Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)

(1)

PENENTUAN JUMLAH DAN LOKASI HALTE MONOREL DENGAN

MODEL SET COVERING PROBLEM

(STUDI KASUS : RENCANA PEMBANGUNAN MONOREL MEDAN-

KORIDOR I)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

SANDY PRAWIRA

090404172

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya panjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena hanya dengan berkat dan karunia - Nya saya dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini.

Adapun Tugas Akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Judul Tugas Akhir ini adalah : Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)”.

Dalam penulisan Tugas Akhir ini, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Medis S. Surbakti, ST, MT, sebagai pembimbing dalam penulisan Tugas Akhir ini.

2. Bapak Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc, sebagai kordinator Tugas Akhir Sub Jurusan Transportasi dan juga untuk Bapak Ir. Indra Jaya Pandia, MT.

3. Bapak Prof. Dr. Ing Johannes Tarigan sebagai Ketua Jurusan Sipil Fakultas Teknik USU.

4. Bapak Ir. Syahrizal, MT, sebagai Sekretaris Jurusan Sipil Fakultas Teknik USU.

5. Bapak, Ibu Dosen dan seluruh staf dan pengawai Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

6. Terkhusus rekan seperjuanganku, SUPARTA SIHITE yang sangat banyak membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.


(3)

7. Teman-teman seperjuanganku : Wahyu ”Pal” Tarigan, Niko ”Beis” Hutabarat, Hans ”Rag” Panjaitan, Partogi ”Og” Simbolon, Le Bram, Edwin ”Chaim”, Odoy, Apis,

Tambak, Dewik, Kiut, Jupin dan seluruh rekan – rekan saya mahasiswa Angkatan 2009.

8. Kepada adik-adik stambuk 2012 yang juga sangat membantu dalam terselesaikannya Tugas Akhir ini.

9. Sahabat yang mengerti pribadi saya, Anggi Kristi Hutasoit terima kasih atas kasih sayang, cinta, perhatian, dan semangat yang diberikan kepada saya.

10.Sahabat – sahabatku yang mendukung dari jauh : Asri, Samuel, Yogi, Christian, dan Robby terima kasih buat semangat dan dukungannya.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya kepada Orang tua saya, Bapak SAHAT SINAGA dan TIALUN LINA SIRAIT yang telah banyak memberikan kasih sayang, cinta, semangat, doa, dan pengorbanan juga materil serta kesabaran selama ini menunggu sampai akhirnya sekarang saya dapat menyelesaikan studi penelitian tugas akhir ini. Dan kepada kakak saya, dr. HARIDA PANDUWITA SINAGA dan lae EBEN TORSA SIHOMBING, terima kasih untuk doa dan dukungannya.

Saya menyadari banyak kekurangan pada tulisan ini dan masih jauh dari kesempurnaan. Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini. Akhir kata, saya berharap kiranya tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan juga bagi para pembacanya.

Medan, Mei 2015 Penulis,

SANDY PRAWIRA 09 0404 172


(4)

ABSTRAK

Pemerintah Kota Medan berencana untuk menggunakan monorel sebagai salah satu moda transportasi yang diharapkan dapat meningkatkan daya tarik angkutan massal sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi sebagai usaha untuk mengurangi tingkat kemacetan, kesemrawutan dan kecelakaan lalu lintas. Untuk pengoperasian monorel diperlukan adanya fasilitas penunjang, salah satunya adalah halte. Penentuan lokasi dan jumlah halte memiliki peran yang penting dalam penggunaan moda monorel. Pembangunan halte yang tidak baik akan mengakibatkan bertambahnya permasalahan transportasi, sebab banyak masyarakat yang seharusnya menjadi target pengguna menjadi malas untuk menggunakan moda ini karena adanya kesulitan disaat akan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Dalam penelitian ini, penentuan lokasi dan jumlah halte di sepanjang rute I monorel dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi bangkitan yang mempunyai tingkat permintaan relatif tinggi dan kandidat lokasi halte. Lokasi halte terpilih ditentukan dengan menggunakan Model Set Covering Problem. Hasil perhitungan menyimpulkan bahwa terdapat 21 lokasi halte terpilih di sepanjang rute. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis penentuan lokasi halte ketika pemerintah memiliki keterbatasan anggaran pembangunan halte.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Batasan Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Metodologi ... 6

1.7 Asumsi Penelitian... 7

1.8 Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rencana Pembangunan Monoorel di Kota Medan ... 9

2.1.1 Monorel ... 9

2.1.2 Rute Monorel ... 11

2.2 Sistem Transportasi ... 12

2.3 Sarana dan Prasarana Transportasi ... 14

2.3.1 Prasarana Transportasi ... 14


(6)

2.4 Analisa Permintaan Transportasi ... 16

2.5 Bangkitan Perjalanan/Pergerakana ... 21

2.6 Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum(TPKPU) .. 25

2.6.1 Pengertian ... 25

2.6.2 Tujuan ... 25

2.6.3 Pengertian Halte ... 25

2.7 Jenis Halte Jalur Khusus ... 26

2.8 Fasilitas Halte ... 26

2.9 Kriteria Penentuan Lokasi Halte ... 27

2.10 Pemilihan Lokasi Halte... 28

2.11 Penentuan Jarak antara Halte dan/ atau TPB... 30

2.12 Facility Location 2.12.1 Klasifikasi Pemodelan Lokasi ... 31

2.12.2 Discrete Moddel ... 32

2.13 Pemrograman Bilangan Bulat ... 36

2.13.1 Penyelesaian Bilangan Bulat ... 37

2.13.2 Teknik Branch and Bound ... 38

2.14 Uji Cochran Q-Test ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 42

3.2 Tujuan Penelitian ... 42

3.3. Tinjauan Pustaka ... 42

3.4 Menentukan Kriteria Lokasi Halte ... 43


(7)

3.5.2 Rute BRT dan Rute Jumlah Angkutan Umum ...45

di Kota Medan 3.5.3 Data Lainnya ... 45

3.6 Penyusunan Kuesioner ... 46

3.7 Penyebaran Kuesioner ... 51

3.8 Menentukan Lokasi Survey ... 52

3.9 Menetapkan Titik Permintaan ... 54

3.10 Pengambilan Data Jumlah Penumpang pada... 48

setiap Lokasi Permintaan 3.11 Menetapkan Titik Kandidat Halte yang memenuhi kriteria ... 49

3.12 Pengukuran Jarak antara kandidat halte ... 50

dengan permintaan yang terpenuhi 3.13 Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte dengan ... 50

Model Set Covering Problem 3.14 Analisa dan Interpretasi Hasil ... 51

3.14.1 Analisis Asumsi Beban Penumpang yang ... 52

terlayani di setiap Halte selama seminggu 3.14.2 Analisis asumsi ... 52

3.14.3 Analisis jarak antar halte terpilih untuk dibangun... 52

3.14.4 Analisis Sensitivitas ... 52

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data ... 54

4.1.1 Data Lokasi Bangkitan Terbesar ... 58

4.1.2 Data Rute BRT dan Angkutan umum di Medan ... 58


(8)

