Strategi Bertahan Eksternal Strategi Bertahan Jemaat Ahmadiyah Pondok Udik Kemang

61 “Hubungan kami dengan masyarakat baik. Tidak ada masalah dengan masyarakat setempat, masyarakat di sini menerima kami dengan baik. Terutama dengan pemuda di sini. Pemuda-pemuda Ahmadi sering berkomunikasi dengan pemuda di sini. Mereka sering bertanding sepakbola, voli, dan sebagainya ” Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin, 17Februari 2014 Hal senada juga disampaikan oleh Yosep selaku Ketua RT setempat ketika penulis menanyakan seputar kegiatan bersama yang dilakukan oleh warga dengan anggota Ahmadiyah: “Kalau kegiatan yang formal sih tidak pernah, tapi kalau kegiatan yang non-formal seperti kerjabakti, bermain sepak bola, bermain volly, dan sebagainya cukup sering. Ya, saya sih berharap mereka bisa lebih dekat dengan warga, lebih sering berkomunikasi dengan kita, biar nggak ada rasa curiga atau apa satu sama lain.”Wawancara pribadi dengan Yosep, 28 Januari 2014 Hubungan tersebut membuktikan bahwa Jemaat Ahmadiyah mulai membuka diri terhadap lingkungan sekitar. Keterbukaan yang mulai diperlihatkan Jemaat Ahmadiyah tersebut penting untuk menghindari adanya kecurigaan yang diekspresikan oleh masyarakat sekitar. c. Aktivisme bersama organisasi lain Di samping menciptakan hubungan yang baik dengan warga setempat, Jemaat Ahmadiyah juga berusaha membangun kedekatan dengan organisasi lainnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad Amin bahwa: “Ahmadiyah terbuka dengan siapa saja, baik itu dengan pemerintah, dengan kelompok mainstream, maupun dengan kelompok minoritas. Kami sering berkomunikasi dengan kelompok-kelompok minoritas lainnya seperti Syi‟ah”Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin, 17Februari 2014 Seperti halnya Ahmad Amin, hal senada juga disampaikan olehYaqub yang mengungkapkan bahwa: “Jemaat Ahmadiyah melalui Badan Lajnah Immaillah secara kontinu turut ambil bagian dalam berbagai kegiatan sosial 62 kemasyarakatan, terutama dalam memberikan bantuan pengobatan, dan lain-lainkepada para korban bencana alam di berbagai daerah di Indonesia bekerja sama dengan lembaga dan kelompok masyarakat lainnya yang non-Ahmadiyah seperti Fatayat NU. ” Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014 Demikian pula Lilis, pengurus Lajnah Imaillah yang mengungkapkan bahwa: “Kita sering mengadakan kegiatan bersama dengan organisasiwanita, baik organisasi formal parlemen maupun LSM.Jadi mereka sudah tahu kalau Lajnah Imaillah dari Ahmadiyah.Kami sangat terbuka kalau diajak kerja sama. Memang ada juga organisasi lain yang takut atau mereka menghindar dari kita itu ada juga, karena merasa kita berbeda dari mereka. Wawancara pribadi dengan Lilis, 28 Januari 2014 Relasi dengan kelompok lain tersebut memainkan peranan penting untuk semakin meneguhkan sikap keterbukaan serta menghilangkan kesan eksklusif yang melekat pada Ahmadiyah. Karena sikap itulah yang menjadi salah satu penyebab kehebohan serta mengundang resistensi dari masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa meski Ahmadiyah telah mencoba untuk membuka diri, namun masih ada organisasi yang anti terhadap mereka. d. Membangun relasi yang baik dengan pemerintah Strategi bertahan eksternal berikutnya adalah dengan membangun kedekatan dengan penguasa atau stakeholder setempat.Ahmadiyah sendiri memiliki doktrin untuk mentaati pemerintah di manapun mereka berada. Di daerah manapun, Ahmadiyah selalu melakukan pendekatan, dan menghindari konflik serta perselisihan dengan pemerintah yang ada. Menurut Yaqub; “Doktrin tersebut didasarkan pada friman Allah: 63 Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,taatlah kepada Allah swt., dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan, jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah swt.dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah swt. dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya An- Nisa :59” Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014 Ayat itulah yang menjadi dasar kesetiaan Ahmadiyah terhadap Pemerintah. Yaqub menambahkan: “Kata „taat‟ yang terletak sebelum kata-kata „Allah swt‟ dan „Rasul‟ telah ditiadakan sebelum perkataan orang-orang yang memegang kekuasaan agar menunjukkan bahwa ketaatan sepenuh-penuhnya kepada penguasa yang diangkat menurut undang-undang, berarti pula taat kepada Allah swt. dan Rasul- Nya.” Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014 Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Amin ketika peneliti menanyakan terkait hubungan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik dengan stakeholder setempat: “Hubungan Jemaat Ahmadiyah dengan para pemimpin baik. Jemaat Ahmadiyah harus taat dan setia pada pemerintah dan negara di manapun mereka berada, sebagaimana ayat “wa uli al-amri minkum” yang artinya: dan taatlah kepada pemerintah. Bahkan Khalifah juga memerintahkan untuk demikian.”Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin, 17 Februari 2014 Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik sendiri, mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Pemerintah setempat, dalam hal ini dengan pihak Kelurahan Pondok Udik. Mengutip wawancara dengan M. Sutisna, Kepala Desa Pondok Udik: “Mereka Jemaat Ahmadiyah sudah cukup lama di sini Pondok Udik.Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak ada masalah, semua baik-baik saja. Tidak ada yang merasa dirugikan oleh keberadaannya.Mereka Ahmadiyah ikut berpartisipasi dalam acara-acara bersama seperti agustusa-an, kita juga sering mengajuka n bantuan dana kepada mereka Ahmadiyah.” Wawancara pribadi dengan Sutisna, 28 Januari 2014 64 Berdasarkan penuturan di atas, tergambar hubungan antara pemerintah dengan Jemaat Ahmadiyah. Hal itu terwujud dalam sikap dari pihak kelurahan yang tidak segan umtuk mengajukan bantuan kepada pihak Ahmadiyah. Relasi ini merupakan upaya yang strategis. Setidaknya, dengan membangun kedekatan dengan Pemerintah setempat, dalam hal ini dengan pihak Kelurahan dapat menciptakan rasa aman bagi pihak Ahmadiyah. Karena Pemerintah mampu memberikan keuntungan seperti perlindungan politik dari ancaman eksternal yang datang dari kelompok yang menolak kehadiran Jemaat Ahmadiyah. e. Legalitas Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan politik. Di dalam mengembangkan dakwah keagamaannya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri. Ketika Republik Indonesia mulai berdiri dan tatanan pemerintahan serta undang-undang negara Republik Indonesia telah tertata dan terbangun, Jemaat Ahmadiyah pun segera menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada di negara Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1952, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan surat kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu surat permohonan pengesahan AD dan ART Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai Badan 65 Hukum. Dan pada tanggal 13 Maret 1953 Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No.JA.52313 menetapkan, bahwa Perkumpulan atau Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai sebuah badan hukum. Surat keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26 Sidik, 2008: 21. Pengakuan Badan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu lebih dipertegas lagi oleh pernyataan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 0628Ket1978 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan Stasblaad 1870 N0. 64 Sidik, 2008: 21. Selanjutnya, kelengkapan Organisasi Jemaat Ahmadiyah juga diakui telah memenuhi persyaratan ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sehingga keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku oleh Direktorat Jendral Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dengan Surat Nomor 363.ADPM50593 Sidik, 2008: 22. Demikian juga dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1986 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1986 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara, Pemberitahuan Kepada Pemerintah, serta Papan Nama dan Lambang Organisasi Kemasyarakatan, 66 Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui keberadaannya oleh Departemen Dalam Negei Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dengan Nomor inventarisasi di DEPAGRI dengan sifat kekhususan Kesamaan Agama Islam tanggal 5 Juni 2003 dengan Nomor 75D.IVI2003 Sidik, 2008: 22. Keputusan tersebut merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi Jemaat Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai organisasi yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan yang sah lainnya. Jemaat Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus mentaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia. Sementara itu, pengesahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI sebagai lembaga yang memiliki badan hukum oleh Pemerintah pada tahun 1953 tersebut nampaknya berkaitan dengan upaya pendekatan tokoh-tokoh Ahmadiyah dengan pihak Pemerintah. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pada masa-masa antara tahun 1946- 1955, pengaruh Soekarno sangat besar di Indonesia, sehinggga ada kemungkinan terbitnya SK Menteri Kehakiman yang ditujukan untuk Ahmadiyah berkaitan dengan kedekatan tersebut Suvenir, 1994: 73. Sementara kehadiran Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik sendiri juga tidak lepas dari peran Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bogor. Pada saat itu yang menjadi Bupati Bogor ialah Letkol TNI AD Ayip Rughby, yang kebetulan memiliki 67 hubungan yang baik dengan salah satu anggota Ahmadiyah, yakni Letkol TNI AD Abdul MuktiQoyum, 2010: 4. Kemungkinan besar terbitnya izin untuk pembangunan Pusdik Jemaat Ahmadiyah ini berkaitan dengan hubungan tersebut.

