KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KPA
1. Pendahuluan
Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan   sejak   dini   melalui   pemenuhan   hak-haknya   yakni   hak   untuk
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat   dan   martabat   kemanusiaan,   serta   mendapat   perlindungan   dari
kekerasan dan diskriminasi.
Kebijakan   pembangunan   KPA   pada   dasarnya   mengacu   pada   ketentuan perauran perundang-undangan yang berlaku yakni UUD 1945 pasal 28B dan
28C, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PNBAI 2015, CRC, MDGs, dan WFFC serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan
dengan anak.
Sebagaimana   diamanatkan   dalam   UU.   No.   23   tahun   2002   tentang Perlindungan   Anak   bahwa   penjaminan   dan   pemenuhan   hak-hak   anak
menjadi   tanggung   jawab   bersama   orang   tua,   keluarga,   masyarakat,   dan Negara.   Peraturan   perundang   undangan   yang   mengatur   tentang   anak
jumlahnya   adalah   cukup   banyak   namun   implementasinya   belum sebagaimana yang kita harapkan. Selain itu dengan keluarnya PP No. 41
tahun   2007   tentang   Organisasi   Perangkat   Daerah   maka   tatanan kelembagaan di daerah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini
berdampak   pula   terhadap   pelaksanaan   program   dan   kegiatan   di   bidang pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak. Satu segi penangnan
perlindungan anak harus ditangani secara holistik dan berkelanjutan. Oleh karena   itu   untuk   mempermudah   para   pemangku   kepentingan   dalam
penyusunan  program  dan  kegiatan  kesejahteraan dan  perlindungan anak, maka  perlu adanya kebijakan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam   rangka   pembangunan   kesejahteraan   dan   perlindungan   anak   di daerah.
2. Kebijakan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak
2.1. Definisi anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan ps 1 UU No.
232002.
2.2. Mengapa penting membangun dan melindungi anak.
Dasar pemikiran:
Anak:  -  merupakan amanah dan karunia dari Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dilindungi
-  merupakan investasi bagi orang tua, bangsa dan negara. -  merupakan potensi kekayaan dan kesejahteraan
1
bangsa di masa kini dan masa depan. Kualitas sumber daya manusia:
- indikator utama keberhasilan suatu bangsa dalam melakukan pembangunan, yang dimulai sejak usia dini.
Bagaimana suatu bangsa memberikan prioritas kepada pembangunan anak?
- Menunjukkan   apakah   bangsa   tersebut   adalah   bangsa
yang visioner atau tidak. Upaya melakukan pembangunan anak:
- perlu dimulai dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Perencanaan pembangunan yang peduli anak -
Perlunya perubahan pendekatan pembangunan menjadi peduli anak
- Upaya peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak anak perlu diintegrasikan ke dalam seluruh program pembangunan yang
terkait, utamanya pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan hukum.
Argumentasi pentingnya membangun anak
Argumentasi Hak Asasi Manusia - Anak memiliki hak untuk hidup dan berkembang sampai kepada
potensi penuhnya
Argumentasi Nilai Moral - Melalui anak-anak, nilai moral ditumbuh-kembangkan
Argumentasi Ekonomi dan Sosial -
Pembangunan anak merupakan investasi untuk meningkatkan produktivitas bangsa dan masyarakat
- Kesiapan anak memasuki kehidupan mandiri - Kesetaraan gender
2.3. Tahap pertumbuhan anak:
- Masa pralahir, yaitu sejak pembuahan sampai dengan full term.
- Masa bayi, yaitu masa sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun.
- Masa batita, yaitu bayi berusia 1-3 tahun.
- Masa prasekolah, yaitu anak yang berusia 4-5 tahun.
- Masa sekolah dasar, yaitu anak yang berusia  6-12 tahun.
- Masa remaja, yaitu masa pada saat anak berusia 12,5-18 tahun
laki-laki dan 10,5-18 tahun perempuan.
2.4. Hak-hak anak:
Hak-hak dasar anak:
2
-  Bertahan   hidup:  standar   hidup   yang   layak;   papan,   sandang,
makanan   bergizi,   pelayanan   kesehatan, penghidupan   yang   layak,   perlindungan   dari
segala bentuk kekerasan.
- Tumbuh kembang: segla hal yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara penuh sesuai dengan potensinya  pendidikan, bermain dan
memanfaatkan  waktu luang, aktivitas sosial budaya, akses terhadap informasi, dll.
- Perlindungan:  semua yang diperlukan untuk melindungi mereka
dari kekerasan, perlakuan salah, dan penelantaran.
- Partisipasi:                 memungkinkan anak untuk memainkan peran
aktif dalam komunitasnya sesuai dengan kelebihan
dan keterbatasan mereka terutama dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan
mereka.
Hak-hak partisipasi:
Setiap anak berhak untuk menguatarakan pikiranya secara bebas. Untuk   itu,   maka   anak   harus   ditanya   pendapatnya   dan   pendapat
tersebut   harus   dihormati   serta   diperhitungkan   dalam   semua keputusan   yang   menyangkut   hidup   anak   tersebut,   baik   dalam
keluarga,   sekolah,   lingkungan   masyarakat   bahkan   sampai   ke pengadilan sekalipun.
Hal   yang   sering   terjadi   dalam   lingkungan   keluarga,   orangtua menganggap   anak   yang   berani   bicara   dengan   orangtua   sebagai
anak yang kurang ajar, apalagi bila anak berbeda pendapat dengan orang tua. Begitu juga dengan guru sekolah. Masih banyak guru
yang   tidak   bisa   menerima   pendapat   anak.   Anak   hanya mendengarkan saja selama belajar di kelas dan tidak ada diskusi
atau   upaya   untuk   mendorong   anak   berpikir   dan   mengeluarkan pendapatnya.
Anak   masih   dalam   proses   belajar   sehingga   orang   dewasa   perlu membimbing   dan   memperbaiki   cara   anak   mengemukakan
pendapatnya. Sesungguhnya banyak manfaat ketika orang dewasa berbicara dengan cara baik kepada anak, antara lain :
 Melatih anak berpikir kritis, mampu memecahkan masalah, dan mandiri karena terbiasa melatih pikirannya;
 Mendorong   anak   untuk   terus   giat   belajar   dan mengembangkan sikap percaya diri
 Membina hubungan yang akrab dan menyenangkan diantara orangtua dan anak
3
 Mengembangkan sikap sopan santun dan toleransi kepada orang lain karena anak yang dihargai pendapatnya juga akan
belajar menghormati pendapat orang lain. Termasuk   didalam   hak   partisipasi   anak   adalah   hak   anak   untuk
mengungkapkan   pandangan   dan   perasaannya   terhadap   situasi yang   mempunyai   dampak   pada   anak.   Selain   itu   juga
memungkinkan   anak   berperan   aktif   dalam   berbagai   hal   yang menyangkut kepentingan mereka.
Pasal tentang hak partisipasi dalam KHA :
 Pasal 12  Pasal 13
 Pasal 15
Kebebasan   dalam   menyatakan   pendapat   dan   berekspresi   adalah hak partisipasi anak. Tetapi kebebasan tersebut senantiasa diikuti
dengan tanggungjawab untuk menghargai hak orang lain. Artinya selama anak hidup dan berada dalam lingkungan bersama orang
lain,   maka   selalu   ada   hak-hak   orang   lain   yang   harus   dihargai. Kebebasan   bertindak   dan   berekspresi   tidak   boleh   dengan
melanggar hak orang lain.
Pengertian   partisipasi   anak   sebetulnya   sangat   luas   dan   memiliki tingkatan-tingkatan,   seperti   yang   dikemukakan   oleh   Hart   1997
yang   mempopulerkan   konsep   tangga   partisipasi   anak.   Namun demikian,   Kementerian   Pemberdayaan   Perempuan,   dalam   hal   ini
Deputi   Perlindungan   Anak,   berdasarkan   literatur   yang   ada   telah mencoba   menterjemahkan   partisipasi   anak   sebagai   keterlibatan
anak   dalam   proses   pengambilan   keputusan   dan   menikmati perubahan   yang   berkenaan   dengan   hidup   mereka   baik   secara
langsung   maupun   tidak   langsung   yang   dilaksanakan   dengan persetujuan dan kemauan semua anak berdasarkan kesadaran dan
pemahaman buku Panduan Pelaksanaan Rencana Aksi Partisipasi Anak, Kementerian PP, tahun 2008.
Hak-hak anak secara umum meliputi hak untuk: 1. bebas beragama
2. bebas berkumpul secara damai 3. bebas berserikat
4. berekreasi 5. bermain
6. berpartisipasi dalam  kegiatan-kegiatan seni budaya 7. hidup dengan orang tua
8. kelangsungan hidup dan berkembang 9. tetap   berhubungan   dengan   orang   tua,   bila   dipisahkan   dengan
salah satu orang tua 10. mendapatkan   perlindungan   dari   penangkapan   yang  sewenang-
wenang 11.mendapatkan identitas
12.mendapatkan informasi dari berbagai sumber 13. mendapatkan kewarganegaraan
4
14.mendapatkan nama 15.mendapatkan pelatihan keterampilan
16.mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma 17.mendapatkan standar hidup yang layak
18.mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan 19. mendapatkan   perlindungan  dari   perlakuan   kejam,   hukuman   dan
perlakuan tidak manusiawi 20.mendapatkan perlindungan dari siksaan
21.mendapatkan   perlindungan   hukum   jika   mengalami   eksploitasi seksual dan kegunaan seksual
22. mendapatkan perlindungan khusus dalam  situasi yang genting 23.mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan, dan
perdaganan anak 24.mendapatkan   perlindungan   khusus   jika   mengalami   eksploitasi
sebagai anggota kelompok minoritas atau kelompok adat 25.mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum
26. mendapatkan   perlindungan   khusus   jika   mengalami   eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan
27.mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi 28.mendapatkan   perlindungan   khusus,   jika   mengalami   eksploitasi
sebagai pekerja anak 29.mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata
30.mendapatkan perlindungan pribadi 31.mendapatkan perlindungan standar kesehatan yang paling tinggi
2.5. Situasi anak di Indonesia:
Di bidang Kesehatan:
Berdasarkan   komitmen   MDGs   Indonesia   telah   menetapkan   target untuk menurunkan Angka Kematian Bayi AKB menjadi 23 per 1.000
KH dan Angka Kematian Balita AKBA menjadi 32 per 1.000 KH pada tahun 2015.
Sedangkan menurut data SDKI 2007 menunjukkan AKB di Indonesia telah   berhasil   turun   menjadi   34   per   1.000   KH   dan  AKBA  tercatat
sebanyak 44 per 1.000 KH.
Angka kematian bayi dapat dilihat juga dalam tabel berikut:
5
Gizi   buruk   juga   menjadi   salah   satu   permasalahan   pada   kesehatan anak.   Menurut   KOMNAS   PA   pada   tahun   2006   terdapat   sejumlah
744.698  anak  penderita  malnutrisi  dengan  rincian  55,9  menderita kurang   gizi   yakni   42,7   menderita   gizi   buruk   dan   1,3   menderita
busung lapar. Selain itu anak-anak juga banyak terserang berbagai penyakit seperti diare 5.645 anak, demam berdarah 5.127 anak,
polio 324 anak, lumpuh layu 451 anak, campak 1.652 anak, dan flu burung 43 anak.
