Taman Nasional dan Konflik Pemanfaatan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taman Nasional dan Konflik Pemanfaatan Lahan

Taman nasional TN merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam KPA selain taman wisata alam TWA dan taman hutan raya TAHURA. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan 2011, bahwa sampai tahun 2011, jumlah taman nasional di Indonesia mencapai 50 buah, yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penyebaran Taman Nasional di Indonesia Lokasi Taman Nasional Nama Taman Nasional Pulau Sumatera 1. Gunung Leuser Cagar Biosfir dan World Heritage Sites 2. Siberut Cagar Biosfir 3. Kerinci Seblat World Heritage Sites 4. Bukit Tigapuluh 5. Bukit Duabelas 6. Berbak Ramsar Sites 7. Sembilang 8. Bukit Barisan Selatan World Heritage Sites 9. Way Kambas 10. Batang Gadis 11. Tesso Nilo Pulau Jawa 1. Ujung Kulon World Heritage Sites 2. Kepulauan Seribu 3. Gunung Halimun Salak 4. Gunung Gede Pangrango 5. Karimunjawa 6. Bromo Tengger Semeru 7. Meru Betiri 8. Baluran 9. Alas Purwo 10. Gunung Merapi 11. Gunung Merbabu 12. Gunung Ciremai Bali dan Nusa Tenggara 1. Bali Barat 2. Gunung Rinjani 3. Komodo Cagar Biosfir dan World Heritage Sites 4. Manupeu Tanah Daru 5. Laiwangi Wanggameti Lokasi Taman Nasional Nama Taman Nasional Bali dan Nusa Tenggara 6. Kelimutu Pulau Kalimantan 1. Gunung Palung 2. Danau Sentarum Ramsar Sites 3. Betung Kerihun 4. Bukit Baka-Bukit Raya 5. Tanjung Puting Cagar Biosfir 6. Kutai 7. Kayan Mentarang 8. Sebangau Pulau Sulawesi 1. Bunaken 2. Bogani Nani Wartabone 3. Lore Lindu Cagar Biosfir 4. Taka Bonerate 5. Rawa Aopa Watumohai 6. Wakatobi 7. Kepulauan Togean 8. Bantimurung-Bulusaraung Maluku dan Papua 1. Manusela 2. Aketajawe-Lolobata 3. Teluk Cendrawasih 4. Lorentz World Heritage Sites 5. Wasur Pembentukan taman nasional pada awalnya dimulai dengan tujuan sebagai penyangga kawasan produktif sehingga keseimbangan ekologis dalam suatu wilayah regional tetap terjaga Abbas, 2005. MacKinnon et.al 1992 menyebutkan beberapa prinsip dasar yang sering digunakan dalam menetapkan suatu kawasan sebagai taman nasional adalah a karakteristik atau keunikan ekosistem, b memiliki keanekaragaman spesies atau spesies khusus yang bernilai, c memiliki lanskap dengan ciri geofisik atau estetik yang bernilai; d berfungsi untuk melindungi hidroorologis; e memiliki sarana untuk kegiatan wisata atau rekreasi alam, f memiliki tempat peninggalan sejarah budaya yang tinggi. Widada 2004 menyebutkan bahwa taman nasional secara umum memiliki peranaan sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, wahana pendidikan lingkungan, mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa, wahana kegiatan wisata alam, sumber plasma nutfah dan perlindungan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa, serta pelestarian ekosistem hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan sumber air bagi masyarakat di sekitar kawasan. Hartono 2008 menyebutkan kegiatan operasional pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut: 1 Perlindungan sistem penyangga kehidupan Kegiatan ini merupakan semua upaya yang ditujukan agar semua proses- proses alami pada kawasan tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya, dengan mengeliminir sampai tingkat seminimal mungkin aktivitas manusia yang dapat menimbulkan dampak, meliputi : a Pemberantasan penebangan liar dan perambahan kawasan; b Pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan; c Pencegahan kegiatan perburuan; d Pencegahan berbagai aktivitas lain yang menimbulkan kerusakan; e Pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 2 Mempertahankan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya Kegiatan ini meliputi semua upaya yang ditujukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada kawasan yang bersangkutan. Kegiatan ini meliputi kegiatan : a Identifikasi dan inventarisasi flora dan fauna di dalam kawasan secara menyeluruh; b Identifkasi key features kawasan; c Monitoring dinamika key features kawasan; d Monitoring dan evaluasi dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; e Melakukan tindakan konservasi yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya over populasi key features flora dan fauna rehabilitasi, pembinaan