B. Analisis

Keberadaan JAI telah diakui secara legal oleh negara dengan pengesahan organisasi ini sebagai badan hukum melalui SK Menteri Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No.JA 52313 dan Tambahan Berita Negara RI No.26 Tanggal 31 Maret 1953, terdaftar di Departemen Agama RI, Departemen Sosial, serta Departemen Dalam Negeri. Terbitnya fatwa-fatwa dari MUI serta berbagai peraturan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang telah mengerdilkan Ahmadiyah, yakni dengan membatasi hak-hak penganutnya untuk menjalankan keyakinan mereka yang dijamin oleh Undang-undang Dasar. Beragam respon lahir dalam menyikapi fatwa tersebut. Tidak sedikit yang menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras sehingga mengakibatkan Jemaat Ahmadiyah menjadi korban kekerasan. Sebagai badan hukum resmi, seharusnya Jemaat Ahmadiyah mendapatkan hak-hak yang sama dengan lembaga lain yang juga berbadan hukum, namun fatwa-fatwa dari MUI serta berbagai peraturan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah jelas telah mengerdilkan dan memasung hak-hak Ahmadiyah dan warganya. Meski demikian bukan berarti tidak ada celah bagi mereka untuk „bersuara’. Walaupun secara kuantitas memang tidak begitu banyak, namun mereka tidak diam dan mencoba untuk memperkecil atau menolak sama sekali klaim-klaim yang diajukan kelompok dominan anti-Ahmadiyah serta mengajukan klaim-klaim mereka sendiri 68 dalam menghadapi kelompok dominan. Dengan kata lain Jemaat Ahmadiyah melakukan resistensi perlawanan terhadap kelompok tersebut. Tetapi yang penting untuk diketahui adalah resistensi yang ditunjukkan oleh Jemaat Ahmadiyah bukan merupakan resistensi yang dipahami secara umum, bukan resistensi seperti demonstrasi anarkis ataupun yang melibatkan kontak fisik. Untuk mengurai bagaimana respon Jemat Ahmadiyah Indonesia JAI dalam menghadapi berbagai tekanan, peneliti menggunakan pandangan James Scott, yang membagi resistensi menjadi 3 bentuk, yakni; resistensi tertutup, resistensi semi-terbuka, dan resistensi terbuka. 1. Resistensi Tertutup Mengacu pada pembahasan Scott, resistensi tertutup adalah perlawanan yang dilakukan secara tersembunyi, samar dan halus. Resistensi jenis ini sulit untuk dikenali secara langsung sebagai tindakan resistensi oleh pihak ketiga. Karena samar dan halusnya teknik penentangan jenis ini, maka terkadang pihak ketiga baik itu target maupun pengamat seperti peneliti seringkali salah melihatnya sebagai suatu teknik bertahan semata. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Bogor ini, peneliti menemukan beberapa bentuk resistensi tertutup, yakni; a. Penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan Pada tahun 1980, MUI mengeluarkan fatwa yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah adalah organisasi di luar Islam dan sesat.Keputusan tersebut menimbulkan beragam respon dari masyarakat, bahkan sebagian mengarah ke tindakan anarkis.Tidak heran jika Jemaat Ahmadiyah menolak kategori-kategori yang 69 dipaksakan MUI tersebut, atau dengan kata lain Jemaat Ahmadiyah menolak dianggap sesat. Mereka mengeklaim bagian dari Islam dan sama dengan umat Islam pada umumnya. Sikap initerlihat saat wawancara, berikut petikan wawancara peneliti dengan salah satu informan: “Secara umum Ahmadiyah tidak ada perbedaanya dengan umat Islam pada umumnya karena Ahmadiyah merupakan bagian dari islam dan yang mengikuti ajaran islam. ” Selain menolak untuk dianggap sesat, Jemaat Ahmadiyah juga membantah stigma eksklusif yang selama ini disematkan ke Ahmadiyah, seperti apa yang disampaikan salah satu informan kepada peneliti yang menyatakan: “Kami sangat terbuka kalau diajak kerja sama. Memang ada jugaoranganisasi lain yang takut atau mereka menghindar dari kita itu ada juga, karena merasa. kita berbeda dari mereka. Tapi secara umum di tingkat pemerintahan, LSM kita bekerja sama dengan oranganisasi lain. Jadi yang disebut eksklusif itu kita bingung, dimana eksklusinya gitu, orang dengan berbagai organisasi kita bekerja sama. Kalau dikatakan mereka tidak mau mengundang, itu iya, karena mngkin mereka sudah alergi ”. Meski bentuk-bentuk resistensi tersebut tidak berpretensi mengubah sistem dominasi, namunpenolakan terhadapkategori- kategori yang dipaksakan MUI tersebut perlu untuk mengurangi pengaruh buruk dari pelabelan-pelabelan yang dapat mengancam keberlangsungan eksistensi mereka. b. Membicarakan keburukan pihak lain di area domestik Scott dalam teorinya menyatakan bahwa kelompok lemah cenderung menggunakan cara yang samar dalam melakukan pertentangan, misalnya dengan membicarakan keburukan pihak lain