Eksplorasi Pemanfaatan Lumpur Aktif

4.1 Eksplorasi Pemanfaatan Lumpur Aktif

t erjadinya pencemaran air terutama air permukaan ditandai dengan adanya sampah, warna dan bau air sungai maupun air laut yang terjadi dikota-kota besar di indonesia. Pencemaran yang terjadi itu ditunjukan baik secara kasad mata maupun berdasarkan analisis laboratorium. Beberapa parameter kunci sering digunakan untuk menunjukan telah terjadinya pencemaran seperti tingginya kandungan BOd, PO 4 , COD nitrit, sulida, fenol dan bakteri coliform air sungai, air tanah dangkal sumur dan air laut. Pencemaran air laut terjadi dari berbagai aktivitas wilayah pesisir maupun hulu yang tidak memperhatikan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air laut. Berbagai aktivitas masyarakat di perkotaan telah berdampak terhadap perairan yang ada. Pembuangan limbah cair dan adanya timbulan sampah dari masyarakat secara luas dan berbagai kegiatan usaha yang padat menjadi biang keladi berkembangnya permasalahan tersebut. Secara umum teridentiikasi sebagai sumber pencemar utama adalah kegiatan rumah tangga, usahakegiatan, BAB IV EKSPLORASI KONSORSIUM MIKROORGANISME DALAM SUSPENSI AKTIF perdagangan dan rumah sakit. Pesatnya perkembangan aktivitas masyarakat perkotaan membutuhkan ruang gerak yang lebih luas, bertambahnya pusat-pusat perdagangan, pemukiman dan perluasan akses pendukungnya memicu alih fungsi lahan. Penyimpangan tata ruang pun kerap terjadi. Perubahan tutupan hjau lahan menjadi bangunan memerlukan pengelolaan lebih lanjut guna meminimalisir dampaknya terhadap tata air dan perubahan iklim yang dapat terjadi. Perluasan wilayah pemukiman, perdagangan dan industri dalam arti luas terus merambah wilayah baru, terjadi peningkatan kepadatan wilayah perkotaan dan perluasan wilayah terbangun ke arah hulu. Pembangunan dengan peningkatan berbagai kegiatan manusia membawa konsekuensi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang sesungguhnya memiliki hubungan timbal balik yang saling mendukung. Semakin pesat laju pembangunan semakin besar upaya pengelolaan limbah yang harus dilakukan dan akumulasi ketidakseimbangnya antara beban yang dikeluarkan dengan upaya menurunkan beban hingga ketingkat aman akan mengancam terjadinya pencemaran dan kerusakan sistem lingkungan. Pengendalian pencemaran yang harus ditingkatkan karena peningkatan pelepasan limbah ke lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan perairan merupakan ekosistem yang paling parah mendapatkan tekanan pencemaran. Pengalaman menunjukan penyebab utama pencemaran pada air permukaan maupun air bawah tanah adalah berbagai aktivitas domestik dan nondomestik meliputi industri, pabrik, pertanian, peternakan, perikanan dan sumber lainnya. Di samping perkembangan isik pembangunan, tekanan lingkungan juga terjadi dari prilaku masyarakat umum, kalangan pengusaha dan pemerintah yang belum mengoptimalkan pengelolaan limbah. Belum terkelolanya secara baik limbah yang dihasilkan oleh berbagai sumber dari berbagai wilayah yang kian pesat berkembang, umumnya keadaan tersebut telah mengubah atau mendegradasi fungsi ekosistem perairan yang ada.