habitat, pembinaan populasi, pembangunan koridor, dan lain-lain. 3 Pemanfaatan secara lestari Kegiatan ini meliputi semua upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan potensi kawasan dan ekosistemnya dengan dampak yang terukur dan terkendali. Kegiatan pokok ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a Identifikasi, pemanfaatan, dan pengaturan wisata alam secara berkelanjutan; b Identifikasi, budidaya, dan pemanfaatan plasma nutfah; c Identifikasi dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada zona-zona tertentu; d Identifikasi, pemanfaatan, dan pengaturan jasa lingkungan; e Media pendidikan, penelitian, bina cinta alam, dan pembinaan generasi muda. Lebih lanjut Hartono 2008 menyebutkan bahwa selain tiga tugas pokok tersebut, masing-masing pengelola taman nasional juga wajib melaksanakan tugas-tugas lain yang merupakan prasyarat prerequisite agar tiga tugas pokok tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Kegiatan yang bersifat prerequisite tersebut adalah sebagai berikut : 1 Kegiatan pemantapan kelembagaan Kegiatan ini meliputi semua kegiatan yang perlu dilakukan guna memperkuat kapasitas lembaga pengelola taman nasional sehingga mampu melaksanakan tugas pokok yang dibebankan yang meliputi : a Penyusunan pedoman dan petunjuk pelaksanaan kegiatan konservasi; b Pengaturan kesiapan, penempatan, dan pendayagunaan sumberdaya manusia; c Sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundangan; d Penyuluhan masyarakat; e Pembangunanpengadaan, pemeliharaan sarana dan prasarana pengelolaan, termasuk infrastruktur wisata alam, pendidikan, dan penelitian; f Pengaturan dan administrasi keuangan. 2 Kegiatan pengelolaan kawasan Kegiatan ini meliputi seluruh upaya yang dimaksudkan untuk memantapkan prakondisi pengelolaan di lapangan sehingga memungkinkan pengelola dapat melakukan tugas pokok secara sistematis dan berkesinambungan yang meliputi : a Penataan dan pemeliharaan batas kawasan; b Penetapan dan penataan batas zonasi; c Penyusunan rencana-rencana pengelolaan kawasan; d Monitoring dan evaluasi pengelolaan zonasi; e Pemasangan dan pemeliharaan rambu dan tanda-tanda. Pengelolaan taman nasional menurut pemerintah berdasarkan Peraturan menteri Kehutanan No. P56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Naional, bahwa zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari : 1. Zona inti; 2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan 3. Zona pemanfaatan; 4. Zona lain, antara lain: a. Zona tradisional; b. Zona rehabilitasi; c. Zona religi, budaya dan sejarah; d. Zona khusus. Peruntukan masing-masing zona meliputi : 1. Zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. 2. Zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. 3. Zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan penunjang budidaya. 4. Zona tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. 5. Zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. 6. Zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai- nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. 7. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjukjditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik. Taman nasional memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung. Kelompok yang menerima manfaat langsung dari keberadaan taman nasional adalah petani, nelayan, pelancong, dan sebagainya. Adapun kelompok yang mengambil manfaat dari keberadaan taman nasional umumnya berupa manfaat- manfaat pilihan option benefits di masa mendatang Effendi, 1998. Lebih lanjut Effendi 1998 menyebutkan bahwa nilai ekonomi taman nasional sangat bergantung pada preferensi, kebudayaan dan nilai etika yang sangat bervariasi tergantung dari distribusi pendapatan dan aset yang ada di masyarakat. Misalnya, masyarakat kaya akan bersedia membayar lebih besar daripada masyarakat miskin untuk kelestarian suatu taman nasional. Kegiatan pembangunan pun banyak memperoleh manfaat dari taman nasional berupa manfaat ekologis, diantaranya udara yang bersih, penyerapan karbon, pengendalian cuaca, dan sebagainya. Taman nasional mengandung manfaat yang tak ternilai manfaatnya melalui multiplier effects efek ganda yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi. Suatu studi penilaian ekonomi yang dapat