KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KPA
1. Pendahuluan
Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Kebijakan pembangunan KPA pada dasarnya mengacu pada ketentuan perauran perundang-undangan yang berlaku yakni UUD 1945 pasal 28B dan
28C, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PNBAI 2015, CRC, MDGs, dan WFFC serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan
dengan anak.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa penjaminan dan pemenuhan hak-hak anak
menjadi tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara. Peraturan perundang undangan yang mengatur tentang anak
jumlahnya adalah cukup banyak namun implementasinya belum sebagaimana yang kita harapkan. Selain itu dengan keluarnya PP No. 41
tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah maka tatanan kelembagaan di daerah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini
berdampak pula terhadap pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak. Satu segi penangnan
perlindungan anak harus ditangani secara holistik dan berkelanjutan. Oleh karena itu untuk mempermudah para pemangku kepentingan dalam
penyusunan program dan kegiatan kesejahteraan dan perlindungan anak, maka perlu adanya kebijakan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam rangka pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak di daerah.
2. Kebijakan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak
2.1. Definisi anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan ps 1 UU No.
232002.
2.2. Mengapa penting membangun dan melindungi anak.
Dasar pemikiran:
Anak: - merupakan amanah dan karunia dari Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dilindungi
- merupakan investasi bagi orang tua, bangsa dan negara. - merupakan potensi kekayaan dan kesejahteraan
1
bangsa di masa kini dan masa depan. Kualitas sumber daya manusia:
- indikator utama keberhasilan suatu bangsa dalam melakukan pembangunan, yang dimulai sejak usia dini.
Bagaimana suatu bangsa memberikan prioritas kepada pembangunan anak?
- Menunjukkan apakah bangsa tersebut adalah bangsa
yang visioner atau tidak. Upaya melakukan pembangunan anak:
- perlu dimulai dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Perencanaan pembangunan yang peduli anak -
Perlunya perubahan pendekatan pembangunan menjadi peduli anak
- Upaya peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak anak perlu diintegrasikan ke dalam seluruh program pembangunan yang
terkait, utamanya pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan hukum.
Argumentasi pentingnya membangun anak
Argumentasi Hak Asasi Manusia - Anak memiliki hak untuk hidup dan berkembang sampai kepada
potensi penuhnya
Argumentasi Nilai Moral - Melalui anak-anak, nilai moral ditumbuh-kembangkan
Argumentasi Ekonomi dan Sosial -
Pembangunan anak merupakan investasi untuk meningkatkan produktivitas bangsa dan masyarakat
- Kesiapan anak memasuki kehidupan mandiri - Kesetaraan gender
2.3. Tahap pertumbuhan anak:
- Masa pralahir, yaitu sejak pembuahan sampai dengan full term.
- Masa bayi, yaitu masa sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun.
- Masa batita, yaitu bayi berusia 1-3 tahun.
- Masa prasekolah, yaitu anak yang berusia 4-5 tahun.
- Masa sekolah dasar, yaitu anak yang berusia 6-12 tahun.
- Masa remaja, yaitu masa pada saat anak berusia 12,5-18 tahun
laki-laki dan 10,5-18 tahun perempuan.
2.4. Hak-hak anak:
Hak-hak dasar anak:
2
- Bertahan hidup: standar hidup yang layak; papan, sandang,
makanan bergizi, pelayanan kesehatan, penghidupan yang layak, perlindungan dari
segala bentuk kekerasan.
- Tumbuh kembang: segla hal yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara penuh sesuai dengan potensinya pendidikan, bermain dan
memanfaatkan waktu luang, aktivitas sosial budaya, akses terhadap informasi, dll.
- Perlindungan: semua yang diperlukan untuk melindungi mereka
dari kekerasan, perlakuan salah, dan penelantaran.
- Partisipasi: memungkinkan anak untuk memainkan peran
aktif dalam komunitasnya sesuai dengan kelebihan
dan keterbatasan mereka terutama dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan
mereka.
Hak-hak partisipasi:
Setiap anak berhak untuk menguatarakan pikiranya secara bebas. Untuk itu, maka anak harus ditanya pendapatnya dan pendapat
tersebut harus dihormati serta diperhitungkan dalam semua keputusan yang menyangkut hidup anak tersebut, baik dalam
keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat bahkan sampai ke pengadilan sekalipun.
Hal yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga, orangtua menganggap anak yang berani bicara dengan orangtua sebagai
anak yang kurang ajar, apalagi bila anak berbeda pendapat dengan orang tua. Begitu juga dengan guru sekolah. Masih banyak guru
yang tidak bisa menerima pendapat anak. Anak hanya mendengarkan saja selama belajar di kelas dan tidak ada diskusi
atau upaya untuk mendorong anak berpikir dan mengeluarkan pendapatnya.
Anak masih dalam proses belajar sehingga orang dewasa perlu membimbing dan memperbaiki cara anak mengemukakan
pendapatnya. Sesungguhnya banyak manfaat ketika orang dewasa berbicara dengan cara baik kepada anak, antara lain :
Melatih anak berpikir kritis, mampu memecahkan masalah, dan mandiri karena terbiasa melatih pikirannya;
Mendorong anak untuk terus giat belajar dan mengembangkan sikap percaya diri
Membina hubungan yang akrab dan menyenangkan diantara orangtua dan anak
3
Mengembangkan sikap sopan santun dan toleransi kepada orang lain karena anak yang dihargai pendapatnya juga akan
belajar menghormati pendapat orang lain. Termasuk didalam hak partisipasi anak adalah hak anak untuk
mengungkapkan pandangan dan perasaannya terhadap situasi yang mempunyai dampak pada anak. Selain itu juga
memungkinkan anak berperan aktif dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan mereka.
Pasal tentang hak partisipasi dalam KHA :
Pasal 12 Pasal 13
Pasal 15
Kebebasan dalam menyatakan pendapat dan berekspresi adalah hak partisipasi anak. Tetapi kebebasan tersebut senantiasa diikuti
dengan tanggungjawab untuk menghargai hak orang lain. Artinya selama anak hidup dan berada dalam lingkungan bersama orang
lain, maka selalu ada hak-hak orang lain yang harus dihargai. Kebebasan bertindak dan berekspresi tidak boleh dengan
melanggar hak orang lain.
Pengertian partisipasi anak sebetulnya sangat luas dan memiliki tingkatan-tingkatan, seperti yang dikemukakan oleh Hart 1997
yang mempopulerkan konsep tangga partisipasi anak. Namun demikian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam hal ini
Deputi Perlindungan Anak, berdasarkan literatur yang ada telah mencoba menterjemahkan partisipasi anak sebagai keterlibatan
anak dalam proses pengambilan keputusan dan menikmati perubahan yang berkenaan dengan hidup mereka baik secara
langsung maupun tidak langsung yang dilaksanakan dengan persetujuan dan kemauan semua anak berdasarkan kesadaran dan
pemahaman buku Panduan Pelaksanaan Rencana Aksi Partisipasi Anak, Kementerian PP, tahun 2008.
Hak-hak anak secara umum meliputi hak untuk: 1. bebas beragama
2. bebas berkumpul secara damai 3. bebas berserikat
4. berekreasi 5. bermain
6. berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni budaya 7. hidup dengan orang tua
8. kelangsungan hidup dan berkembang 9. tetap berhubungan dengan orang tua, bila dipisahkan dengan
salah satu orang tua 10. mendapatkan perlindungan dari penangkapan yang sewenang-
wenang 11.mendapatkan identitas
12.mendapatkan informasi dari berbagai sumber 13. mendapatkan kewarganegaraan
4
14.mendapatkan nama 15.mendapatkan pelatihan keterampilan
16.mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma 17.mendapatkan standar hidup yang layak
18.mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan 19. mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman dan
perlakuan tidak manusiawi 20.mendapatkan perlindungan dari siksaan
21.mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami eksploitasi seksual dan kegunaan seksual
22. mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang genting 23.mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan, dan
perdaganan anak 24.mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi
sebagai anggota kelompok minoritas atau kelompok adat 25.mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum
26. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan
27.mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi 28.mendapatkan perlindungan khusus, jika mengalami eksploitasi
sebagai pekerja anak 29.mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata
30.mendapatkan perlindungan pribadi 31.mendapatkan perlindungan standar kesehatan yang paling tinggi
2.5. Situasi anak di Indonesia:
Di bidang Kesehatan:
Berdasarkan komitmen MDGs Indonesia telah menetapkan target untuk menurunkan Angka Kematian Bayi AKB menjadi 23 per 1.000
KH dan Angka Kematian Balita AKBA menjadi 32 per 1.000 KH pada tahun 2015.
Sedangkan menurut data SDKI 2007 menunjukkan AKB di Indonesia telah berhasil turun menjadi 34 per 1.000 KH dan AKBA tercatat
sebanyak 44 per 1.000 KH.
Angka kematian bayi dapat dilihat juga dalam tabel berikut:
5
Gizi buruk juga menjadi salah satu permasalahan pada kesehatan anak. Menurut KOMNAS PA pada tahun 2006 terdapat sejumlah
744.698 anak penderita malnutrisi dengan rincian 55,9 menderita kurang gizi yakni 42,7 menderita gizi buruk dan 1,3 menderita
busung lapar. Selain itu anak-anak juga banyak terserang berbagai penyakit seperti diare 5.645 anak, demam berdarah 5.127 anak,
polio 324 anak, lumpuh layu 451 anak, campak 1.652 anak, dan flu burung 43 anak.
