104
4.13. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan hasil analisis konflik lahan di TNGHS yang menunjukkan bahwa konflik tersebut berasal dari ketidaksesuaian kebijakan tata ruang wilayah
Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi dengan kebijakan zonasi TNGHS, pemanfaatan lahan oleh masyarakat, maka konsep pemberdayaan
masyarakat dalam penyelesaian konflik lahan di TNGHS adalah konsep pemberdayaan secara kolaboratif.
Konsep pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif dalam pengelolaan TNGHS dapat dilakukan pada zona-zona
yang memungkinkan kegiatan ekonomi terbatas dapat dilakukan. Pengelolaan kolaboratif diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan
untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme kemitraan partnership yang disetujui secara bersama
Borrini-Feyerabend et al., 2000. Ciri khas kolaborasi adalah proses-proses saling belajar sharing, terutama
berbagi informasi.
Dalam proses
mencapai tujuan
seringkali dilakukan
penyesuaian terus menerus atau adaptif Carlsson and Berkes 2005. Pembentukan pengelolaan kolaboratif dapat dimulai dari proses-proses kooperasi, kemitraan,
dan akhirnya kolaborasi. Untuk mencapai kesetaraan dalam kolaborasi diperlukan waktu yang sangat panjang, dan jika telah tercapai kolaborasi, maka diharapkan
tercapai tata kelola mandiri self governance. Proses kolaborasi dengan masyarakat di TNGHS menjadi alternatif
penyelesaian konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat di kawasan TNGHS dengan tujuan bagaimana pola kehidupan masyarakat akan selaras dengan fungsi
TNGHS sebagai kawasan konservasi. Pola kolaborasi akan efektif apabila penyelesaian konflik kebijakan tata ruang antara Kementerian Kehutanan dengan
tiga kabupaten dapat diselesaikan melalui padu serasi secara baik. Oleh karenanya kegiatan kolaborasi sebelum dicapainya padu serasi tata ruang tersebut hanya
mungkin dapat dilakukan oleh pengelola TNGHS dengan masyarakat, adapun pemerintah kabupaten karena terkendala dengan aturan penganggaran tidak bisa
terlibat secara langsung.
105 Pemberdayaan masyarakat dengan sistem kolaborasi dalam pengelolaan
kawasan konservasi dilakukan dengan tujuan untuk: 1 Meningkatnya akses dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi; 2 Meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan pembangunan
daerah; 3 Meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat;
4 Terjaminnya kelestarian kawasan hutan dan kawasan konservasi. Sementara sasaran pemberdayaan masyarakat yang notabene sebagian
besar bermatapencaharian sebagai petani dan khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGHS adalah sebagai berikut:
1 Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan;
2 Tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas yang
baik; 3 Meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif
collective action untuk mencapai tujuan-tujuan individu; 4 Adanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri
berbasis sumberdaya lokal resource-based, memiliki pasar yang jelas market-based, dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan
kapasitas sumberdaya environmental-based, dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal local society-based, dan dengan
menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian scientific-based;
5 Terciptanya hubungan transportasi dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungan ekonomi;
Adapun indikator keberhasilan kegiatan kolaborasi di kawasan konservasi adalah :
1 Apresiasi stakeholders terhadap peraturan perundang-undangan atau aturan- aturan konservasi alam;
2 Pemahaman yang sama terhadap visi dan misi pengelolaan;
106 3 Meningkatnya efisiensi dan efektivitas pengelolaan kawasan;
4 Hilangnyamenurunnya konflikpengelolaan kawasan; 5 Terpeliharanyameningkatnya fungsi kawasan.
Kegiatan kolaborasi yang mungkin dilakukan di TNGHS adalah: 1 Pengembangan potensi sumberdaya hutan berupa hasil hutan non kayu,
sumber genetik dan penunjang budidaya lainnya sepanjang tidak menganggu fungsinya sebagai hutan konservasi;
2 Pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam TNGHS. Pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi merupakan
keharusan yang menjadi tanggung jawab pengelola hutan itu sendiri yaitu TNGHS, dengan menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan, untuk mencapai
kondisi yang diharapkan yaitu peningkatan status sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan konservasi itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat berarti
meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Dalam kerangka pembangunan kehutanan, upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilihat dari sisi: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Kedua, meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan
kelembagaan di daerah. Ketiga, melindungimemihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan saling
menguntungkan. Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat. Keyakinan ini perlu diperkuat dan dimasyarakatkan lewat usaha-usaha nyata.