Hasil   survei   Garam   Yudium   2005   mencatat   bahwa   prevalensi   gizi kurang meningkat menjadi 28,0 terdiri dari balita gizi buruk 8.8 dan
balita gizi kurang 19,2.  Selain kurang gizi juga banyak balita yang menderita   anemia   pada   tahun   2005   terdapat   8,1   juta   balita   yang
menderiat anemia Depkes: 2007
Menurut Komnas PA tahun 2006 terdapat 199 anak yang terserang HIVAIDS dan sekitar 144 bayi tertular HIVAIDS dari ibunya.
Berdasarkan data dari Dit IVNarkoba, Bareskrim, Mabes POLRI, 2008 mencatat jumlah kasus narkoba di Indonesia dengan usia tersangka
16 tahun sebanyak 110 kasus, usia 16-19 tahun   sebanyak 2.627 kasus 2007.
Kematian   balita   dan   bayi.   pada   tahun   1960,   angka   kematian   bayi AKB masih sangat tinggi yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari
tahun ke tahun, akb ini cenderung membaik sebagai dampak positif
6
dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. pada tahun 1992 akb tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun
menjadi   57   per   1.000   kelahiran   hidup   pada   tahun   1994,   turun   lagi menjadi   46   per   1.000   kelahiran   hidup   pada   tahun   1997,   dan   pada
tahun   2002-2003   penurunannya   sudah   mencapai   35   per   1000 kelahiran hidup sDki 2002-2003. Menurut proyeksi bps bps-unDp-
bappenas, 2005, pada tahun 2003 angka akb terus membaik hingga mencapai   33,9   per   1.000   kelahiran   hidup.   Dengan   kecenderungan
perkembangan   pencapaian   akb   secara   nasional   seperti   ini, pencapaian target mDgs pada tahun 2015 diperkirakan sudah akan
tercapai pada tahun 2013.
Meskipun terus menurun, akb di indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan   dengan   negara-negara   anggota   asean,   yaitu   4,6   kali
lebih tinggi dari malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari thailand. indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi
setelah   singapura   3   per   1.000,   brunei   Darussalam   8   per   1.000, malaysia 10 per 1.000, vietnam 18 per 1.000, dan thailand 20 per
1.000.
Perkembangan pencapaian AKB nasional tahun 1989-2005
Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005 Sementara   itu,   angka   kematian   balita   AKBA   juga   menunjukkan
perkembangan   yang   membaik.   Jika   pada   tahun   1992   akba   masih berada pada angka 97 per 1.000 kelahiran hidup, maka pada tahun
1994 angka ini telah turun menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup. pada tahun  2002-2003   akba  sudah   mencapai  angka   46  dan  tahun   2005
mencapai 40 per 1.000 per kelahiran hidup. artinya, sepanjang dekade 1990-an   telah   terjadi   perbaikan   rata-rata   7   persen   per   tahun,   lebih
tinggi   dari   dekade   sebelumnya   sebesar   4   persen   per   tahun.   Pada tahun   2000   indonesia   telah   mencapai   dan   melampaui   target   yang
ditetapkan dalam World summit for children Wsc yaitu 65 per 1.000 kelahiran hidup.
Penurunan akba dalam kurun waktu tahun 1992 sDki sampai 2005 supas lebih cepat dibandingkan penurunan akb dalam kurun waktu
yang   sama.   penurunan   akba   mencapai   57   kematian   per   1.000
7
kelahiran   hidup,   sedangkan   kecepatan   penurunan   akb   hanya mencapai 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup lihat gambar 4.2. ini
menunjukkan bahwa resiko kematian kelahiran bayi lahir lebih besar ketimbang resiko kematian hingga usia balita. pada tahun 2004, bps
memperkirakan   akb   dapat   mencapai   33,9   kematian   per   1.000 kelahiran hidup, sementara akba dapat mencapai 40,9 kematian per
1.000 kelahiran hidup.
Perkembangan AKB dan AKBA nasional tahun 1989-2005
Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005 Angka kematian ibu AKI di indonesia telah mengalami penurunan
menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian
per 100.000 kelahiran hidup. tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat
20.000   ibu   yang   meninggal   setiap   tahunnya.   Dengan   kondisi   ini, pencapaian   target   MDGs   untuk   aki   akan   sulit   dicapai.   BPS
memproyeksikan   bahwa   pencapaian   aki   baru   mencapai   angka   163 kematian   ibu   melahirkan   per   100.000   kelahiran   hidup   pada   tahun
2015, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 tersebut adalah 102.
Pencapaian target MDGs akan dapat terwujud hanya jika dilakukan upaya   yang   lebih   intensif   untuk   mempercepat   laju   penurunannya.
resiko kematian ibu karena melahirkan di indonesia adalah 1 dari 65, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan resiko 1 dari 1.100 di thailand.
selain itu disparitas kematian ibu antarwilayah provinsi di indonesia masih tinggi.
Pertolongan   persalinan   oleh   petugas   kesehatan   terus   mengalami peningkatan   hingga   mencapai   72,41   persen   pada   tahun   2006
susenas. persalinan ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu dan bayi sekaligus.
Penyebab   langsung   kematian   ibu   adalah   perdarahan   30, eklampsia   25,   partus   lama   5,   komplikasi   aborsi   8,   dan
infeksi 12. resiko kematian meningkat, bila ibu menderita anemia, kekurangan   energi   kronik   dan   penyakit   menular.   aborsi   yang   tidak
8
aman bertanggung jawab pada 11 persen kematian ibu di indonesia. aborsi yang tidak aman ini biasanya terjadi karena kehamilan yang
tidak inginkan unwanted pregnancy.
Kontrasepsi modern memainkan peranan penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 1997, tingkat pemakaian
kontrasepsi   pada   perempuan   kawin   usia   15-49   tahun   hanya   57,4 persen, yang meningkat menjadi 60,3 persen pada tahun 2002-2003
sDki 2002-2003. Ssementara itu unmet need pada tahun 2002-2003, masih sekitar 8,6 persen. pemakaian kontrasepsi pada wanita kawin
usia 15-49 ini, cenderung tidak menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Jika merujuk pada data susenas 1992-2006 maka selama
kurun waktu 13 tahun pemakaian kontrasepsi pada perempuan kawin usia 15-49 tahun hanya meningkat 7,4 persen.
Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin dan menggunakan alat KB tahun 1992-1996:
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun Resiko   kematian   ibu   semakin   besar   dengan   adanya   anemia,
kekurangan energi kronik kek, dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis tb, hepatitis, serta HivaiDs. pada tahun 1995, misalnya,
prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 51 persen dan pada ibu nifas 45 persen. sementara pada tahun 2002 terdapat 17,6 persen
wanita usia subur yang menderita kek. tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan,   faktor   budaya,   akses   terhadap   sarana   kesehatan,
transportasi, dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih --terutama bidan-- juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian
ibu.
Proyeksi perolehan AKI nasional tahun 2005-2025
9
Sumber: SDKI 1994,1997,2002-2003, SKRT: 1986,1992,1992,1995
Lebih   lanjut,   meskipun   dalam   uu   nomor   1   tahun   1974   tentang perkawinan menggariskan bahwa batas usia minimal menikah untuk
perempuan   adalah   16   tahun   dan   untuk   laki-laki   adalah   19   tahun, namun data susenas 2006 menunjukkan bahwa 12,56 persen wanita
berumur 10 tahun ke atas menikah pertama kali pada usia 15 tahun ke bawah. sementara mereka yang menikah pertama kali pada usia 16
tahun batas usia legal untuk menikah hanya 9,84 persen. pernikahan usia   dini   seperti   ini   berimplikasi   pada   peningkatan   jumlah   ibu
melahirkan   di   usia   yang   sangat   muda   dan   pada   akhirnya meningkatkan   risiko   kematian   ibu.   pernikahan   dini   ini   juga
menyebabkan perempuan terpaksa putus sekolah karena dia harus mengurus keluarga.
Di bidang Pendidikan:
Angka Partisipasi Sekolah APS tahun 1971-2007 untuk anak usia 7- 18   tahun   mengalami   peningkatan   terutama   pada   kelompok   usia
Sekolah Dasar 7-12 tahun. APS   untuk   anak   usia   dini   0-6   tahun   secara   kuantitatif   terus
bertambah sejak tahun 2004 – 2006. Namun yang paling mencolok adalah   jenis   satuan   PAUD   melalui   jalur   non   formal   mencapai
5.651.066 siswa, namun apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0-6 tahun   yang   mencapai   28.068.100   anak   maka   jumlah   peserta   didik
PAUD belum mencapai 50 Depdiknas: 2006.
Menurut   BPS   tahun   2006   jumlah   anak   putus   ekolah   tahun   2005 sebanyak 1.712.413 anak, sebagian besar 54,3 disebabkan oleh
ketidakmampuan ekonomi, bahkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri karena menunggak biaya sekolah.
Pada kelompok umum 10-18 tahun terlihat persentase putus sekolah anak laki-laki sekitar 9,41 sementara perempuan hanya 5,6.
10
Menurut National Human Develeopment Report 2004, rata-rata lama sekolah   penduduk   sekolah   tahun   1999   hanya   6,7   tahun   dan
meningkat menjadi 7,1 tahun pada tahun 2002. Data ini meunjukkan walaupun pendidikan meningkat namun secara umum untuk tingkat
SLTP kelas 1 dan pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah lama laki- laki 7,6 tahun SLTP Kelas 2 lebih tinggi dibandingkan perempuan
yang hanya 6,5 tahun SLTP Kelas 1. Pada tahun 2004 dan 2005 rata lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan dan 7,3 tahun. Pada
masa tersebut rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun lebih tinggi dari perempuan yang hanya 6,8 tahun BPS, Inkesra: 2005.
Untuk melihat perkembangan situasi anak di sekolah dari tahun 2005- 2007 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Angka Partisipasi Murni APM sekolah dasarmadrasah ibtidaiyah 7- 12   tahun   dan   angka   partisipasi   murni   APM   sekolah   menegah
pertamamadrasah tsanawiyah 13-15 tahun dari tahun 1992 sampai tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik.
pada tahun 1992, APM SDMI tercatat 88,7 persen dan pada tahun 2006   telah   mencapai   94,73   persen.   Sementara   itu  APM   SMPMTS
tahun   1992   adalah   41,9   persen   dan   mencapai   66,52   persen   pada tahun   2006.   Jika   kecenderungan   seperti   ini   mampu   dipertahankan,
maka   indonesia   diperkirakan   berhasil   mencapai   target   MDG   pada tahun 2015.
Angka partisipasi kasar APK sekolah dasarmadrasah ibtidaiyah dan angka partisipasi kasar APK sekolah menengah pertamamadrasah
tsanawiyah   dari   tahun   1993   sampai   tahun   2006   secara   nasional menunjukkan kecenderungan membaik. apk sDmi sejak tahun 1992
sudah mencapai 102,0 persen.