4.2. Penyusunan Kuesioner ... 58

4.3 Penyebaran Kuesioner ... 67

4.4 Menetapkan Titik Permintaan ... 68

4.5 Pengambilan data Jumlah penumpang pada ... 95

setiap titik lokasi permintaan 4.6 Menetapkan titik kandidat halte yang memenuhi kriteria ... 96

4.7 Pengukuran jarak antara kandidat halte dengan ... 106

permintaan yang terpenuhi 4.8 Penentuan jumlah dan lokasi halte dengan ...107

Model Set Covering Problem 4.9 Analisis beban penumpang yang terlayani di setiap Halte ... 112

setiap minggu 4.10 Analisis Sensitivitas ...114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 125

5.2 Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ...127


(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi pergerakan orang di perkotaan berdasarkan maksud pergerakan

... 18

Tabel 2.2 Jarak Halte dan TPB ... 30

Tabel 4.1 Data Kantor Hasil Observasi ... 55

Tabel 4.2 Data Instansi Pendidikan Hasil Observasi ... 56

Tabel 4.3 Data Pusat Perbelanjaan dan Pasar Tradisional Hasil Observasi .... 57

Tabel 4.4 Data Objek Wisata Hasil Observasi ... 57

Tabel 4.5 Lokasi Pergantian Moda dengan Angkutan Umum ... 60

Tabel 4.6 Pembagian Ruas Penelitian ... 61

Tabel 4.7 Sumber Bangkitan Tiap Ruas ... 61

Tabel 4.8 Lokasi Bangkitan Sumber Pergerakan ... 65

Tabel 4.9 Hasil Kuesioner ... 68

Tabel 4.10 Data Hasil Kuesioner Ruas 1 ... 70

Tabel 4.11 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 1 ... 70

Tabel 4.12 Data Hasil Kuesioner Ruas 2 ... 72

Tabel 4.13 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 2 ... 73

Tabel 4.14 Data Hasil Kuesioner Ruas 3 ... 75

Tabel 4.15 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 3 ... 76

Tabel 4.16 Data Hasil Kuesioner Ruas 4 ... 77


(10)

Tabel 4.18 Data Hasil Kuesioner Ruas 5 ... 80

Tabel 4.19 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 5 ... 81

Tabel 4.20 Data Hasil Kuesioner Ruas 6 ... 83

Tabel 4.21 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 6 ... 83

Tabel 4.22 Data Hasil Kuesioner Ruas 7 ... 85

Tabel 4.23 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 7 ... 86

Tabel 4.24 Data Hasil Kuesioner Ruas 8 ... 88

Tabel 4.25 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 8 ... 88

Tabel 4.26 Data Hasil Kuesioner Ruas 9 ... 90

Tabel 4.27 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test Ruas 9 ... 91

Tabel 4.28 Data Hasil Pengujian Cochran-Q Test untuk setiap ruas ... 93

Tabel 4.29 Lokasi Permintaan ... 94

Tabel 4.30 Data Survey Jumlah Penumpang ... 95

Tabel 4.31 Lokasi Halte yang memenuhi kriteria ... 105

Tabel 4.32 Jarak antara kandidat Halte dengan Permintaan yang terpenuhi .. 103

Tabel 4.33 Lokasi Halte Monorel yang terpilih untuk dibangun ... 104

Tabel 4.34 Lokasi Halte Monorel yang terpilih untuk dibangun dan jumlah penumpang yang terlayani ... 106

Tabel 4.35 Jarak antar Halte yang terpilih untuk dibangun ... 107

Tabel 4.36 Halte yang terpilih untuk dibangun ketika p = 5 ... 118

Tabel 4.37 Halte yang terpilih untuk dibangun ketika p = 10 ... 120


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 2.1 Ilustrasi Monorel Tipe Straddle-beam ... 9

Gambar 2.2 Ilustrasi Monorel Tipe Suspended ... 10

Gambar 2.3 Bangkitan dan Tarikan ... 22

Gambar 2.4 Diagram Bangkitan dan Tarikan Pergerakan ... 24

Gambar 2.5 Klasifikasi Model Lokasi ... 31

Gambar 2.6 Uraian(breakdown) Model Lokasi Discrete ... 32

Gambar 3.1 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian ... 41

Gambar 3.2 Peta Lokasi Survey ... 49

Gambar 3.4 Bagan Survey Pemilihan Moda di Kota Medan ... 50

Gambar 4.1 Lintasan Rute BRT di Kota Medan ... 59

Gambar 4.2 Peta Lokasi Halte yang Terpilih untuk dibangun ketika p = 5 .... 119

Gambar 4.3 Peta Lokasi Halte yang Terpilih untuk dibangun ketika p = 10 .. 120

Gambar 4.4 Peta Lokasi Halte yang Terpilih untuk dibangun ketika p = 15 .. 122


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

Lampiran 1 Formulir Isian Survei (Kuesioner Survei)

Lampiran 2 REKAPITULASI DATA SURVEY LOKASI TITIK PERMINTAAN Lampiran 3 REKAPITULASI DATA SURVEY NAIK TURUNPENUMPANG Lampiran 4 FOTO DOKUMENTASI SURVEY


(13)

ABSTRAK

Pemerintah Kota Medan berencana untuk menggunakan monorel sebagai salah satu moda transportasi yang diharapkan dapat meningkatkan daya tarik angkutan massal sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi sebagai usaha untuk mengurangi tingkat kemacetan, kesemrawutan dan kecelakaan lalu lintas. Untuk pengoperasian monorel diperlukan adanya fasilitas penunjang, salah satunya adalah halte. Penentuan lokasi dan jumlah halte memiliki peran yang penting dalam penggunaan moda monorel. Pembangunan halte yang tidak baik akan mengakibatkan bertambahnya permasalahan transportasi, sebab banyak masyarakat yang seharusnya menjadi target pengguna menjadi malas untuk menggunakan moda ini karena adanya kesulitan disaat akan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Dalam penelitian ini, penentuan lokasi dan jumlah halte di sepanjang rute I monorel dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi bangkitan yang mempunyai tingkat permintaan relatif tinggi dan kandidat lokasi halte. Lokasi halte terpilih ditentukan dengan menggunakan Model Set Covering Problem. Hasil perhitungan menyimpulkan bahwa terdapat 21 lokasi halte terpilih di sepanjang rute. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis penentuan lokasi halte ketika pemerintah memiliki keterbatasan anggaran pembangunan halte.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam usaha pemenuhan kebutuhannya sehari hari manusia akan melakukan sebuah perjalanan/pergerakan dari tata guna lahan yang satu ke tata guna lahan yang lain. Dalam pergerakannya, manusia akan menggunakan sarana dan prasarana transportasi. Seiring meningkatnya pertumbuhan manusia serta peningkatan aktivitas, kebutuhan akan sarana dan prasarana transportasi pun semakin meningkat.

