Kajian Tafsir Tematis Persepktif al-Qur’an

54 al- Qur‟an. Maksudnya sebuah disertasi yang menerapkan metode tafsir maudhu’i secara murni yaitu menemukan pandangan al- Qur‟an secara komprehensif terkait tema tertentu. Kedua, tematis dalam perspektif kitab tafsir tertentu yaitu disertasi yang menemukan sebuah konsep utuh terkait tema tertentu tetapi tidak secara langsung dari al-Qur ‟an tetapi dibatasi dari pandangan mufassir atau kitab tafsir tertentu. Ketiga, disertasi yang membahas khusus tantang jender. Keempat, disertasi yang fokus pada tafsir Nusantara atau tafsir karya mufassir Indonesia.

1. Kajian Tafsir Tematis Persepktif al-Qur’an

Judul: “Laut Dan Pengelolaannya Dalam Perspektif Alquran” Penulis: Ahmad Yusam Thobroni Tahun Lulus: 2009 Pendidikan S1: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya Pendidikan S2: Pascasarjana IAIN Alauddin Makasar. Disertasi ini menyimpulkan bahwa laut dan berbagai potensinya pada hakekatnya merupakan anugerah Allah swt. yang diperuntukkan bagi umat manusia. Penganugerahan ini memberikan konsekuensi bagi manusia, sebagai khalifah Allah di muka Bumi, memiliki hak pengelolaan dengan melakukan eksplorasi terhadap laut guna mengambil manfaat darinya, di samping memiliki tanggung jawab kewajiban untuk melakukan upaya konservasinya guna menjaga keseimbangan ekologi. Upaya pelestarian tersebut tidak saja dapat memelihara kelangsungan ekologi lingkungan laut, tetapi juga kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri dalam jangka panjang, khususnya generasi mendatang yang juga memiliki hak terhadap anugerah ini. Oleh karena itu, untuk keperluan eksplorasi tersebut diperlukan metode eksplorasi yang tepat, seimbang, dan proporsional untuk menghindari terjadinya kerusakan laut beserta isinya. Dengan demikian, manusia hendaknya tidak hanya melihat laut sebagai obyek —untuk “pengkayaan diri” bagi satu generasi saja generasinya 55 sendiri, tanpa mempedulikan kebutuhan generasi mendatang —tetapi juga harus memandangnya sebagai anugerah Tuhan yang harus dijaga kelestariannya. Mengenai hubungan laut dan eksistensi manusia menurut Al- Quran dapat dijelaskan bahwa Allah swt menciptakan manusia di muka bumi ini dan memberikan kedudukan serta fungsi yang sangat tinggi untuk mengelola dan mengatur bumi dalam hal ini mengelola laut untuk diambil manfaatnya. Dengan begitu, hubungan antara manusia dengan alam beserta segala isinya berada dalam kerangka istikhlaf atau tugas-tugas kekhalifahan manusia. Konsep kekhalifahan menjadikan faktor lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan begitu ia tidak mengeksploitasi alam secara besar-besaran demi kepentingan manusia. Konsep kekhalifahan bersifat transenden. Artinya penguasaan manusia terhadap lingkungannya adalah amanah dari Allah, tidak mutlak dan akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Itulah sebabnya prinsip yang mendasari hubungan antara manusia dengan alam tidak hanya hubungan eksploitatif, tetapi juga apresiatif. Alam tidak hanya dimanfaatkan, tetapi juga harus dihargai. Hubungan antara manusia dengan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah swt. Kemampuan manusia dalam mengelola alam bukanlah disebabkan kekuatan yang dimilikinya, tetapi disebabkan anugerah Allah swt. Jadi, intervensi Tuhan-lah yang menundukkan seluruh alam untuk manusia, sehingga manusia dapat mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, alam semesta dapat dimanfaatkan oleh manusia setelah ada campur tangan aktif dari Tuhan. Tanpa upaya penundukan Tuhan, alam ini tidak mungkin dapat dimanfaatkan dengan mudah. Begitu pula dengan lautan, ia tidak begitu saja dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh manusia dengan mudah, tetapi lautan sesungguhnya telah mengalami proses penundukan taskhr³ oleh Allah swt., sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. 