11
Perkembangan APM SDMI dan APM SMPMTs
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Perkembangan APK SDMI dan APK SMPMTs
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Perkembangan APK SDMI dan APK SMPMTs menurut tingkat kelompok pengeluaran keluarga
12
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Pada   tahun   2006,   angka   ini   menjadi   109,95   persen.   namun   untuk tingkat SMPMTs, APKnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
APK SDMI. Pada tahun 1992 APK SMPMTS masih berada di angka 55,6   persen   dan   pada   tahun   2006   baru   mencapai   88,68   persen.
indikator ini menginformasikan bahwa berbagai program SDMI dan SMPMTs non-reguler telah berhasil menjaring kembali murid SDMI
dan  SMPMTs   untuk   menuntaskan  masa  belajar   mereka   di   bangku SDMI   maupun   SMPMTs.   informasi   ini   juga   menunjukkan   bahwa
dalam perjalanan mengikuti proses belajar mengajar, ternyata masih banyak   siswa   SDMI   yang   tidak   dapat   melanjutkan   ke   jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Walaupun   angka   partisipasi   kasar  tingkat  SDMI   maupun  SMPMTs menunjukkan   perbaikan,   tetapi   bila   dilihat   dari   tingkat   kelompok
pengeluaran   rumah   tangga,   maka   terdapat   perbedaan   antara kelompok   rumah   tangga   miskin   dan   non-miskin.   pada   kelompok
pengeluaran terbawah kuantil 20 terbawah, Q1, apk SDMI tahun 1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun
2006.   Data   tahun   1995   hingga   2006   menunjukkan   indikasi bahwasanya   APK   SDMI   untuk   kelompok   pengeluaran   terbawah
ternyata   berkembang   lebih   baik   dari   APK   SDMI   untuk   golongan pengeluaran   teratas.   peristiwa   yang   sama   juga   terjadi   pada   APK
SMPMTS antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMPMTs tahun 1995 pada   kelompok   pengeluaran   terbawah   tercatat   44,39   persen   dan
menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.
Dari   uraian   di   atas   terlihat   bahwa   perbaikan   kesejahteraan   rumah tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi
keluarga   yang   mempunyai   anak   usia   sekolah   sD   dan   smp. kesenjangan   partisipasi   pendidikan   yang   sangat   mencolok   antara
kelompok   pengeluaran   terbawah   keluarga   miskin   dan   kelompok pengeluaran   teratas   keluarga   kaya   ini   menunjukkan   perlunya
peningkatan   perhatian   pada   kelompok   keluarga   miskin   dalam memperoleh akses pendidikan.
Angka melek huruf melek aksara usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke atas   yang   menggambarkan   kemampuan   keberaksaraan   penduduk.
kemampuan   keberaksaraan   penduduk   indonesia   terus   meningkat, yang tercermin dari meningkatnya angka melek huruf penduduk dari
96,58   persen   pada   tahun   1992   menjadi   98,84   persen   pada   tahun
13
2006. meningkatnya tingkat keberaksaraan ini terutama terjadi pada kelompok usia muda yaitu usia 15-24 tahun. ini terjadi seiring dengan
meningkatnya partisipasi  pendidikan pada  jenjang  pendidikan dasar dan meningkatnya proporsi siswa sDmi yang dapat menyelesaikan
pendidikannya. namun, jika rentang usia diperlebar menjadi 15 tahun ke   atas,   angka  buta   aksara   masih   cukup   tinggi   yaitu   sebesar   82,9
persen.
Perkembangan Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006
Sumber: Susenas BPS berbagai tahun
Dilihat dari angka melek huruf melek aksara usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke atas menurut kelompok pengeluaran keluarga tampak bahwa
sebagian   besar   buta   huruf   terjadi   pada   kelompok   pengeluaran terbawah keluarga miskin. meskipun angka melek huruf penduduk
miskin  selalu  lebih  rendah  dari  penduduk  kaya,  tetapi  dalam  kurun waktu  1995-2006  angka   melek   huruf  penduduk  kelompok   termiskin
meningkat   signifikan   yaitu   dari   92,94   persen   menjadi   97,78   persen untuk usia 15-24 tahun dan dari 71,17 persen menjadi 87,17 persen
untuk usia 15 tahun ke atas. berdasarkan jenjang pendidikan yang pernah diikuti per tahun 2006, tampak bahwa 85 persen penduduk
usia   15   tahun   yang   buta   aksara   ternyata   tidak   pernah   sekolah. Sebagian besar dari mereka kini berusia lanjut.
Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006 menurut kelompok pengeluaran:
14
Sumber: Sisenas BPS 1995  2006
Tingkat   kelulusan   pendidikan   dasar.   keberhasilan   dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah baik di sekolah dasar maupun
di sekolah menengah belum diimbangi dengan peningkatan kelulusan yang memadai. memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan
di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar dihadapkan pada tantangan masih besarnya siswa putus sekolah drop out dan
siswa yang mengulang.
Perbaikan   kelulusan   sesuai   kohort   untuk   siswa   sD   antara   tahun 19931994   sampai   20052006   tidak   menggambarkan   secara
keseluruhan tingkat kelulusan siswa sekolah dasar dan tingkat siswa yang   meneruskan   ke   jenjang   pendidikan   berikutnya.  Hal   ini
merupakan tantangan terbesar dalam bidang pendidikan dasar.
Profil   penduduk   usia   15   tahun   yang   buta   aksara   menurut   jenjang pendidikan yang pernah diikuti:
Sumber: Susenas BPS 2006
Perkembangan   angka   putus   sekolah   sendiri   mempunyai kecenderungan   meningkat   sejak   tahun   ajaran   20012002   sampai
20052006.  antara   tahun   ajaran  20012002-20022003   terdapat   683
15
ribu   atau   2,66   persen   siswa   sekolah   dasar   putus   sekolah,   lalu meningkat   menjadi   767,8   ribu   atau   2,97   persen   pada   20022003-
20032004,   kemudian   mencapai   777   ribu   atau   2,99   persen   pada 20032004-20042005, dan kemudian mencapai 824,7 ribu atau 3,17
persen pada 20042005-20052006.
Perkembangan angka menulang dan putus sekolah, Sekolah Dasar:
Sumber: Rangkuman Statistik persekolahan 20052006 Balitbang Pusat Statistik Pendidikan, Depdiknas: 2006
selain   angka   putus   sekolah   yang   cukup   besar,   jumlah   siswa   yang mengulang   juga   juga   masih   cukup   besar   walaupun   persentasenya
terus menurun dari tahun ke tahun. antara tahun ajaran 20012002- 20022003 terdapat 1.4 juta atau 5,9 persen siswa sekolah dasar yang
mengulang,   menjadi   978   ribu   atau   5,4   persen   pada   20022003- 20032004, kemudian menjadi 1,17 juta atau 4,51 pada 20032004-
20042005, dan kemudian menurun menjadi sekitar 1 juta atau 3,95 persen pada 20042005-20052006.
Dengan   kondisi   seperti   ini   maka   tingkat   melanjukan   siswa   sekolah dasar   dengan   kohort   yang   sama   ke   sekolah   menengah   pertama
menjadi   rendah   pula.   pada   tahun   20052006,   kohort   siswa   yang memasuki sD pada tahun 19992000 menunjukkan bahwa hanya 59
persen siswa yang dapat melanjutkan ke smp. persentase ini sudah meningkat bila dibandingkan dengan keadaan tahun 20022003. pada
tahun tersebut kohort siswa yang masuk sD pada tahun 19961997 menunjukkan bahwa hanya 51 persen siswa yang berhasil mencapai
SMP.
Di bidang Penanggulangan HIVAIDS
Secara kumulatif, pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dalam rentang waktu   10   tahun   terakhir   sampai   dengan   31   Maret   2008   terdiri   dari
6.130 HIV dan 11.868 AIDS. Jumlah HIV dan AIDS 17.998 dengan angka kematian sebanyak 2.486. Pelaporan diberikan oleh 32 propinsi
dan 194 KabupatenKota. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan adalah melalui IDU 49,1 dan hubungan heteroseksual
42,1. Khusus   dalam   masa   Januari   sampai   dengan   Maret   2008,   terdapat
penambahan 64 infeksi HIV dan 727 kasus AIDS.  Data diterima dari 19 propinsi. Ditjen PPM  PL Depkes RI, Maret 2008.
16
Sumber : Ditjen PPM  PL Depkes RI, Maret 2008
Kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia produktif 20 – 29 tahun 53,62. Mengingat AIDS biasa muncul sekitar 5 – 10 tahun
sesudah   seseorang   tertular   HIV,   maka   data   tersebut   memberi petunjuk bahwa mereka yang dilaporkan menderita AIDS pada usia
20 – 29 tahun sesungguhnya tertular HIV sebelum usia 20 tahun, yaitu sekitar  usia   15   tahun   bahkan   lebih   muda   Strategi   Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan Remaja 2007 – 2010, 2008. Meskipun jumlah perempuan yang tertular AIDS 2.466 kasus
masih jauh dibandingkan laki-laki 9.337 kasus, namun dampak AIDS pada   perempuananak   peremuan   lebih   signifikan.   Hal   ini   berkaitan
dengan kondisi sosial dan budaya yang masih ada dalam masyarakat termasuk   tekanan   teman   sebaya,   stigma   dan   diskriminasi   sebagai
perempuananak   perempuan   dan   sebagai   pengguna   Napza.   Juga berkaitan   dengan   kondisi   fisik,   kerentanan   penularan   infeksi   yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
GOLONGAN USIA AIDS
AIDSIDU 1
55 1 – 4
114 5 – 14
42 3
15 – 19 387
110 20 – 29
6.364 3.976
30 – 39 3.298
1.383 40 – 49
936 199
50 – 59 243
30
17
60 58
12 Tidak diketahui
371 121
JUMLAH 11.868
5.834
Sumber : Ditjen PPM  PL Depkes RI, Maret 2008
Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 memperlihatkan angka tertinggi hampir di semua propinsi di Indonesia menunjuk pada
penasunIDU, dengan total untuk wilayah Indonesia sebesar 90.000 Ditjen PPM  PL Depkes RI, 2008.
Prevalensi HIVAIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih   di   bawah   0,1   persen.   Namun   angka   prevalensi   pada   sub-
populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. bahkan di papua, Hiv dan aiDs telah masuk pada populasi umum usia 15-49 tahun
dengan   prevalensi   2,4   persen.   epidemi   aiDs   sekarang   telah   terjadi hampir   di   seluruh   indonesia.   Hal   ini   dapat   diketahui   dari   adanya
laporan tentang kasus aiDs dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus aiDs, maka pada
tahun   2007   aiDs   telah   dilaporkan   di   32   provinsi.   Jumlah   kumulatif kasus aiDs yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari
2.682   kasus   pada   tahun   2004,   menjadi   10,384   kasus   hingga   akhir September 2007.
Berdasarkan  provinsi,   Dki  Jakarta   tercatat   sebagai   provinsi  dengan kumulatif   jumlah   kasus   aiDs   terbanyak   yaitu   2.849   kasus,   disusul
Jawa barat 1.445 kasus, papua 1.268 kasus dan, Jawa timur 1.043 kasus.
Perkembangan kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia 10 tahun terakhir s.d September 2007
Sumber: Depkes 2007 Jumlah kasus Hiv positif yang dilaporkan dalam 10 tahun terakhir juga
cenderung meningkat dan hingga 30 september 2007 mencapai 5.904 kasus. gambar 6.3. Departemen kesehatan memperkirakan bahwa
populasi yang rawan tertular Hiv pada tahun 2006 sebesar 193.070 orang, dengan jumlah terbesar berturutturut di provinsi Dki Jakarta,
papua, Jawa barat dan Jawa Timur
18
Di bidang Perlindungan a. Pekerja anak:
Jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun di Indonesia selama periode tahun 2001-2002 selalu di atas 500.000 anak atau di atas 6 dari
jumlah anak usia 10-14 tahun. Pada tahun 2003, jumlah pekerja anak   usia   10-14   tahun   mengalami   penurunan   menjadi   sekitar
367.610   anak   43,62,   namun   kembali   mengalami   kenaikan sekitar 488.850 anak 5,83 pada tahun 2004. Sedangkan pada
tahun   2005,   jumlah   pekerja   anak   usia   10-14   tahun   kembali menurun sekitar 383.210 anak 4,43.