Akan tetapi, kenyataannya angkutan umum semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Badan Pusat Statistik Kota Medan (2012) mencatat Kota Medan berpenduduk lebih dari 2.122.804 juta jiwa. Data Samsat Kota Medan pada tahun 2013, jumlah kendaraan penumpang sebesar 408.877 unit, 99% diantaranya merupakan kendaraan pribadi, dan 1580 angkutan umum, sepeda motor : 4.523.956 unit, atau setara dengan 1.130.989 SMP (emp = 0.25), dan jumlah becak bermotor (tahun 2010) sebesar 26.960 unit atau setara dengan 32.352 SMP (emp = 1.2).

Menurut Tamin, O.Z., 1985, kota yang berpenduduk lebih dari 1-2 juta jiwa pasti mempunyai permasalahan transportasi. Permasalahan dasar transportasi di kota Medan adalah permintaan lalu lintas yang melebihi penyediaan ruang jalan yang mengakibatkan kepadatan dan kemacetan lalulintas terutama di jalan-jalan utama dan jalan-jalan protokol. Pemerintah Kota Medan berencana untuk menggunakan monorel sebagai salah satu Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM). Monorel adalah sebuah metro atau kendaraan lainnya dengan jalur yang terdiri dari rel tunggal, berlainan dengan rel tradisional yang memiliki dua rel dan dengan sendirinya, pada monorel kereta lebih lebar daripada relnya.


(15)

 Rute 1 (Loop) : Jalan Balai Kota–Jalan Guru Patimpus–Jalan Gatot Subroto–Jalan Gagak Hitam–Jalan Ngumban Surbakti –Jalan AH Nasution –Jalan Sisingamangaraja– Jalan Mesjid Raya –Jalan Katamso–Pemuda–Jalan Ayani –Jalan Balai Kota.

 Rute 2 (Komuter) : Jalan Gatot Subroto (Lotte Mart)–Jalan Asrama–Jalan Cemara– Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim–SP. Menteng.

 Rute 3 (Komuter) : Jalan Pinang Baris–TB Simatupang–Jalan Gatot Subroto–Jalan Asrama–Jalan Cemara-Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim– SP. Menteng–Jalan Menteng–Sungai–Terminal Amplas.

 Rute 4 (Komuter) : Jalan Jamin Ginting (Laucih/Stasiun bis)–Setia Budi–Dr Mansur– JaminGinting–Patimura/S.Parman–Sudirman–Pangeran Diponegoro– Pengadilan-Raden Saleh–BalaiKota (Lapangan Merdeka). Moh.Yamin–Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol.

 Rute 5 (Komuter) : Jalan Jendral AH Nasution (Depan jalan karya wisata)–menyusuri sungai ke Carefour–Jamin Ginting– Patimura/SP arman–Sudirman–Pangeran Diponogoro–Pengadilan Raden Saleh– BalaiKota (Lapangan Merdeka).Moh.Yamin– Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol .

Monorel adalah sistem transportasi berbasis rel tunggal dinilai sesuai untuk diterapkan di Kota Medan di masa yang akan datang dan diharapkan dapat menyediakan kecepatan, kenyamanan, dan keamanan bagi para pengguna moda transportasi.

Untuk pengoperasian monorel diperlukan adanya fasilitas penunjang salah satunya adalah halte yang berfungsi sebagai akses bagi penumpang untuk naik dan turun dari moda monorel tersebut.

Halte monorel harus dapat menampung jumlah antrian penumpang yang akan menggunakan Monorel. Luasan halte tergantung dari jumlah penumpang dan armada monorel yang digunakan nantinya, serta dilengkapi dengan berbagai macam


(16)

fasilitas-fasilitas pendukung agar pengguna monorel nantinya terlindung dari terik sinar matahari dan air hujan serta dapat merasa nyaman, aman dan dapat memberikan kemudahan untuk penumpang yang akan menggunakan moda transportasi monorel tersebut.

Pembangunan halte yang tidak baik akan mengakibatkan bertambahnya permasalahan transportasi, sebab banyak masyarakat yang seharusnya menjadi target pengguna menjadi malas untuk menggunakan moda ini karena adanya kesulitas disaat akan memanfaatkan fasilitas yang ada. Penyebab utama penumpang yang tidak menggunakan halte sebagai tempat naik/turun dari angkutan umum adalah jarak yang harus ditempuh menuju ke halte terlalu jauh. Hampir menyerupai bis kota, penumpang monorel kelak dalam pemilihan lokasi perhentian dominan dilakukan di sekitar persimpangan dan di sembarang tempat yang tidak dilengkapi rambu atau fasilitas tempat henti seperti di depan pertokoan,perkantoran dan sekolah/kampus karena alasan jarak yang lebih dekat dengan tujuan, keamanan dan secara fisik tidak melelahkan. Oleh karena itu, alokasi halte ke titik permintaan(sumber bangkitan) diusahakan seoptimal mungkin.

Hal tersebut di atas menunjukkan pentingnya aksesibilitas (kemudahan untuk mendapatkan) monorel. Dengan penentuan rute dan lokasi stasiun yang tepat maka akan menunjang tingkat aksesibilitas pelayanan monorel. Demi menekan biaya pembangunan yang semakin besar, lokasi halte menjadi suatu elemen yang penting dalam pengerjaan moda monorel ini, karena bisa mengakibatkan pembangunan halte yang terlalu banyak. Untuk penentuan lokasi halte dipilih model set covering problem dan max covering problem. Model Set covering problem bertujuan untuk memberikan akses yang layak ke stasiun terdekat kepada semua penumpang dengan jumlah halte minimum (pertimbangan aksesibilitas). Sedangkan max covering problem bertujuan untuk menentukan lokasi stasiun yang akan dibangun ketika terdapat batasan jumlah dalam mendirikan halte


(17)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana menentukan jumlah dan lokasi halte koridor I monorel di Kota Medan sehingga dapat memberikan akses yang layak ke halte terdekat kepada semua penumpang dengan jumlah halte yang minimum tetapi dapat memenuhi semua titik permintaan di sepanjang rute (coverage area).

1.3Batasan Masalah

Agar penelitian ini dapat terarah dan untuk menjaga perluasan topik yang melebar, maka diperlukan pembatasan masalah.

Adapun batasan masalah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Rute yang ada adalah hasil rancangan pemerintah. Penelitian ini hanya menentukan lokasi stasiun pada rute yang telah ditentukan oleh Pemerintah.

2. Tidak mempertimbangkan dampak yang dihasilkan dengan beroperasinya monorel. 3. Titik permintaan merupakan titik lokasi dimana penumpang naik dan turun angkutan

umum (bus kota dan angkutan kota), tidak memperhatikan lokasi asal dan tujuan penumpang.

4. Penelitian ini tidak mempertimbangkan faktor biaya 5. Survey dilaksanakan pada hari normal.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jumlah dan lokasi halte koridor I monorel di Kota Medan sehingga dapat memberikan akses yang layak ke halte terdekat kepada semua penumpang dengan jumlah halte yang minimum tetapi dapat memenuhi semua titik permintaan di sepanjang rute (coverage area).\


(18)

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai pertimbangan Pemerintah Kota Medan dalam menentukan lokasi halte monorel di kota Medan sehingga tidak mengganggu trayek angkutan umum ( angkot & BRT) yang sudah ada.