Hasil survei Garam Yudium 2005 mencatat bahwa prevalensi gizi kurang meningkat menjadi 28,0 terdiri dari balita gizi buruk 8.8 dan
balita gizi kurang 19,2. Selain kurang gizi juga banyak balita yang menderita anemia pada tahun 2005 terdapat 8,1 juta balita yang
menderiat anemia Depkes: 2007
Menurut Komnas PA tahun 2006 terdapat 199 anak yang terserang HIVAIDS dan sekitar 144 bayi tertular HIVAIDS dari ibunya.
Berdasarkan data dari Dit IVNarkoba, Bareskrim, Mabes POLRI, 2008 mencatat jumlah kasus narkoba di Indonesia dengan usia tersangka
16 tahun sebanyak 110 kasus, usia 16-19 tahun sebanyak 2.627 kasus 2007.
Kematian balita dan bayi. pada tahun 1960, angka kematian bayi AKB masih sangat tinggi yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari
tahun ke tahun, akb ini cenderung membaik sebagai dampak positif
6
dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. pada tahun 1992 akb tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun
menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, turun lagi menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada
tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup sDki 2002-2003. Menurut proyeksi bps bps-unDp-
bappenas, 2005, pada tahun 2003 angka akb terus membaik hingga mencapai 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan kecenderungan
perkembangan pencapaian akb secara nasional seperti ini, pencapaian target mDgs pada tahun 2015 diperkirakan sudah akan
tercapai pada tahun 2013.
Meskipun terus menurun, akb di indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota asean, yaitu 4,6 kali
lebih tinggi dari malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari thailand. indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi
setelah singapura 3 per 1.000, brunei Darussalam 8 per 1.000, malaysia 10 per 1.000, vietnam 18 per 1.000, dan thailand 20 per
1.000.
Perkembangan pencapaian AKB nasional tahun 1989-2005
Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005 Sementara itu, angka kematian balita AKBA juga menunjukkan
perkembangan yang membaik. Jika pada tahun 1992 akba masih berada pada angka 97 per 1.000 kelahiran hidup, maka pada tahun
1994 angka ini telah turun menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup. pada tahun 2002-2003 akba sudah mencapai angka 46 dan tahun 2005
mencapai 40 per 1.000 per kelahiran hidup. artinya, sepanjang dekade 1990-an telah terjadi perbaikan rata-rata 7 persen per tahun, lebih
tinggi dari dekade sebelumnya sebesar 4 persen per tahun. Pada tahun 2000 indonesia telah mencapai dan melampaui target yang
ditetapkan dalam World summit for children Wsc yaitu 65 per 1.000 kelahiran hidup.
Penurunan akba dalam kurun waktu tahun 1992 sDki sampai 2005 supas lebih cepat dibandingkan penurunan akb dalam kurun waktu
yang sama. penurunan akba mencapai 57 kematian per 1.000
7
kelahiran hidup, sedangkan kecepatan penurunan akb hanya mencapai 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup lihat gambar 4.2. ini
menunjukkan bahwa resiko kematian kelahiran bayi lahir lebih besar ketimbang resiko kematian hingga usia balita. pada tahun 2004, bps
memperkirakan akb dapat mencapai 33,9 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sementara akba dapat mencapai 40,9 kematian per
1.000 kelahiran hidup.
Perkembangan AKB dan AKBA nasional tahun 1989-2005
Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005 Angka kematian ibu AKI di indonesia telah mengalami penurunan
menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian
per 100.000 kelahiran hidup. tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat
20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk aki akan sulit dicapai. BPS
memproyeksikan bahwa pencapaian aki baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 tersebut adalah 102.
Pencapaian target MDGs akan dapat terwujud hanya jika dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju penurunannya.
resiko kematian ibu karena melahirkan di indonesia adalah 1 dari 65, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan resiko 1 dari 1.100 di thailand.
selain itu disparitas kematian ibu antarwilayah provinsi di indonesia masih tinggi.
Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 72,41 persen pada tahun 2006
susenas. persalinan ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu dan bayi sekaligus.
Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan 30, eklampsia 25, partus lama 5, komplikasi aborsi 8, dan
infeksi 12. resiko kematian meningkat, bila ibu menderita anemia, kekurangan energi kronik dan penyakit menular. aborsi yang tidak
8
aman bertanggung jawab pada 11 persen kematian ibu di indonesia. aborsi yang tidak aman ini biasanya terjadi karena kehamilan yang
tidak inginkan unwanted pregnancy.
Kontrasepsi modern memainkan peranan penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 1997, tingkat pemakaian
kontrasepsi pada perempuan kawin usia 15-49 tahun hanya 57,4 persen, yang meningkat menjadi 60,3 persen pada tahun 2002-2003
sDki 2002-2003. Ssementara itu unmet need pada tahun 2002-2003, masih sekitar 8,6 persen. pemakaian kontrasepsi pada wanita kawin
usia 15-49 ini, cenderung tidak menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Jika merujuk pada data susenas 1992-2006 maka selama
kurun waktu 13 tahun pemakaian kontrasepsi pada perempuan kawin usia 15-49 tahun hanya meningkat 7,4 persen.
Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin dan menggunakan alat KB tahun 1992-1996:
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun Resiko kematian ibu semakin besar dengan adanya anemia,
kekurangan energi kronik kek, dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis tb, hepatitis, serta HivaiDs. pada tahun 1995, misalnya,
prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 51 persen dan pada ibu nifas 45 persen. sementara pada tahun 2002 terdapat 17,6 persen
wanita usia subur yang menderita kek. tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor budaya, akses terhadap sarana kesehatan,
transportasi, dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih --terutama bidan-- juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian
ibu.
Proyeksi perolehan AKI nasional tahun 2005-2025
9
Sumber: SDKI 1994,1997,2002-2003, SKRT: 1986,1992,1992,1995
Lebih lanjut, meskipun dalam uu nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menggariskan bahwa batas usia minimal menikah untuk
perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun, namun data susenas 2006 menunjukkan bahwa 12,56 persen wanita
berumur 10 tahun ke atas menikah pertama kali pada usia 15 tahun ke bawah. sementara mereka yang menikah pertama kali pada usia 16
tahun batas usia legal untuk menikah hanya 9,84 persen. pernikahan usia dini seperti ini berimplikasi pada peningkatan jumlah ibu
melahirkan di usia yang sangat muda dan pada akhirnya meningkatkan risiko kematian ibu. pernikahan dini ini juga
menyebabkan perempuan terpaksa putus sekolah karena dia harus mengurus keluarga.
Di bidang Pendidikan:
Angka Partisipasi Sekolah APS tahun 1971-2007 untuk anak usia 7- 18 tahun mengalami peningkatan terutama pada kelompok usia
Sekolah Dasar 7-12 tahun. APS untuk anak usia dini 0-6 tahun secara kuantitatif terus
bertambah sejak tahun 2004 – 2006. Namun yang paling mencolok adalah jenis satuan PAUD melalui jalur non formal mencapai
5.651.066 siswa, namun apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0-6 tahun yang mencapai 28.068.100 anak maka jumlah peserta didik
PAUD belum mencapai 50 Depdiknas: 2006.
Menurut BPS tahun 2006 jumlah anak putus ekolah tahun 2005 sebanyak 1.712.413 anak, sebagian besar 54,3 disebabkan oleh
ketidakmampuan ekonomi, bahkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri karena menunggak biaya sekolah.
Pada kelompok umum 10-18 tahun terlihat persentase putus sekolah anak laki-laki sekitar 9,41 sementara perempuan hanya 5,6.
10
Menurut National Human Develeopment Report 2004, rata-rata lama sekolah penduduk sekolah tahun 1999 hanya 6,7 tahun dan
meningkat menjadi 7,1 tahun pada tahun 2002. Data ini meunjukkan walaupun pendidikan meningkat namun secara umum untuk tingkat
SLTP kelas 1 dan pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah lama laki- laki 7,6 tahun SLTP Kelas 2 lebih tinggi dibandingkan perempuan
yang hanya 6,5 tahun SLTP Kelas 1. Pada tahun 2004 dan 2005 rata lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan dan 7,3 tahun. Pada
masa tersebut rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun lebih tinggi dari perempuan yang hanya 6,8 tahun BPS, Inkesra: 2005.
Untuk melihat perkembangan situasi anak di sekolah dari tahun 2005- 2007 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Angka Partisipasi Murni APM sekolah dasarmadrasah ibtidaiyah 7- 12 tahun dan angka partisipasi murni APM sekolah menegah
pertamamadrasah tsanawiyah 13-15 tahun dari tahun 1992 sampai tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik.
pada tahun 1992, APM SDMI tercatat 88,7 persen dan pada tahun 2006 telah mencapai 94,73 persen. Sementara itu APM SMPMTS
tahun 1992 adalah 41,9 persen dan mencapai 66,52 persen pada tahun 2006. Jika kecenderungan seperti ini mampu dipertahankan,
maka indonesia diperkirakan berhasil mencapai target MDG pada tahun 2015.
Angka partisipasi kasar APK sekolah dasarmadrasah ibtidaiyah dan angka partisipasi kasar APK sekolah menengah pertamamadrasah
tsanawiyah dari tahun 1993 sampai tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik. apk sDmi sejak tahun 1992
sudah mencapai 102,0 persen.
