Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus a Anak di Lokasi Bencana Anak di Daerah Konflik Bersenjata

berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik maupun psikis. Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.

c. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus a Anak di Lokasi Bencana

Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri, mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang. Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban perdagangan orang. Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat 2.

b. Anak di Daerah Konflik Bersenjata

Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun. Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual, perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak. 56 Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut. c Anak Cacat Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan. Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai. Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya diskriminasi pada anak cacat. Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. d Anak Jalanan Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga mempengaruhi. Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya. 8 Kekuatan, Peluang dan Tantangan

a. Kekuatan a Undang-Undang Perlindungan Anak UU PA dan Rativikasi