1.6Metodologi

Adapun metode penelitian yang dilakukan dalam penyelesaian tugas akhir ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk mendukung jalannya penelitian mulai dari awal hingga penyusunan laporan, selain itu juga untuk mendapatkan dasar teori yang kuat yang berkaitan dengan penelitian ini sehingga dapat menjadi acuan dalam melaksanakan analisis dan pembahasan. Studi literatur meliputi pengumpulan data-data dan informasi dari buku, serta jurnal-jurnal yang mempunyai relevansi dengan bahasan dalam tugas akhir ini, serta masukan dari dosen pembimbing.

2. Studi Lapangan o Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang mendukung penelitian dan memberikan gambaran umum tentang hal-hal yang mencakup penelitian. Pengumpulan data sekunder didapatkan melalui instansi-instansi yang terkait dalam permasalahan ini, yaitu Dinas Perhubungan Kota Medan seperti data rute Bus Rapid Transit (BRT) dan trayek angkutan umum dari DLLAJR Kota


(19)

terbesar sepanjang rute : tempat kerja; sekolah; universitas; pusat perbelanjaan; tempat wisata; tempat olahraga; tempat tinggal; rumah sakit dan tempat ibadah.

o Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara menyebarkan kuisoner kepada responden yakni, kernet/sopir bus kota dan angkutan umum yang mempunyai trayek melewati titik-titik sumber bangkitan dan pergantian moda.

3. Analisa Data

Melakukan analisa dan pengolahan data menggunakan software Lingo 8.0 yang kemudian digunakan untuk penentuan lokasi dan jumlah halte menggunakan model Set Covering Problem

4. Kesimpulan dan saran. 1.7Asumsi Penelitian

Asumsi penelitian diperlukan untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan yang diteliti. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Kebijakan tentang penentuan rute tidak berubah. 2. Kondisi tata guna lahan di sekitar rute tidak berubah.

3. Sebaran jumlah penumpang di masing-masing titik permintaan tidak berubah di masa yang akan datang.

4. Tidak ada batasan kapasitas penumpang untuk tiap halte. 1.8Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara garis besar isi setiap bab yang akan dibahas pada tugas akhir ini adalah sebagai berikut :


(20)

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematikan penulisan tugas akhir ini. Dengan membaca bab ini, diharapkan pembaca mengetahui konsep penelitian ini yang dilakukan.

BAB II. STUDI PUSTAKA

Bab ini berisi uraian tentang penjabaran landasan teori dan standar yang digunakan. Bab ini berisikan tentang uraian teori, landasan konseptual dan informasi yang diambil dari literatur yang ada meliputi konsep transportasi, sistem angkutan massal Monorail, sistem dan karakteristik halte.

BAB III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian-uraian tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian mulai dari identifikasi masalah sampai dengan penarikan kesimpulan. BAB IV. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Bab ini berisi tentang uraian data-data penelitian yang dibutuhkan, penentuan kriteria – kriteria pemilihan, penentuan model penyelesaian optimasi berdasarkan karakteristik sistem dan pengolahan data-data yang telah diperoleh. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan- kesimpulan yang diperoleh dari seluruh proses kegiatan tugas akhir ini, serta saran untuk pengembangan penelitian kedepannya.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rencana Pembangunan Monorel di Kota Medan

2.1.1. Monorel

Monorail atau Monorel yang memiliki arti satu rel adalah sebuah metro atau rel dengan jalur yang terdiri dari rel tunggal. Sementara kereta biasa atau konvensional memiliki dua rel paralel. Rel kereta monorel sendiri terbuat dari beton dan untuk roda keretanya terbuat dari karet, sehingga suara kereta api monorel tidak akan sebising kereta api konvensional. Tidak hanya itu, dalam monorel biasanya jalur keretanya ditempatkan di atas tiang-tiang, jadi monorel tidak akan memakan atau mempersempit jalur jalanan lainnya (Parekh, 2013). Menurut jenisnya, monorel terdapat dua tipe (Parekh, 2013) :

1. Suspended type

Tipe suspended adalah tipe monorel dimana kereta bergantung dan melaju di bawah rel. Dalam tipe jenis ini, keretanya menggantung karena jalur relnya berada diatas atau dengan kata lain lebih mirip dengan kereta gantung.

Gambar 2.1 Ilustrasi monorel tipe straddle-beam


(22)

Tipe straddle-beam ini adalah tipe monorel dimana kereta berjalan diatas rel. Tipe straddle-beam ini memiliki konsep yang sama dengan kereta biasa, dimana kereta berjalan diatas jalur rel.

Gambar 2.2 Ilustrasi monorel tipe suspended

Monorel yang merupakan moda angkutan umum yang pertama sekali dibuat pada tahun 1820 oleh Ivan Emanov, sampai saat ini telah dioperasikan di 20 negara, dan yang telah melayani 40 kota besar di dunia. Monorel sebagai suatu sistem juga memiliki kelebihan dan kekurangan (Adiputra dan Ardiansah, 2012).

Kelebihan dari sistem monorel adalah:

1. Membutuhkan ruang yang kecil baik ruang vertikal maupun horizontal. Lebar yang diperlukan adalah selebar kereta dan karena dibuat di atas jalan hanya membutuhkan ruang untuk tiang penyangga.

2. Terlihat lebih “ringan” daripada kereta konvensional dengan rel terelevasi dan hanya menutup sebagian kecil langit.

3. Tidak bising karena menggunakan roda karet yang berjalan di beton. 4. Bisa menanjak, menurun, dan berbelok lebih cepat dibanding kereta biasa.


(23)

5. Lebih aman karena dengan kereta memegang rel, resiko terguling jauh lebih kecil. Resiko menabrak pejalan kaki pun sangat minim.

6. Lebih murah untuk dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. Sedangkan kekurangan dari sistem monorel adalah:

1. Dibanding dengan kereta bawah tanah, monorel terasa lebih memakan tempat. 2. Dalam keadaan darurat, penumpang tidak bisa langsung dievakuasi karena

tidak ada jalan keluar kecuali di stasiun. 3. Kapasitasnya masih dipertanyakan.

4. Biaya dan energi yang cukup tinggi (untuk monorel yang menggunakan ban karet) dan dan pergantian yang lebih lambat jika dibandingkan dengan sistem rel biasa.

2.1.2. Rute Monorel

Adapun Feasibility Study rute monorel Kota Medan dibagi 5, yaitu :

1. Rute I (Loop) : Jalan Balai Kota–Jalan Guru Patimpus–Jalan Gatot Subroto–Jalan Gagak Hitam–Jalan Ngumban Surbakti –Jalan AH Nasution –Jalan Sisingamangaraja–Jalan Mesjid Raya –Jalan Katamso–Pemuda–Jalan Ayani –Jalan Balai Kota.

2. Rute 2 (Komuter) : Jalan Gatot Subroto (Lotte Mart)–Jalan Asrama–Jalan Cemara–Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim–SP. Menteng.

3. Rute 3 (Komuter) : Jalan Pinang Baris–TB Simatupang–Jalan Gatot Subroto–Jalan Asrama–Jalan Cemara-Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim–SP. Menteng–Jalan Menteng–Sungai–Terminal Amplas.