11
Perkembangan APM SDMI dan APM SMPMTs
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Perkembangan APK SDMI dan APK SMPMTs
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Perkembangan APK SDMI dan APK SMPMTs menurut tingkat kelompok pengeluaran keluarga
12
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Pada tahun 2006, angka ini menjadi 109,95 persen. namun untuk tingkat SMPMTs, APKnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
APK SDMI. Pada tahun 1992 APK SMPMTS masih berada di angka 55,6 persen dan pada tahun 2006 baru mencapai 88,68 persen.
indikator ini menginformasikan bahwa berbagai program SDMI dan SMPMTs non-reguler telah berhasil menjaring kembali murid SDMI
dan SMPMTs untuk menuntaskan masa belajar mereka di bangku SDMI maupun SMPMTs. informasi ini juga menunjukkan bahwa
dalam perjalanan mengikuti proses belajar mengajar, ternyata masih banyak siswa SDMI yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Walaupun angka partisipasi kasar tingkat SDMI maupun SMPMTs menunjukkan perbaikan, tetapi bila dilihat dari tingkat kelompok
pengeluaran rumah tangga, maka terdapat perbedaan antara kelompok rumah tangga miskin dan non-miskin. pada kelompok
pengeluaran terbawah kuantil 20 terbawah, Q1, apk SDMI tahun 1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun
2006. Data tahun 1995 hingga 2006 menunjukkan indikasi bahwasanya APK SDMI untuk kelompok pengeluaran terbawah
ternyata berkembang lebih baik dari APK SDMI untuk golongan pengeluaran teratas. peristiwa yang sama juga terjadi pada APK
SMPMTS antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMPMTs tahun 1995 pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39 persen dan
menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi
keluarga yang mempunyai anak usia sekolah sD dan smp. kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencolok antara
kelompok pengeluaran terbawah keluarga miskin dan kelompok pengeluaran teratas keluarga kaya ini menunjukkan perlunya
peningkatan perhatian pada kelompok keluarga miskin dalam memperoleh akses pendidikan.
Angka melek huruf melek aksara usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke atas yang menggambarkan kemampuan keberaksaraan penduduk.
kemampuan keberaksaraan penduduk indonesia terus meningkat, yang tercermin dari meningkatnya angka melek huruf penduduk dari
96,58 persen pada tahun 1992 menjadi 98,84 persen pada tahun
13
2006. meningkatnya tingkat keberaksaraan ini terutama terjadi pada kelompok usia muda yaitu usia 15-24 tahun. ini terjadi seiring dengan
meningkatnya partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan meningkatnya proporsi siswa sDmi yang dapat menyelesaikan
pendidikannya. namun, jika rentang usia diperlebar menjadi 15 tahun ke atas, angka buta aksara masih cukup tinggi yaitu sebesar 82,9
persen.
Perkembangan Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Dilihat dari angka melek huruf melek aksara usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke atas menurut kelompok pengeluaran keluarga tampak bahwa
sebagian besar buta huruf terjadi pada kelompok pengeluaran terbawah keluarga miskin. meskipun angka melek huruf penduduk
miskin selalu lebih rendah dari penduduk kaya, tetapi dalam kurun waktu 1995-2006 angka melek huruf penduduk kelompok termiskin
meningkat signifikan yaitu dari 92,94 persen menjadi 97,78 persen untuk usia 15-24 tahun dan dari 71,17 persen menjadi 87,17 persen
untuk usia 15 tahun ke atas. berdasarkan jenjang pendidikan yang pernah diikuti per tahun 2006, tampak bahwa 85 persen penduduk
usia 15 tahun yang buta aksara ternyata tidak pernah sekolah. Sebagian besar dari mereka kini berusia lanjut.
Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006 menurut kelompok pengeluaran:
14
Sumber: Sisenas BPS 1995 2006
Tingkat kelulusan pendidikan dasar. keberhasilan dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah baik di sekolah dasar maupun
di sekolah menengah belum diimbangi dengan peningkatan kelulusan yang memadai. memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan
di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar dihadapkan pada tantangan masih besarnya siswa putus sekolah drop out dan
siswa yang mengulang.
Perbaikan kelulusan sesuai kohort untuk siswa sD antara tahun 19931994 sampai 20052006 tidak menggambarkan secara
keseluruhan tingkat kelulusan siswa sekolah dasar dan tingkat siswa yang meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini
merupakan tantangan terbesar dalam bidang pendidikan dasar.
Profil penduduk usia 15 tahun yang buta aksara menurut jenjang pendidikan yang pernah diikuti:
Sumber: Susenas BPS 2006
Perkembangan angka putus sekolah sendiri mempunyai kecenderungan meningkat sejak tahun ajaran 20012002 sampai
20052006. antara tahun ajaran 20012002-20022003 terdapat 683
15
ribu atau 2,66 persen siswa sekolah dasar putus sekolah, lalu meningkat menjadi 767,8 ribu atau 2,97 persen pada 20022003-
20032004, kemudian mencapai 777 ribu atau 2,99 persen pada 20032004-20042005, dan kemudian mencapai 824,7 ribu atau 3,17
persen pada 20042005-20052006.
Perkembangan angka menulang dan putus sekolah, Sekolah Dasar:
Sumber: Rangkuman Statistik persekolahan 20052006 Balitbang Pusat Statistik Pendidikan, Depdiknas: 2006
selain angka putus sekolah yang cukup besar, jumlah siswa yang mengulang juga juga masih cukup besar walaupun persentasenya
terus menurun dari tahun ke tahun. antara tahun ajaran 20012002- 20022003 terdapat 1.4 juta atau 5,9 persen siswa sekolah dasar yang
mengulang, menjadi 978 ribu atau 5,4 persen pada 20022003- 20032004, kemudian menjadi 1,17 juta atau 4,51 pada 20032004-
20042005, dan kemudian menurun menjadi sekitar 1 juta atau 3,95 persen pada 20042005-20052006.
Dengan kondisi seperti ini maka tingkat melanjukan siswa sekolah dasar dengan kohort yang sama ke sekolah menengah pertama
menjadi rendah pula. pada tahun 20052006, kohort siswa yang memasuki sD pada tahun 19992000 menunjukkan bahwa hanya 59
persen siswa yang dapat melanjutkan ke smp. persentase ini sudah meningkat bila dibandingkan dengan keadaan tahun 20022003. pada
tahun tersebut kohort siswa yang masuk sD pada tahun 19961997 menunjukkan bahwa hanya 51 persen siswa yang berhasil mencapai
SMP.
Di bidang Penanggulangan HIVAIDS
Secara kumulatif, pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dalam rentang waktu 10 tahun terakhir sampai dengan 31 Maret 2008 terdiri dari
6.130 HIV dan 11.868 AIDS. Jumlah HIV dan AIDS 17.998 dengan angka kematian sebanyak 2.486. Pelaporan diberikan oleh 32 propinsi
dan 194 KabupatenKota. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan adalah melalui IDU 49,1 dan hubungan heteroseksual
42,1. Khusus dalam masa Januari sampai dengan Maret 2008, terdapat
penambahan 64 infeksi HIV dan 727 kasus AIDS. Data diterima dari 19 propinsi. Ditjen PPM PL Depkes RI, Maret 2008.
16
Sumber : Ditjen PPM PL Depkes RI, Maret 2008
Kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia produktif 20 – 29 tahun 53,62. Mengingat AIDS biasa muncul sekitar 5 – 10 tahun
sesudah seseorang tertular HIV, maka data tersebut memberi petunjuk bahwa mereka yang dilaporkan menderita AIDS pada usia
20 – 29 tahun sesungguhnya tertular HIV sebelum usia 20 tahun, yaitu sekitar usia 15 tahun bahkan lebih muda Strategi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan Remaja 2007 – 2010, 2008. Meskipun jumlah perempuan yang tertular AIDS 2.466 kasus
masih jauh dibandingkan laki-laki 9.337 kasus, namun dampak AIDS pada perempuananak peremuan lebih signifikan. Hal ini berkaitan
dengan kondisi sosial dan budaya yang masih ada dalam masyarakat termasuk tekanan teman sebaya, stigma dan diskriminasi sebagai
perempuananak perempuan dan sebagai pengguna Napza. Juga berkaitan dengan kondisi fisik, kerentanan penularan infeksi yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
GOLONGAN USIA AIDS
AIDSIDU 1
55 1 – 4
114 5 – 14
42 3
15 – 19 387
110 20 – 29
6.364 3.976
30 – 39 3.298
1.383 40 – 49
936 199
50 – 59 243
30
17
60 58
12 Tidak diketahui
371 121
JUMLAH 11.868
5.834
Sumber : Ditjen PPM PL Depkes RI, Maret 2008
Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 memperlihatkan angka tertinggi hampir di semua propinsi di Indonesia menunjuk pada
penasunIDU, dengan total untuk wilayah Indonesia sebesar 90.000 Ditjen PPM PL Depkes RI, 2008.
Prevalensi HIVAIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen. Namun angka prevalensi pada sub-
populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. bahkan di papua, Hiv dan aiDs telah masuk pada populasi umum usia 15-49 tahun
dengan prevalensi 2,4 persen. epidemi aiDs sekarang telah terjadi hampir di seluruh indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya
laporan tentang kasus aiDs dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus aiDs, maka pada
tahun 2007 aiDs telah dilaporkan di 32 provinsi. Jumlah kumulatif kasus aiDs yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari
2.682 kasus pada tahun 2004, menjadi 10,384 kasus hingga akhir September 2007.
Berdasarkan provinsi, Dki Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan kumulatif jumlah kasus aiDs terbanyak yaitu 2.849 kasus, disusul
Jawa barat 1.445 kasus, papua 1.268 kasus dan, Jawa timur 1.043 kasus.