menunjukkan peranan “induced benefit” manfaat pendorong serta efek penggandanya perlu dilakukan, sehingga dapat dijadikan alat kebijakan yang dapat menunjukkan kepada para pengambil keputusan bahwa pengelolaan taman nasional bukan merupakan cost-center, tapi lebih merupakan komponen penting dalam meningkatkan kinerja pembangunan ekonomi secara luas Effendi, 1998. Widada 2004 menyebutkan bahwa nilai manfaat ekonomi Taman Nasional Gunung Halimun TNGH berdasarkan analisis nilai ekonomi total NET mencapai Rp 439,75 milyar per tahun, terdiri dari nilai penyerap karbon Rp 429,77 milyar 97,73, nilai ekowisata Rp 1.27 milyar 0,29, nilai air domestik dan pertanian Rp 6,64 rnilyar 1 ,5, nilai pelestarian Rp 0,67 rnilyar 0,15, nilai pilihan Rp 0,76 milyar 0,17, dan nilai keberadaan sebesar Rp 0,64 milyar 0,15. Apabila nilai penyerap karbon tidak diperhitungkan, maka NET TNGH sebesar Rp 9,57 milyar, dengan nilai ekonomi air domestik dan pertanian menunjukkan proporsi yang tertinggi 66,58, kemudian nilai ekowisata 12,70, nilai pilihan 7,63, nilai pelestarian 6,70, dan nilai keberadaan 6,40. Nilai manfaat dari taman nasional tersebut tentunya tidak akan memberikan hasil yang optimal dan berkelanjutan apabila di dalam pengelolaannya masih terdapat permasalahan, terutama terkait konflik akibat interaksi kawasan taman nasional dengan masyarakat. Wulan et.al. 2004 menyebutkan bahwa salah satu faktor yang sering memicu konflik di sektor kehutanan berkaitan dengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional. Sebagai contoh konflik di kawasan konservasi di daerah Riung, Nusa Tenggara Timur disebabkan karena penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung, sehingga membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan laut. Adanya konflik tersebut menimbulkan malapetaka bagi pihak yang terlibat atau pihak lain yang tidak terlibat langsung. Individu-individu tertentu mendapat ancaman dan sumberdaya alam menjadi rusak, bahkan menelan korban fisik dan kematian Wulan et.al. 2004. Wulan et.al 2004 menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di Taman Nasional Kutai diakibatkan oleh adanya perambahan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pembatasan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan sejak ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional memicu konflik karena masyarakat merasa sudah lama tinggal di dalam kawasan tersebut sebelum kawasan tersebut menjadi taman nasional, sehingga pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya dianggap tidak melanggar dari sudut pandang masyarakat. Masyarakat merasa bahwa lahan yang dibuka untuk kegiatan pertanian dan hasil hutan lainnya berasal dari wilayah adat atau wilayah pengelolaannya. Perbedaan persepsi inilah yang sering menimbulkan konflik Yuliana et.al., 2004. Kawasan TNGHS merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Konflik pemanfaatan lahan seperti halnya di Taman Nasional Kutai terjadi juga di TNGHS. Gamma 2006 menyebutkan bahwa pada tahun 2003, Pemerintah Menteri Kehutanan RI menerbitkan SK No. 1752003 tentang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun dari luas 40.000 ha menjadi 113.359 ha, yang kemudian dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kebijakan ini telah mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat Kasepuhan dengan Pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanah-tanah tersebut merupakan Kawasan Hutan Negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak masyarakat adat mengaku, bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910. Gamma 2006 menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran dokumen Berita Acara Tata Batas BATB, terdapat 18 kelompok hutan di Lebak yang ditunjuk dan ditata batas pada masa kolonial Hindia Belanda. Dari 18 kelompok hutan tersebut, tiga diantaranya yaitu kelompok Hutan Sanggabuana Selatan, Sanggabuana Utara dan Bongkok menjadi landasan hukum bagi penunjukan TNGHS. Dari hasil penelusuran dokumen tersebut, terbukti bahwa hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah ditata batas dan dikukuhkan, sehingga nampaknya pemerintah memiliki kekuatan hukum atas hutan-hutan tersebut. Di lain pihak, berdasarkan catatan statistik di Residen Banten tahun 1934 