4. Rute 4 (Komuter) :Jalan Jamin Ginting (Laucih/Stasiun bis)– Setia Budi – Dr Mansur –Jamin Ginting – Patimura/S.Parman–Sudirman – Pangeran


(24)

Diponogoro - Pengadilan - Raden Saleh – BalaiKota (Lapangan Merdeka). Moh.Yamin – Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol.

5. Rute 5 (Komuter) : Jalan Jendral AH Nasution (Depan jalan karya wisata)– menyusuri sungai ke Carefour–Jamin Ginting– Patimura/SP arman–Sudirman– Pangeran Diponogoro–Pengadilan Raden Saleh– BalaiKota (Lapangan Merdeka).Moh.Yamin–Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol .

2.2.Sistem Transportasi

Perangkutan adalah usaha terhadap jarak karena ada perpindahan dari ke A ke B. Keadaan tersebut terbentuk karena ada kegiatan, yaitu kegiatan di A yang ingin mencapai B, dan kegiatan di B yang menginginkan pelayanan dari A. Kemudian diwujudkan dalam gerak pelayanan dari A menuju B. Gerak ini menggunakan sarana dan prasarana yang kesemuanya adalah hasil teknologi. Jadi angkutan terjadi karena adanya kegiatan, pergerakan dan teknologi.

Sistem transportasi perkotaan harus di tata dan disesuaikan dengan perkembangan ekonomi, tingkat kemajuan teknologi, kebijakan tata ruang dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam merencanakan sistem transportasi keempat aspek menjadi dasar acuan sehingga masalah-masalah yang timbul dari sistem transportasi yang tidak tepat dapat diperkecil.

Dampak dari pertumbuhan perekonomian di negara berkembang dapat dilihat dengan meningkatnya aksesibilitas di dalam wilayah melalui jaringan transportasi. Selain itu dengan meningkatnya jumlah manusia menyebabkan semakin besarnya ukuran kota dan semakin besarnya jumlah lalu lintas dalam kota. Ditambah dengan makin banyaknya jumlah dan jenis kendaraan yang beroperasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup manusia, hal diatas telah menyebabkan perangkutan menjadi masalah yang harus ditangani secara khusus.


(25)

Sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang disertai pula dengan peningkatan perekonomian, maka tingkat mobilitas baik orang maupun barang akan meningkat pula. Keadaan ini harus diimbangi dengan persediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Karena bila tidak, hal tersebut akan menghadapkan kota yang sedang tumbuh pada tantangan masalah yang sangat pelik. Di satu pihak, kota dihadapkan pada kenyataan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk ruang kehidupan dan penghidupan penduduknya, dan lain pihak, kota juga dihadapkan pada tantangan menyediakan berjalur-jalur lahan untuk prasarana lalu lintas.

Perkembangan teknologi angkutan juga mempengaruhi pola gerak masyarakat. Atau sebaliknya, tuntutan kebutuhan gerak masyarakat mendorong perkembangan sarana perangkutan. Dengan kata lain, perangkutan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu :

1. Sosial : Masyarakat yang membutuhkan, menggunakan, dan mengelola perangkutan, dan juga melakukan pergerakan.

2. Fisik : Prasarana dan saran perangkutan yang memerlukan ruang bagi pergerakannya.

3. Ekonomi : Bagaimanapun masalah ini tidak dapat dipisahkan. Karena pembangunan prasarana perhubungan suatu daerah akan mempengaruhi perekonomian daerah yang bersangkutan. (Warpani,S,1990).

Perencanaan transportasi merupakan proses yang panjang meliputi kebutuhan perjalanan, pembangunan fasilitas pergerakan penumpang dan barang antara beberapa kegiatan yang terpisah dalam ruang. Faktor utama dalam perencaanaan transportasi selalu saling mempengaruhi antara moda perjalanan dengan perkembangan kota. Sistem transportasi meliputi keseimbangan antara supply dan demand baik untuk pelayanan angkutan maupun kenyamanan yang diperoleh dari angkutan.


(26)

2.3. Sarana dan Prasarana Transportasi

Sarana dan prasarana transportasi merupakan faktor yang saling menunjang, dalam sistem transportasi keduanya menjadi kebutuhan utama. Sarana dan prasarana perlu dirinci dan dicatat ciri khasnya, termasuk tingkat pelayanan dan pemencarannya dalam wilayah perkotaan.

2.3.1. Prasarana Transportasi

Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi yang mempunyai daya rangsang terhadap pertumbuhan di sekitarnya. Tidak seimbang penyediaan jaringan jalan terhadap jumlah pertambahan kebutuhan ruang jalan merupakan gambaran permasalahan yang besar akan timpangnya sistem penyediaan (supply) dengan sistem permintaan (demand). Transportasi selalu dikaitkan dengan tujuan misalnya perjalanan dari rumah ke tempat bekerja, ke pasar atau tempat rekreasi.

Ciri utama prasarana transportasi adalah melayani pengguna, bukan merupakan barang atau komoditas. Oleh karena itu, prasarana tersebut tidak mungkin disimpan dan digunakan hanya pada saat diperlukan. Prasarana transportasi harus dapat digunakan dimanapun dan kapanpun, karena jika tidak, kita akan kehilangan manfaatnya. Menurut Undang-Undang No.13, 1980 ; pasal 1, prasarana transportasi adalah jalan.

Pada dasarnya, prasarana transportasi ini mempunyai dua peranan utama yaitu : 1. Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di perkotaan.

2. Sebagai prasarana pergerakan manusia dan atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut.

Oleh sebab itu, kebijakan yang harus dilakukan adalah menyediakan sistem prasarana transportasi dengan kualitas minimal agar dapat dilalui. Adanya keterhubungan ini menyebabkan kawasan tersebut mudah dicapai dan orang mau tinggal disana.


(27)

2.3.2. Sarana Transportasi

Sarana transportasi dibuat untuk mendukung pergerakan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan moda angkutan umum yang tersedia, sarana transportasi juga dimaksudkan untuk melayani masyarakat dalam kegiatannya mencapai tujuan dari pergerakan.

Sarana angkutan yang menyangkut perlalulintasan adalah terminal, rambu dan marka lalulintas, fasilitas pejalan kaki, fasilitas parkir, dan tempat henti.

a. Terminal

Terminal transportasi adalah prasarana angkutan yang merupakan bagian dari sistem transportasi untuk melancarkan arus penumpang dan barang, dan juga sebagai alat pengendalian, pengawasan, pengaturan dan pengoperasian lalu lintas.

Terminal transportasi merupakan titik simpul dalam jaringan transportasi jalan yang berfungsi sebagai pelayanan umum yang juga merupakan unsur tata ruang yang mempunyai peranan penting bagi efisiensi kehidupan.

b. Rambu dan Marka Lalu Lintas

Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas, khususnya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan marka dan rambu lalu lintas merupakan obyek fisik yang dapat menyampaikan informasi (perintah,peringatan, dan petunjuk) kepada para pemakai serta dapat mempengaruhi pengguna jalan.

c. Fasilitas Pejalan Kaki

Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan. Kebutuhan para pejalan kaki merupakan suatu bagian terpadu dalam sistem transportasi jalan.