56 Sebagai imbalannya, pengelolaan laut tersebut tentu harus dibarengi dengan tanggung jawab. Dengan demikian, alam ini adalah karya besar dari Yang Maha Kuasa, ia tidak diciptakan hanya untuk memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya, tetapi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital manusia. Dilihat dari perspektif Alquran, pengelolaan laut juga termasuk dalam tugas isti’mar tugas memakmurkan bumi. Konsep isti‟mar tersebut bermakna membangun di atas bumi atau dalam hal ini mengolah potensi kelautan untuk memperoleh hasil. Dengan begitu konsep isti‟mar mengandung makna pembangunan peradaban di muka bumi untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Isti’mar disebut sebagai konsep pengelolaan lingkungan, karena di dalamnya terkandung usaha pengolahan alam, perluasan pembangunan, dan pemeliharaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan maju. Perintah isti‟mar ditujukan kepada manusia dalam kerangka istikhlaf, yaitu pemberian kekuasaan kepada manusia dalam kapasitas sebagai khal³fah untuk mengolah dan memakmurkan bumi. Dari sini terlihat posisi manusia sebagai khalifah yang diberi kekuasaan untuk mengolah bumi. Jadi obyek isti‟mar adalah bumi beserta seluruh isinya termasuk laut. Sedangkan subyeknya atau pelaksana isti‟mar adalah manusia dalam posisi sebagai khalifah. Pengelolaan laut harus berpijak pada prinsip-prinsip etika pengelolaan lingkungan, yaitu; 1 Seluruh alam raya beserta isinya baca; laut adalah milik Tuhan dan ciptaan-Nya; 2 Seluruh isi alam diperuntukkan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; 3 Alam ini ditundukkan agar dapat dikelola oleh manusia; 4 Prinsip istikhlaf, yaitu manusia dititipi amanah oleh Tuhan untuk mengelola lingkungan; 5 Sebagai khalifah, manusia bertugas mengantarkan lingkungan untuk mencapai tujuan penciptaannya; 6 Pemborosan harus dicegah; 57 7 Kerusakan lingkungan adalah akibat perbuatan manusia, dan oleh karena itu manusia harus bertanggungjawab di dunia dan di akhirat; dan 8 kasih sayang manusia kepada seluruh makhluk bermakna menghargai seluruh makhluk biotik dan abiotik dan memperlakukannya dengan baik. Pada akhir tulisannya Yossam menjelaskan bahwa uraian di atas merupakan argumen yang mendukung tuntutan ishlah yang menghasilkan hukum wajib memelihara kelestarian laut lingkungan serta merehabilitasinya bila rusak, dan larangan ifsad yang menghasilkan hukum haram merusak lingkungan. Itulah sebabnya dilarang membuang kotoran ke dalam air, baik air yang tergenang maupun yang mengalir. Pertimbangan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kewajiban memelihara meliputi seluruh aspek yang menjadi wahana, sarana, dan perantara yang dapat menyampaikan kepada terwujudnya kewajiban memelihara laut, juga menjadi wajib hukumnya. Sebaliknya, seluruh washilah yang dapat mengantar kepada terjadinya mafsadat, dalam hal ini kerusakan lingkungan laut misalnya pencemaran, juga menjadi haram hukumnya. Disertasi yang ditulis Yossam secara metodologi ada 2 hal yang perlu tim peneliti komentari: pertama, pijakan teori metode tematis al- Qur‟an menggunakan al-Farmawi maka produk yang dihasilkan adalah konsep Qur‟an tentang Laut dan pengelolaannya, bisa dinilai, komprehensif. Namun, kurang