Dari   data   tersebut,   bisa   diperkirakan   bahwa   pada   kurun   waktu tahun   2001-2005,   dalam   setiap   100   anak   usia   10-14   tahun
terdapat 4 sampai 6 pekerja anak, yang memiliki kondisi yang pasti berbeda   dengan   anak-anak   lainnya   di   usia   yang   sama,   bahkan
kehilangan   hak   dan   kesempatan   untuk   hidup   selayaknya   anak dalam usia tersebut.
Perkembangan Pekerja Anak Usia 10-14 Tahun Tahun 2001-2005 dalam ribuan
Diolah dari hasil Survei Angkatan Kerja NasionalSakernas Agustus 2001-2004 dan November 2005
Tahun Anak Usia
10-14 Tahun
Pekerja Anak Usia Usia 10-14 Tahun
2001 20,862.8
1,322.70 6.34
2002 21,263.9
1,414.05 6.65
2003 19,450.4
898.61 4.62
2004 20,998.9
1,224.24 5.83
2005 21,686.3
960.70 4.43
Catatan: angka dalam tanda kurung menunjukkan persentase pekerja anak usia 10-14 tahun terhadap jumlah anak usia 10-14 tahun.
Sumber: Indaryanti dan Lisna [eds.], 2005:77-78
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK anak usia 10-14 tahun menurut provinsi berdasarkan Sakernas November 2005 di seluruh
Indonesia mencapai rata-rata 4,43. Artinya, dari 100 anak usia 10-14 tahun terdapat 4 anak yang menjadi pekerja anak Indaryanti
dan Lisna, 2005: 160.
Jika dibandingkan antar provinsi se-Indonesia, Papua merupakan provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun tertinggi dari seluruh
provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 15,94. Urutan provinsi dengan   TPAK   tertinggi   berikutnya   adalah   Bali   9,90,   Nusa
19
Tenggara   Barat   9,67,   Sulawesi   Selatan   9,66,   Jambi 9,29.
Sementara   itu,   Nangroe   Aceh   Darussalam   merupakan   provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun terendah dari seluruh provinsi
lain di Indonesia, yakni mencapai 1,19. Urutan provinsi dengan TPAK   terendah   berikutnya   adalah   DKI   Jakarta   1,25,   Maluku
1,55, Kalimantan Tengah 1,88, dan Riau 2,58.
Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, di 33 provinsi, jumlah pekerja anak meningkat. Tahun 2006 jumlahnya mencapai 3,2 juta
dan menjadi 4,8 juta pada 2007. Tahun 2008 diperkirakan menjadi 6,3 juta. Perkiraan ini berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya
Kompas, 13 Juni 2008.
Jumlah   anak   berusia   0-18   tahun   yang   bekerja   sebagai   pekerja anak sangat dimungkinkan jauh lebih besar dari yang dilaporkan
menurut   data-data   Sakernas   tersebut.   Sebagai   perbandingan, dalam   laporan  Indosiar   News  2   Februari   2008   disebutkan,
menurut  laporan  survei BPS  tentang pekerja anak di  Indonesia, jumlah pekerja anak mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006.
Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari pekerja anak perempuan yakni 1.734.126 orang, sedangkan pekerja anak laki-
laki   130.948   orang.   Sedangkan   menurut  International   Labour Organization  ILO,  pada   tahun   2007   jumlah   pekerja   anak   di
Indonesia  mencapai  2,6   juta   jiwa.   Sebagian   besar   dari   mereka bekerja disektor pertanian keluarga, perusahaan manufaktur, dan
perdagangan   skala   kecil.   Website   Serikat   Pekerja   PT.   Jakarta International Container TerminalSP JICT, 5 April 2008.
b.  Anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial:
UNICEF [2005] menyatakan bahwa diperkirakan bahwa 30 dari perempuan pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun,
meskipun   diakui   juga   kenyataan   bahwa   anak-anak   perempuan seringkali melebih-lebihkan usia mereka. Bahkan pada beberapa
kasus   ditemukan   anak-anak   perempuan   yang   masih   berusia   10 tahun.
Data dari Departemen Sosial menunjukkan perkiraan bahwa lebih dari   3000   wisatawan   dari   negara   tetangga   [Malaysia   dan
Singapura] berkunjung ke Batam setiap minggunya dengan tujuan untuk melakukan aktivitas seksual dengan pekerja seks di pulau
tersebut. Sekitar 30  dari total pekerja seks yang berjumlah 5.000 sampai dengan 6.000 orang adalah anak-anak di bawah usia 18
tahun [Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2006]. Kasus prostitusi anak dilaporkan banyak terjadi di sejumlah daerah
di   Indonesia,   seperti   Medan,   Pontianak,   Palembang,   Jakarta, Indramayu,   Jepara,   Pati,   Surabaya,   Makassar,   Manado,   Maluku
dan Papua. Batam, Bali dan Pontianak dalam hal ini merupakan
20
daerah dengan prostitusi anak dalam jumlah besar. Praktek ESKA [Eksploitasi   Seksual   Komersial   Anak]   berlangsung   terutama   di
pusat-pusat   prostitusi,   tempat   hiburan,   karaoke,   panti   pijat, pertokoan   dll   [UNICEF,   2005;   Koalisi   Nasional   Penghapusan
ESKA,   2006].   Sedangkan   mayoritas   pelaku   [user]   adalah penduduk   lokal   sendiri   atau   pengunjung   domestik,   namun
demikian   terdapat   beberapa   kasus   yang   melibatkan   pengunjung atau   wisatawan   dari   mancanegara   [UNICEF,   2005;   Koalisi
Nasional Penghapusan ESKA, 2006].
c. Anak yang diperdagangkan trafiking anak
Hasil   pendataan   Pusdatin   [Pusat   Data   dan   Informasi Kesejahteraan Sosial] Departemen Sosial Republik Indonesia pada
tahun   2004   yang   bersumber   dari   data-data   LSM   di   9   propinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2004 tercatat ada 932 anak yang
menjadi korban trafiking dan tersebar di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.
Berdasarkan   data   tersebut   terlihat   bahwa   mayoritas   anak   yang menjadi   korban   trafiking   [96]   adalah   anak   perempuan.   Dari   9
provinsi   tersebut,   kasus   yang   tercatat   paling   banyak   adalah   di propinsi   Nusa   Tenggara   Barat.   Meskipun   demikian,   perlu
diperhatikan   keterbatasan   sumber   pendataan   ini   yang   hanya berasal dari 20 LSM yang tersebar di 9 provinsi, terlepas bahwa
LSM-LSM   tersebut   diyakini   telah   melakukan   investigasi   maupun penanganan   trafiking   anak   seperti   yang   telah   diidentifikasi   oleh
International Catholic Migration Commission [ICMC].
Data menunjukkan bahwa bentuk trafiking yang memakan korban paling banyak adalah migrasi, dan secara khusus tercatat ada 578
anak yang menjadi korban di propinsi Nusa Tenggara Barat saja.
Data menunjukkan jumlah balita dan anak korban trafiking yang ditangani   oleh   IOM   International   Organization   for   Migration
Indonesia sejak Maret 2005 sampai dengan April 2007 tercatat ada 643 balita dan anak.
Mayoritas korban tersebut adalah perempuan dan jumlah tersebut merupakan 288 dari total korban trafiking yang ditangani IOM pada
kurun   waktu   tersebut.   Data   ini   kemudian   meningkat   karena berdasarkan data IOM periode Maret 2005 – Januari 2008 tercatat
sebanyak   790   balita   dan   anak,   dimana   ada   5   bayi,   651   anak perempuan   dan   134   anak   laki-laki   KPP,   2008.   Artinya   ada
peningkatan sebesar 147 balitaanak dalam waktu 9 bulan. Data lain yang perlu ditengok adalah data Bareskrim Kepolisian RI dari
tahun 2003 – 2007 yang mencatat perdagangan orang sebanyak 492 kasus dengan melibatkan 1.015 orang dewasa 81  dan 238
anak-anak 19  [KPP, 2008].
21
d.  Pengungsi Anak dan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata
Sejak tahun 2004, masalah pengungsi anak di Indonesia dalam jumlah   besar   dan   kondisi   memperihatinkan   sekurang-kurangnya
terjadi akibat bencana gempa tektonik dan gelombang tsunami di provinsi   Nangroe  Aceh   Darussalam   NAD   dan   kepulauan   Nias
provinsi Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa tektonik di Daerah   Istimewa   Yogyakarta   DIY   dan   beberapa   kawasan
sekitarnya di Jawa Tengah 27 Mei 2006, dan bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur 29 Mei 2006.
Pengungsi Anak Korban Bencana Tsunami di NAD
Pada   tahun   2005   terdapat   korban   bencana   gempatsunami   di NAD   yang   tergolong   usia   anak   0-18   tahun   yang   masih
berstatus sebagai pengungsi. Jumlahnya lebih dari 60.316 anak kelompok usia 0-14 tahun atau 29,59 dari seluruh pengungsi,
belum termasuk anak usia 15-18 tahun dalam kelompok umur 15-19 tahun 23.291 anak.
Sedangkan menurut database The Family Tracing and Reunificat on   Network  FTR   atau   Jaringan   Lembaga   untuk   Penelurusan
dan   Penyatuan   Keluarga   terdiri   dari   Departemen   Sosial   RI, Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Dinas Sosial Provinsi
NAD, UNICEF, ICRC, CardiIRC, LCO, Muhammadyah, Pusaka, dan Child Fund, sampai dengan 15 Mei 2006, bencana tsunami
telah mengakibatkan 2831 anak telantar atau terpisah dari orang tua mereka pada Januari 2005 sampai Mei 2006. Sejumlah 700
anak   di   antaranya   kehilangan   kedua   orang   tua   mereka, sedangkan   1301   anak   tak   mengetahui   keberadaan   orang   tua
mereka sehingga diduga kuat mereka pun telah menjadi yatim piatu Depsos RI and Save The Children, 2006:ix.
Sementara   itu,   pada   Desember   2005   sampai   Maret   2006,   tim pekerja   sosial   Depsos   RI   dengan   dukungan   Pekerja   Sosial
Masyarakat   dan   UNICEF   melakukan  Rapid   Assesment   of Children’s   Homes   in   post-Tsunami   Aceh,   yang   menghasilkan
data-data kondisi anak korban tsunami yang berada di panti-panti sosial anakpanti asuhan se-provinsi NAD bukan dalam status
pengungsi   dan   tinggal   di   barak-barak   pengungsian   atau   di rumah-rumah keluarga. Menurut riset tersebut, pada Maret 2006
terdapat 207 panti asuhan aktif yang menampung 16.234 anak, terdiri   dari   9.567   anak   laki-laki   60   dan   6.667   perempuan
40. Dalam jumlah panti-panti asuhan tersebut terdapat 193 panti asuhan anak telantar atau yatim piatu dan 14 panti sosial
anak   penyandang   cacat   Depsos   RI   and   Save   The   Children, 2006:xi.