Perkembangan kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia 10 tahun terakhir s.d September 2007
Sumber: Depkes 2007 Jumlah kasus Hiv positif yang dilaporkan dalam 10 tahun terakhir juga
cenderung meningkat dan hingga 30 september 2007 mencapai 5.904 kasus. gambar 6.3. Departemen kesehatan memperkirakan bahwa
populasi yang rawan tertular Hiv pada tahun 2006 sebesar 193.070 orang, dengan jumlah terbesar berturutturut di provinsi Dki Jakarta,
papua, Jawa barat dan Jawa Timur
18
Di bidang Perlindungan a. Pekerja anak:
Jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun di Indonesia selama periode tahun 2001-2002 selalu di atas 500.000 anak atau di atas 6 dari
jumlah anak usia 10-14 tahun. Pada tahun 2003, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun mengalami penurunan menjadi sekitar
367.610 anak 43,62, namun kembali mengalami kenaikan sekitar 488.850 anak 5,83 pada tahun 2004. Sedangkan pada
tahun 2005, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun kembali menurun sekitar 383.210 anak 4,43.
Dari data tersebut, bisa diperkirakan bahwa pada kurun waktu tahun 2001-2005, dalam setiap 100 anak usia 10-14 tahun
terdapat 4 sampai 6 pekerja anak, yang memiliki kondisi yang pasti berbeda dengan anak-anak lainnya di usia yang sama, bahkan
kehilangan hak dan kesempatan untuk hidup selayaknya anak dalam usia tersebut.
Perkembangan Pekerja Anak Usia 10-14 Tahun Tahun 2001-2005 dalam ribuan
Diolah dari hasil Survei Angkatan Kerja NasionalSakernas Agustus 2001-2004 dan November 2005
Tahun Anak Usia
10-14 Tahun
Pekerja Anak Usia Usia 10-14 Tahun
2001 20,862.8
1,322.70 6.34
2002 21,263.9
1,414.05 6.65
2003 19,450.4
898.61 4.62
2004 20,998.9
1,224.24 5.83
2005 21,686.3
960.70 4.43
Catatan: angka dalam tanda kurung menunjukkan persentase pekerja anak usia 10-14 tahun terhadap jumlah anak usia 10-14 tahun.
Sumber: Indaryanti dan Lisna [eds.], 2005:77-78
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK anak usia 10-14 tahun menurut provinsi berdasarkan Sakernas November 2005 di seluruh
Indonesia mencapai rata-rata 4,43. Artinya, dari 100 anak usia 10-14 tahun terdapat 4 anak yang menjadi pekerja anak Indaryanti
dan Lisna, 2005: 160.
Jika dibandingkan antar provinsi se-Indonesia, Papua merupakan provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun tertinggi dari seluruh
provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 15,94. Urutan provinsi dengan TPAK tertinggi berikutnya adalah Bali 9,90, Nusa
19
Tenggara Barat 9,67, Sulawesi Selatan 9,66, Jambi 9,29.
Sementara itu, Nangroe Aceh Darussalam merupakan provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun terendah dari seluruh provinsi
lain di Indonesia, yakni mencapai 1,19. Urutan provinsi dengan TPAK terendah berikutnya adalah DKI Jakarta 1,25, Maluku
1,55, Kalimantan Tengah 1,88, dan Riau 2,58.
Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, di 33 provinsi, jumlah pekerja anak meningkat. Tahun 2006 jumlahnya mencapai 3,2 juta
dan menjadi 4,8 juta pada 2007. Tahun 2008 diperkirakan menjadi 6,3 juta. Perkiraan ini berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya
Kompas, 13 Juni 2008.
Jumlah anak berusia 0-18 tahun yang bekerja sebagai pekerja anak sangat dimungkinkan jauh lebih besar dari yang dilaporkan
menurut data-data Sakernas tersebut. Sebagai perbandingan, dalam laporan Indosiar News 2 Februari 2008 disebutkan,
menurut laporan survei BPS tentang pekerja anak di Indonesia, jumlah pekerja anak mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006.
Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari pekerja anak perempuan yakni 1.734.126 orang, sedangkan pekerja anak laki-
laki 130.948 orang. Sedangkan menurut International Labour Organization ILO, pada tahun 2007 jumlah pekerja anak di
Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka bekerja disektor pertanian keluarga, perusahaan manufaktur, dan
perdagangan skala kecil. Website Serikat Pekerja PT. Jakarta International Container TerminalSP JICT, 5 April 2008.
b. Anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial:
UNICEF [2005] menyatakan bahwa diperkirakan bahwa 30 dari perempuan pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun,
meskipun diakui juga kenyataan bahwa anak-anak perempuan seringkali melebih-lebihkan usia mereka. Bahkan pada beberapa
kasus ditemukan anak-anak perempuan yang masih berusia 10 tahun.
Data dari Departemen Sosial menunjukkan perkiraan bahwa lebih dari 3000 wisatawan dari negara tetangga [Malaysia dan
Singapura] berkunjung ke Batam setiap minggunya dengan tujuan untuk melakukan aktivitas seksual dengan pekerja seks di pulau
tersebut. Sekitar 30 dari total pekerja seks yang berjumlah 5.000 sampai dengan 6.000 orang adalah anak-anak di bawah usia 18
tahun [Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2006]. Kasus prostitusi anak dilaporkan banyak terjadi di sejumlah daerah
di Indonesia, seperti Medan, Pontianak, Palembang, Jakarta, Indramayu, Jepara, Pati, Surabaya, Makassar, Manado, Maluku
dan Papua. Batam, Bali dan Pontianak dalam hal ini merupakan
20
daerah dengan prostitusi anak dalam jumlah besar. Praktek ESKA [Eksploitasi Seksual Komersial Anak] berlangsung terutama di
pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pertokoan dll [UNICEF, 2005; Koalisi Nasional Penghapusan
ESKA, 2006]. Sedangkan mayoritas pelaku [user] adalah penduduk lokal sendiri atau pengunjung domestik, namun
demikian terdapat beberapa kasus yang melibatkan pengunjung atau wisatawan dari mancanegara [UNICEF, 2005; Koalisi
Nasional Penghapusan ESKA, 2006].
c. Anak yang diperdagangkan trafiking anak
Hasil pendataan Pusdatin [Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial] Departemen Sosial Republik Indonesia pada
tahun 2004 yang bersumber dari data-data LSM di 9 propinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2004 tercatat ada 932 anak yang
menjadi korban trafiking dan tersebar di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa mayoritas anak yang menjadi korban trafiking [96] adalah anak perempuan. Dari 9
provinsi tersebut, kasus yang tercatat paling banyak adalah di propinsi Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian, perlu
diperhatikan keterbatasan sumber pendataan ini yang hanya berasal dari 20 LSM yang tersebar di 9 provinsi, terlepas bahwa
LSM-LSM tersebut diyakini telah melakukan investigasi maupun penanganan trafiking anak seperti yang telah diidentifikasi oleh
International Catholic Migration Commission [ICMC].
Data menunjukkan bahwa bentuk trafiking yang memakan korban paling banyak adalah migrasi, dan secara khusus tercatat ada 578
anak yang menjadi korban di propinsi Nusa Tenggara Barat saja.
Data menunjukkan jumlah balita dan anak korban trafiking yang ditangani oleh IOM International Organization for Migration
Indonesia sejak Maret 2005 sampai dengan April 2007 tercatat ada 643 balita dan anak.
Mayoritas korban tersebut adalah perempuan dan jumlah tersebut merupakan 288 dari total korban trafiking yang ditangani IOM pada
kurun waktu tersebut. Data ini kemudian meningkat karena berdasarkan data IOM periode Maret 2005 – Januari 2008 tercatat
sebanyak 790 balita dan anak, dimana ada 5 bayi, 651 anak perempuan dan 134 anak laki-laki KPP, 2008. Artinya ada
peningkatan sebesar 147 balitaanak dalam waktu 9 bulan. Data lain yang perlu ditengok adalah data Bareskrim Kepolisian RI dari
tahun 2003 – 2007 yang mencatat perdagangan orang sebanyak 492 kasus dengan melibatkan 1.015 orang dewasa 81 dan 238
anak-anak 19 [KPP, 2008].
21
d. Pengungsi Anak dan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata
Sejak tahun 2004, masalah pengungsi anak di Indonesia dalam jumlah besar dan kondisi memperihatinkan sekurang-kurangnya
terjadi akibat bencana gempa tektonik dan gelombang tsunami di provinsi Nangroe Aceh Darussalam NAD dan kepulauan Nias
provinsi Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa tektonik di Daerah Istimewa Yogyakarta DIY dan beberapa kawasan
sekitarnya di Jawa Tengah 27 Mei 2006, dan bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur 29 Mei 2006.
Pengungsi Anak Korban Bencana Tsunami di NAD
Pada tahun 2005 terdapat korban bencana gempatsunami di NAD yang tergolong usia anak 0-18 tahun yang masih
berstatus sebagai pengungsi. Jumlahnya lebih dari 60.316 anak kelompok usia 0-14 tahun atau 29,59 dari seluruh pengungsi,
belum termasuk anak usia 15-18 tahun dalam kelompok umur 15-19 tahun 23.291 anak.
Sedangkan menurut database The Family Tracing and Reunificat on Network FTR atau Jaringan Lembaga untuk Penelurusan
dan Penyatuan Keluarga terdiri dari Departemen Sosial RI, Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Dinas Sosial Provinsi
NAD, UNICEF, ICRC, CardiIRC, LCO, Muhammadyah, Pusaka, dan Child Fund, sampai dengan 15 Mei 2006, bencana tsunami
telah mengakibatkan 2831 anak telantar atau terpisah dari orang tua mereka pada Januari 2005 sampai Mei 2006. Sejumlah 700
anak di antaranya kehilangan kedua orang tua mereka, sedangkan 1301 anak tak mengetahui keberadaan orang tua
mereka sehingga diduga kuat mereka pun telah menjadi yatim piatu Depsos RI and Save The Children, 2006:ix.
