Relasi   sosial   didasarkan   pada   solidaritas   mekanik,   dia   ada   karena   adanya kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya
nilai-nilai   kebersamaan   menyebabkan   masing-masing   warga   lebih   terfokus kepada   kehidupan   masing-masing,   tidak   saling   mengetahui   apa   sesungguhnya
yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.
10. Sarana dan Prasarana
Pertumbuhan   jumlah   penduduk   yang   tinggi   di   perkotaan   menuntut   adanya perencanaan pengembangan kabupatenkota yang lebih cermat, baik secara fisik
maupun non fisik. Kenyataan yang ada, secara fisik lahan di perkotaan sangat terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan
hal   yang   menjadi   kebutuhan   penduduk   kabupatenkota.  Fakta   menunjukan kualitas   pelayanan   publik   kepada   anak   di   kabupatenkota  masih   terbatas,
khususnya bila ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain:
a. beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak
berorientasi pada kepentingan anak; b.
tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupatenkota untuk kepentingan anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan
c. pembangunan sarana dan prasarana kabupatenkota untuk kepentingan anak
tidak   merata,   akibat   dari   perencanaan   yang   belum   peduli   anak   dan perkembangan wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali.
d. sarana   dan   prasarana   yang   tersedia  perawatannya,   kualitasnya   semakin
menurun. Anak,   sebagai   salah   satu   bagaian   dari   masyarakat   kabupatenkota,   sering
mengalami   dampak   dari   penurunan   daya   dukung   sarana   dan   prasarana kabupatenkota, beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain:
a. minimnya   sarana   pendidikan,   kesehatan,   bermain,   ruang   terbuka   hijau,
transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak; b.
terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan c.
polusi dan tingkat  kebisingan kota yang berpengaruh terhadap kesehatan dan perkembangan jiwa anak.
11. Anak dan Pembangunan Lingkungannya
Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak penting
untuk   didengarkan   pendapat   dan   aspirasinya   dalam   merencanakan   dan menentukan arah pembangunan.
Sesungguhnya melalui  wadah partisipasi  anak, anak dapat diajak  bekerjasama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembangunan
49
lingkungannya  Adams   Ingham, 1998:51. Pemerintah  dapat berkomunikasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman
mengenai   lingkungan   kota   tempat   mereka   tinggal,   sehingga   pemerintah   dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka.
1 Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal
Hal   yang   perlu   dilakukan   agar   anak   akrab   dengan   lingkungan   tempat tinggalnya antara lain adalah:
a. keluarga   perlu   melakukan   penerapan   kombinasi   pola   asuh   antara
otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi.
b. rumah   yang   layak   huni   adalah   rumah   yang   menjamin   keamanan,
ketenangan   dan   kenyamanan   penghuni.   Syarat   rumah   layak   huni adalah   status   kepemilikan   jelas   milik   sendiri,   sewa,   menumpang,
kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya, rumah itu
berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi yang cukup.
2 Anak dan Lingkungan Masyarakat
Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:
a. perlu   ada   inisiatif   dan   kemauan   keras   ketua   RT   dan   RW   untuk
menjalankan   organisasi   dengan   membentuk   kegiatan-kegiatan   yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja
bakti membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor, dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut
Prof.   Parsudi   Suparlan  Suparlan,  1996:3-44   menjadi   bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk
diajak bekerjasama;
b. menjaga   sanitasi   lingkungan,   karena   berdampak   langsung   pada
kesehatan   lingkungan,   terutama   terhadap   anak-anak   yang   rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan
c. untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik
bagi   anak   untuk   tumbuh   dan   kembang,   pemerintah   kota   perlu melakukan   perbaikan-perbaikan.   Menurut  Bartlett,   anak-anak
memahami  apa  yang  menjadi  kebutuhan  mereka  di  lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting
yang   perlu   mendapat   perhatian   dari   orang   dewasa,   assosiasi masyarakat dan pemerintah kota.