22
Sampai   dengan   Maret   2006,   anak-anak   yang   diasuh   di   panti- panti asuhan anak telantar se-NAD berjumlah 16.234 anak. Di
antara seluruh anak asuh tersebut, 16,3-nya adalah anak-anak korban tsunami 2.589 anak, terdiri dari 1.449 anak laki-laki dan
1.107 perempuan yang telantarterpisah dari keluarganya, serta 21 anak laki-laki dan 12 perempuan yang cacat.
Pengungsi Anak Korban Gempa di DIY dan Jawa Tengah
Menurut laporan Depsos RI pada 1 Juni 2006 pukul 07:00 WIB, korban   tewas   akibat   gempa   tersebut   berjumlah   6.234   orang.
Selain itu, 33.231 orang mengalami luka berat, dan 12.917 orang luka ringan. Gempa ini juga merubuhkan 7.057 rumah. Website
Pusat Informasi Kegiatan Posko UGM Peduli Bencana. 10 Juni 2006. Sedangkan menurut Bapeda Pemda DIY 17 Juni 2006
pk.   18.00,   tercatat   5.760   orang   meninggal   dan   37.339   orang luka-luka akibat gempa tersebut.
Menurut laporan Humas Badan Informasi Dinas Sosial Provinsi DIY   hingga   Juni   2007,   dari   seluruh   korban   gempa   tersebut,
terdapat   58   anak   kehilangan   kedua   orang   tua   mereka   yatim piatu,   402   anak   kehilangan   ayah   yatim,   216   kehilangan   ibu
piatu,   1341   anak   menderita   luka-luka,   84   anak   mengalami cacat,   dan   436   anak   mengalami   trauma   berat   Shakuntala,
2007.   Sementara   jumlah     anak   yang   tewas   akibat   gempa tersebut tidak diketahui secara pasti.
Berdasarkan   pendataan   yang   dilakukan   Yayasan   KAKAK Surakarta, sebagian besar anak yang kehilangan salah satu atau
kedua   orangtuanya   dititipkan   kepada   keluarga   dekat   Ababil, 2006.   Sementara   kondisi   lain   yang   dialami   anak-anak   korban
gempa   tersebut   beraneka   ragam.   Misalnya,   sebuah   fenomena baru   pasca   gempa,   anak-anak   dieksploitasi   secara   ekonomi
untuk   memenuhi   kebutuhan   ekonomi   keluarga   dengan   cara mengemis di jalanan. Selain itu, para pengungsi anak tersebut
terancam   tindak   eksploitasi   seksual,   sebagai   dampai   kesulitan ekonomi   maupun   lemahnya   pengamanan   dan   perhatian
keluargamasyarakat terhadap mereka. Ababil, 2006.
Pengungsi Anak Korban Semburan Lumpur Panas Lapindo
Pada tanggal 29 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas dari lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur.   Lumpur   panas   tersebut   telah   merendam   pemukiman warga   di   sekitarnya   dalam   radius   450   hektar   WHO,   2006.
Terdapat 2.168 keluarga 8.348 jiwa pengungsi yang ditampung di Pasar Baru Porong, pasar yang belum sempat dioperasikan
dan dijadikan lokasi penampungan utama. Terdapat 282 kios dan 51   ruko   yang   dijadikan   rumah   tinggal   sementara   bagi   para
23
pengungsi. Lokasi penampungan pengungsi lainnya adalah Balai Desa Renokenongo, Porong, dan rumah-rumah keluarga korban.
Hingga 30 Agustus 2006, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 11.000 jiwa Atmanto dan Bahaweres, 2006.
Menurut  laporan Tim   Pelaporan  Sosial Lumpur  Sidoarjo TPS- LUSI Partai Keadilan Sejahtera PKS Sidoarjo 2007, terdapat
2.605   kepala   keluarga   KK   yang   mengungsi   sampai   22 November   2006   pada   saat   terjadinya   ledakan   pipa   gas
Pertamina di dekat lokasi semburan lumpur panas. Selanjutnya, jumlah   pengungsi   yang   tinggal   di   Pasar   Baru   Porong   setelah
ledakan pipa gas Pertamina 22 November 2006 adalah 906 KK 3250 orang, dan seluruhnya   berasal dari desa Renokenongo
PKS Sidoarjo, 2007.
Dalam konteks hak anak, semburan lumpur panas tersebut telah merendam  10.426 tempat tinggal dan 33 sekolah.  Perincian 33
sekolah  yang terendam  adalah 6 TK,  3 RA, 11  SDN, 4  MI, 2 SMP, 3 Mts, 1 SMK, 3 MA. Akibatnya, 5397 siswa 2.755 laki-laki
dan 2.642 perempuan kehilangan hak bersekolah dan sebanyak 405 guru 177 laki-laki dan 226 perempuan serta 46 karyawan
24   laki-laki   dan   22   perempuan   menghentikan   pelayanan pendidikan kepada mereka PKS Sidoarjo, 2007.
Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata di NAD
Dalam   konteks   anak-anak,   Menurut   hasil  Rapid  Assesment   of Children’s   Homes   in   post-Tsunami   Aceh  yang   dilakukan   tim
pekerja   sosial   Depsos   RI   dengan   dukungan   Pekerja   Sosial Masyarakat   dan   UNICEF   Maret   2006,  tercatat   1.318   anak
korban   konflik   yang   telantarcacat   dan   dititipkan   di   panti-panti asuhan atau panti anak cacat se-NAD.
Menurut   data   dari  Depsos   RI   and   Save   The   Children,   2006 menunjukkan   terdapat,   1.318   anak   korban   konflik   di   NAD
tersebut terdiri dari 785 anak laki-laki dan 508 perempuan yang telantarterpisah dari keluarga mereka dan dititipkan di panti-panti
asuhan   anak,   serta   6   anak   laki-laki   dan   19   perempuan   yang cacat yang diasuh di panti-panti anak cacat.
Menurut laporan yang dikumpulkan oleh Kelompok Kerja Studi Perkotaan KKSP, Yayasan Anak Bangsa YAB, People’s Crisis
Centre PCC, Jesuit Refugee Service JRS tahun 2004 dalam Child Soldiers Global Report, 2008, terdapat anak-anak berusia
di   bawah   18   tahun   yang   pernah   digunakan   baik   oleh   GAM maupun   TNI   sebagai   informan   mata-mata   atau   penjaga,
penyedia   logistik,   bahkan   pejuang   atau   prajurit   bersenjata combatant   dalam   konflik   bersenjata   di   Aceh   sejak   1976.
Namun, jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti.
24
Di antara 2.000 tahanan politik yang dibebaskan pemerintah RI atas   dasar   Piagam   Kesepahaman   MOU   dengan   GAM   15
Agustus 2005, terdapat 19 anak laki-laki berusia 14-17 tahun. Mereka   ditangkap   karena   diduga   anggota   GAM.   Selain   itu,
terdapat juga beberapa tahanan perempuan berusia 17-an tahun yang dibebaskan. Mereka tidak digolongkan sebagai anak-anak
karena telah menikah Child Soldiers Global Report, 2008.
Anak dalam Situasi Konflik Sosial di Poso
Wikipedia 13 Februari 2008 07:15 mencatat kerusuhan tersebut telah   menewaskan   lebih   dari   577   orang.   Sedangkan   menurut
laporan George  Junus Aditjondro 2004:1,  kerusuhan tersebut telah menewaskan sedikitnya 4.000 orang.
Selain   itu,   menurut   laporan   Anto   Sangaji   2000   sekurang- kurangnya   muncul   tiga   ekses   penting   yang   ditimbulkan   oleh
kerusuhan Poso, yakni Pertama,   terjadinya   arus   pengungsi   dalam   jumlah   besar,   baik
dari   Kota   Poso,   maupun   dari   kecamatan-kecamatan   di sekitarnya. Dilaporkan, pengungsi dalam jumlah besar mengalir
ke Kota Palu 17.000 jiwa, Tentena 28.000 jiwa, Sulut 4.500 jiwa,   dan   Sulsel   7.000   jiwa   lihat  Kompas,   22   Juli   2000.
Pengungsi   juga   mengalir   ke   Kecamatan   Parigi   di   Kabupaten Donggala 7.000 jiwa, Kecamatan Lore Utara 2.500 jiwa dan
Kecamatan Ampana Kota 7.000 jiwa di Kabupaten Poso, dan lain-lain
Kedua,  kerusuhan  Poso  telah menimbulkan kerusakan materiil tidak sedikit. Tidak kurang dari 5.000 rumah penduduk terbakar
dan ribuan lainnya rusak Kompas 22 Juli 2000. Ketiga,   kerusuhan   meninggalkan   efek   psiko-sosial   yang
kompleks;   trauma   karena   menyaksikan   penyiksaan, pembunuhan,   dan   pelecehan   seksual;   dendam   dan   frustasi
karena   sanak   keluarga   terbunuh   dan   rumah   terbakar; mengentalnya   solidaritas   keagamaan   yang   eksklusif   karena
kerusuhan sepenuhnya terbaca sebagai perang antar umat ber- agama.
Dalam konteks anak-anak, memang tidak diketahui secara pasti berapa   jumlah   anak   berusia   0-18   tahun   yang   menjadi   korban
kerusuhan   itu,   entah   meninggal,   luka-luka,   cacat,   kehilangan orang   tua   atau   terpisah   dari   keluarga,   dsb.   Tapi   yang   pasti,
kerusuhan   itu   menyebabkan   banyak   anak-anak   usia   sekolah mengungsi   ke   tempat   aman   dan   terpaksa   kehilangan
kesempatan   untuk   meneruskan   sekolah   atau   sekurang- kurangnya terganggu sekolahnya Sangaji, 2000.
Data   statistik   tentang   jumlah   pengungsi   anak   usia   0-18   tahun korban   konflik   dengan   kekerasan   di   Poso   tidak   tersedia.
25
Bagaimana perubahannya hingga tahun 2008 pun tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, hingga Januari 2007, banyak pengungsi
termasuk pengungsi anak korban kerusuhan Poso masih enggan meninggalkan lokasi-lokasi pengungsian dan kembali ke Poso,
kampung   halaman   mereka   sebelumnya.   Bahkan   operasi penegakan hukum oleh tim Mabes Polri, pada 11 dan 22 Januari
2007,   yang   menewaskan   14   warga   sipil   dan   dua   aparat kepolisian,   serta   menangkap   21   orang   dari   29   orang   yang
sebelumnya   dinyatakan   sebagai   DPO,   belum   mampu meyakinkan para pengungsi akan situasi Poso yang sudah aman
Hamdin, 2007.
e. Kepemilikan Akta Kelahiran
Jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang memiliki akta kelahiran di 30 provinsi   di   Indonesia.   Secara   umum,   dapat   dilihat   bahwa   tingkat
kepemilikan akta kelahiran bervariasi antara 18,90 persen sampai dengan   79,45   persen,   dengan   rata-rata   sebesar   42,82   persen.
Provinsi yang tingkat kepemilikan akta kelahirannya tertinggi adalah DI  Yogyakarta   sebesar   79,45   persen   dan   Provinsi   yang   terendah
adalah Sumatera Utara sebesar 18,90 persen Supas 2005.
