Pengungsi Anak dan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata

d. Pengungsi Anak dan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata

Sejak tahun 2004, masalah pengungsi anak di Indonesia dalam jumlah besar dan kondisi memperihatinkan sekurang-kurangnya terjadi akibat bencana gempa tektonik dan gelombang tsunami di provinsi Nangroe Aceh Darussalam NAD dan kepulauan Nias provinsi Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa tektonik di Daerah Istimewa Yogyakarta DIY dan beberapa kawasan sekitarnya di Jawa Tengah 27 Mei 2006, dan bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur 29 Mei 2006.  Pengungsi Anak Korban Bencana Tsunami di NAD Pada tahun 2005 terdapat korban bencana gempatsunami di NAD yang tergolong usia anak 0-18 tahun yang masih berstatus sebagai pengungsi. Jumlahnya lebih dari 60.316 anak kelompok usia 0-14 tahun atau 29,59 dari seluruh pengungsi, belum termasuk anak usia 15-18 tahun dalam kelompok umur 15-19 tahun 23.291 anak. Sedangkan menurut database The Family Tracing and Reunificat on Network FTR atau Jaringan Lembaga untuk Penelurusan dan Penyatuan Keluarga terdiri dari Departemen Sosial RI, Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Dinas Sosial Provinsi NAD, UNICEF, ICRC, CardiIRC, LCO, Muhammadyah, Pusaka, dan Child Fund, sampai dengan 15 Mei 2006, bencana tsunami telah mengakibatkan 2831 anak telantar atau terpisah dari orang tua mereka pada Januari 2005 sampai Mei 2006. Sejumlah 700 anak di antaranya kehilangan kedua orang tua mereka, sedangkan 1301 anak tak mengetahui keberadaan orang tua mereka sehingga diduga kuat mereka pun telah menjadi yatim piatu Depsos RI and Save The Children, 2006:ix. Sementara itu, pada Desember 2005 sampai Maret 2006, tim pekerja sosial Depsos RI dengan dukungan Pekerja Sosial Masyarakat dan UNICEF melakukan Rapid Assesment of Children’s Homes in post-Tsunami Aceh, yang menghasilkan data-data kondisi anak korban tsunami yang berada di panti-panti sosial anakpanti asuhan se-provinsi NAD bukan dalam status pengungsi dan tinggal di barak-barak pengungsian atau di rumah-rumah keluarga. Menurut riset tersebut, pada Maret 2006 terdapat 207 panti asuhan aktif yang menampung 16.234 anak, terdiri dari 9.567 anak laki-laki 60 dan 6.667 perempuan 40. Dalam jumlah panti-panti asuhan tersebut terdapat 193 panti asuhan anak telantar atau yatim piatu dan 14 panti sosial anak penyandang cacat Depsos RI and Save The Children, 2006:xi. 22 Sampai dengan Maret 2006, anak-anak yang diasuh di panti- panti asuhan anak telantar se-NAD berjumlah 16.234 anak. Di antara seluruh anak asuh tersebut, 16,3-nya adalah anak-anak korban tsunami 2.589 anak, terdiri dari 1.449 anak laki-laki dan 1.107 perempuan yang telantarterpisah dari keluarganya, serta 21 anak laki-laki dan 12 perempuan yang cacat.  Pengungsi Anak Korban Gempa di DIY dan Jawa Tengah Menurut laporan Depsos RI pada 1 Juni 2006 pukul 07:00 WIB, korban tewas akibat gempa tersebut berjumlah 6.234 orang. Selain itu, 33.231 orang mengalami luka berat, dan 12.917 orang luka ringan. Gempa ini juga merubuhkan 7.057 rumah. Website Pusat Informasi Kegiatan Posko UGM Peduli Bencana. 