Sementara itu, pada Desember 2005 sampai Maret 2006, tim pekerja sosial Depsos RI dengan dukungan Pekerja Sosial
Masyarakat dan UNICEF melakukan Rapid Assesment of Children’s Homes in post-Tsunami Aceh, yang menghasilkan
data-data kondisi anak korban tsunami yang berada di panti-panti sosial anakpanti asuhan se-provinsi NAD bukan dalam status
pengungsi dan tinggal di barak-barak pengungsian atau di rumah-rumah keluarga. Menurut riset tersebut, pada Maret 2006
terdapat 207 panti asuhan aktif yang menampung 16.234 anak, terdiri dari 9.567 anak laki-laki 60 dan 6.667 perempuan
40. Dalam jumlah panti-panti asuhan tersebut terdapat 193 panti asuhan anak telantar atau yatim piatu dan 14 panti sosial
anak penyandang cacat Depsos RI and Save The Children, 2006:xi.
22
Sampai dengan Maret 2006, anak-anak yang diasuh di panti- panti asuhan anak telantar se-NAD berjumlah 16.234 anak. Di
antara seluruh anak asuh tersebut, 16,3-nya adalah anak-anak korban tsunami 2.589 anak, terdiri dari 1.449 anak laki-laki dan
1.107 perempuan yang telantarterpisah dari keluarganya, serta 21 anak laki-laki dan 12 perempuan yang cacat.
Pengungsi Anak Korban Gempa di DIY dan Jawa Tengah
Menurut laporan Depsos RI pada 1 Juni 2006 pukul 07:00 WIB, korban tewas akibat gempa tersebut berjumlah 6.234 orang.
Selain itu, 33.231 orang mengalami luka berat, dan 12.917 orang luka ringan. Gempa ini juga merubuhkan 7.057 rumah. Website
Pusat Informasi Kegiatan Posko UGM Peduli Bencana. 10 Juni 2006. Sedangkan menurut Bapeda Pemda DIY 17 Juni 2006
pk. 18.00, tercatat 5.760 orang meninggal dan 37.339 orang luka-luka akibat gempa tersebut.
Menurut laporan Humas Badan Informasi Dinas Sosial Provinsi DIY hingga Juni 2007, dari seluruh korban gempa tersebut,
terdapat 58 anak kehilangan kedua orang tua mereka yatim piatu, 402 anak kehilangan ayah yatim, 216 kehilangan ibu
piatu, 1341 anak menderita luka-luka, 84 anak mengalami cacat, dan 436 anak mengalami trauma berat Shakuntala,
2007. Sementara jumlah anak yang tewas akibat gempa tersebut tidak diketahui secara pasti.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan Yayasan KAKAK Surakarta, sebagian besar anak yang kehilangan salah satu atau
kedua orangtuanya dititipkan kepada keluarga dekat Ababil, 2006. Sementara kondisi lain yang dialami anak-anak korban
gempa tersebut beraneka ragam. Misalnya, sebuah fenomena baru pasca gempa, anak-anak dieksploitasi secara ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan cara mengemis di jalanan. Selain itu, para pengungsi anak tersebut
terancam tindak eksploitasi seksual, sebagai dampai kesulitan ekonomi maupun lemahnya pengamanan dan perhatian
keluargamasyarakat terhadap mereka. Ababil, 2006.
Pengungsi Anak Korban Semburan Lumpur Panas Lapindo
Pada tanggal 29 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas dari lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur. Lumpur panas tersebut telah merendam pemukiman warga di sekitarnya dalam radius 450 hektar WHO, 2006.
Terdapat 2.168 keluarga 8.348 jiwa pengungsi yang ditampung di Pasar Baru Porong, pasar yang belum sempat dioperasikan
dan dijadikan lokasi penampungan utama. Terdapat 282 kios dan 51 ruko yang dijadikan rumah tinggal sementara bagi para
23
pengungsi. Lokasi penampungan pengungsi lainnya adalah Balai Desa Renokenongo, Porong, dan rumah-rumah keluarga korban.
Hingga 30 Agustus 2006, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 11.000 jiwa Atmanto dan Bahaweres, 2006.
Menurut laporan Tim Pelaporan Sosial Lumpur Sidoarjo TPS- LUSI Partai Keadilan Sejahtera PKS Sidoarjo 2007, terdapat
2.605 kepala keluarga KK yang mengungsi sampai 22 November 2006 pada saat terjadinya ledakan pipa gas
Pertamina di dekat lokasi semburan lumpur panas. Selanjutnya, jumlah pengungsi yang tinggal di Pasar Baru Porong setelah
ledakan pipa gas Pertamina 22 November 2006 adalah 906 KK 3250 orang, dan seluruhnya berasal dari desa Renokenongo
PKS Sidoarjo, 2007.
Dalam konteks hak anak, semburan lumpur panas tersebut telah merendam 10.426 tempat tinggal dan 33 sekolah. Perincian 33
sekolah yang terendam adalah 6 TK, 3 RA, 11 SDN, 4 MI, 2 SMP, 3 Mts, 1 SMK, 3 MA. Akibatnya, 5397 siswa 2.755 laki-laki
dan 2.642 perempuan kehilangan hak bersekolah dan sebanyak 405 guru 177 laki-laki dan 226 perempuan serta 46 karyawan
24 laki-laki dan 22 perempuan menghentikan pelayanan pendidikan kepada mereka PKS Sidoarjo, 2007.
Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata di NAD
Dalam konteks anak-anak, Menurut hasil Rapid Assesment of Children’s Homes in post-Tsunami Aceh yang dilakukan tim
pekerja sosial Depsos RI dengan dukungan Pekerja Sosial Masyarakat dan UNICEF Maret 2006, tercatat 1.318 anak
korban konflik yang telantarcacat dan dititipkan di panti-panti asuhan atau panti anak cacat se-NAD.
Menurut data dari Depsos RI and Save The Children, 2006 menunjukkan terdapat, 1.318 anak korban konflik di NAD
tersebut terdiri dari 785 anak laki-laki dan 508 perempuan yang telantarterpisah dari keluarga mereka dan dititipkan di panti-panti
asuhan anak, serta 6 anak laki-laki dan 19 perempuan yang cacat yang diasuh di panti-panti anak cacat.
Menurut laporan yang dikumpulkan oleh Kelompok Kerja Studi Perkotaan KKSP, Yayasan Anak Bangsa YAB, People’s Crisis
Centre PCC, Jesuit Refugee Service JRS tahun 2004 dalam Child Soldiers Global Report, 2008, terdapat anak-anak berusia
di bawah 18 tahun yang pernah digunakan baik oleh GAM maupun TNI sebagai informan mata-mata atau penjaga,
penyedia logistik, bahkan pejuang atau prajurit bersenjata combatant dalam konflik bersenjata di Aceh sejak 1976.
Namun, jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti.
24
Di antara 2.000 tahanan politik yang dibebaskan pemerintah RI atas dasar Piagam Kesepahaman MOU dengan GAM 15
Agustus 2005, terdapat 19 anak laki-laki berusia 14-17 tahun. Mereka ditangkap karena diduga anggota GAM. Selain itu,
terdapat juga beberapa tahanan perempuan berusia 17-an tahun yang dibebaskan. Mereka tidak digolongkan sebagai anak-anak
karena telah menikah Child Soldiers Global Report, 2008.
Anak dalam Situasi Konflik Sosial di Poso
Wikipedia 13 Februari 2008 07:15 mencatat kerusuhan tersebut telah menewaskan lebih dari 577 orang. Sedangkan menurut
laporan George Junus Aditjondro 2004:1, kerusuhan tersebut telah menewaskan sedikitnya 4.000 orang.
Selain itu, menurut laporan Anto Sangaji 2000 sekurang- kurangnya muncul tiga ekses penting yang ditimbulkan oleh
kerusuhan Poso, yakni Pertama, terjadinya arus pengungsi dalam jumlah besar, baik
dari Kota Poso, maupun dari kecamatan-kecamatan di sekitarnya. Dilaporkan, pengungsi dalam jumlah besar mengalir
ke Kota Palu 17.000 jiwa, Tentena 28.000 jiwa, Sulut 4.500 jiwa, dan Sulsel 7.000 jiwa lihat Kompas, 22 Juli 2000.
Pengungsi juga mengalir ke Kecamatan Parigi di Kabupaten Donggala 7.000 jiwa, Kecamatan Lore Utara 2.500 jiwa dan
Kecamatan Ampana Kota 7.000 jiwa di Kabupaten Poso, dan lain-lain
Kedua, kerusuhan Poso telah menimbulkan kerusakan materiil tidak sedikit. Tidak kurang dari 5.000 rumah penduduk terbakar
dan ribuan lainnya rusak Kompas 22 Juli 2000. Ketiga, kerusuhan meninggalkan efek psiko-sosial yang
kompleks; trauma karena menyaksikan penyiksaan, pembunuhan, dan pelecehan seksual; dendam dan frustasi
karena sanak keluarga terbunuh dan rumah terbakar; mengentalnya solidaritas keagamaan yang eksklusif karena
kerusuhan sepenuhnya terbaca sebagai perang antar umat ber- agama.