Kepemilikan akta kelahiran dapat dilihat dalam tebel berikut:
Provinsi Penduduk 0 - 4 Tahun
Jumlah Memiliki Akta Kelahiran
Banyaknya Persentase
Sumatera Utara 543.768
135.028 24,83
Sumatera Barat 134.858
60.695 45,01
Riau 193.580
86.435 44,65
Jambi 75.847
57.979 76,44
Sumatera Selatan 194.065
101.592 52,35
Bengkulu 39.033
25.504 65,34
Lampung 147.400
76.502 51,90
Kep. Bangka Belitung 37.398
28.873 77,20
Kepulauan Riau 111.823
73.461 65,69
DKI Jakarta 714.565
595.908 83,39
Jawa Barat 1.760.374
999.113 56,76
Jawa Tengah 995.145
623.053 62,61
DI Yogyakarta 122.654
99.563 81,17
Jawa Timur 1.170.912
820.122 70,04
Banten 439.072
274.338 62,48
Bali 158.819
84.285 53,07
Nusa Tenggara Barat 156.525
47.414 30,29
Nusa Tenggara Timur 3.183
29.117 39,79
Kalimantan Barat 108.688
62.884 57,86
Kalimantan Tengah 55.044
28.008 50,88
26
Kalimantan Selatan 129.535
74.280 57,34
Kalimantan Timur 169.079
110.864 65,57
Sulawesi Utara 72.452
39.225 54,14
Sulawesi Tengah 48.594
24.369 50,15
Sulawesi Selatan 258.485
120.497 46,62
Sulawesi Tenggara 45.213
19.435 42,99
Gorontalo 25.391
8.698 34,26
Maluku 36.780
20.010 54,40
Maluku Utara 23.518
12.611 53,62
Papua 75.866
45.169 59,54
Jumlah 8.117.666
4.785.032 58,95
Sumber: SUPAS BPS: 2005
f. Anak Korban Kekerasan [Fisik dan Mental] dan Perlakuan Salah [child abuse]
Secara nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak   kekerasan   dan   sekitar   2,29   juta   anak   pernah   menjadi
korbannya. Jumlah   tersebut   jika   dibandingkan   dengan   jumlah   anak
menunjukkan   besarnya   angka   korban   kekerasan   terhadap   anak pada   tahun   2006   mencapai   3,   yang   berarti   setiap   1000   anak
terdapat sekitar 30 orang pernah menjadi korban tindak kekerasan. Angka   korban   kekerasan   korban   anak   di   perdesaan   lebih   tinggi
dibandingkan   perkotaan   yakni   3,2   berbanding   2,8.   Sedangkan angka   korban   kekerasan   pada   anak   laki-laki   lebih   tinggi
dibandingkan perempuan yaitu 3,1 berbanding 2,9.
g. Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adikitif Lainnya  [Napza]
Jumlah   kasus   penyalahgunaan   narkoba   yang   terlaporkan   terus meningkat.   Pada   tahun   1999   berjumlah   1.833   kasus,   tahun   2000
berjumlah 3.478 kasus dan pada tahun 2001 berjumlah 3.617 kasus [sumber data Badan Narkotika Nasional], sedangkan menurut data
Pusdatin   Kesos   Tahun   2002   jumlah   korban   penyalahgunaan Narkoba tercatat sebanyak 23.660 orang. Perkiraan usia pengguna
Napza terbesar 15 – 24 tahun BNN, 2004. Pengguna Napza pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 2,9 – 3,6 juta orang BNN, 2005.
Fakta   yang   paling   memprihatinkan   adalah   semakin   banyaknya remaja   yang   memulai   perkenalannya   dengan   narkoba   pada   usia
yang sangat muda, yaitu : menghisap rokok pada usia 6 tahun dan menggunakan obat obat-obatan  heroin  narkoba jenis lain pada
usia 10 tahun. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIVAIDS di
kalangan pecandu, narkoba dengan cara suntikan IDU.
27
Menurut laporan saat ini ada 50  - 78   pengguna narkoba jarum suntikan adalah pengidap HIV Djauhari dan Djoerban, 2002 dalam
website Ditjen Pelayanan dan Rehab Sosial, Depsos RI, 2008.
Estimasi   Departemen   Kesehatan   pada   tahun   2006   menyebutkan terdapat   antara   191.000   sampai   248.000   penasun   di   Indonesia.
Badan Narkotika Nasional BNN menunjuk kepada angka 508.000 pada   tahun   yang   sama.   Penasun   masih   terkonsentrasi   di   daerah
perkotaan   di   Jawa   dan   kota-kota   provinsi   di   luar   Jawa.   Strategi Nasional Penanggulangan HIVAIDS 2007 – 2010,  2007.
Karakteristik   penyalahguna   Napza   di   kalangan   siswa   dan mahasiswa  menunjukkan  bahwa  lebih   dari   separuh   penyalahguna
Napza   berada   pada   kelompok   usia   15-19   tahun   58,   terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA 94. Pada kelompok
usia   kurang   dari   15   tahun   penyalahguna   lebih   banyak   berada   di kabupaten,  sedangkan pada kelompok usia diatas  20 tahun lebih
banyak ada di kota.
Diperkirakan angka  penyalahguna Napza suntik ada sekitar  2  dari 1000 pelajarmahasiswa yang disurvei atau sekitar 2,4 dari yang
pernah menyalahgunakan Napza. Irjabar 5 per 1000 dan Maluku 4 per   1000   adalah   propinsi   yang   paling   banyak   ditemukan   angka
penyalahguna   Napza  cara  suntik.   Di  tingkat   SLTP  ada  2   propinsi yang   cukup   tinggi   yaitu   NTT   dan   Irjabar   sekitar   4   per   1000
responden.   Di   tingkat   SLTA,   di   Papua   ada   sekitar   8   dari   1000 responden yang pernah menyuntik. Selanjutnya DKI Yogyakarta 16
per 1000,  DKI  Jakarta 15 per  1000, dan Jawa Tengah 14 per 1000 adalah 3 propinsi tertinggi angka menyuntiknya di PT Survey
Nasional   Penyalahgunaan   dan   Peredaran   Gelap   Narkoba   pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia, BNN, 2006.
h.  Anak Jalanan
Berdasarkan data PMKS 2007, Departemen Sosial RI menunjukkan jumlah   anak   jalanan   di   seluruh   Indonesia   pada   tahun   2007
berjumlah  104.497 anak. Jumlah anak jalanan terbanyak berturut- turut adalah Jawa Timur 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307
anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak. Sedangkan 3 propinsi dengan   jumlah   anak   jalanan   paling   sedikit   berturut-turut   adalah
Kalimantan   Tengah   10   anak,   Gorontalo   66   anak,   dan   Kepulauan Riau 186 anak.
28
Pada   tahun   2006,   data   PMKS   menunjukkan   di   seluruh   Indonesia ada 144.889 anak jalanan. Dibandingkan dengan angka tahun 2007
104.497 anak berarti ada penurunan jumlah yang cukup signifikan sebesar   30.   Penurunan   terbesar   terutama   terjadi   pada   propinsi
Maluku,   Sumatera   Barat,   DKI   Jakarta,   Jawa   Timur,   Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Adapun penyediaan
rumah singgah pada tahun 2007 hanya menampung kira-kira 12 dari jumlah anak jalanan seluruhnya.
Jumlah Anak Jalanan seluruh Indonesia Tahun 2007
No PROVINSIKABUPATENKOTA
ANAK JALANAN [jiwa]
1 Nanggroe Aceh Darussalam
608 2
Sumatera Utara 4.525
3 Sumatera Barat
6.330 4
Riau 914
5 Jambi
1.756 6
Sumatera Selatan 1.764
7 Bengkulu
794 8
Lampung 1.096
9 Bangka Belitung
191 10
Kepulauan Riau 186
11 DKI Jakarta
4.478 12
Jawa Barat 6.428
13 Jawa Tengah
10.025 14
DI Yogyakarta 1.305
15 Jawa Timur
13.136 16
Banten 2.492
17 Bali
680 18
Nusa Tenggara Barat 12.307
19 Nusa Tenggara Timur
11.889 20
Kalimantan Barat 3.240
21 Kalimantan Tengah
10 22
Kalimantan Selatan 3.671
23 Kalimantan Timur
1.330 24
Sulawesi Utara 451
25 Sulawesi Tengah
2.652 26
Sulawesi Selatan 3.931
27 Sulawesi Tenggara
2.254 28
Gorontalo 66
29 Sulawesi Barat
249 30
Maluku 2.728
29
31 Maluku Utara
2.430 32
Papua Barat 227
33 Papua
354
TOTAL 104.497
[Data PMKS 2007, Departemen Sosial RI]
i.   Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga berupa akasus Napza   Narkotika,   Psikotropika    Bahan   Berbahaya   di  Indonesia
yang   tercatat   pada   2001   –   2007   mengalami   peningkatan   setiap tahunnya.  Data  tahun 2007  menunjukkan jumlah  22.630 kasus di
wilayah  propinsi   DKI   Jakarta,   Jawa  Timur,   Sumatera  Utara,  Jawa Barat   dan   Riau   Dit   IV   Narkoba      KT   Bareskrim   Polri,   2008.
Berdasarkan   kelompok   usia   pelaku   kasus   tindak   pidana   Napza, maka   2   kelompok   usia   termuda   yang   terlibat   adalah      16   tahun
sebesar 110 kasus dan 16 – 19 tahun sebesar 2.617 kasus.
Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Data Lapas Tangerang dan Pondok Bambu
Kategori Tindak Pidana
2002 [Tangerang]
2006 [Pondok Bambu]
Pencurian 85
44,74 111
31,27 Napza
55 27,37
148 41,69
Sajam [Senjata
Tajam] 22
11,58 10
2,82 Pengeroyokan
19 10
- -
Kejahatan Susila 3
1,58 -
- Perjudian
3 1,58
12 3,38
Upal [Uang Palsu] 2
1,05 -
- Penganiayaan
2 1,05
- -
Penipuan 1
0,53 3
0,85 Lain-Lain
1 0,53
50 14,08
Jumlah 190
355
Sumber : Herlina A., Anak yang Berkonflik dengan Hukum Materi Presentasi, 2006
Anak yang terkena kasus Napza menempati urutan kedua pada data Lapas Anak Tangerang dan Pondok Bambu tidak dijelaskan terlibat
sebagai pengguna atau pembuatpengedar. Hasil asesmen cepat ILOIPEC, 2004, memperlihatkan bahwa dari 92 responden usia 14
– 19 tahun yang diwawancara, sebanyak 50 pernah terlibat dalam
30
produksi   Napza   Children   Involved   In   The   Production,   Sale   and DistributionOf Illicit Drugs In Jakarta : A Rapid Assessment. 2004.
j.   Anak yang Membutuhkan Orang Tua Pengganti
Anak   Balita   Terlantar   ABT   dan  Anak   Terlantar   AT   merupakan bagian  dari   kelompok   Penyandang  Masalah  Kesejahteraan  Sosial
PMKS.  Penyandang   Masalah   Kesejahteraan   Sosial   adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu
hambatan,   kesulitan   atau   gangguan   sehingga   tidak   dapat melaksanakan   fungsi   sosialnya,   tidak   dapat   terpenuhi   kebutuhan
hidupnya   secara   memadai   dan   wajar.   Hambatan,   kesulitan   atau gangguan   tersebut   dapat   berupa   kemiskinan,   keterlatantaran,
kecacatan, ketunasosialan, tindak kekerasan dan bencana alam dan sosial Panduan Pengumpulan dan Pengolahan Data Penyandang
Masalah   Kesejahteraan   SosialPMKS   serta   Potensi   dan   Sumber Kesejahteraan   SosialPSKS,   Pusat   Data   Informasi   Kesejahteraan
Sosial, Depsos RI, 2002.