10 Juni 2006. Sedangkan menurut Bapeda Pemda DIY 17 Juni 2006 pk. 18.00, tercatat 5.760 orang meninggal dan 37.339 orang luka-luka akibat gempa tersebut. Menurut laporan Humas Badan Informasi Dinas Sosial Provinsi DIY hingga Juni 2007, dari seluruh korban gempa tersebut, terdapat 58 anak kehilangan kedua orang tua mereka yatim piatu, 402 anak kehilangan ayah yatim, 216 kehilangan ibu piatu, 1341 anak menderita luka-luka, 84 anak mengalami cacat, dan 436 anak mengalami trauma berat Shakuntala, 2007. Sementara jumlah anak yang tewas akibat gempa tersebut tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan pendataan yang dilakukan Yayasan KAKAK Surakarta, sebagian besar anak yang kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya dititipkan kepada keluarga dekat Ababil, 2006. Sementara kondisi lain yang dialami anak-anak korban gempa tersebut beraneka ragam. Misalnya, sebuah fenomena baru pasca gempa, anak-anak dieksploitasi secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan cara mengemis di jalanan. Selain itu, para pengungsi anak tersebut terancam tindak eksploitasi seksual, sebagai dampai kesulitan ekonomi maupun lemahnya pengamanan dan perhatian keluargamasyarakat terhadap mereka. Ababil, 2006.  Pengungsi Anak Korban Semburan Lumpur Panas Lapindo Pada tanggal 29 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas dari lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur panas tersebut telah merendam pemukiman warga di sekitarnya dalam radius 450 hektar WHO, 2006. Terdapat 2.168 keluarga 8.348 jiwa pengungsi yang ditampung di Pasar Baru Porong, pasar yang belum sempat dioperasikan dan dijadikan lokasi penampungan utama. Terdapat 282 kios dan 51 ruko yang dijadikan rumah tinggal sementara bagi para 23 pengungsi. Lokasi penampungan pengungsi lainnya adalah Balai Desa Renokenongo, Porong, dan rumah-rumah keluarga korban. Hingga 30 Agustus 2006, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 11.000 jiwa Atmanto dan Bahaweres, 2006. Menurut laporan Tim Pelaporan Sosial Lumpur Sidoarjo TPS- LUSI Partai Keadilan Sejahtera PKS Sidoarjo 2007, terdapat 2.605 kepala keluarga KK yang mengungsi sampai 22 November 2006 pada saat terjadinya ledakan pipa gas Pertamina di dekat lokasi semburan lumpur panas. Selanjutnya, jumlah pengungsi yang tinggal di Pasar Baru Porong setelah ledakan pipa gas Pertamina 22 November 2006 adalah 906 KK 3250 orang, dan seluruhnya berasal dari desa Renokenongo PKS Sidoarjo, 2007. Dalam konteks hak anak, semburan lumpur panas tersebut telah merendam 10.426 tempat tinggal dan 33 sekolah. Perincian 33 sekolah yang terendam adalah 6 TK, 3 RA, 11 SDN, 4 MI, 2 SMP, 3 Mts, 1 SMK, 3 MA. Akibatnya, 5397 siswa 2.755 laki-laki dan 2.642 perempuan kehilangan hak bersekolah dan sebanyak 405 guru 177 laki-laki dan 226 perempuan serta 46 karyawan 24 laki-laki dan 22 perempuan menghentikan pelayanan pendidikan kepada mereka PKS Sidoarjo, 2007.  Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata di NAD Dalam konteks anak-anak, Menurut hasil Rapid Assesment of Children’s Homes in post-Tsunami Aceh yang dilakukan tim pekerja sosial Depsos RI dengan dukungan Pekerja Sosial Masyarakat dan UNICEF Maret 2006, tercatat 1.318 anak korban konflik yang telantarcacat dan dititipkan di panti-panti asuhan atau panti anak cacat se-NAD. Menurut data dari Depsos RI and Save The Children, 2006 menunjukkan terdapat, 1.318 anak korban konflik di NAD tersebut terdiri dari 785 anak laki-laki dan 508 perempuan yang telantarterpisah dari keluarga mereka dan dititipkan di panti-panti asuhan anak, serta 6 anak laki-laki dan 19 perempuan yang cacat yang diasuh di panti-panti anak cacat. Menurut laporan yang dikumpulkan oleh Kelompok