1. Pembibitan Lumpur Aktif

Lumpur aktif merupakan larutan aktif yang diperoleh dari proses pengolahan biologis secara aerobik dengan menggunakan sistem suspended growth. Mikroorganisme yang berada dalam bentuk suspensi disebut juga mixed liquor suspended solid MLSS, bekerja dengan mengikat substrat organic kemudian menguraikannya dengan enzim eksoseluler sehingga menjadi terlarut. dari proses pemecahan senyawa-senyawa organic, mikroorganisme mendapat sumber karbon dan energi. di dalam Lumpur aktif mikroorganisme dibagi kedalam empat kelompok. 1 Mikroorganisme pembentuk lok, yaitu bakteri yang berperan dalam pembentukan lok, 2 kelompok saprophyte sebagian besar masih terdiri atas bakteri yang berperan dalam memecah senyawa-senyawa organic, 3 kelompok predator, yaitu protozoa, memanfaatkan bakteri sebagai makanannya, dan 4 mikroorganisme penggannggu, yaitu bakteri berilamen dan jamur yang dapat mengurangi rapat massa dan menimbulkan bulking. dengan demikian, di dalam Lumpur aktif pun terdapat suatu ekosistem alam yang dalam sistem pengolahan limbah dapat diisolasi dan direkayasa untuk eisisensi pengolahan. Gambaran reaksi asimilasi oleh mikroorganisme yang perlu dimaksimalkan perannya dalam proses Lumpur aktif dapat ditulis sebagai berikut: Seny.kompleks + O 2 + nutrien CO 2 + nH 3 + C 5 H 7 nO 2 + Produk lain + sel baru Proses pengolahan dengan menggunakan Lumpur aktif adalah memanfaatkan mekanisme pengurangan bahan organic terlarut maupun partikulatnya melalui adsorpsi dan oksidasi. Untuk memaksimalkan kerja Lumpur aktif ini ada beberapa factor yang perlu diperhatikan sebagai berikut: • Asal lumpur yang merupakan sumber mikroorganisme yang akan diisolasi dan ditumbuhkan, biasanya dari ekosistem perairan terkontaminasi, tercemar atau pun perairan alami yang memiliki sifat-sifat khas atau ekstrim. • Pengudaraan aerasi : mengingat proses sel biodegradasi adalah respirasi yang secara mutlak membutuhkan oksigen yang mencukupi. • Nutrien : nutrien khusus yang ditambahkan pada tahap seeding dan aklimatisasi akan dikurangi dan diganti secara bertahap dengan limbah yang akan diolah. • Penyediaan waktu kontak antara mikroorganisme dengan polutan dalam air limbah yang sesuai, hal ini tergantung pada konsentrasi polutan solid dan tingkat penyisihan BOd yang direncanakan. • Waktu yang dibutuhkan untuk asimilasi material telarut dan koloid serta penyisihan kedalam padatan endapan. tahap pertumbuhan mikroorganisme dalam sistem batch dapat dapat dibagi dalam 4 tahap yaitu : • Fase Lag: merupakan waktu yang dibutuhkan mikroorganisme untuk aklimatisasi dengan laju pertumbuhan mendekati nol yang berarti suspensi mikroba dan kandungan senyawa organic tidak mengalami perubahan. • Fase eksponensial: jumlah sel meningkat secara eksponensial karena mikroorganisme mengalami fase pertumbuhan, laju konversi substrat mencapai maksimun pada fase ini dan terjadi akumulasi produk-produk metabolit. Pada fase ini suspensi mikroba mencapai maksimal dan kandungan senyawa organic terlarut menjadi minimun. Keberlangsungan kondisi puncak fase eksponensial tergantung pada komposisi biomassa, nutrien dan kondisi lingkungan. • Fase stasioner : fase dengan kecepatan pertumbuhan dan kematian sel seimbang, tidak ada peningkatan sel dan metabolisme menurun, akumulasi metabolit toksik tinggi yang akhirnya menuju fase terakhir yaitu kematian. • fase kematian : sebagian besar sel mati sehingga sehingga produktiitas menurun, akumulasi metabolit toksik tetap tinggi. Tahap Pengembangan Pengolahan dengan Lumpur aktif Mikroorganisme tersuspensi dalam lumpur yang akan digunakan untuk mengolah limbah secara biologis dapat dikembangkan melalui seeding Lumpur yang dapat berasal dari ekosistem alam yang terkontaminasi, tercemar maupun dari ekosistem alam yang memiliki sifat‑sifat khas ataupun ekstrim. Umumnya lokasi pengambilan bahan bibit disesuaikan dengan limbah yang akan diolah sebagai suatu contoh untuk mengolah limbah dari pembuatan tahu tempe maka bahan bibit diambil atau mikroba diisolasi dari IPAL atau tempat pembuangan limbah tahu tempe.

2. Screening

Prosedur screening merupakan langkah awal dari pengembangan pengolahan dengan Lumpur aktif. Pada tahap ini ditentukan sumber bibit mikroorganisme yang akan ditumbuhkan meliputi tanah, Lumpur, tanah atau Lumpur berpasir dan bakteri tertentu yang telah diisolasi sebelumnya yang tersimpan dalam media agar. Langkah screening dapat djabarkan sebagai berikut: • disiapkan media cair nutrien dengan komposisi seperti pada tabel 3, dilarutkan dengan aquades hingga volume 750 mL dalam erlenmeyer 1000 mL, ditutup rapat dengan kapas lalu disterilkan. • Pindahkan secara aseptic 3 – 5 g sample tanah atau lumpur yang telah disiapkan tersimpan dalam frezer pada erlenmeyer yang berisi media cair 1 yang telah didinginkan, lalu tutup kembali dengan kapas dan di goyang dengan shaker pemindahan dengan menggunakan spatula yang steril. • Pengamatan dilakukan dengan mengukur nilai vSS-nya setiap hari nilai vSS diharapkan mengalami peningkatan hingga mencapai 2000 mgL atau mencapai fase tunak