Untuk   memperbaiki   masyarakat   mereka.   Perlu   ada   perbaikan, perawatan   dan   pembaharuan   terhadap   saluran   air,   toilet   yang   tidak
50
bau,   bebas   bau   sampah;   tempat   bermain   dan   rekreasi   yang   terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain
yang   dekat   dengan   rumah   dan   sekolah;   dan   perlu   melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan
memasang   pengumuman   tentang   pemberian   perlindungan   terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.
3 Anak dan Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut: a.
mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di   sekolah,   sehingga   perlu   dipertimbangkan   keberadaan   dan
kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-
anak perempuan dari pelecehan seksual;
b. desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain
bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai; c.
waktu   sekolah   pagi   dan   petang   dipertimbangkan   untuk   diterapkan secara   bergantian,   karena   sangat   berpengaruh   pada   proses   belajar
mengajar   dan   kualitas   murid.   Sebagian   besar   murid-murid   sekolah petang   kurang   optimal   mengikuti   pelajaran,   karena   energi   yang
berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran;
d. perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain
yang   memberi   kesempatan   anak   untuk   berdiskusi,   perlu   diterapkan agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;
e. penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan
guru   perlu   mengikutsertakan   murid-murid,   sehingga   memiliki legitimasi   yang   kuat   saat   diterapkan   dan   ditegakkan.   Kegiatan   ini
melatih   anak-anak   mengenai   kehidupan   berdemokrasi   yang   saling mendengar,   dan   menghargai   pendapat   orang   lain;   Anak   memiliki
potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan   sendiri;   contoh,   melalui   bermain   mereka   menyusun
peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas
piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama; dan
f. mempunyai   “program   makan   di   sekolah”,   karena   anak   banyak
mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga
dapat   meningkatkan   gizi   anak,   yang   mungkin   di   rumah   kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi
ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau
51
lain   kelas.   Di   Indonesia,   program   ini   pernah   dilaksanakan   melalui program   Pemberian   Makanan   Tambahan   Anak   Sekolah,   tetapi
dihentikan   sejalan   dengan   berakhirnya   program   Jaring   Pengaman Sosial. Program makan di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh
sekolah-sekolah seperti di Jepang dan Malaysia.
g. Adanya program sekolah ramah anak
4 Anak dan Lingkungan Bermain
Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat   bermain   dengan   mengikuti   cara   anak,   dan   bersedia   bekerjasama
dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks Hendricks: 2002:14   perencanaan   taman   bermain   yang   ramah   terhadap   anak   harus
mempertimbangkan   hasil   konsultasi   dengan   anak,   seperti   bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga
dalam   proses   pengembangannya   tidak   perlu   melakukan   pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik
seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan
dengan anak mengenai tempat bermain Hendricks: 2002:14.
Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan   diskusi   dengan   anak   mengenai   pembangunan   taman   bermain
adalah masalah keselamatan anak.
Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak: a.
dibutuhkan   tindakan   pencegahan   dan   tenaga   profesional   yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal
berbahaya   yang   bisa   menyebabkan   anak-anak   mendapatkan   luka serius; dan
b. orang   dewasa,   khususnya   orang-tua   anak   dan   pengawas   tempat
bermain   diduga   juga   berpotensi   untuk   membahayakan   keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child
abuse.
Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan   pengawasan   terhadap   anak.   Menurut  Sheridan   Bartlett,   dengan
mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak,   sehingga   memungkinkan   mereka   merasa   tenang   dan   nyaman.
Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan
termasuk   melakukan   kampanye   terhadap   larangan   penggunaan   bahan berbahaya pada alat-alat permainan.
5 Anak dan Pelayanan Transportasi
52
Pemerintah   kota   agar   menyediakan   layanan   transportasi   yang mempertimbangkan   kebutuhan   anak.   Selain   itu   pemerintah   kota   dalam
membuat   kebijakan   mengenai   transportasi   umum,   menurut  Jill   Swart Kruger dan Louise Chawla Kruger, 2002:85 perlu:
a. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum;
b. mempertimbangkan   pembuatan   tiket   tunggal   untuk   semua   jenis
transportasi umum; dan c.
mempertimbangkan   penggunaan   bus   khusus   pada   hari   minggu   dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.