Dalam konteks anak-anak, memang tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anak berusia 0-18 tahun yang menjadi korban
kerusuhan itu, entah meninggal, luka-luka, cacat, kehilangan orang tua atau terpisah dari keluarga, dsb. Tapi yang pasti,
kerusuhan itu menyebabkan banyak anak-anak usia sekolah mengungsi ke tempat aman dan terpaksa kehilangan
kesempatan untuk meneruskan sekolah atau sekurang- kurangnya terganggu sekolahnya Sangaji, 2000.
Data statistik tentang jumlah pengungsi anak usia 0-18 tahun korban konflik dengan kekerasan di Poso tidak tersedia.
25
Bagaimana perubahannya hingga tahun 2008 pun tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, hingga Januari 2007, banyak pengungsi
termasuk pengungsi anak korban kerusuhan Poso masih enggan meninggalkan lokasi-lokasi pengungsian dan kembali ke Poso,
kampung halaman mereka sebelumnya. Bahkan operasi penegakan hukum oleh tim Mabes Polri, pada 11 dan 22 Januari
2007, yang menewaskan 14 warga sipil dan dua aparat kepolisian, serta menangkap 21 orang dari 29 orang yang
sebelumnya dinyatakan sebagai DPO, belum mampu meyakinkan para pengungsi akan situasi Poso yang sudah aman
Hamdin, 2007.
e. Kepemilikan Akta Kelahiran
Jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang memiliki akta kelahiran di 30 provinsi di Indonesia. Secara umum, dapat dilihat bahwa tingkat
kepemilikan akta kelahiran bervariasi antara 18,90 persen sampai dengan 79,45 persen, dengan rata-rata sebesar 42,82 persen.
Provinsi yang tingkat kepemilikan akta kelahirannya tertinggi adalah DI Yogyakarta sebesar 79,45 persen dan Provinsi yang terendah
adalah Sumatera Utara sebesar 18,90 persen Supas 2005.
Kepemilikan akta kelahiran dapat dilihat dalam tebel berikut:
Provinsi Penduduk 0 - 4 Tahun
Jumlah Memiliki Akta Kelahiran
Banyaknya Persentase
Sumatera Utara 543.768
135.028 24,83
Sumatera Barat 134.858
60.695 45,01
Riau 193.580
86.435 44,65
Jambi 75.847
57.979 76,44
Sumatera Selatan 194.065
101.592 52,35
Bengkulu 39.033
25.504 65,34
Lampung 147.400
76.502 51,90
Kep. Bangka Belitung 37.398
28.873 77,20
Kepulauan Riau 111.823
73.461 65,69
DKI Jakarta 714.565
595.908 83,39
Jawa Barat 1.760.374
999.113 56,76
Jawa Tengah 995.145
623.053 62,61
DI Yogyakarta 122.654
99.563 81,17
Jawa Timur 1.170.912
820.122 70,04
Banten 439.072
274.338 62,48
Bali 158.819
84.285 53,07
Nusa Tenggara Barat 156.525
47.414 30,29
Nusa Tenggara Timur 3.183
29.117 39,79
Kalimantan Barat 108.688
62.884 57,86
Kalimantan Tengah 55.044
28.008 50,88
26
Kalimantan Selatan 129.535
74.280 57,34
Kalimantan Timur 169.079
110.864 65,57
Sulawesi Utara 72.452
39.225 54,14
Sulawesi Tengah 48.594
24.369 50,15
Sulawesi Selatan 258.485
120.497 46,62
Sulawesi Tenggara 45.213
19.435 42,99
Gorontalo 25.391
8.698 34,26
Maluku 36.780
20.010 54,40
Maluku Utara 23.518
12.611 53,62
Papua 75.866
45.169 59,54
Jumlah 8.117.666
4.785.032 58,95
Sumber: SUPAS BPS: 2005
f. Anak Korban Kekerasan [Fisik dan Mental] dan Perlakuan Salah [child abuse]
Secara nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi
korbannya. Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah anak
menunjukkan besarnya angka korban kekerasan terhadap anak pada tahun 2006 mencapai 3, yang berarti setiap 1000 anak
terdapat sekitar 30 orang pernah menjadi korban tindak kekerasan. Angka korban kekerasan korban anak di perdesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8. Sedangkan angka korban kekerasan pada anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan yaitu 3,1 berbanding 2,9.
g. Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adikitif Lainnya [Napza]
Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang terlaporkan terus meningkat. Pada tahun 1999 berjumlah 1.833 kasus, tahun 2000
berjumlah 3.478 kasus dan pada tahun 2001 berjumlah 3.617 kasus [sumber data Badan Narkotika Nasional], sedangkan menurut data
Pusdatin Kesos Tahun 2002 jumlah korban penyalahgunaan Narkoba tercatat sebanyak 23.660 orang. Perkiraan usia pengguna
Napza terbesar 15 – 24 tahun BNN, 2004. Pengguna Napza pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 2,9 – 3,6 juta orang BNN, 2005.
Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja yang memulai perkenalannya dengan narkoba pada usia
yang sangat muda, yaitu : menghisap rokok pada usia 6 tahun dan menggunakan obat obat-obatan heroin narkoba jenis lain pada
usia 10 tahun. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIVAIDS di
kalangan pecandu, narkoba dengan cara suntikan IDU.
27
Menurut laporan saat ini ada 50 - 78 pengguna narkoba jarum suntikan adalah pengidap HIV Djauhari dan Djoerban, 2002 dalam
website Ditjen Pelayanan dan Rehab Sosial, Depsos RI, 2008.
Estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 menyebutkan terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia.
Badan Narkotika Nasional BNN menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah
perkotaan di Jawa dan kota-kota provinsi di luar Jawa. Strategi Nasional Penanggulangan HIVAIDS 2007 – 2010, 2007.
Karakteristik penyalahguna Napza di kalangan siswa dan mahasiswa menunjukkan bahwa lebih dari separuh penyalahguna
Napza berada pada kelompok usia 15-19 tahun 58, terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA 94. Pada kelompok
usia kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok usia diatas 20 tahun lebih
banyak ada di kota.
Diperkirakan angka penyalahguna Napza suntik ada sekitar 2 dari 1000 pelajarmahasiswa yang disurvei atau sekitar 2,4 dari yang
pernah menyalahgunakan Napza. Irjabar 5 per 1000 dan Maluku 4 per 1000 adalah propinsi yang paling banyak ditemukan angka
penyalahguna Napza cara suntik. Di tingkat SLTP ada 2 propinsi yang cukup tinggi yaitu NTT dan Irjabar sekitar 4 per 1000
responden. Di tingkat SLTA, di Papua ada sekitar 8 dari 1000 responden yang pernah menyuntik. Selanjutnya DKI Yogyakarta 16
per 1000, DKI Jakarta 15 per 1000, dan Jawa Tengah 14 per 1000 adalah 3 propinsi tertinggi angka menyuntiknya di PT Survey
Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia, BNN, 2006.
h. Anak Jalanan
Berdasarkan data PMKS 2007, Departemen Sosial RI menunjukkan jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia pada tahun 2007
berjumlah 104.497 anak. Jumlah anak jalanan terbanyak berturut- turut adalah Jawa Timur 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307
anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak. Sedangkan 3 propinsi dengan jumlah anak jalanan paling sedikit berturut-turut adalah
Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo 66 anak, dan Kepulauan Riau 186 anak.
28
Pada tahun 2006, data PMKS menunjukkan di seluruh Indonesia ada 144.889 anak jalanan. Dibandingkan dengan angka tahun 2007
104.497 anak berarti ada penurunan jumlah yang cukup signifikan sebesar 30. Penurunan terbesar terutama terjadi pada propinsi
Maluku, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Adapun penyediaan
rumah singgah pada tahun 2007 hanya menampung kira-kira 12 dari jumlah anak jalanan seluruhnya.
Jumlah Anak Jalanan seluruh Indonesia Tahun 2007
No PROVINSIKABUPATENKOTA
ANAK JALANAN [jiwa]
1 Nanggroe Aceh Darussalam
608 2
Sumatera Utara 4.525
3 Sumatera Barat
6.330 4
Riau 914
5 Jambi
1.756 6
Sumatera Selatan 1.764
7 Bengkulu
794 8
Lampung 1.096
9 Bangka Belitung
191 10
Kepulauan Riau 186
11 DKI Jakarta
4.478 12
Jawa Barat 6.428
13 Jawa Tengah
10.025 14
DI Yogyakarta 1.305
15 Jawa Timur
13.136 16
Banten 2.492
17 Bali
680 18
Nusa Tenggara Barat 12.307
19 Nusa Tenggara Timur
11.889 20
Kalimantan Barat 3.240
21 Kalimantan Tengah
10 22
Kalimantan Selatan 3.671
23 Kalimantan Timur
1.330 24
Sulawesi Utara 451
25 Sulawesi Tengah
2.652 26
Sulawesi Selatan 3.931
27 Sulawesi Tenggara
2.254 28
Gorontalo 66
29 Sulawesi Barat
249 30
Maluku 2.728
29
31 Maluku Utara
2.430 32
Papua Barat 227
33 Papua
354
TOTAL 104.497
[Data PMKS 2007, Departemen Sosial RI]
i. Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga berupa akasus Napza Narkotika, Psikotropika Bahan Berbahaya di Indonesia
yang tercatat pada 2001 – 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data tahun 2007 menunjukkan jumlah 22.630 kasus di
wilayah propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Riau Dit IV Narkoba KT Bareskrim Polri, 2008.
Berdasarkan kelompok usia pelaku kasus tindak pidana Napza, maka 2 kelompok usia termuda yang terlibat adalah 16 tahun
sebesar 110 kasus dan 16 – 19 tahun sebesar 2.617 kasus.
Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Data Lapas Tangerang dan Pondok Bambu
Kategori Tindak Pidana
2002 [Tangerang]
2006 [Pondok Bambu]
Pencurian 85
44,74 111
31,27 Napza
55 27,37
148 41,69
Sajam [Senjata
Tajam] 22
11,58 10
2,82 Pengeroyokan
19 10
- -
Kejahatan Susila 3
1,58 -
- Perjudian
3 1,58
12 3,38
Upal [Uang Palsu] 2
1,05 -
- Penganiayaan
2 1,05
- -
Penipuan 1
0,53 3
0,85 Lain-Lain
1 0,53
50 14,08
Jumlah 190
355
Sumber : Herlina A., Anak yang Berkonflik dengan Hukum Materi Presentasi, 2006
Anak yang terkena kasus Napza menempati urutan kedua pada data Lapas Anak Tangerang dan Pondok Bambu tidak dijelaskan terlibat
sebagai pengguna atau pembuatpengedar. Hasil asesmen cepat ILOIPEC, 2004, memperlihatkan bahwa dari 92 responden usia 14
– 19 tahun yang diwawancara, sebanyak 50 pernah terlibat dalam
30
produksi Napza Children Involved In The Production, Sale and DistributionOf Illicit Drugs In Jakarta : A Rapid Assessment. 2004.
j. Anak yang Membutuhkan Orang Tua Pengganti
Anak Balita Terlantar ABT dan Anak Terlantar AT merupakan bagian dari kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
PMKS. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu
hambatan, kesulitan atau gangguan sehingga tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, tidak dapat terpenuhi kebutuhan
hidupnya secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlatantaran,
kecacatan, ketunasosialan, tindak kekerasan dan bencana alam dan sosial Panduan Pengumpulan dan Pengolahan Data Penyandang
Masalah Kesejahteraan SosialPMKS serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan SosialPSKS, Pusat Data Informasi Kesejahteraan
Sosial, Depsos RI, 2002.
Secara khusus, yang dimaksud dengan anak balita terlantar adalah anak yang berusia 0 – 4 tahun dan anak terlantar adalah anak
yang berusia 5 – 21 tahun, yang karena sebab tertentu misalnya miskintidak mampu, salah seorang dari orangtuanyawali pengampu
sakit, salah seorangkedua orangtuanyawali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada
pengampupengasuh, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
PengangkatanAdopsi Anak
Berdasarkan pelaporan kepada Departemen Sosial jumlah anak yang diadopsi antar warga negara Indonesia tahun 2006 – 2008,
yaitu 23 anak. Selain rentang usia 0 – 4 tahun, terdapat 7 anak dalam rentang usia 5 – 13 tahun yang juga diadopsi. Sebagai
catatan, data di atas tidak mencerminkan data nasional karena prosedur kategori pengangkatanadopsi antar WNI domestic
adoption melalui pengadilan negeri dan dinas sosial masing- masing propinsi izin dari kepala instansi sosial sebagai pengganti
izin Menteri. Data inter country adoption tahun 2004 – 2007 menunjukkan 45
anak yang diadopsi Direktorat PSA, Depsos RI, 2008. Sebagai catatan, data tidak mencantumkan jenis kelamin dan usia anak
yang diadopsi, beberapa tidak mencantumkan nama anak.
Panti Sosial Asuhan Anak PSAA
Panti Sosial Asuhan Anak PSAA atau Panti Asuhan atau Panti merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk
31
anak terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah maupun swasta, baik yang dikelola di rumah pribadi untuk
kelompok kecil anak maupun di dalam bangunan asrama untuk 200 anak. Panti asuhan untuk Anak Terlantar terutama mengasuh
anak yatim piatu, anak yatimpiatu dan anak yang orangtuanya tidak mampu mengasuh mereka.
Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 7.000 buah, yang mengasuh sekitar setengah juta anak.
Pemerintah Indonesia mengelola kurang dari 1 panti asuhan dan lebih dari 99 dikelola oleh masyarakat, terutama organisasi
keagamaan. Dari hasil studi, dalam panti asuhan, presentase anak yatim piatu sebanyak 6 dan anak yatimpiatumemiliki kedua
orangtua sebanyak 90. Kebanyakan anak-anak yang masih memilki satu atau kedua orangtua bukan ditelantarkan, tetapi
ditempatkan di panti asuhan karena kesulitan ekonomi, dengan tujuan mendapatkan pendidikan Seseorang yang Berguna :
Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children Unicef, 2008
Selama tahun 2007, program yang dijalankan mencakup 33 propinsi dan 395 kabupatenkota. Data dalam tabel tersebut di atas
memperlihatkan data PSAA yang memperoleh bantuan subsidi BBM sejumlah 4.035 panti. Subsidi diberikan bagi 128.016 anak
yang diasuh oleh panti. Data yang dikumpulkan melalui subsidi BBM merupakan sumber informasi terbatas mengenai panti
asuhan di Indonesia, mengingat tidak semua panti asuhan memperoleh subsidi dan tidak terdapat terdapat data akurat
mengenai jumlah, penyelenggaraan dan pengawasan panti asuhan di Indonesia Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan di
Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children Unicef, 2008.
k. Anak dari Kelompok Minoritas
Persebaran Komunitas Adat Terpencil tahun 2005 mengalami berbagai masalah yang timbul di lokasi KAT diantaranya “Kasus
Salulemo” di Propinsi Sulawesi Selatan, dimana kasus tanah tersebut telah menjadi isu dan terangkat ke permukaan.
Pemberdayaan KAT yang dilaksanakan sekitar tahun 1980-an dirasakan tidak adanya kejelasan status tanah pada lokasi KAT
tersebut.
Seperti juga kasus tanah di permukaan KAT lokasi Gunung Benoa, Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, lokasi
pemukiman mereka saat ini berada pada posisi strategis. Pada lokasi tersebut akan dibangun “Jalan Trans Kalimantan” warga
KAT tergiur untuk menjual lahan-lahan mereka kepada para cukong guna pembangunan proyek jalan tersebut.
32
Kasus-kasus lain yang ditemukan juga terjadi di Desa Tawaenalo Kecamatan Raterate Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi
Tenggaran. Warga KAT menjual aset berupa lahan yang mereka miliki dari program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tahun
1984. Kasus-kasus tersebut di atas pada umumnya ditengarai adanya
indikasi yang menunjukkan sikap warga KAT yang kurang memahami tenang kepemilikan meraka sebagai sumber
kehidupan, dan tidak adanya kemauan mereka dalam mengamankan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
yang sudah bergulir dengan baik di lokasi tersebut.
l. Anak Penyandang Cacat
Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS Departemen Sosial RI menunjukkan bahwa pada tahun 2006
jumlah total anak penyandang cacat di seluruh Indonesia adalah 295.763 anak. Propinsi dengan jumlah anak penyandang cacat
terbanyak berturut-turut adalah Jawa Tengah 53.634 anak, Jawa Barat 36.494 anak, dan Jawa Timur 31.022 anak. Sedangkan
propinsi dengan jumlah anak penyandang cacat paling sedikit berturut-turut adalah Bangka Belitung 935 anak, Papua Barat 986
anak, dan Gorontalo 1.238 anak.
Berdasarkan SUPAS 2005, jumlah anak bisa diperkirakan mencapai 35 atau sekitar 80 juta dari total penduduk seluruhnya.
Jika memakai angka ini, maka tidak sampai 1 persen anak yang menyandang cacat. Data lain berdasarkan Susenas tahun 2003
menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat usia sekolah 5-18 tahun berjumlah 317.016 anak.
WHO memperkirakan bahwa di suatu negara setidaknya 15,9 penduduknya adalah penyandang cacat. Memakai perkiraan ini,
maka pada tahun 2005 ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia penyandang cacat, dan 10 juta diantaranya adalah anak-anak.
2.6. Dasar hukum pembangunan KPA:
Nasional:
UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Bantuan dan pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa diskriminasi
33
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang- kurangnya delapan tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum
kawin
UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat
UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika
Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari dalam kandungan sampai usia sekolah
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan identitas, pelayanan kesehatan dan pendidikan, berpartisipasi dan perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar
UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya dan pekerjaan yang
memanfaatkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Setiap orang yang melihat, mendengar aatau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga suami, isteri, anak dak keluarga lain,
wajib melakukan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat dan mrmbantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan
Anak WNI diluar perkawinan yang syah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui
sebagai WNI
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
34
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban
Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah dan temannya
UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
Setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.
RPJMN 2004-2009 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005
Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.
RKP 2006 dan RKP 2007
Pengarusutamaan anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk memastikan kebijakanprogramkegiatan
pembangunan peduliramah anak.
Internasional: -
Convention on the Rights of the Child CRC Konvensi Hak-hak Anak
- Deklarasi A World Fit for Chidren WFC
- Millenium Development Goals MDGs
2.7. Program Nasional Bagi Anak Indonesia PNBAI 2015
Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada tahun 2002 negara-negara peserta telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi
“Dunia Yang Layak Bagi Anak” Wold Fit for Children – WFC. Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam deklarasi tersebut adalah promosi hidup sehat,
penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan, serta penanggulangan HIVAIDS.
Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap deklarasi tersebut adalah menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia PNBAI 2015.
PNBAI 2015 pada dasarnya merupakan perwujudan dari UUD 1945, khususnya pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak
dicapai dalam kurun waktu tersebut diserasikan dengan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium Development Goals MDGs.
PNBAI 2015 juga merupakan bentuk penetapan dari Konvensi Hak-hak Anak Convention on the Rights of the Child yang telah diratifikasi melalui
Keppres No. 36 tahun 1990.