Salah satu program aksi implementasi pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi adalah pengembangan kapasitas masyarakat terhadap
kegiatan ekowisata jasa lingkungan. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata membutuhkan komitmen dari berbagai pihak demi
tercapainya tujuan. Para pihak yang terlibat di sini berasal dari kalangan LSM lokal dan nasional, pemerintah, akademisi dan institusi internasional. Masing-
masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu
107 dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Peran-peran
tersebut saling menguatkan satu sama lain. Proses ini adalah proses yang berkelanjutan dan tidak dapat terjadi secara instan. Para pihak yang terlibat harus
memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat, dan tidak hanya setengah-setengah. Ekowisata merupakan salah satu bentuk perluasan dari pariwisata alternatif
yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, lebih mementingkan
keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata Fennel, 1999 dalam Nugraheni, 2002. Ekowisata menekankan pentingnya konservasi ekologi tanpa
meninggalkan kepentingan sosial ekonomi masyarakat lokal. Selain itu ekowisata dikembangkan berdasarkan pada pengetahuan lokal, ekowisata mampu
menyediakan pendapatan untuk masyarakat lokal, dan mendorong komunitas untuk lebih menghargai kehidupan liar di sekelilingnya, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi konservasi. Ekowisata adalah sebuah kesempatan untuk melindungi ekosistem dan
keragaman biologi yang mungkin akan hilang. Ekowisata juga membuka jalan bagi pemasukan dana untuk usaha-usaha penelitian. Pemasukan dana yang didapat
dari atraksi-atraksi ekowisata dapat diteruskan ke program-program yang menggali lebih dalam pengetahuan tentang ekologi area tersebut, mendukung
usaha pengawinan spesies asli, rehabilitasi atau penghutanan kembali, memonitor dampak kedatangan pengunjung untuk memastikan bahwa kunjungan-kunjungan
tersebut tidak merusak lingkunganConservation International dalam Linsday, 2003.
Prinsip-prinsip partisipasi masyarakat lokal, menuju arah pemberdayaan komunitas adalah
http:www.lppm.itb.ac.idorganisasi.html?menu_parent=5 2004 :
1.
Menciptakan suasana atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi komunitas dengan mendorong, memotivasi, menyadarkan akan potensi yang
dimilikinya untuk berkembang.
2.
Memberdayakan komunitas dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan berbagi informasi, serta peluang pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
108
3.
Memelihara keberlanjutan suasana iklim interaksi timbal balik yang beretika antar elemen komunitas.
Prinsip-prinsip partisipasi tersebut adalah jiwa dalam setiap proses pemberdayaan masyarakat, termasuk dalam pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan ekowisata. Pemberdayaan dapat dilakukan dalam berbagai bidang, pengembangan ekowisata merupakan salah satu bidang yang dapat
dikembangkan sebagai jalan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini beberapa kondisi lokalitas yang menjadi dasar sebelum ekowisata dipilih
sebagai jalan untuk memberdayakan masyarakat WWF International, 2001:
1.
Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman.
2.
Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan dari wisata diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal.
3.
Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada di dalam komunitas lokal.
4.
Keamanan pengunjung terjamin.
5.
Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah ke pelayanan medis dan persediaan air bersih.
6.
Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah tersebut. Sedangkan syarat-syarat awal yang harus terdapat di tempat tersebut untuk
pengembangan ekowisata adalah:
1.
Lanskap atau flora fauna yang dianggap menarik bagi para spesialis atau bagi pengunjung yang lebih umum.
2.
Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah pengunjung tertentu tanpa menimbulkan kerusakan.
3.
Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi, serta memiliki ketertarikan untuk menerima
kedatangan pengunjung.
4.
Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif.
5.
Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.
109
6.
Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk ekowisata, dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut.
Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata.
Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki.
Strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat ditentukan sesuai dengan faktor pendukung, penghambat dan kapasitas
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pelibatan mereka secara aktif dalam berbagai elemen pelayanan pengunjung. Pelayanan pengunjung
yang dimaksud di sini bukan hanya dilihat dari segi kepentingan pengunjung saja tetapi juga dilihat dari kepentingan penduduk. Jika kebutuhan penduduk dan
kebutuhan pengunjung dapat dipertemukan sehingga pengelolaan elemen ini memberikan keuntungan dua belah pihak secara seimbang, maka pengembangan
ekowisata yang berpihak kepada masyarakat dimungkinkan. Pendampingan dari para pihak dibutuhkan masyarakat sehingga mereka
mampu untuk mengelola elemen-elemen ekowisata tersebut. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pengunjung, tetapi juga dalam rangka memberikan akses
kepada masyarakat terhadap manfaat yang mungkin mereka dapat dalam pengembangan ekowisata. Pengelolaan elemen-elemen ekowisata oleh masyarakat
memungkinkan masyarakat
untuk mengembangkan
potensi sekaligus
mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Dalam rangka efektifitas pelaksanaan program, perencanaan konsep
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus memperhatikan tipologi hutan, tipologi sosial dan tipologi otoritas sehingga dapat ditentukan
prioritas strategi yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penetapan prioritas strategi dimaksudkan agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat lebih terfokus
dan tepat sasaran, namun bukan berarti mengabaikan strategi yang lain. Strategi kelola kawasan, strategi kelola usaha, dan strategi kelola kelembagaan harus dapat
dirumuskan secara terpadu dan menyeluruh di dalam perencanaan program pemberdayaan
masyarakat dengan
memperhatikan karakteristik
lokal Nurrochmat, 2005.
110 Konsep pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dapat
diimplementasikan dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan dengan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Disamping itu kegiatan pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan, yang di dalam kawasan tersebut terdapat kegiatan bisnis non-kehutanan, dapat pula diimplementasikan dalam pola-pola
kemitraan di bawah “payung” Corporate Sosial Responsibility CSR dan Community Development.
Perumusan konsep pemberdayaan masyarakat diangkat dari isu konflik lahan yang teridentifikasi di beberapa kawasan menurut kesesuaian ruang wilayah
RTRW Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak dengan wilayah kelola TNGHS, yaitu: 1 Kabupaten Bogor Kawasan Lindung, Perkebunan dan Tanaman
Tahunan, 2 Kabupaten Sukabumi Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas, serta lainnya permukiman, enclave, dan lain-lain, 3 Kabupaten Lebak
Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Tambang. Konsep pemberdayaan masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk
pola kemitraan dalam rangka meminimalisir terjadinya konflik lahan seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, selengkapnya disajikan pada Tabel 29.
111
Tabel 29. Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Berpotensi Konflik yang diusulkan di TNGHS
No. Kabupaten
Penggunaan Lahan Menurut Jenis Pemanfaatan
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan
RTRW Zonasi TNGHS
1
Bogor Hutan Lindung
- Zona Rimba - Zona Rehabilitasi
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat dan jamur;
2. Kemitraan dalam meningkatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi SDH berbasis komunitas;
3. Kemitraan pengembangan wisata alam. Pemanfaatan Jasa Lingkungan
1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati;
3. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.. Kelembagaan
1. Pengelolaan Hutan Secara Kolaboratif 2. Menyediakan ruang kelola dan memberikan kemudahan akses
kepada masyarakat dalam pemanfaatan SDH.
Perkebunan dan Tanaman
Tahunan Zona Rimba
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan bibit tanaman kehutanan;
2. Kemitraan penyerapan dan atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan Jasa Lingkungan
1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Kemitraan pengembangan wisata alam;
3. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 4. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan.
Kelembagaan 1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan; 2. Menciptakan kondisi terbentuknya kelembagaan usaha produktif
masyarakat; 3. Membangun dan memperkuat jejaring kelembagaan masyarakat.
112
No. Kabupaten
Penggunaan Lahan Menurut Jenis Pemanfaatan
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan
RTRW Zonasi TNGHS
2 Sukabumi
Hutan Lindung - Zona Rimba
- Zona Rehabilitasi
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat dan jamur;
2. Kemitraan dalam meningkatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi SDH berbasis komunitas;
3. Kemitraan pengembangan wisata alam rehabilitasi lahan kritis di dalam hutan lindung;
Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Program kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati; 3. Program kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan.