(28)

Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas.

d. Fasilitas Parkir Kendaraan

Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan baik kendaraan pribadi, angkutan penumpang umum, sepeda motor maupun truk adalah sangat penting. Kebutuhan tersebut sangat berbeda dan bervariasi tergantung dari bentuk dan karakteristik masing-masing kendaraan dengan desain dan lokasi parkir.

e. Rambu dan Marka Lalu Lintas

Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas, khusunya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan marka dan rambu lalu lintas merupakan objek fisik yang dapat menyampaikan informasi (perintah, peringatan, dan petunjuk) kepada pemakai jalan serta dapat mempengaruhi pengguna jalan.

2.4. Analisa Permintaan Transportasi

Sasaran utama dari analisa permintaan transportasi adalah terdapatnya kebutuhan akan jasa transportasi dari penduduk atau masyarakat, yang berawal dari interaksi di antara aktivitas sosial ekonomi masyarakat tersebut, yang aktivitas sosial ekonominya itu memiliki kecenderungan untuk menyebar ke segala penjuru dalam suatu lingkup ruang wilayah atau kota (Miro, 2004). Analisa permintaan transportasi merupakan proses yang berusaha menghubungkan antara kebutuhan akan jasa transportasi dengan kebutuhan sosial ekonomi yang menimbulkan transportasi tersebut. Menurut Miro (2004) permintaan akan


(29)

jasa transportasi dari penumpang/orang timbul oleh akibat kebutuhan orang untuk melakukan perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dalam rangka beraktivitas separti bekerja, sekolah, belanja, dan lain sebagainya.

Karakteristik dari permintaan transportasi yaitu:

1. Karakteristik Tidak Spasial (Bukan Berdasarkan Ruang/Space)

Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti sebab terjadinya pergerakan, waktu terjadinya pergerakan, dan moda transportasi apa yang akan digunakan.

a. Sebab terjadinya pergerakan

Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan. Penyebab terjadinya pergerakan dapat dilihat pada tabel 2.1 (Tamin, 2000). Biasanya maksud perjalanan dikelompokkan sesuai ciri dasarnya, yaitu yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama. Jika ditinjau lebih jauh lagi akan dijumpai kenyataan bahwa lebih dari 90% perjalanan berbasis tempat tinggal.Artinya mereka memulai perjalanan tempat tinggal (rumah) dan mengakhiri perjalanannya kembali ke rumah. Pada kenyataan ini biasanya ditambahkan kategori keenam tujuan perjalanan, yaitu maksud perjalanan pulang ke rumah.


(30)

Tabel 2.1 Klasifikasi pergerakan orang di perkotaan berdasarkan maksud pergerakan.

Aktivitas Klasifikasi Perjalanan Keterangan

I. Ekonomi a. Mencari nafkah b. Mendapatkan barang

dan pelayanan

1. Ke dan dari tempat kerja 2. Yang berkaitan dengan

bekerja

3. Ke dari toko dan keluar untuk keperluan pribadi.

4. Yang berkaitan dengan belanja atau bisnis pribadi

Jumlah orang yang bekerja tidak tinggi, sekitar 40%-50% penduduk. Perjalanan yang berkaitan dengan pekerja termasuk:

a. pulang ke rumah b. mengangkut barang c. ke dan dari rapat

Pelayanan hiburan dan rekreasi diklasifikasikan secara terpisah tetapi pelayanan

medis, hukum dan

kesejahteraan masuk ke sini. II. Ekonomi

Menciptakan, Menjaga hubungan pribadi.

1. Ke dan dari rumah teman. 2. Ke dan dari tempat

pertemuan bukan di rumah.

Kebanyakan fasilitas terdapat dalam lingkungan keluarga dan tidak menghasilkan banyak perjalanan. Butir 2 juga terkombinasi dengan maksd hiburan

III. Pendidikan 1. Ke dan dari sekolah, kampus, dan lain – lain

Hal ini terjadi pada sebagian besar penduduk yang berusia 5-22 tahun. Di negara sedang berkembang jumlahnya sekitar 85% penduduk.


(31)

Sumber: LPM ITB, 1996

b. Waktu terjadinya pergerakan

Waktu terjadinya pergerakan sangat bergantung pada kapan seseorang melakukan aktivitasnya sehari-hari. Dengan demikian waktu pergerakan sangat tergantung pada maksud perjalanan. Pergerakan ke tempat kerja atau pergerakan untuk maksud bekerja biasanya merupakan perjalanan yang dominan (Tamin, 2000). Karena pola kerja biasanya dimulai jam 08.00 dan berakhir jam 16.00, maka pola pergerakan akan mengikuti pola jam kerja. Sehingga jam 06.00 sampai jam 08.00 akan banyak pergerakan dari rumah ke tempat kerja. Pada sore hari sekitar jam 16.00 sampai jam 18.00 akan banyak pergerakan dari tempat kerja ke rumah. Selanjutnya, perjalanan dengan maksud sekolah atau pun pendidikan cukup banyak jumlahnya dibandingkan dengan tujuan lainya. Biasanya sekolah dimulai jam 08.00 dan berakhir jam 16.00. Sehingga jam 06.00 sampai jam 07.00 akan banyak pergerakan dari rumah ke sekolah. Pada sore hari sekitar jam 13.00 sampai jam 14.00 akan banyak pergerakan dari sekolah ke rumah, sehingga pola perjalanan sekolah ini pun turut mewarnai pola waktu puncak perjalanan. Sedangkan perjalanan lain yang cukup berperan adalah perjalanan untukmaksud berbelanja. Pola perjalanan yang diperoleh dari penggabungan ketiga pola perjalanan tersebut terkadang disebut juga pola variasi harian, IV. Rekreasi dan hiburan 1. Ke dan dari tempat rekreasi

2.Yang berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk rekreasi

Mengunjungi restoran, kunjungan sosial, termasuk perjalanan pada hari libur.

V. Kebudayaan 1. Ke dan dari tempat ibadah 2. Perjalanan bukan hiburan

ke dan dari daerah budaya serta pertemuan politik

Perjalanan kebudayaan dan hiburan sangat sulit dibedakan


(32)

yang menunjukkan tiga waktu puncak, yaitu waktu puncak pagi, waktu puncak siang, dan waktu puncak sore.

c. Moda transportasi apa yang akan digunakan

Dalam melakukan perjalanan, orang biasanya dihadapkan pada pilihan jenis angkutan seperti mobil, angkutan umum, pesawat terbang, atau kereta api. Dalam menentukan pilihan jenis angkutan, orang mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya dan tingkat kenyamanan. Meskipun dapat diketahui faktor yang menyebabkan seseorang memilih jenis moda yang digunakan, pada kenyataannya sangatlah sulit untuk merumuskan mekanisme pemilihan moda ini.