PNBAI 2015 disusun berdasarkan analisis kondisi anak Indonesia yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan dilaksanakan
35
bersama-sama lintas departemenlembaga pemerintah terkait, dengan masukan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat
peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sebagai dokumen yang menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya
memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.
PNBAI 2015 terdiri dari Visi dan Misi sebagai berikut: Visi:
Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas ceria, berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.
Visi ini mengandung harapan bahwa anak-anak Indonesia yang dicita- citakan tidak hanya pandai dan berakhlak, tetapi juga berani untuk
mengeluarkan pendapat, sehat dalam tumbuh kembangnya, serta menikmati masa kanak-kanaknya dengan ceria karena hak-haknya
dilindungi. Meskipun demikian, cita-cita di atas harus ditempuh dalam perjalanan yang panjang. Untuk mencapai cita-cita ini, pemerintah
mencanangkan misi sebagai berikut.
MISI dari PNBAI 2015 adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata dan
berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular, termasuk HIVAIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku hidup
sehat
2. Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala
bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. 4. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat
anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.
Sasaran PNBAI 2015 meliputi: Di bidang Pendidikan Anak Usia Dini adalah:
Meningkatkan jumlah anak yang mendapatkan layanan PAUD di
tahun 2001 dari 28 7,34 juta jiwa menjadi 85 28,97 juta jiwa di tahun 2015
Meningkatkan jumlah lembaga layanan dari 303.736 2001
menjadi 12,7 juta 2015 catatan :
- Asumsi jumlah kenaikan penduduk usia 0–6 tahun rata-rata 2 per tahun - Asumsi kenaikan rata-rata jumlah lembaga adalah 3 per tahun
Di bidang Kesehatan adalah:
menurunkan AKB dan AKBA menjadi 13 dari kondisi 2001
36
menurunkan angka kematian ibu menjadi 13 dari kondisi 2001
menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan usia di
bawah 2 tahun variasi 30-50
meningkatkan keterjangkauan air bersih dan jamban saniter dalam keluarga sebesar 30
menyelenggarakan program nasional perkembangan anak usia
dini
penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja
penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi Di bidang Penanggulangan HIVAIDS adalah:
Sampai dengan 90 populasi memperoleh informasi tentang
HIVAIDS dan pencegahannya.
100 darah donor bebas kontaminasi HIV
80 Ibu hamil dalam perawatan ante-natal memperoleh informasi, konseling HIV, dan perawatan untuk mencegah bayi terinfeksi
Setiap ODHA Orang Dengan HIVAIDS memperoleh
pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan Di bidang Perlindungan adalah:
Meningkatkan upaya upaya perlindungan anak Indonesia dari berbagai bentuk perlakuan atau tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan
yang meliputi: a. pencegahan
b. perlindungan hukum c. pemulihan anak reintegrasi sosial keluarga
d. peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional
e. peningkatan partisipasi anak
2.8. Pembangunan KPA di Daerah
...........................................
37
3. Pengarusutamaan hak-hak anak ke dalam kebijakan dan program pembangunan ...................................Ibu Pardina
Strategi Pengarusutamaan Hak Anak PUHA
A. Pengertian PUHA
Dalam upaya meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, perlu dikembangkan strategi PUHA dengan maksud
menjadikan pemenuhan dan perlindungan hak anak sebagai pertimbangan utama dari para pengambil keputusan perencanaan pembangunan di
nasional, propinsi dan kabupatenkota.
Istilah pengarusutamaan terinspirasi dari Pengarusutamaan Gender PUG yang merupakan upaya mengakselerasi terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender dalam semua bidang. Karena itu, dalam membuat definisi PUHA-pun perlu menilik apa yang dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang
banyak diacu berasal dari versi United Nations Economic and Social Council 1997 yakni : “Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses
memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program,
dalam berbagai bidang dan di semua tingkat. Ia adalah sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki
menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan
sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah
kesetaraan gender”. Sinta R. Dewi, Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13.
Mengacu pada definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan
merupakan suatu stratagi untuk mencapai tujuan. Sedangkan cakupan pengarusutamaan cukup luas yakni mencakup semua bidang, semua tingkat
dan semua aspek manajemen perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian.
Strategi PUHA merupakan salah satu strategi yang telah dimasukan dalam RPJMN 2004-2009. Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang dilakukan
secara rasional dan sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. PUHA dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dan program.
Strategi PUHA mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan mikro. Tataran makro adalah perundangan dan kebijakan strategis. Perencanaan dalam
program jangka pendek, menengah dan panjang merupakan tataran meso. Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan anggaran yang
berpihak pada anak.
38
PUHA sebagai strategi untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak harus dapat membuktikan bahwa aspek perlindungan dan tumbuh
kembang anak benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program, yaitu :
1. Perencanaan : menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2. Pelaksanaan : memastikan bahwa strategi yang dijelaskan mempunyai dampak pada anak;
3. Pemantauan : mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4. Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi sebagai hasil prakarsa tersebut.
B. Komponen Pemenuhan Hak Anak
Pelaksanaan PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak harus memperhatikan keterkaitan tiga komponen pemenuhan hak anak
yakni 1 kebijakan pembangunan; 2 kegiatan perwujudan hak anak; dan 3 keterlibatan dari para pemangku kepentingan.
1. kebijakan pembangunan
Upaya pengembangan kebijakan dibuat untuk mendorong dan melindungi upaya pemenuhan hak anak. Kebijakan publik seyogyanya sensitive
terhadap anak, dan mempunyai manfaat positif bagi nasib anak. Misalnya :
-
sudah adakah kode etik code of conduct yang terkait dengan
penegakan hak anak di lingkungan bekerja ? -
Berapa besar persentase anggaran yang dialokasikan bagi program untuk kepentingan terbaik bagi anak, termasuk kegiatan yang
mendorong strategi PUHA itu sendiri ?
2. kegiatan perwujudan hak anak Komponen pemenuhan hak anak merupakan wujud dari berbagai
kegiatan sebagai upaya untuk menghilangkan kesenjangan
affirmative actions.
Manfaat bagi anak selayaknya dipastikan dalam setiap program pembangunan berdasarkan kepentingan terbaik anak dalam menikmati
hak mereka.
Besaran masalah anak menjadi kunci bagi setiap proses pembangunan. Dengan demikian peningkatan pemahaman dan perhatian berbagai pihak
terhadap besaran masalah anak perlu menjadi perhatian dalam proses pembangunan dengan cara mengetengahkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Keterlibatan pemangku kepentingan Pemangku kepentingan pengambil keputusan, baik eksekutif dan
legislatief serta masyarakat sipil harus memiliki pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan
perlindungan hak anak.
39
Pemangku kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci dalam proses perencanaan program pembangunan secara
berkesinambungan.
Pemangku kepentingan harus memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan
Knowlegde, attitude, PracticeKAP yang peduli terhadap
perwujudan hak anak. KAP yang wajib dimiliki oleh pemangku kepentingan adalah pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang
berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Upaya penguatan kapasitas pemangku kepentingan tidak hanya untuk aparat pemerintah, tetapi termasuk juga pengasuh anak
care givers
dan masyarakat misalnya LSM peduli anak. Kelompok pemerhati hak anak
Community Based OrganizationCBO perlu dikembangkan
partisipasi mereka untuk membantu memastikan efektivitas program pembangunan bagi pemenuhan hak anak, sekaligus mendukung
pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi.
Fokus PUHA tentu saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini anak harus didorong untuk berperan aktif dalam memberikan masukan
sepanjang proses penyusunan kebijakan, program, kegiatan dan bahkan penganggaran. Anak hendaknya mendapatkan fasilitasi bagi ketersediaan
akses dan informasi yang layak sesuai dengan umur dan kematangan anak. Anak juga harus diberikan keterampilan untuk menyalurkan dan
menyampaikan ekspresinya, sedemikian rupa sehingga didengarkan, dihargai, dan dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.
Pemberdayaan dan perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu dilakukan sebagai konsekuensi dari karakteristik anak itu sendiri sebagai
kelompok yang rentan, tidak berdaya dan masih memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Jika anak harus diberdayakan maka hal
itu bukanlah dalam rangka untuk mensejajarkan status dan kedudukannya dihadapan orang dewasa, tetapi lebih merupakan upaya
perlindungan terhadap hak-haknya yang sering dilanggar orang dewasa. Apalagi jika kelompok anak itu adalah kelompok anak yang masuk
kategori memerlukan perlindungan khusus children in need special protectioncnsp, maka perlakuannyapun bersifat khusus.
Pemberdayaan pada kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan menyadari bahwa mereka memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan
diperjuangkan, baik oleh mereka sendiri maupun melalui bantuan orang dewasa. Pemberdayaan ini lebih efektif jika ditujukan pada kelompok-
kelompok anak atau anak-anak yang sudah terorganisir dalam suatu kelompok, dan bukan pemberdayaan pada orang perorang. Dengan
demikian prasyarat yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu pembentukan kelompok-
kelompok anak atau organisasi abak harus didorong dan dikembangkan. Organisasi anak tersebut, apapun namanya, akan berfungsi sebagai
wadah penyalur aspirasi anggota mereka maupun anak-anak pada umumnya.
C. Tahapan PUHA
40
Proses PUHA selalu diawali dengan analisis situasi anak, dilanjutkan dengan perencanaan program, pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi
program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak anak.
1. Tahap Analisis Situasi Anak
Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah dan akar masalah dari setiap isu anak berdasarkan situasi terakhir
sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan dan program yang menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target
pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Analisis situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Tahapan perencanaan