Kelembagaan 1. Pembinaan Kelompok Masyarakat Desa Hutan ;
2. Pendidikan dan pelatihan; 3. Membentuk dan menguatkan “sentra-sentra” pendidikan dan
pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM; 4. Model lain yang tidak menyalahi ketentuan.
Hutan Produksi Terbatas
- Zona Rimba - Zona Rehabilitasi
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat;
2. Kemitraan kegiatan penangkaran satwa; 3. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman hias;
4. Kemitraan pengembangan budidaya jamur; 5. Kemitraan penyerapan dan atau penyimpanan karbon.
Pemanfaatan Jasa Lingkungan 1. Pemanfaatan jasa aliran air;
2. Kemitraan pengembangan wisata alam ekowisata; 3. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati;
4. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan.
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
Lainnya pemukiman,
lahan kering basah, dan lain-
lain - Zona Rehabilitasi
- Zona Khusus Hutan Desa HKm Kemitraan
1. Wisata Kampung Desa atau kampung wisata hutan; 2. Usaha desa untuk penyaluran air dan MCK;
3. Kemitraan dengan perusahaan air minum PAM dan perusahaan air dalam kemasan;
4. Kemitraan pengusahaan ekowisata.
113
No. Kabupaten
Penggunaan Lahan Menurut Jenis Pemanfaatan
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara Kolaboratif yang Diusulkan
RTRW Zonasi TNGHS
- Zona Rimba - Zona Rehabilitaasi
- Zona Khusus - Enclave
Pemanfaatan Kawasan 1. Kemitraan pengembangan budidaya tanaman obat;
2. Kemitraan kegiatan penangkaran satwa. Pemanfaatan Jasa Lingkungan
1. Pemanfaatan jasa aliran air; 2. Kemitraan perlindungan keanekaragaman hayati;
3. Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan; 4. Kemitraan penyerapan dan atau penyimpanan karbon.
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Kemitraan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Kawasan Tambang
Perlindungan eks tambang Kemitraan penyelamatan dan perlindungan lingkungan sekitar areal
kegiatan pertambangan. Kelembagaan
1. Pembinaan Kelompok Masyarakat Desa sekitar kawasan tambang; 2. Pendidikan dan pelatihan konservasi dan pertambangan;
114
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS merupakan kawasan hutan konservasi di Provinsi Jawa Barat dan Banten yang memiliki peranan
penting dalam mendukung kehidupan masyarakat dan ekosistem di sekitarnya. Salah satu masalah penting dalam Pengelolaan TNGHS adalah konflik lahan yang
berkaitan dengan kebijakan tata ruang tiga kabupaten di sekitarnya Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor.
Kondisi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar TNGHS umumnya tergolong masyarakat yang marjinal secara ekonomi. Dengan tingkat pendidikan
dan pendapatan rendah, serta sempitnya lahan pertanian yang digarap menyebabkan ketergantungan untuk memperluas lahan di dalam TNGHS cukup
tinggi. Namun di sisi lain, unsur-unsur kelembagaan masyarakat terhadap keberadaan TNGHS cukup baik, sehingga dapat dijadikan modal penting dalam
membangun kelembagaan yang mendukung kelestarian TNGHS. Hal ini ditunjukkan oleh dipahaminya kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan di
dalam kawasan TNGHS oleh masyarakat serta banyaknya anggota masyarakat yang sudah terlibat aktif dalam kegiatan rehabilitasi lahan di dalam TNGHS.
Masyarakat umumnya tidak resisten terhadap ketersediaan teknologi dan masyarakat adaptif terhadap teknologi selama bentuk teknologi tersebut
disesuaikan dengan kondisi latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, dan ekosistem setempat. Peran pemerintah dalam monitoring kelembagaan sudah ada,
namun dalam hal kewenangan kelembagaan ditangani di tingkat desa secara sungguh-sungguh sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil analisis konflik lahan di TNGHS yang menunjukkan
bahwa konflik tersebut berasal dari ketidaksesuaian kebijakan tata ruang wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi dengan kebijakan
zonasi TNGHS serta pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang telah lama tinggal sebelum kawasan Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai taman nasional,