasa Melayu atau umat Islam Indonesia masih sangat kuat ketergantungan dengan sumber-sumber berbahasa Arab. Kedua, Salman Harun menyatakan bahwa doktrin taqlid ulama pada masa awal di Indonesia masih mendominasi dalam dunia pemikiran umat Islam dengan suatu pandangan bahwa tidak seorang pun mampu dalam berijtihad. Ketiga, „Ali „Iyazi 1373 H memberikan sebuah sinyalemen yang dia sebut sebagai manhaj tafsîr al-taqarrub bayn al-mazâhib wa al-wihdah al-islâmiyyah , yaitu suatu metode tafsir yang senantiasa mengedepankan nilai kebersamaan antar sesama umat Islam dengan menghindari polemik. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan di dalam tafsir bahasa Bugis MUI Sulawesi Selatan. Temuan-temuannya : 1. Dilihat dari segi metode pengambilan sumber tafsir ini cenderung memadukan izdiwaj antara sumber tafsir bi al- ma’tsûr dengan tafsir bi al- ra’y dan pendekatan analisisnya cenderung kepada bentuk ijmâli global. Kesimpulan ini didasarkan kepada penafsiran-penafsiran ayat yang hanya menguraikan apa yang ada di dalam ayat sendiri. Dengan demikian, MUI di dalam tafsirnya tidak berada pada posisi sebagai tafsir dan ta‟wil, tetapi lebih kepada tabyîn menjelaskan. 2. Sangat kuat ketergantungan dengan tafsir-tafsir rujukannya, sehingga penafsiran-penafsirannya hampir dihiasi oleh pendapat-pendapat mufassir. 3. Berdasarkan analisis terhadap beberapa masalah wacana pemikiran kontemporer tidak ditemukanmemberikan respon, karena penafsirannya 73 hanya berputar pada teks ayat itu sendiri dan kemudian tafsir ini sebagai sasaran pembacanya adalah masyarakat Bugis yang awam yang belum mampu memahami kitab tafsir yang berbahasa Arab. 4. Bahwa tafsir ini dalam bidang hukum tidak tercermin kefanatikannya terhadap satu kelompok mazhab. 5. Sikap fleksibilitas di dalam pengambilan sumber atau rujukan tafsirnya dengan menjadikan kitab-kitab tafsir yang memiliki latar belakang corak paham dan aliran yang berbeda. Menurut penilaian tim peneliti, disertasi Mursalim ini telah berhasil menjawab kebutuhan masyarakatnya. Mursalim menjelaskan dalam latar belakang masalah bahwa masyarakat lokal membutuhkan tafsir yang berbahasa lokal guna mempermudah pemahaman terhadap al- Qur‟an. Menurut Mursalim, langkah yang ditempuh oleh Tim MUI tersebut adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat pembacanya yang berbeda- beda, baik dari segi paham maupun aliran yang anutnya, demikian adalah demi mewujudkan tujuan al- Qur‟an diturunkan, yaitu sebagai hudan li al-nâs petunjuk bagi umat manusia. Sebagai karya asli, disertasi ini telah berusaha melakukan pengembangan keilmuan terutama dalam bidang tafsir Nusantara. Sedangkan dari sisi metodologi, disertasi ini telah menjelaskan dengan detail mulai dari sumber data, pengolahan data sampai pada tehnik-tehnik penelitian, hanya saja penulis disertasi tidak menjelaskan satu persatu dari tehnik penafsiran tersebut. Pada akhir tulisannya, Mursalim menjelaskan bahwa kekurangan dari tafsir tersebut adalah masih banyak mengiblat pada karya timur tengah, sehingga upaya membumikan al- Qur‟an sebagaimana yang diharapkan dalam bab perdana hanya tampak terwujud dalam tataran terjemahan bugis tetapi dalam tataran penafsiran kurang mengerucut pada kebutuhan local masyarakat Bugis.

B. Kajian Ulum al-Qur’an