Sejarah Berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam.

15 Gusmian menilai bahwa pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 pengkajian al- Qur’an mendapatkan momentumnya saat pesantren-pesantren di Jawa bermunculan, seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren Rejoso Jombang, dan Pondok Modern Gontor Ponorogo. 9 Keadaan ini berlanjut hingga munculnya Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia pada pertengahan abad ke 20. Selain itu, berkembangan literatur kajian al- Qur’an pun mulai merebak. Awal abad 20, para ulama menginisiasi untuk menyusun buku-buku tafsir dan terjemah al- Qur’an untuk konsumsi kaum Muslim Indonesia. Seperti: muncul orang-orang yang melakukan pengkajian al-Quran dan menuliskan tafsir mereka dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, baik dalam bentuk terjemahan ataupun tafsir utuh. Di antara mereka adalah: Munawar Chalil Tafsir Hidayatur rahman,, A Hasan al- Furqan, 1928 , Mahmud Yunus Tafsir Quran Indonesia, 1935, Hamka Tafsir al- Azhar , Zainuddin Hamidy Tafsir al-Quran, 1959, dan Iskandar Idris Hibarna. 10

B. Sejarah Berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam.

Perdebatan mengenai perlunya pendidikan tinggi Islam di Indonesia oleh tokoh-tokoh Muslim di paruh pertama abad ke-20 semakin mengokohkan bahwa kajian keislaman di negeri ini perlu ditingkatkan ke level perguruan tinggi. Inisiasi pendirian Sekolah Tinggi Islam pun dilakukan. Pada tahun 1938, M. Natsir menulis sebuah ar tikel bahwa “Sekolah Tinggi Islam STI perlu didirikan karena pendidikan pesantren dan madrasah baru dapat menciptakan manusia yang beriman dan berakhlak mulia, tetapi tidak tanggap dengan persoalan-persoalan dunia. ” 11 Pada tahun yang sama, Satiman Wirjosandjojo menulis alasan-alasan mengapa pendidikan tinggi Islam diperlukan. Jabali dan Jamhari menyimpulkan bahwa ada empat hal utama dari tulisannya Satiman tersebut. 1. Pengembangan pendidikan Islam tertinggal dibanding pendidikan non Muslim, 2 Kemajuan masyarakat non- Muslim disebabkan adopsi mereka atas pola pendidikan Barat, 3. Pendidikan Islam 9 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,45. 10 Quraish Shihab, “Kata Pengantar” dalam Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Quran Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama [FkBA], 2001, xvi. 11 Fuad Jabali dan Jamhari eds., IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia Jakarta: Logos, 2002, 3-4. 16 perlu terhubung dengan dunia International, dan 4 Lokalitas menjadi unsur yang penting dalam pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Islam. 12 Selanjutnya, pada tahun 1945, Bung Hatta lebih jauh menggagas bahwa pendidikan tinggi Islam perlu didirikan agar agama ini tidak dipelajari secara dogmatis belaka, melainkan diperkaya dengan filsafat, sejarah dan sosiologi. Hatta juga mengatakan bahwa perguruan tinggi Islam tidak hanya mempelajari hukum Islam, tetapi juga hukum negara agar keduanya dapat berinteraksi secara dinamis.Inisiatif Hatta mendirikan STI di Jakarta tahun 1945 dapat terwujud. 13 Tetapi karena agresi militer Belanda, pada tahun 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta. Perpindahan ini kemudian berujung pada perubahan STI menjadi Universitas Islam Indonesia UII, nama yang secara formal ditetapkan tahun 1948. Di UII kemudian dibuka beberapa fakultas seperti Hukum, Ekonomi, Pendidikan dan Agama. 14 Perubahan ini bisa jadi jawaban dari kegelisahan para tokoh agar masyarakat Muslim memiliki Universitas Islam dan yang memiliki cakupan keilmuan lebih luas. Sekalipun hal tersebut bermakna bahwa kajian Islamkeislaman hanya di tempatkan dalam satu Fakultas Agama Islam. Mujiburrahman menilai bahwa pandangan Natsir, Satiman dan Hatta dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam mengikuti pendidikan Barat. Mereka menyadari bahwa pola pendidikan Barat memiliki banyak keunggulan yang dalam batas tertentu dapat diadopsi untuk pendidikan tinggi Islam. Keinginan Natsir agar tokoh agama Islam mengerti persoalan-persoalan dunia, kekhawatiran Satiman dengan kualitas ulama pesantren yang kalah dengan pendeta-pendeta Kristen karena yang terakhir mendapatkan pendidikan tinggi ala Barat, serta keinginan Hatta memasukkan pelajaran filsafat, sejarah, sosiologi dan hukum dalam kajian Islam di 12 Fuad Jabali dan Jamhari eds., IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia Jakarta: Logos, 2002, 4. 13 Mujiburrahman, Masa Depan Kajian Keislaman di PTAI, makalah Annual Conference on Islamic Studies ke IX di Surakarta, 2-5 Nopember 2009. Lihat: Dalam sumber lain disebutkan bahwa STI berdiri pada 8 Juli 1946, lihat Mochtar Buchori dan Adam Malik,“Higher Education in Indonesia” dalam Philip G. Altbach dan Toru Umokoshi eds., Asian Universities: historical Perspectives and Contemporary Challanges Baltimore: The Jhon Hopkins University Press, 2004, 266-267. 14 Mujiburrahman, Masa Depan Kajian Keislaman di PTAI, makalah Annual Conference on Islamic Studies ke IX di Surakarta, 2-5 Nopember 2009. 17 perguruan tinggi, semua ini menunjukkan adanya pengaruh pendidikan Barat dalam gagasan mereka. 15 Tetapi sejarah rupanya bergerak ke arah yang berbeda. Pada tahun 1950 Fakultas Agama UII ditetapkan pemerintah menjadi lembaga tersendiri yang disebut Perguruan Tinggi Agama Islam PTAIN. Pada tahun 1951, PTAIN memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Tarbiyah, Qadha’ dan Dakwah. Maka berbeda dengan posisinya sebagai salah satu fakultas di UII, di PTAIN kajian-kajian keislaman dirinci dalam beberapa fakultas. Besar kemungkinan bahwa pembagian fakultas- fakultas tersebut dipengaruhi oleh model perguruan tinggi di Timur Tengah, khususnya Mesir, yang telah memiliki kontak budaya dan politik yang cukup dekat dan lama dengan bangsa Indonesia. 16 Matakuliah kajian al- Qur’an hanya ditawarkan pada satu matakuliah Tafsir, bersamaan dengan penawaran matakuliah lainnya seperti: Bahasa Arab, Pengenalan Studi Agama, Hadits, Ilmu Kalam, Logika, Akhlak, Tasawuf, Perbandingan Agama, Dakwah, Sejarah Islam, Psikologi dan lainnya. 17 Selanjutnya, pemerintah RI di tahun 1950-an mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama ADIA di Jakarta dengan tiga fakultas: Pendidikan Agama, Bahasa Arab, dan Guru Agama Militer. Pada tahun 1960, pemerintah kemudian menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi satu dengan nama Institut Agama Islam Negeri IAIN dengan Fakultas Syariah dan Ushuluddin di Yogyakarta, dan Fakultas Tarbiyah dan Adab di Jakarta. Kemudian pada 1963, IAIN Yogyakarta dan Jakarta ditetapkan berdiri sendiri, masing-masing dengan nama IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN Syarif Hidayatullah. Sejak pertengahan 1960-an kemudian sejumlah IAIN didirikan di berbagai provinsi di luar jawa.

C. Kajian al- Qur’an pada Jenjang S1.