Secara khusus, yang dimaksud dengan anak balita terlantar adalah anak yang berusia 0  – 4  tahun dan anak terlantar adalah anak
yang berusia 5 – 21 tahun, yang karena sebab tertentu misalnya miskintidak mampu, salah seorang dari orangtuanyawali pengampu
sakit,   salah   seorangkedua   orangtuanyawali   pengampu   atau pengasuh   meninggal,   keluarga   tidak   harmonis,   tidak   ada
pengampupengasuh,   sehingga   tidak   dapat   terpenuhi   kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
PengangkatanAdopsi Anak
Berdasarkan   pelaporan   kepada   Departemen   Sosial   jumlah   anak yang diadopsi antar warga negara Indonesia tahun 2006 – 2008,
yaitu 23 anak.  Selain rentang usia 0 – 4 tahun, terdapat 7 anak dalam   rentang   usia   5   –   13   tahun   yang   juga   diadopsi.   Sebagai
catatan,   data   di   atas   tidak   mencerminkan   data   nasional   karena prosedur   kategori   pengangkatanadopsi   antar   WNI   domestic
adoption   melalui   pengadilan   negeri   dan   dinas   sosial   masing- masing propinsi izin dari kepala instansi sosial sebagai pengganti
izin Menteri. Data  inter country adoption  tahun 2004 – 2007 menunjukkan 45
anak yang diadopsi Direktorat PSA, Depsos RI, 2008. Sebagai catatan,   data   tidak   mencantumkan   jenis   kelamin   dan   usia   anak
yang diadopsi, beberapa tidak mencantumkan nama anak.
Panti Sosial Asuhan Anak PSAA
Panti Sosial Asuhan Anak PSAA atau Panti Asuhan atau Panti merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk
31
anak terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah maupun   swasta,   baik   yang   dikelola   di   rumah   pribadi   untuk
kelompok  kecil  anak  maupun di  dalam bangunan  asrama  untuk 200 anak. Panti asuhan untuk Anak Terlantar terutama mengasuh
anak   yatim   piatu,   anak   yatimpiatu   dan   anak   yang   orangtuanya tidak mampu mengasuh mereka.
Jumlah   panti   asuhan   di   seluruh   Indonesia   diperkirakan   sekitar 7.000   buah,   yang   mengasuh   sekitar   setengah   juta   anak.
Pemerintah Indonesia mengelola kurang dari 1 panti asuhan dan lebih   dari   99   dikelola   oleh   masyarakat,   terutama   organisasi
keagamaan. Dari hasil studi, dalam panti asuhan, presentase anak yatim   piatu   sebanyak   6   dan   anak   yatimpiatumemiliki   kedua
orangtua   sebanyak   90.   Kebanyakan   anak-anak   yang   masih memilki   satu   atau   kedua   orangtua   bukan   ditelantarkan,   tetapi
ditempatkan   di   panti   asuhan   karena   kesulitan   ekonomi,   dengan tujuan   mendapatkan   pendidikan  Seseorang   yang   Berguna   :
Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children  Unicef, 2008
Selama   tahun   2007,   program   yang   dijalankan   mencakup   33 propinsi dan 395 kabupatenkota. Data dalam tabel tersebut di atas
memperlihatkan   data   PSAA   yang   memperoleh   bantuan   subsidi BBM sejumlah 4.035 panti. Subsidi diberikan bagi 128.016 anak
yang   diasuh   oleh   panti.   Data   yang   dikumpulkan   melalui   subsidi BBM   merupakan   sumber   informasi   terbatas   mengenai   panti
asuhan   di   Indonesia,   mengingat   tidak   semua   panti   asuhan memperoleh   subsidi   dan   tidak   terdapat   terdapat   data   akurat
mengenai jumlah, penyelenggaraan dan pengawasan panti asuhan di Indonesia Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan di
Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children  Unicef, 2008.
k.  Anak dari Kelompok Minoritas
Persebaran   Komunitas   Adat   Terpencil   tahun   2005   mengalami berbagai masalah yang timbul di lokasi KAT diantaranya “Kasus
Salulemo”   di   Propinsi   Sulawesi   Selatan,   dimana   kasus   tanah tersebut   telah   menjadi   isu   dan   terangkat   ke   permukaan.
Pemberdayaan   KAT   yang   dilaksanakan   sekitar   tahun   1980-an dirasakan  tidak  adanya  kejelasan  status   tanah  pada   lokasi  KAT
tersebut.
Seperti juga kasus tanah di permukaan KAT lokasi Gunung Benoa, Kabupaten   Pontianak   Propinsi   Kalimantan   Barat,   lokasi
pemukiman mereka saat ini berada pada posisi strategis.   Pada lokasi   tersebut   akan   dibangun   “Jalan   Trans   Kalimantan”   warga
KAT   tergiur   untuk   menjual   lahan-lahan   mereka   kepada   para cukong guna pembangunan proyek jalan tersebut.
32
Kasus-kasus lain yang ditemukan juga terjadi di Desa Tawaenalo Kecamatan   Raterate   Kabupaten   Kolaka   Propinsi   Sulawesi
Tenggaran. Warga KAT menjual aset berupa lahan yang mereka miliki dari program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tahun
1984. Kasus-kasus  tersebut   di  atas  pada umumnya  ditengarai  adanya
indikasi   yang   menunjukkan   sikap   warga   KAT   yang   kurang memahami   tenang   kepemilikan   meraka   sebagai   sumber
kehidupan,   dan   tidak   adanya   kemauan   mereka   dalam mengamankan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
yang sudah bergulir dengan baik di lokasi tersebut.
l.   Anak Penyandang Cacat
Data   Penyandang   Masalah   Kesejahteraan   Sosial   PMKS Departemen   Sosial   RI   menunjukkan   bahwa   pada   tahun   2006
jumlah total anak penyandang cacat di seluruh Indonesia adalah 295.763   anak.   Propinsi   dengan   jumlah   anak  penyandang   cacat
terbanyak berturut-turut adalah Jawa Tengah 53.634 anak, Jawa Barat   36.494   anak,   dan   Jawa   Timur   31.022   anak.   Sedangkan
propinsi   dengan   jumlah   anak  penyandang   cacat  paling   sedikit berturut-turut adalah Bangka Belitung 935 anak, Papua Barat 986
anak, dan Gorontalo 1.238 anak.
Berdasarkan   SUPAS   2005,   jumlah   anak   bisa   diperkirakan mencapai 35 atau sekitar 80 juta dari total penduduk seluruhnya.
Jika memakai angka ini, maka tidak sampai 1 persen anak yang menyandang  cacat.  Data lain  berdasarkan  Susenas  tahun  2003
menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat usia sekolah 5-18 tahun berjumlah 317.016 anak.
WHO   memperkirakan  bahwa   di   suatu  negara   setidaknya  15,9 penduduknya   adalah   penyandang   cacat.   Memakai   perkiraan   ini,
maka pada tahun 2005 ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia penyandang cacat, dan 10 juta diantaranya adalah anak-anak.
2.6. Dasar hukum pembangunan KPA:
Nasional: 
UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Bantuan   dan   pelayanan   untuk   kesejahteraan   anak   menjadi   hak   setiap anak tanpa diskriminasi
33
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang- kurangnya  delapan  tahun  tetapi   belum   mencapai   18  tahun  dan  belum
kawin
UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan   sosialnya   terutama   bagi   penyandang   cacat   anak   dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat
UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika
Mencegah   pelibatan   anak   dibawah   umur   dalam   penyalahgunaan   dan peredaran gelap narkotika
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari dalam kandungan sampai usia sekolah
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hak   untuk   hidup,   tumbuh   dan   berkembang,   mendapatkan   identitas, pelayanan   kesehatan   dan   pendidikan,   berpartisipasi   dan   perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar
UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk dalam  bentuk perbudakan dan sejenisnya  dan pekerjaan yang
memanfaatkan   anak   untuk   pelacuran,   produksi   pornografi,   pertunjukan porno atau perjudian
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Setiap   orang   yang   melihat,   mendengar   aatau   mengetahui   terjadinya kekerasan dalam rumah tangga suami, isteri, anak dak keluarga lain,
wajib   melakukan   pencegahan,   perlindungan,   pertolongan   darurat   dan mrmbantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan
Anak   WNI   diluar   perkawinan   yang   syah,   belum   berusia   18   tahun   dan belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui
sebagai WNI
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
34
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban
Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah dan temannya
UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
Setiap   orang   yang   melakukan   tindak   pidana   perdagangan   orang   dan korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.
RPJMN 2004-2009 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005
Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.
RKP 2006 dan RKP 2007
Pengarusutamaan anak merupakan salah satu program pembangunan, dan   harus   dilakukan   untuk   memastikan   kebijakanprogramkegiatan
pembangunan peduliramah anak.
Internasional: -
Convention on the Rights of the Child CRC  Konvensi Hak-hak Anak
- Deklarasi A World Fit for Chidren WFC
- Millenium Development Goals MDGs
2.7. Program Nasional Bagi Anak Indonesia PNBAI 2015
Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada tahun 2002 negara-negara   peserta   telah   menyatakan   komitmennya   dalam   deklarasi
“Dunia Yang Layak Bagi Anak” Wold Fit for Children – WFC. Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam deklarasi tersebut adalah promosi hidup sehat,
penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan, serta penanggulangan HIVAIDS.
Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap deklarasi tersebut adalah menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia PNBAI 2015.
PNBAI   2015   pada   dasarnya   merupakan   perwujudan   dari   UUD   1945, khususnya pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak
dicapai   dalam   kurun   waktu   tersebut   diserasikan   dengan   komitmen internasional yang termuat dalam  Millenium Development Goals  MDGs.
PNBAI   2015   juga   merupakan   bentuk   penetapan   dari   Konvensi   Hak-hak Anak Convention on the Rights of the Child yang telah diratifikasi melalui
Keppres No. 36 tahun 1990.
PNBAI   2015   disusun   berdasarkan   analisis   kondisi   anak   Indonesia   yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan dilaksanakan
35
bersama-sama   lintas   departemenlembaga   pemerintah   terkait,   dengan masukan   dari   berbagai   organisasi   dan   lembaga   swadaya   masyarakat
peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sebagai dokumen yang menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya
memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.
PNBAI 2015 terdiri dari Visi dan Misi sebagai berikut: Visi:
Anak   Indonesia   yang   sehat,   tumbuh   dan   berkembang,   cerdas   ceria, berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.
Visi   ini   mengandung   harapan   bahwa   anak-anak   Indonesia   yang   dicita- citakan   tidak   hanya   pandai   dan   berakhlak,   tetapi   juga     berani   untuk
mengeluarkan   pendapat,   sehat   dalam   tumbuh   kembangnya,   serta menikmati   masa   kanak-kanaknya   dengan   ceria   karena   hak-haknya
dilindungi.   Meskipun   demikian,   cita-cita   di   atas   harus   ditempuh   dalam perjalanan   yang   panjang.   Untuk   mencapai   cita-cita   ini,   pemerintah
mencanangkan misi sebagai berikut.