Staat der op 31 December 1934 in de Residentie Bantam Aanwezige Boschreserve, dua kelompok hutan, yaitu Sanggabuana Selatan dan Bongkok, bersengketa dengan tanah-tanah huma garapan masyarakat. Catatan statistik ini diselesaikan sebelum tahun 1924 menunjukkan bahwa walaupun hutan-hutan tersebut telah ditata batas dan dikukuhkan, proses penataan batas tidak berhasil menyelesaikan hak-hak masyarakat atas tanah garapannya. Sengketa tanah ini berasal dari pengakuan tanah-tanah huma sebagai hak sewa oleh Residen Banten tahun 1912, sesuai dengan ketentuan Gouverment Besluit van 8 November 1919 No.8. Pada tahun 1924, tanah-tanah huma tersebut diakui keberadaannya melalui Besluit van den Resident van Bantam van 12 September 1924 No 104537, Residen bersikukuh bahwa huma-huma garapan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. Di lain pihak, Dinas Kehutanan Dienst van het Boschewzen tidak mengakui bentuk-bentuk pengakuan Residen Banten dan memasukkan tanah- tanah tersebut ke dalam Kawasan Hutan Negara dengan alasan bahwa proses penataan batas dan pemetaan kawasan hutan telah diselesaikan sebelum tahun 1924. Dinas Kehutanan menilai bahwa bentuk pengakuan dari Residen Banten atas tanah-tanah huma garapan masyarakat sebagai cacat hukum. Upaya Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menengahi konflik tersebut sampai akhir penjajahan Belanda tahun 1942 tidak membuahkan penyelesaian hukum atas sengketa tanah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan konflik lahan di TNGHS disebabkan oleh ketidakpastian hukum atas penyelesaian sengketa tanah-tanah huma garapan masyarakat sejak jaman kolonial Hindia Belanda yang berlanjut sampai saat ini. Gamma 2006 menyarankan perlunya penyelesaian konflik lahan agar pengelolaan TNGHS tidak terganggu dengan tanpa mengabaikan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahannya yang saat ini menjadi bagian dari kawasan TNGHS. Penolakan terhadap perluasan TNGHS masih berlangsung. DPR 2011 menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Lebak menolak perluasan TNGHS yang awalnya seluas 40 ribu hektar menjadi 113 ribu ribu hektar karena dianggap akan meningkatkan angka kemiskinan masyarakat Kabupaten Lebak. Akibat rencana tersebut, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencaharian, tempat tinggal ataupun kehilangan berbagai sarana dan prasarana untuk kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya yang sebelumnya sudah ada. Di areal yang masuk dalam rencana perluasan lahan saat ini terdapat sekitar 176 unit lembaga pendidikan, 312 unit sarana keagamaan, 21 unit sarana kesehatan dan 44 unit sarana pemerintahan yang berada di 1.180,50 ha kawasan permukiman, serta kawasan pertanian berupa kebun, ladang, dan sawah, sekitar 11.015,50 ha. Pemerintah Kabupaten Lebak sangat mengkhawatirkan dengan adanya perluasan TNGHS karena kegiatan perekomian masyarakat sekitar TNGHS yang masih memprihatinkan makin terpuruk. Kondisi masyarakat sekitar TNGHS sebagaimana riset Widada 2004 menunjukkan bahwa pada umumnya 90,34 adalah petani dan kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan, yaitu: 93,18 hanya berpendidikan SD ke bawah, dan pendapatan per kapita rata-rata sebesar Rp 93.210 per bulan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memprihatinkan tersebut menyebabkan sebagian dari mereka masih melakukan aktivitas yang sifatnya negatif contohnya: pencurian kayu, perambahan hutan, dan penambangan emas tanpa ijin, sehingga hal tersebut akan mengancam kelestarian TNGHS. Konflik antara masyarakat dengan TNGHS sebagaimana diuraikan sebelumnya bermuara pada permasalahan konflik pemanfaatan lahan dan relatif masih rendahnya tingkat perekonomian masyarakat sekitar TNGHS. Oleh karena itu kajian tentang permasalahan tata ruang terkait dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat merupakan masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini. Oleh karena itu konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikaji sebagai prasarat penyelesaian konflik lahan di kawasan TNGHS dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi di kawasan tersebut dapat berjalan dengan baik dan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS dapat terjamin dengan baik.

2.2. Pemberdayaan Masyarakat