3. Penumbuhan Biomassa Aktif

Seeding Pembibitan seeding merupakan langkah lanjut dari hasil screening yang bertujuan menyiapkan biomassa yang adaptable dan stabil dengan jumlah yang memadai. didalam seeding digunakan nutrien yang lebih sederhana tunggal dengan skala 10 – 20 kali lebih besar dari screening, Langkah seeding dapat djabarkan sebagai berikut: • disiapkan bak pembibitan dengan volume 5 – 6 L dengan kondisi yang bersih bebas vSS tidak ada endapan atau berkerak, disiapkan juga kompresor udara atau aerator untuk mensuplai udara yang cukup kedalam bak. • Bibit yang dihasilkan dari proses screening dipindahkan dengan hati hati sebanyak 300 mL10 dari volume efektif kedalam bak, lalu diisi air bersih hingga 3 L. • ditambahkan glukosa 1000 mg L lalu udara disuplai aerator diaktikan, oksigen terlarut DO bak djaga agar nilainya lebih besar dari 2 mgL. • Pengamatan dilakukan dengan mengukur vSS- nya setiap hari hingga mencapai angka lebih besar dari 2000 mgL dan mencapai puncaknya.

4. Aklimatisasi

Proses aklimatisasi dilakukan setelah perkembangan vSS hasil seeding mencapai puncaknya dan diharapkan nilainya lebih dari 2000 mgL. tahap aklimatisasi adalah mengganti glukosa sebagai sumber karbon dengan air limbah yang akan diolah secara berangsur-angsur. Langkah- langkah aklimatisasi dapat di jabarkan sebagai berikut: • disiapkan bak reaktor dengan volume 12 L dengan kondisi yang bersih bebas vSS tidak ada endapan atau berkerak, disiapkan juga kompresor udara atau aerator untuk mensuplai udara yang cukup kedalam bak. • Larutan bibit yang dihasilkan dari proses seeding dipindahkan dengan hati hati sebanyak 2 L20 dari volume efektif kedalam bak. • ditambahkan gula pasir 500 mg L dengan volume larutan total 10 L, pergantian komposisi larutan limbah seperti Tabel 1 berikut: Tabel 4.1. Komposisi Air Limbah dan Gula Pasir pada Proses Aklimatisasi Gula Pasir mgL Air Limbah mgL Perbandingan Gula Pasir: Air Limbah 1000 1 : 0 800 200 8 : 2 600 400 6 : 4 200 800 2 : 8 1000 0 : 1 dilakukan setiap kali pengukuran vSS dengan angka permanganatnya yang sebelumnya telah dicari korelasinya terhadap nilai COd. Penambahan beban air limbah dilakukan setelah penyisihan permanganat tidak berbeda lebih dari 10 dibandingkan dengan hari sebelumnya. • Lalu udara disuplai aerator diaktikan, oksigen terlarut DO bak djaga agar nilainya lebih besar dari 2 mgL. • Pengamatan dilakukan dengan mengukur vSS- nya setiap hari, setelah bakteri mampu mengolah air limbah tanpa penambahan gula pasir dan vSS-nya diharapkan lebih besar dari 2000 mgL dan mencapai puncaknya, selanjutnya dilakukan skala up.

6. Pengembangan skala pembibitan

Pengembangan skala pembibitan dilakukan secara bertahap setelah masa aklimatisasi berturut –turut mulai pada volume 25 L, 100 L, 250 L dan 1000 L, dengan cara masing-masing sebagai berikut: • Bibit hasil pembibitan sebelumnya dipindahkan sebanyak 80 – 90 kedalam bak baru dengan kapasitas 50 – 60 L. • Air limbah dimasukan kedalam bak secara perlahan-lahan hingga mencapai volume 40 L, ditambahkan gula pasir 100 mgL secara merata sembari aerator djalankan. • Pengamatan dilakukan dengan mengukur vSS- nya setiap hari hingga mencapai angka lebih besar dari 2000 mgL dan mencapai puncaknya. • Cara kerja untuk skala 100 L, 250 L dan 1000 L dilakukan dengan persentase pemindahan dan penambahan yang sama sesuai dengan ukuran bak yang digunakan.

7. Aplikasi dalam reactor instalasi pengolahan

Pada aplikasi pengolahan dilakukan dengan skala reactor sesuai dengan yang dibutuhkan oleh instalasi pengolahan, umumnya 3 – 5 m 3 . • Sebanyak 500 L larutan bibit dari pembibitan 1000L dipindahkan kedalam bak pengolahan, separuh sisanya disimpan sebagai larutan stock. • Air limbah ditambahkan secara bertahap masing- masing 20, 40, 60, 80 dan 100, sebelum dilakukan penambahan limbah berikutnya dilakukan pengukuran vSS, pertumbuhan mikroba mencapai maksimal atau stabil dengan vSS berkisar 2000 mgL Penambahan gula pasir maupun n,P,K dapat dilakukan dengan kadar 100 mgL dan terus dikurangi hingga tanpa penambahan gula maupun n,P,K.

4.2 Mekanisme dan Rumus Perhitungan Proses Kontak Biologis