Kerja Studi Perkotaan KKSP, Yayasan Anak Bangsa YAB, People’s Crisis Centre PCC, Jesuit Refugee Service JRS tahun 2004 dalam Child Soldiers Global Report, 2008, terdapat anak-anak berusia di bawah 18 tahun yang pernah digunakan baik oleh GAM maupun TNI sebagai informan mata-mata atau penjaga, penyedia logistik, bahkan pejuang atau prajurit bersenjata combatant dalam konflik bersenjata di Aceh sejak 1976. Namun, jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti. 24 Di antara 2.000 tahanan politik yang dibebaskan pemerintah RI atas dasar Piagam Kesepahaman MOU dengan GAM 15 Agustus 2005, terdapat 19 anak laki-laki berusia 14-17 tahun. Mereka ditangkap karena diduga anggota GAM. Selain itu, terdapat juga beberapa tahanan perempuan berusia 17-an tahun yang dibebaskan. Mereka tidak digolongkan sebagai anak-anak karena telah menikah Child Soldiers Global Report, 2008.  Anak dalam Situasi Konflik Sosial di Poso Wikipedia 13 Februari 2008 07:15 mencatat kerusuhan tersebut telah menewaskan lebih dari 577 orang. Sedangkan menurut laporan George Junus Aditjondro 2004:1, kerusuhan tersebut telah menewaskan sedikitnya 4.000 orang. Selain itu, menurut laporan Anto Sangaji 2000 sekurang- kurangnya muncul tiga ekses penting yang ditimbulkan oleh kerusuhan Poso, yakni Pertama, terjadinya arus pengungsi dalam jumlah besar, baik dari Kota Poso, maupun dari kecamatan-kecamatan di sekitarnya. Dilaporkan, pengungsi dalam jumlah besar mengalir ke Kota Palu 17.000 jiwa, Tentena 28.000 jiwa, Sulut 4.500 jiwa, dan Sulsel 7.000 jiwa lihat Kompas, 22 Juli 2000. Pengungsi juga mengalir ke Kecamatan Parigi di Kabupaten Donggala 7.000 jiwa, Kecamatan Lore Utara 2.500 jiwa dan Kecamatan Ampana Kota 7.000 jiwa di Kabupaten Poso, dan lain-lain Kedua, kerusuhan Poso telah menimbulkan kerusakan materiil tidak sedikit. Tidak kurang dari 5.000 rumah penduduk terbakar dan ribuan lainnya rusak Kompas 22 Juli 2000. Ketiga, kerusuhan meninggalkan efek psiko-sosial yang kompleks; trauma karena menyaksikan penyiksaan, pembunuhan, dan pelecehan seksual; dendam dan frustasi karena sanak keluarga terbunuh dan rumah terbakar; mengentalnya solidaritas keagamaan yang eksklusif karena kerusuhan sepenuhnya terbaca sebagai perang antar umat ber- agama. Dalam konteks anak-anak, memang tidak diketahui secara pasti berapa jumlah anak berusia 0-18 tahun yang menjadi korban kerusuhan itu, entah meninggal, luka-luka, cacat, kehilangan orang tua atau terpisah dari keluarga, dsb. Tapi yang pasti, kerusuhan itu menyebabkan banyak anak-anak usia sekolah mengungsi ke tempat aman dan terpaksa kehilangan kesempatan untuk meneruskan sekolah atau sekurang- kurangnya terganggu sekolahnya Sangaji, 2000. Data statistik tentang jumlah pengungsi anak usia 0-18 tahun korban konflik dengan kekerasan di Poso tidak tersedia. 25 Bagaimana perubahannya hingga tahun 2008 pun tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, hingga Januari 2007, banyak pengungsi termasuk pengungsi anak korban kerusuhan Poso masih enggan meninggalkan lokasi-lokasi pengungsian dan kembali ke Poso, kampung halaman mereka sebelumnya. Bahkan operasi penegakan hukum oleh tim Mabes Polri, pada 11 dan 22 Januari 2007, yang menewaskan 14 warga sipil dan dua aparat kepolisian, serta menangkap 21 orang dari 29 orang yang sebelumnya dinyatakan sebagai DPO, belum mampu meyakinkan para pengungsi akan situasi Poso yang sudah aman Hamdin, 2007.

e. Kepemilikan Akta Kelahiran