MISI dari PNBAI 2015 adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan   pelayanan   kesehatan   yang   komprehensif,   merata   dan
berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular, termasuk   HIVAIDS,   pengembangan   lingkungan   dan   perilaku   hidup
sehat
2. Menyediakan   pelayanan   pendidikan   yang   merata,   bermutu,   dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap   kebutuhan   anak   agar   dapat   melindungi   anak   dari   segala
bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. 4. Membangun   lingkungan   yang   kondusif   untuk   menghargai   pendapat
anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.
Sasaran PNBAI 2015 meliputi: Di bidang Pendidikan Anak Usia Dini adalah:
 Meningkatkan jumlah anak yang mendapatkan layanan PAUD di
tahun 2001 dari 28 7,34 juta jiwa menjadi 85 28,97 juta jiwa di tahun 2015
 Meningkatkan   jumlah   lembaga   layanan   dari   303.736   2001
menjadi 12,7 juta 2015 catatan :
- Asumsi jumlah kenaikan penduduk usia 0–6 tahun rata-rata 2 per tahun - Asumsi kenaikan rata-rata jumlah lembaga adalah 3 per tahun
Di bidang Kesehatan adalah: 
menurunkan AKB dan AKBA menjadi 13 dari kondisi 2001
36
 menurunkan angka kematian ibu menjadi 13 dari kondisi 2001
 menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan usia di
bawah 2 tahun variasi 30-50 
meningkatkan   keterjangkauan   air   bersih   dan   jamban   saniter dalam keluarga sebesar 30
 menyelenggarakan program nasional perkembangan anak usia
dini 
penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja 
penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi Di bidang Penanggulangan HIVAIDS adalah:
 Sampai dengan 90 populasi memperoleh informasi tentang
HIVAIDS dan pencegahannya. 
100 darah donor bebas kontaminasi HIV 
80   Ibu   hamil   dalam   perawatan   ante-natal   memperoleh informasi, konseling HIV, dan perawatan untuk mencegah bayi terinfeksi
 Setiap   ODHA   Orang   Dengan   HIVAIDS   memperoleh
pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan Di bidang Perlindungan adalah:
Meningkatkan   upaya   upaya   perlindungan   anak   Indonesia   dari   berbagai bentuk   perlakuan   atau   tindakan   salah   melalui   berbagai   bidang   kegiatan
yang meliputi: a. pencegahan
b. perlindungan hukum c. pemulihan anak  reintegrasi sosial keluarga
d. peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional
e. peningkatan partisipasi anak
2.8. Pembangunan KPA di Daerah
...........................................
37
3. Pengarusutamaan   hak-hak   anak   ke   dalam   kebijakan   dan   program pembangunan ...................................Ibu Pardina
Strategi Pengarusutamaan Hak Anak PUHA
A. Pengertian PUHA
Dalam upaya meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan terbaik   bagi   anak,   perlu   dikembangkan   strategi   PUHA   dengan   maksud
menjadikan pemenuhan dan perlindungan hak anak sebagai pertimbangan utama   dari   para   pengambil   keputusan   perencanaan   pembangunan   di
nasional, propinsi dan kabupatenkota.
Istilah   pengarusutamaan   terinspirasi   dari   Pengarusutamaan   Gender   PUG yang   merupakan   upaya   mengakselerasi   terwujudnya   kesetaraan   dan
keadilan gender dalam semua bidang. Karena itu, dalam membuat definisi PUHA-pun perlu menilik apa yang dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang
banyak diacu berasal dari versi    United Nations Economic and Social Council 1997   yakni   :   “Mengarusutamakan   perspektif   gender   adalah   proses
memeriksa   pengaruh   terhadap   perempuan   dan   laki-laki   setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program,
dalam   berbagai   bidang   dan   di   semua   tingkat.   Ia   adalah   sebuah   strategi untuk   membuat   masalah   dan   pengalaman   perempuan   maupun   laki-laki
menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan
sosial,   supaya   perempuan   dan   laki-laki   sama-sama   mendapatkan manfaatnya   dan   ketidaksetaraan   tidak   berlanjut.   Tujuan   akhirnya   adalah
kesetaraan   gender”.   Sinta   R.   Dewi,   Gender   Mainstreaming   :   Feminisme, Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13.
Mengacu pada definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan
merupakan   suatu   stratagi   untuk   mencapai   tujuan.   Sedangkan   cakupan pengarusutamaan cukup luas yakni mencakup semua bidang, semua tingkat
dan semua aspek manajemen perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian.
Strategi PUHA merupakan salah satu strategi yang telah dimasukan dalam RPJMN 2004-2009. Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang dilakukan
secara   rasional   dan   sistematis   untuk   mencapai   perlindungan   dan   tumbuh kembang anak melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi   dengan   prinsip   kepentingan   terbaik   bagi   anak.   PUHA   dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dan program.
Strategi PUHA mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan mikro. Tataran makro   adalah   perundangan   dan   kebijakan   strategis.   Perencanaan   dalam
program jangka pendek, menengah dan panjang merupakan tataran meso. Pada   tataran   mikro   mencakup   kegiatan-kegiatan   dan   anggaran   yang
berpihak pada anak.
38
PUHA sebagai strategi untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak   harus   dapat   membuktikan   bahwa   aspek   perlindungan   dan   tumbuh
kembang   anak   benar-benar   tercermin   dan   terpadu   dalam   empat   fungsi utama manajemen program, yaitu :
1. Perencanaan   :   menyusun   pernyataan   atau   tujuan   yang   jelas   bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2. Pelaksanaan   :   memastikan   bahwa   strategi   yang   dijelaskan mempunyai dampak pada anak;
3. Pemantauan   :   mengukur   kemajuan   dalam   pelaksanaan   program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4. Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi sebagai hasil prakarsa tersebut.
B. Komponen Pemenuhan Hak Anak
Pelaksanaan PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak harus   memperhatikan   keterkaitan   tiga   komponen   pemenuhan   hak   anak
yakni 1 kebijakan pembangunan; 2 kegiatan perwujudan hak anak; dan 3 keterlibatan dari para pemangku kepentingan.
1. kebijakan pembangunan
Upaya pengembangan kebijakan dibuat untuk mendorong dan melindungi upaya   pemenuhan   hak   anak.   Kebijakan   publik   seyogyanya   sensitive
terhadap anak, dan mempunyai manfaat positif bagi nasib anak. Misalnya :
-
sudah   adakah   kode   etik code   of   conduct   yang   terkait   dengan
penegakan hak anak di lingkungan bekerja ? -
Berapa besar persentase anggaran yang dialokasikan bagi program untuk   kepentingan   terbaik   bagi   anak,   termasuk   kegiatan   yang
mendorong strategi PUHA itu sendiri ?
2. kegiatan perwujudan hak anak Komponen   pemenuhan   hak   anak   merupakan   wujud   dari   berbagai
kegiatan sebagai upaya untuk menghilangkan kesenjangan
affirmative actions.
Manfaat   bagi   anak   selayaknya   dipastikan   dalam   setiap   program pembangunan  berdasarkan  kepentingan  terbaik  anak  dalam  menikmati
hak mereka.
Besaran masalah anak menjadi kunci bagi setiap proses pembangunan. Dengan demikian peningkatan pemahaman dan perhatian berbagai pihak
terhadap  besaran  masalah   anak  perlu menjadi  perhatian  dalam  proses pembangunan   dengan   cara   mengetengahkan   data   yang   dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Keterlibatan pemangku kepentingan Pemangku   kepentingan   pengambil   keputusan,   baik   eksekutif   dan
legislatief  serta  masyarakat   sipil  harus  memiliki  pemahaman   terhadap hak   anak,   khususnya   yang   berkaitan   dengan   upaya   pemenuhan   dan
perlindungan hak anak.
39
Pemangku kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci dalam   proses   perencanaan   program   pembangunan   secara
berkesinambungan.
Pemangku kepentingan harus memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan
Knowlegde,   attitude,   PracticeKAP   yang   peduli   terhadap
perwujudan   hak   anak.   KAP   yang   wajib   dimiliki   oleh   pemangku kepentingan   adalah   pemahaman   terhadap   hak   anak,   khususnya   yang
berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Upaya   penguatan   kapasitas   pemangku   kepentingan   tidak   hanya   untuk aparat pemerintah, tetapi termasuk juga pengasuh anak
care givers
dan   masyarakat   misalnya   LSM   peduli   anak.   Kelompok   pemerhati   hak anak
Community   Based   OrganizationCBO   perlu   dikembangkan
partisipasi   mereka   untuk   membantu   memastikan   efektivitas   program pembangunan   bagi   pemenuhan   hak   anak,   sekaligus   mendukung
pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi.
Fokus PUHA tentu saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini anak harus didorong untuk berperan aktif dalam memberikan masukan
sepanjang proses penyusunan kebijakan, program, kegiatan dan bahkan penganggaran. Anak hendaknya mendapatkan fasilitasi bagi ketersediaan
akses   dan   informasi   yang   layak   sesuai   dengan   umur  dan   kematangan anak.   Anak   juga   harus   diberikan   keterampilan   untuk   menyalurkan   dan
menyampaikan   ekspresinya,   sedemikian   rupa   sehingga   didengarkan, dihargai, dan dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.
Pemberdayaan dan perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu dilakukan sebagai konsekuensi dari karakteristik anak itu sendiri sebagai
kelompok   yang   rentan,   tidak   berdaya   dan   masih   memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Jika anak harus diberdayakan maka hal
itu   bukanlah   dalam   rangka   untuk   mensejajarkan     status   dan kedudukannya dihadapan orang dewasa, tetapi lebih merupakan upaya
perlindungan terhadap hak-haknya yang sering dilanggar orang dewasa. Apalagi   jika   kelompok   anak   itu   adalah   kelompok   anak   yang   masuk
kategori   memerlukan   perlindungan   khusus   children   in   need   special protectioncnsp, maka perlakuannyapun bersifat khusus.
Pemberdayaan pada kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan menyadari   bahwa   mereka   memiliki   hak-hak   yang   harus   dipenuhi   dan
diperjuangkan, baik oleh mereka sendiri maupun melalui bantuan orang dewasa.   Pemberdayaan   ini   lebih   efektif   jika   ditujukan   pada   kelompok-
kelompok   anak   atau   anak-anak   yang   sudah   terorganisir   dalam   suatu kelompok,   dan   bukan   pemberdayaan   pada   orang   perorang.   Dengan
demikian prasyarat yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi hal   yang   sangat   mendasar.   Oleh   karena   itu   pembentukan   kelompok-
kelompok anak atau organisasi abak harus didorong dan dikembangkan. Organisasi   anak   tersebut,   apapun   namanya,   akan   berfungsi   sebagai
wadah   penyalur   aspirasi   anggota   mereka   maupun   anak-anak   pada umumnya.
C. Tahapan PUHA
40
Proses PUHA selalu diawali dengan analisis situasi anak, dilanjutkan dengan perencanaan   program,     pelaksanaan   dan   pemantauan,   serta   evaluasi
program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak anak.
1. Tahap Analisis Situasi Anak
Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah dan   akar   masalah   dari   setiap   isu   anak   berdasarkan   situasi   terakhir
sehingga   dapat   dikembangkan   berbagai   kebijakan   dan   program   yang menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target
pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Analisis situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Tahapan perencanaan