2. Karakteristik Spasial

Pergerakan terjadi karena manusia melakukan aktivitas di tempat yang berbeda dengan daerah tempat mereka tinggal. Artinya keterkaitan antarwilayah ruang sangatlah berperan dalam menciptakan pergerakan. Jika suatu daerah sepenuhnya terdiri dari lahan tandus tanpa tumbuhan dan sumber daya alam, dapat diduga bahwa pada daerah tersebut tidak akan timbulPergerakan mengingat di daerah tersebut tidak mungkin timbul aktivitas. Juga, tidak akan pernah ada keterkaitan ruang antara daerah tersebut dengan daerah lainnya. Konsep yang paling mendasar yang menjelaskan terjadinya pergerakan atau perjalanan selalu dikaitkan dengan pola hubungan antara distribusi spasial. Pergerakan dengan distribusi spasial tata guna lahan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Dalam hal ini, konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut ditentukan oleh pola tata guna lahan kota tersebut. Jadi, faktor tata guna lahan sangat berperan. Berikut ini dijelaskan beberapa ciri perjalanan spasial, yaitu pola perjalanan orang dan pola perjalanan barang (Tamin, 2000).


(33)

a. Pola Perjalanan orang

Perjalanan terbentuk karena adanya aktivitas yang dilakukan, bukan di tempat tinggal sehingga pola sebaran tata guna lahan suatu kota akan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang. Dalam hal ini pola penyebaran spasial yang sangat berperan adalah sebaran spasial dari daerah industri, perkantoran, dan pemukian. Pola sebaran spasial dari ketiga jenis tata guna lahan ini sangat berperan dalam menentukan pola perjalanan orang, terutama perjalanan dengan maksud bekerja. Tentu saja sebaran spasial untuk pertokoan dan areal pendidikan juga berperan.

b. Pola Perjalanan Barang

Berbeda dengan pola perjalanan orang, pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktivitas produksi dan konsumsi yang sangat tergantung pada sebaran pola tata guna lahan pemukiman (konsumsi), serta industri dan pertanian (produksi). Selain itu, pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh pola rantai distribusi yang menghubungkan pusat produksi ke daerah konsumsi.

2.5. Bangkitan Perjalanan/Pergerakan

Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan atau jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona (Tamin, 1997). Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu zona atau tata guna lahan persatuan waktu (Wells, 1975). Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah jumlah perjalanan yang terjadi dalam satuan waktu pada suatu zona tata guna lahan (Hobbs, 1995).


(34)

Bangkitan pergerakan adalah suatu proses analisis yang menetapkan atau menghasilkan hubungan antara aktivitas kota dengan pergerakan.(Tamin,1997.) perjalanan dibagi menjadi dua yaitu:

a. Home base trip, pergerakan yang berbasis rumah. Artinya perjalanan yang dilakukan berasal dan rumah dan kembali ke rumah.

b. Non home base trip, pergerakan berbasis bukan rumah. Artinya perjalanan yang asal dan tujuannya bukan rumah.

Pernyataan di atas menyatakan bahwa ada dua jenis zona yaitu zona yang menghasilkan pergerakan (trip production) dan zona yang menarik suatu pergerakan (trip attraction). Defenisi trip attraction dan trip production adalah:

a. Bangkitan perjalanan (trip production) adalah suatu perjalanan yang mempunyai tempat asal dari kawasan perumahan ditata guna tanah tertentu.

b. Tarikan perjalanan (trip attraction) adalah suatu perjalanan yang berakhir tidak pada kawasan perumahan tata guna tanah tertentu. Kawasan yang membangkitkan perjalanan adalah kawasan perumahan sedangkan kawasan yang cenderung untuk menarik perjalanan adalah kawasan perkantoran, perindustrian, pendidikan, pertokoan dan tempat rekreasi.

Bangkitan pergerakan digunakan untuk menyatakan suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai asal dan/atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. Seperti terlihat pada gambar 2.3 berikut ini :


(35)

Bangkitan

Bangkitan Bangkitan

Bangkitan

Tarikan

Tarikan Tarikan

Tarikan

Sumber : Tamin, 1997

Gambar 2.3 Bangkitan dan Tarikan

Bangkitan dan tarikan pergerakan digunakan untuk menyatakan bangkitan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang. Bangkitan pergerakan ini berhubungan dengan penentuan jumlah keseluruhan yang dibangkitkan oleh sebuah kawasan.

Parameter tujuan perjalanan yang sangat berpengaruh di dalam produksi perjalanan (Levinson, 1976), adalah:

a. tempat bekerja,

b. kawasan perbelanjaan, c. kawasan pendidikan, d. kawasan usaha (bisnis), e. kawasan hiburan (rekreasi).

Perjalanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :

a. Berdasarkan tujuan perjalanan, perjalanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sesuai dengan tujuan perjalanan tersebut yaitu:

1) perjalanan ke tempat kerja,

2) perjalanan dengan tujuan pendidikan, 3) perjalanan ke pertokoan / belanja,

Tempat Kerja

Tempat Kerja Tempat

Kerja

Tempat Kerja


(36)

4) perjalanan untuk kepentingan sosial.

b. Berdasarkan waktu perjalanan biasanya dikelompokkan menjadi perjalanan pada jam sibuk dan jam tidak sibuk. Perjalanan pada jam sibuk pagi hari merupakan perjalanan utama yang harus dilakukan setiap hari (untuk kerja dan sekolah).

c. Berdasarkan jenis orang, pengelompokan perjalanan individu yang dipengaruhi oleh tingkat sosial-ekonomi, seperti:

1) tingkat pendapatan,

2) tingkat pemilikan kendaraan, 3) ukuran dan struktur rumah tangga.

Dalam sistem perencanaan transportasi terdapat empat langkah yang saling terkait satu dengan yang lain (Tamin, 1997), yaitu:

1) Bangkitan pergerakan (Trip generation) 2) Distribusi perjalanan (Trip distribution) 3) Pemilihan moda (Modal split)

4) Pembebanan jaringan (Trip assignment)

Untuk lingkup penelitian ini tidak semuanya akan diteliti, tetapi hanya pada lingkup bangkitan pergerakan (trip generation).

Menurut Miro bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah perjalanan/pergerakan/lalulintas yang dibangkitkan pada sebuah zona (kawasan) persatuan waktu (perdetik, menit, jam, hari, minggu, dan seterusnya). Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan lalu lintas mencakup fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi dan lalu lintas yang menuju atau tiba di suatu lokasi (Tamin,


(37)

Pergerakan yang Pergerakan yang berasal dari zona i menuju zona d Gambar 2.4 Diagram Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

Sumber : Tamin, 2000.

2.6. Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU)

2.6.1. Pengertian

Tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum terdiri dari halte (shelter) dan tempat pemberhentian bus (bus stops). Dimana halte adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Sedangkan tempat pemberhentian bus adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang selanjutnya disebut TPB (Direktorat Jendral Perhubungan Darat ,1996)

2.6.2. Tujuan

Tujuan perekayasaan tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) adalah :

1. menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas;

2. menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum

3. menjamin kepastian keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang;

4. memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bus.


(38)

2.6.3. Pengertian Halte

Berikut ini adalah definisi halte:

1. Menurut Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) ITB tahun 1997, halte adalah lokasi di mana penumpang dapat naik ke dan turun dari angkutan umum dan lokasi di mana angkutan umum dapat berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang, sesuai dengan pengaturan operasional.