6 Anak dan Pelayanan Kesehatan
Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui oleh   seorang   anak,   supaya   mereka   mengetahui   sumber   penyakit,   jenis
penyakit   dan   upaya   pencegahannya.   Melalui   pemberian   informasi kesehatan,   seorang   anak   secara   bertahap   belajar   memahami   mengapa
seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan
anak.
Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat
bagi   anak.   Kenyataan,   tak   jarang   tempat-tempat   itu   tidak   aman   bahkan menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian
besar   penyakit   anak-anak   berhubungan   erat   dengan   lingkungan   tempat mereka tinggal rumah, belajar sekolah dan bermain masyarakat WHO,
2002:7. Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang bersih,   sanitasi   buruk,   polusi   udara,   dan   higiene   makanan   yang   buruk.
Resiko   lainnya   ditimbulkan   oleh   serangga   yang   menjadi   perantara   bibit penyakit;   sedangkan   tanah   dan   air   merupakan   perantara   infeksi   cacing.
Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu, permukiman yang padat,   ventilasi   yang   buruk,   dan   kurang   air   bersih   untuk   mencuci,
mempercepat penyebaran berbagai penyakit UNICEF  UNEP, 1990:25. Bagi   masyarakat   perkotaan,   resiko   juga   ditimbulkan   dari   kekurang   hati-
hatian   dalam   menggunakan   bahan   kimia   yang   berbahaya,   pembuangan sampah  toxic  dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak
aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah ancaman.
Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy,
dkk.  Penulis   buku   “Environmental   Problems   in   an   Urbanizing   World: Finding   Solution   for   Cities   in  Africa,  Asia,   dan   Latin  America,”   adalah
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat   dilakukan   di   dua   tingkatan   yakni   rumah   tangga   dan   masyarakat.
Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan:
53
a. menyediakan air bersih;
b. tempat   penampungantanki   air   selalu   dibersihkan   untuk   menjaga
higiene; c.
menyediakan fasilitas WC yang bersih; d.
mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan e.
melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan dapur.
Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan
fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK.
7 Anak dan Masalah Sosialnya
a. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum
Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia ditemukan   lebih   dari   4.000   anak   dibawa   ke   pengadilan   setiap   tahunnya.
Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir
dipenahanan   atau   penjara   anak,   dan   sebagian   besar   harus   tinggal bersamadicampur dengan orang-orang dewasa Sumber: Media Perlindungan
Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV2008.
Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak  16 tahun sedang menjalani   proses   pengadilan,   anak   yang   dipenjara   sebanyak   13.242   anak
dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98 diantaranya adalah anak laki-laki dan 83 yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara
usia  18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel Sumber: Bareskrim, Polri.
Berdasarkan   data   dari   Direktorat   Jenderal   Pemasyarakatan,   Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan
dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana 73.686 orang dan tahanan 54.309 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845
pria   dan   6.150   wanita.   Sedangkan   jumlah   narapidana   dan   tahanan   anak sebanyak 4.301 3.36 dengan rincian jumlah narapidana anak 2.282 Laki-
laki 2.161; Perempuan 121.   Tahanan anak sebanyak 2.019 orang Laki-laki 1.838; Perempuan 181.  Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria
dan 1 lapas anak wanita.
Perlindungan   anak   sesuai   dengan   Undang-Undang   Nomor   23   Tahun   2002, menjamin   terpenuhinya   hak   anak   sesuai   harkat   dan   martabat   kemanusiaan
serta   mendapatkan   perlindungan   dari   tindak   kekerasan   dan   diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
pemerintah   dan   masyarakat   berkewajiban   dan   bertanggungjawab   untuk memberikan   perlindungan   khusus   yang   salah   satunya   adalah   perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik
54
dengan hukum maupun anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan
antara   lain   melalui   perlakuan   atas   anak   secara   manusiawi,   sesuai   dengan martabat   dan   haknya,   penyediaan   petugas   pendamping   khusus   sejak   dini,
penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan   terbaik   bagi   anak,   pemantauan   dan   pencatatan   terus   menerus
terhadap   perkembangan   anak   yang   berhadapan   dengan   hukum,   pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya,
dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk menghindari labelisasi.
