Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya
nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus kepada kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya
yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.
10. Sarana dan Prasarana
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di perkotaan menuntut adanya perencanaan pengembangan kabupatenkota yang lebih cermat, baik secara fisik
maupun non fisik. Kenyataan yang ada, secara fisik lahan di perkotaan sangat terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan
hal yang menjadi kebutuhan penduduk kabupatenkota. Fakta menunjukan kualitas pelayanan publik kepada anak di kabupatenkota masih terbatas,
khususnya bila ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain:
a. beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak
berorientasi pada kepentingan anak; b.
tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupatenkota untuk kepentingan anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan
c. pembangunan sarana dan prasarana kabupatenkota untuk kepentingan anak
tidak merata, akibat dari perencanaan yang belum peduli anak dan perkembangan wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali.
d. sarana dan prasarana yang tersedia perawatannya, kualitasnya semakin
menurun. Anak, sebagai salah satu bagaian dari masyarakat kabupatenkota, sering
mengalami dampak dari penurunan daya dukung sarana dan prasarana kabupatenkota, beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain:
a. minimnya sarana pendidikan, kesehatan, bermain, ruang terbuka hijau,
transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak; b.
terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan c.
polusi dan tingkat kebisingan kota yang berpengaruh terhadap kesehatan dan perkembangan jiwa anak.
11. Anak dan Pembangunan Lingkungannya
Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak penting
untuk didengarkan pendapat dan aspirasinya dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan.
Sesungguhnya melalui wadah partisipasi anak, anak dapat diajak bekerjasama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembangunan
49
lingkungannya Adams Ingham, 1998:51. Pemerintah dapat berkomunikasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman
mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal, sehingga pemerintah dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka.
1 Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal
Hal yang perlu dilakukan agar anak akrab dengan lingkungan tempat tinggalnya antara lain adalah:
a. keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara
otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi.
b. rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan,
ketenangan dan kenyamanan penghuni. Syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas milik sendiri, sewa, menumpang,
kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya, rumah itu
berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi yang cukup.
2 Anak dan Lingkungan Masyarakat
Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:
a. perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk
menjalankan organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja
bakti membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor, dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut
Prof. Parsudi Suparlan Suparlan, 1996:3-44 menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk
diajak bekerjasama;
b. menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada
kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan
c. untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik
bagi anak untuk tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak
memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting
yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan pemerintah kota.
Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan, perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak
50
bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain
yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan
memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.
3 Anak dan Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut: a.
mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan dan
kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-
anak perempuan dari pelecehan seksual;
b. desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain
bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai; c.
waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar
mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal mengikuti pelajaran, karena energi yang
berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran;
d. perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain
yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;
e. penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan
guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini
melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain; Anak memiliki
potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun
peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas
piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama; dan
f. mempunyai “program makan di sekolah”, karena anak banyak
mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga
dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi
ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau
51
lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah, tetapi
dihentikan sejalan dengan berakhirnya program Jaring Pengaman Sosial. Program makan di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh
sekolah-sekolah seperti di Jepang dan Malaysia.
g. Adanya program sekolah ramah anak
4 Anak dan Lingkungan Bermain
Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama
dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks Hendricks: 2002:14 perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus
mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga
dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik
seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan
dengan anak mengenai tempat bermain Hendricks: 2002:14.
Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain
adalah masalah keselamatan anak.
Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak: a.
dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal
berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; dan
b. orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat
bermain diduga juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child
abuse.
Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan
mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman.
Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan
termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan berbahaya pada alat-alat permainan.
5 Anak dan Pelayanan Transportasi
52
Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang mempertimbangkan kebutuhan anak. Selain itu pemerintah kota dalam
membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla Kruger, 2002:85 perlu:
a. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum;
b. mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis
transportasi umum; dan c.
mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.
6 Anak dan Pelayanan Kesehatan
Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui oleh seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis
penyakit dan upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi kesehatan, seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa
seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan
anak.
Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat
bagi anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian
besar penyakit anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal rumah, belajar sekolah dan bermain masyarakat WHO,
2002:7. Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk.
Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara bibit penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara infeksi cacing.
Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu, permukiman yang padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk mencuci,
mempercepat penyebaran berbagai penyakit UNICEF UNEP, 1990:25. Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekurang hati-
hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya, pembuangan sampah toxic dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak
aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah ancaman.
Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy,
dkk. Penulis buku “Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, dan Latin America,” adalah
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan masyarakat.
Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan:
53
a. menyediakan air bersih;
b. tempat penampungantanki air selalu dibersihkan untuk menjaga
higiene; c.
menyediakan fasilitas WC yang bersih; d.
mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan e.
melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan dapur.
Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan
fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK.
7 Anak dan Masalah Sosialnya
a. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum
Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke pengadilan setiap tahunnya.
Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir
dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar harus tinggal bersamadicampur dengan orang-orang dewasa Sumber: Media Perlindungan
Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV2008.
Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak 16 tahun sedang menjalani proses pengadilan, anak yang dipenjara sebanyak 13.242 anak
dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98 diantaranya adalah anak laki-laki dan 83 yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara
usia 18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel Sumber: Bareskrim, Polri.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan
dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana 73.686 orang dan tahanan 54.309 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845
pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah narapidana dan tahanan anak sebanyak 4.301 3.36 dengan rincian jumlah narapidana anak 2.282 Laki-
laki 2.161; Perempuan 121. Tahanan anak sebanyak 2.019 orang Laki-laki 1.838; Perempuan 181. Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria
dan 1 lapas anak wanita.
Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik
54
dengan hukum maupun anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini,
penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus
terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya,
dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk menghindari labelisasi.
b. Kekerasan Terhadap Anak
Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah. Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik
secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak
dianggap sebagai komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan, dilacurkan, dan terjerat dalam sindikat pengedar narkoba, atau yang
dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab.
Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat mulai dari dijemput di sekolah, anak sedang bermain, anak sedang
berekreasi, dan sedang berada dalam rumah dengan berbagai modus operandi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa “Dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah
dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.” Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa
“Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.”
Awal 2006, terungkap kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah, sebanyak 80
persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan
kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid,
dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah
menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak
terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akan melahirkan sederet penderitaan yang
55
berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik maupun psikis.
Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu
maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 pelaku yang dikenal
korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 pelaku tindak kekerasan
terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah
yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena
justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.
c. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus a Anak di Lokasi Bencana
Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri,
mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana
dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang.
Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban
perdagangan orang.
Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat 2.
b. Anak di Daerah Konflik Bersenjata
Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia
dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun.
Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang
sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual,
perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak.
56
Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.
c Anak Cacat
Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.
Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat
perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai.
Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya
diskriminasi pada anak cacat.
Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
d Anak Jalanan
Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang
menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga mempengaruhi.
Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat
rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.
8 Kekuatan, Peluang dan Tantangan
a. Kekuatan a Undang-Undang Perlindungan Anak UU PA dan Rativikasi
KHA.
Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong
pelaksanaan kebijakan KLA.
b Peraturan Daerah
Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung, secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak.
57
Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan kebijakan KLA
c Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga
pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas dan keberlanjutannya.
b. Peluang a Pengetahuan masyarakat meningkat
Semaraknya jumlah lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini PAUD,
Taman Kanak-Kanak, Kelompok bermain merupakan indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat di bidang perlindungan anak.
b Dukungan lembaga internasional kuat.
Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun Internasional NGO di bidang anak, telah memberikan dukungan kepada
Pemerintah Indonesia.
c Jumlah ahli di bidang anak meningkat.
Semakin banyaknya jumlah ahli di bidang perlindungan anak, semakin terbuka peluang bagi pelaksanaan kebijakan KLA yang
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupatenkota.
c. Hambatan
a Kemauan politik terbatas
Isu anak belum menjadi prioritas dari partai politik, pembuatan dan pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan isu anak kurang laku di
jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik itu sendiri, misalnya pilkada, pemekaran daerah.
b Belum tersosialisasinya konvensi dan peraturan perundang- undang di bidang anak
Rendahnya frekuensi sosialisasi konvensi dan peraturan perundang- undangan di bidang anak menyebabkan pemahaman dan
pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak terbatas.
d. Ancaman
58
a Kondisi sosial ekonomi yang belum kondusif
Kebijakan KLA merupakan implementasi dari perlindungan anak, jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti kemiskinan, krisis
energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya anak putus sekolah, meningkatnya jumlah anak bekerja, selain itu
kekerasan terhadap anak meningkat.
b Adanya resistensi budaya
Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kebiasaan mendidik anak dengan cara kekerasan, terutama pada pendidikan informal,
seperti semboyan “ada mutiara di ujung rotan’ pada pendidikan keagamaan; mendisiplinkan anak dengan cara mengurung di kamar
mandi bila ada pelanggaran.
12. STRATEGI
Menumbuhkan dan memaksimalkan peran kepemimpinan kabupatenkota dalam memenuhi hak anak.
Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak.
Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif. Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi,
perencanaan, monitoring dan evaluasi. Membuat laporan tahunan kabupatenkota tentang anak.
Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak. Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan
masyarakat. Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam
situasi khusus.
Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum. Memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang berhasil dalam
melaksanakan kebijakan KLA.
13. INDIKATOR KEBERHASILAN