BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini masyarakat banyak mengonsumsi mi sebagai makanan alternatif pengganti nasi. Mi merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya
relatif murah dan pengolahannya yang praktis, mi juga memiliki kandungan gizi yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mi digunakan
sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi yang mengenyangkan Muhajir, 2007. Menurut survei tahun 2000 di Jepang, mi merupakan ciptaan terbaik di dunia
kuliner karena bisa menjadi makanan favorit bagi siapa pun tanpa mengenal suku dan ras. Oleh karena itu, mi sudah menjadi makanan favorit masyarakat, mulai anak –
anak hingga lanjut usia. Di Indonesia tercatat bahwa tiap tahun mi dihidangkan sebanyak 11 miliar kali, sementara di China sekitar 27 miliar kali Muhajir, 2007.
Masyarakat di Indonesia gemar mengonsumsi mi, mulai dari mi kering sampai mi siap santap. Selama tahun 1990-1999, laju perubahan jumlah orang yang
mengonsumsi mi di kota mencapai 56,4 dan di desa 67,0 Ariani, 2009. Konsumsi mi instan di kota pada tahun 2002 sebesar 2,82 kg per kapita per tahun,
sedangkan di desa 1,50 kg per kapita per tahun. Konsumsi mi basah di kota adalah 0,3 kg per kapita per tahun, sedangkan di desa 0,2 kg per kapita per tahun Susenas,
2002. Saat ini berbagai jenis mi banyak dikonsumsi dan banyak dijual di pasaran,
antara lain mi kering dan mi basah. Mi kering adalah mi basah yang melewati tahap pengeringan sehingga memiliki daya tahan yang lebih lama. Mi basah adalah salah
Universitas Sumatera Utara
satu bentuk mi yang mudah diolah oleh masyarakat umum dan bahan-bahan pembuatan mudah didapat memungkinkan setiap orang dapat membuat sendiri karena
telah banyak mi basah yang dijual dipasaran mengandung formalin Muhajir, 2007. Perkembangan konsumsi mi yang sangat pesat memberi pelajaran bahwa mi
merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi konsumen Indonesia. Namun, di sisi lain berpeluang menurunkan devisa negara, mengingat mi
merupakan produk yang terbuat dari tepung terigu, suatu komoditas impor. Impor gandum Indonesia mencapai 4,1 juta ton pada tahun 20002001 dan merupakan
importer terbesar keenam di dunia Ariani, 2009. Tingkat konsumsi tepung terigu di kota adalah 1,4 kg per kapita per tahun, sedangkan di desa adalah 1,0 kg Susenas,
2002. Sementara itu pembangunan pertanian nasional telah mampu menghasilkan beragam komoditas sumber karbohidrat lain yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya,
terutama dalam rangka penyediaan pangan alternatif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, perlu pengembangan teknologi mi berbahan baku tepung selain tepung terigu,
misalnya dengan memanfaatkan tepung dari biji buah durian. Biji buah durian sering dianggap tidak bermanfaat, ataupun sebatas
dimanfaatkan untuk dimakan setelah dikukus atau direbus maupun dibakar oleh sebagian kecil masyarakat. Biji durian sebagai bahan makanan memang belum
memasyarakat di Indonesia, padahal jika mendapatkan penanganan yang serius biji durian dapat dimanfaatkan sebagai penghasil tepung yang tidak kalah dengan tepung
lainnya yang akan meningkatkan nilai ekonomis dan kemanfaatannya. Kandungan pati tepung dalam biji durian sebesar 17,27.
Bila ditinjau dari komposisi kimianya, biji durian cukup berpotensi sebagai sumber gizi, yaitu mengandung
Universitas Sumatera Utara
protein 9,79, karbohidrat 30, kalsium 0,27 dan fosfor 0,9 Winarti, 2006. Sedangkan tepung terigu memiliki kandungan protein 8,9, karbohidrat 77,3,
kalsium 0,01, dan fosfor 0,01 Depkes, 1992. Biji durian memiliki kandungan protein, kalsium, dan fosfor yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung
terigu. Oleh karena itu, biji durian dapat dijadikan alternatif olahan makanan yang dapat menambah informasi tentang gizi pada masyarakat, selain itu dapat juga untuk
menciptakan lingkungan yang bersih. Menurut penelitian Alemina Singarimbun 2008 tentang pengaruh
perbandingan tepung terigu dengan tepung jagung dan konsentrasi kalium sorbat terhadap mutu mi basah, hasil analisisnya tepung terigu dan tepung jagung
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar protein serta organoleptik tekstur dan warna, berbeda nyata terhadap organoleptik aroma, tetapi berbeda tidak
nyata terhadap organoleptik rasa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad Muhajir 2007 tentang peningkatan gizi mi instan dari campuran tepung terigu dan tepung ubi
jalar dengan penambahan tepung tempe dan tepung ikan, hasil analisisnya adalah penambahan tepung tempe dan tepung ikan memberi pengaruh berbeda sangat nyata
terhadap kadar protein, kalsium, serta pada organoleptik warna dan rasa. Penambahan tepung tempe dan tepung ikan juga memberi pengaruh berbeda nyata terhadap
organoleptik aroma, dan berbeda tidak nyata terhadap organoleptik tekstur. Hasil penelitian Tia Irmayanti, dkk 2008 tentang peningkatan nilai gizi dan
cita rasa mi basah dengan penambahan tepung daging-tulang leher ayam pedaging menyebutkan bahwa secara nyata meningkatkan gizi mi basah terutama kandungan
protein, kalsium, dan fosfor, serta paling disukai oleh panelis berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
organoleptik aroma, warna, rasa dan tekstur pada penambahan tepung daging-tulang leher ayam dengan konsentrasi 10. Penelitian yang dilakukan oleh Akhyar Ali dan
Dewi Fortuna Ayu 2009 tentang substitusi tepung terigu dengan tepung pati ubi jalar pada pembuatan mi kering memberikan hasil bahwa mi yang dihasilkan melalui
substitusi tepung terigu dengan tepung pati ubi jalar berpengaruh tidak nyata terhadap kadar protein dan tekstur, akan tetapi berpengaruh nyata terhadap aroma dan rasa mi
setelah digoreng. Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan mi dengan penambahan tepung
biji durian sebesar 15, 20, dan 25 dari berat bahan dasar tepung terigu yang diulang sebanyak 2 kali pada proses pembuatan mi dengan maksud untuk
memperkecil error atau kesalahan yang mungkin terjadi pada saat penimbangan bahan yang digunakan dalam pembuatan mi. Penetapan konsentrasi tepung biji durian
sebesar 15, 20, dan 25 dilakukan karena peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan sebelum melakukan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian
pendahuluan, apabila persentase tepung biji durian terlalu besar akan menghasilkan rasa, warna, aroma, dan tekstur mi yang tidak bagus, yaitu rasanya agak pahit,
aromanya yang semakin langu, dan teksturnya mudah hancur. Menurut Sutomo 2008, tepung substitusi dalam pembuatan mi sebaiknya tidak lebih dari 20 total
berat tepung. Pengenalan penggunaan tepung biji durian kepada masyarakat akan lebih
efektif bila diterapkan sebagai bahan baku atau tambahan dalam pembuatan makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat, salah satunya adalah mi basah. Hal ini menarik
Universitas Sumatera Utara
untuk diteliti dalam sebuah penelitian yang berjudul “Pengaruh Penambahan Tepung Biji Durian Terhadap Cita Rasa Mi Basah”.
1.2. Perumusan Masalah