b. Kekerasan Terhadap Anak
Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah. Banyak   kasus   yang   menjadikan   anak   sebagai   korban   kekerasan   baik
secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan   yang   diakibatkan   oleh   kondisi   sosial-ekonomi.   Anak
dianggap   sebagai   komoditas,   tenaga   kerja   murah,   diperdagangkan, dilacurkan,   dan   terjerat   dalam   sindikat   pengedar   narkoba,   atau   yang
dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab.
Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat mulai   dari   dijemput   di   sekolah,   anak   sedang   bermain,   anak   sedang
berekreasi,   dan   sedang   berada   dalam   rumah   dengan   berbagai   modus operandi.
Hasil   penelitian   yang   dilakukan   oleh   UNICEF   menunjukkan   bahwa “Dua   per   tiga   anak   laki-laki   dan   sepertiga   anak   perempuan   pernah
dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.” Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa
“Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.”
Awal   2006,  terungkap   kekerasan   terhadap   anak   di   Jawa   Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah, sebanyak 80
persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan
kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid,
dan   54   persen   pernah   menyuruh   murid   untuk   membersihkan   atau mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah
menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan berada   disekitar   kehidupan   anak.   Tidak   tempat   yang   membuat   anak
terbebas   dari   ancaman   kekerasan   dan   eksploitasi.   Kekerasan   dan eksploitasi   terhadap   anak   akan   melahirkan   sederet   penderitaan   yang
55
berkepanjangan   yang   tertanam   dalam   benak   anak   baik   secara   fisik maupun psikis.
Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu
maupun  bapak.  Statistik   menunjukkan  bahwa,  ternyata   pelaku  tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80  pelaku yang dikenal
korban.   Hal   ini   sesuai   dengan   apa   yang   dilansir   oleh   Komnas Perlindungan  Anak  bahwa,  lebih  dari   69    pelaku  tindak  kekerasan
terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah
yang   seharusnya   menjadi   tempat   yang   paling   aman   bagi   anak,   kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena
justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.
c. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus a Anak di Lokasi Bencana
Anak   di   lokasi   bencana   menjadi   sangat   rentan   karena   mereka memerlukan   bantuan   orang   dewasa   untuk:   menyelamatkan   diri,
mendapatkan   pertolongan   medis,  shelter;   dan   kebutuhan   emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana
dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang.
Lingkungan   yang   layak   anak   akan   memperhitungkan   dengan   cermat hal-hal   semacam   itu,   termasuk   antisipasi   anak-anak   menjadi   korban
perdagangan orang.
Anak   merupakan   kelompok   yang   mendapat   proritas   sebagaimana diamanatkan   oleh   Undang-Undang   Nomor   24   Tahun   2007   tentang
Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat 2.
b. Anak di Daerah Konflik Bersenjata
Di daerah  konflik bersenjata  umumnya anak-anak dimanfaatkan  oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia
dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun.
Selain   bertentangan   dengan   undang-undang,   hal   tersebut   secara psikologis   berdampak   buruk   pada   anak,   menimbulkan   trauma   yang
sangat   panjang   dan   bisa   jadi   seumur   hidupnya.   Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual,
perkosaan   dan   pedofilia,   merupakan   bentuk   kekerasan   yang   sangat ditakuti anak-anak.
56
Strategi   pembangunan   yang   peduli   anak   di   daerah   konflik   dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.
c Anak Cacat
Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.
Namun   akses   anak   cacat   terhadap   fasilitas   umum   masih memprihatinkan,   misalnya;   tidak   semua   gedung,   pasar,   pusat
perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai.
Dalam   kehidupan   sosialpun   anak-anak   cacat   diperlakukan   sebagai warga   Negara   kelas   dua   atau   kelas   tiga.   Terlihat   jelas   adanya
diskriminasi pada anak cacat.
Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997
tentang   Penyandang   Cacat   pasal   6   huruf   b   disebutkan   bahwa   anak penyandang   cacat   mempunyai   hak   yang   san   antuk
menumbuhkembangkan   bakat,   kemampuan   dan   kehidupan   sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
d Anak Jalanan
Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin   kompleks   karena   bukan   saja   faktor   kemiskinan   yang
menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga mempengaruhi.
Anak   jalanan   menghadapi   resiko   yang   lebih   besar   menjadi   obyek eksploitasi,   kekerasan   dan   pelecehan   seksual,   kehidupannya   sangat
rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.
8 Kekuatan, Peluang dan Tantangan
a. Kekuatan a Undang-Undang   Perlindungan  Anak   UU   PA   dan   Rativikasi
KHA.
Adanya   UU   PA   dan   rativikasi   konvensi   hak   anak   merupakan kekuatan   yang   dapat   dijadikan   sebagai   faktor   pendorong
pelaksanaan kebijakan KLA.
b Peraturan Daerah
Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung, secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak.
57
Hal   ini   merupakan   indikasi   yang   positif   terhadap   pelaksanaan kebijakan KLA
c Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga
pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas dan keberlanjutannya.
b. Peluang a Pengetahuan masyarakat meningkat
Semaraknya   jumlah   lembaga-lembaga   sosial   yang   bergerak   di bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini PAUD,
Taman   Kanak-Kanak,   Kelompok   bermain     merupakan   indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat di bidang perlindungan anak.
b Dukungan lembaga internasional kuat.
Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun Internasional NGO   di   bidang   anak,   telah   memberikan   dukungan   kepada
Pemerintah Indonesia.
c Jumlah ahli di bidang anak meningkat.
Semakin   banyaknya   jumlah   ahli   di   bidang   perlindungan   anak, semakin   terbuka   peluang   bagi   pelaksanaan   kebijakan   KLA  yang
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupatenkota.
c. Hambatan
a Kemauan politik terbatas
Isu anak belum menjadi prioritas dari partai politik, pembuatan dan pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan isu anak kurang laku di
jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik itu sendiri, misalnya pilkada, pemekaran daerah.
b Belum   tersosialisasinya   konvensi   dan   peraturan   perundang- undang di bidang anak
Rendahnya frekuensi sosialisasi konvensi dan peraturan perundang- undangan   di   bidang   anak   menyebabkan   pemahaman   dan
pengetahuan   masyarakat   mengenai   pentingnya   perlindungan   dan pemenuhan hak terbatas.
d. Ancaman
58
a Kondisi sosial ekonomi yang belum kondusif
Kebijakan KLA merupakan implementasi  dari perlindungan  anak, jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti kemiskinan, krisis
energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya anak putus sekolah, meningkatnya jumlah anak bekerja, selain itu
kekerasan terhadap anak meningkat.
b Adanya resistensi budaya
Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kebiasaan mendidik anak   dengan   cara   kekerasan,   terutama   pada   pendidikan   informal,
seperti   semboyan   “ada   mutiara   di   ujung   rotan’  pada   pendidikan keagamaan; mendisiplinkan anak dengan cara mengurung di kamar
mandi bila ada pelanggaran.
12. STRATEGI
Menumbuhkan dan memaksimalkan peran kepemimpinan kabupatenkota dalam memenuhi hak anak.
Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak.
Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif. Melakukan   analisis   situasi   anak   secara   berkelanjutan   untuk   advokasi,
perencanaan, monitoring dan evaluasi. Membuat laporan tahunan kabupatenkota tentang anak.
Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak. Memberdayakan   keluarga   melalui   kelembagaan   dan   program   pembangunan
masyarakat. Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam
situasi khusus.
Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum. Memberikan   penghargaan   kepada   pimpinan   daerah   yang   berhasil   dalam
melaksanakan kebijakan KLA.
13. INDIKATOR KEBERHASILAN