menyentuh permasalahan riil terkait dengan pencemaran laut dampak dan solusinya. Hal ini karena al-Farmawi tidak menekankan pemecahan problem realitas tetapi hanya melahirkan konsep normative. Kedua, tehnik maudhu‟i dalam bab I tentang metodologi penelitian disebutkan bahwa penulis disertasi menggunakan kronologi ayat terkait laut dan pengelolaannya, tetapi dalam uraiannya tim peneliti tidak menemukannya. Menurut tim peneliti, seyogyanya kronologi ayat tentang kelautan tidak perlu tertera dalam terhnik penelitian ayat karena, sebagaima 58 al-Farmawi jelaskan bahwa tartib nuzuli hanya diperuntukkan bagi yang mengambil tema hukum. 5 Sedangkan sisi pengembangan keilmuan belum terlihat jelas oleh tim peneliti, karena penulis disertasi tidak menyebutkan secara jelas titik bedanya disertasi ini dengan penelitian atau tulisan sebelumnya terutama tulisan Muin Salim yang berjudul Pokok-Pokok Pikiran tentang Laut dalam al- Qur’an. Judul : “Perspektif al-Qur’an Tentang Pluralitas Agama ” Penulis: Abdul Moqsith Tahun Lulus: 2007 Pendidikan S1:STAI al-Aqidah Jakarta Pendidikan S2: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Moqsith dalam disertasinya ingin mengetahui secara mendalam perspektif al- Qur‟an tentang pluralitas umat beragama. Menurutnya, pluralitas agama adalah fakta sosial mengenai kemajemukan agama. Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, dapat dikatakan bahwa al- Qur‟an adalah kitab suci yang memandang umat agama lain secara positif, bukan sebagai ancaman. Moqsith menegaskan bahwa Islam adalah kelanjutan dari agama sebelumnya. Sebagaimana Isa al-Masih datang untuk menggenapi hukum Taurat, begitu juga Nabi Muhammad. Ia hadir bukan untuk menghapuskan Taurat dan Injil, melainkan untuk menyempurnakan dan mengukuhkannya. Moqsith lahir di Situbondo, Jawa Timur, 07 Juni 1971. Ia pernah belajar di sejumlah pesantren di Jawa Timur. Pendidikan S2-nya ia tempuh di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia pernah mengikuti program dialog lintas agama selama sebulan di Amerika Serikat pada Februari 2004. Dan selama satu semester, ia pernah mengikuti perkuliahan di Universitas Leiden Belanda pada tahun 2006. 5 „Abd al-Hayy al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirasah Manhajiyyah al-Maudhu‟iyyah, t.p.: Matba‟ah al-Hadarah al-Arabiyah, 1977 M, h. 56 59 Moqsith pernah menjadi peneliti di The WAHID Institute dan The Religious Reform Project RePro Jakarta. Selain itu, ia juga pernah menjadi Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdam NU Jakarta, konsultan fikih Majalah Syir’ah Jakarta, dan pernah menjadi anggota Dewan Pengasuh PP Zainul Huda Arjasa, Sumenep, Jawa Timur. Ia juga aktif menuliskan pemikirannya lewat buku dan sejumlah artikel di media massa. Karya tulisnya dalam bentuk buku yaitu: Fiqh Anti Trafiking: Jawaban Atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam Cirebon: Fahmina Institute, 2006 dan Membangun Pluralisme Agama di Indonesia: Modul Workshop Islam dan Pluralisme Jakarta: The WAHID Institute, 2007 Ia juga menyumbangkan karya ilmiahnya di sejumlah buku, seperti Islam, Negara, dan Civil Society Jakarta: Paramadina, 2005, Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU Jakarta: Kompas, 2004, Islam Pribumi, Mendialogkan Agma dan Membaca Realitas Jakarta: Erlangga, 2003, Kala Fatwa Menjadi Penjara Jakarta: The WAHID Institute, 2006, Bincang Tentang Agama di Udara, Fundamentalisme, Pluralisme, dan Peran Publik Agama Jakarta: MADIA, 2005, dan lain- lain. 6

2. Tafsir Tematis Perspektif Mufassir