2. Menurut Dirjen Bina Marga tahun 1990, halte adalah bagian dari perkerasan jalan tertentu yang digunakan untuk pemberhentian sementara bus, angkutan penumpang umum lainnya pada waktu menaikan dan menurunkan penumpang.

3. Menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun 1996, halte adalah tempat adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan.

2.7.Jenis Halte Jalur Khusus

Halte pada jalur khusus adalah halte dengan desain khusus untuk menyampaikan identitas yang dapat membedakan dari pelayanan transportasi umum lainnya, mencerminkan jenis pelayanan prima dan terintegrasi dengan lingkungan sekitar, perlu adanya keterlibatan masyarakat/organisasi profesional, sehingga memperhatikan :

1. Keserasian dengan lingkungan. 2. Berfungsi sebagai ornamen kota.

3. Memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang cacat. 4. Lokasi halte didasarkan pada sistem pembagian zona.


(39)

2.8.Fasilitas Halte

Fasilitas halte yang diperlukan untuk menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang menunggu, naik-turun kendaraan umum dan menjamin kelancaran pergerakan lalu lintas, sehingga fungsi halte dapat efisien dan efektif diperlukan:

a) Tempat menunggu penumpang yang tidak mengganggu aktivitas jalan. b) Tempat berteduh yang memenuhi

c) Tempat berhenti kendaraan umum beserta rambunya yang aman dan lancar. d) Tempat duduk untuk penumpang menunggu kendaraan.

e) Fasilitas penyebrangan untuk pejalan kaki, yang tidak terganggu oleh aktivitas halte.

f) Pemasangan pagar, supaya pejalan kaki tidak menyebrang di sembarang tempat.

g) Informasi yang diperlukan h) Telpon umum

2.9.Kriteria Penentuan Lokasi Halte

Didasarkan pada perencanaan kota dan persyaratan, penentuan lokasi halte penumpang kendaraan angkutan umum dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan lokasi simpul jaringan aktivitas penumpang dan jalur kendaraan umum, serta diperhatikan pula :

a) Rencana umum tata ruang.

b) Kepada lalu lintas dan kapasitas jalan disekitar halte. c) Keterpaduan antar moda transportasi

d) Kondisi geografi lokasi halte e) Kelestarian lingkungan.


(40)

Selain itu sebaran lokasi halte harus memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan dengan tuntutan umum (Warpani, 2002) yaitu:

a) Pusat keramaian yang ada; misalnya pasar, pertokoan,obyek wisata dan lain-lain. b) Pusat kegiatan, misalnya kantor, sekolahan dan lain-lain.

c) Kemudahan perpindahan moda, misalnya persimpangan jalan.

Persyaratan penentuan lokasi halte secara umum (Iskandar Abubakar dan kawan- kawan, 1995) adalah sebagai berikut:

a) Terletak pada jalur pejalan kaki/trotoar (footway)

b) Dekat dengan pusat kegiatan yang membangkitkan pemakai angkutan umum. c) Tidak tersembunyi, aman terhadap gangguan kriminal.

d) Harus ada pengatur pergerakan kendaraan, pemakai halte dan pejalan kaki, sehingga aman terhadap kecelakaan lalu lintas.

e) Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.

Melihat persyaratan umum dan pedoman praktis penentuan lokasi halte angkutan umum, maka perlu diperhatikan kondisi lapangan :

a) Ada tidaknya trotoar.

b) Tersedianya lahan untuk membuat bus lay by. c) Tingkat pelayanan jalan.

d) Kecukupan lebar jalan.

e) Tingkat permintaan penumpang yang menentukan perlu tidaknya lindungan.

2.10. Pemilihan Lokasi Halte

Berdasarkan Vucich (1981), lokasi halte angkutan umum di jalan raya diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu :


(41)

1. Near Side (NS), pada persimpangan jalan sebelum memotong jalan simpang (cross street)

2. Far Side (FS), pada persimpangan jalan setelah melewati jalan simpang (cross street)

3. Midblock street (MB), pada tempat yang cukup jauh dari persimpangan atau pada ruas jalan tertentu

Halte biasanya ditempatkan di lokasi yang tingkat permintaan akan penggunaan angkutan umumnya tinggi serta dengan pertimbangan kondisi lalu lintas kendaraan lainnya (Ogden dan Bennet, 1984). Untuk itu, pertimbangan khusus harus diberikan dalam menentukan lokasi halte dekat dengan persimpangan. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan halte dekat persimpangan tersebut adalah:

1. Apabila arus kendaraan yang belok ke kanan padat, maka penempatan lokasi halte yang paling baik adalah sebelum persimpangan.

2. Apabila arus kendaraan yang belok ke kiri padat, maka penempatan lokasi halte adalah setelah persimpangan.

3. Di persimpangan dimana terdapat lintasan trayek angkutan umum lainnya, penempatan halte harus mempertimbangkan jarak berjalan kaki penumpang dan konflik kendaraan-penumpang yang mungkin terjadi agar proses transfer (alih moda) penumpang berjalan lancar.

Sedangkan menurut Vuchic (1981) aspek – aspek yang mempengaruhi penentuan lokasi halte:

1. Lampu lalu lintas

Untuk daerah pusat kota faktor lampu lalu lintas merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kecepatan perjalanan bus.


(42)

Halte sebaiknya ditempatkan di lokasi tempat penumpang menunggu yang dilindungi dari gangguan lalu linta, harus mempunyai ruang yang cukup untuk sirkulasi, dan tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaku di trotoar. Pada persimpangan sebaiknya ditempatkan halte untuk mengurangi jalan berjalan kaki penumpang yang akan beralih moda.

3. Kondisi lalu lintas

Pembahasan kondisi lalu lintas diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas.

4.Geometri jalan

Geometri jalan mempengaruhi lokasi halte. Pembahasan Geometri jalan diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas

2.11. Penentuan Jarak antara Halte dan/atau TPB

Penentuan jarak antara halte dan/atau TPB dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Jarak Halte dan TPB

Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m)

1 Pusat kegiatan sangat padat: pasar, pertokoan

CBD, Kota 200 -- 300 *)

2 Padat : perkantoran, sekolah, jasa Kota 300 -- 400

3 Permukiman Kota 300 -- 400

4 Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa

Pinggiran 300 -- 500

5 Campuran jarang : perumahan, ladang, sawah, tanah kosong

Pinggiran 500 -- 1000


(43)

Keterangan : *)= jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedangkan jarak umumnya 300 m.

Adapun persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum adalah: 1. Berada disepanjang rute angkutan umum atau bus.

2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat pada fasilitas pejalan kaki. 3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau pemukiman.

4. Dilengkapi rambu petunjuk.

5. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas. 2.12. Facility Location

Facility location adalah suatu proses pengidentifikasian lokasi geografis terbaik dari suatu fasilitas produksi atau jasa. Facility location adalah suatu proses pemilihan lokasi geografis untuk suatu operasi-operasi suatu perusahaan. Facility location untuk riset operasi diselesaikan dengan pemodelan, pengembangan algoritma, dan teori – teori yang kompleks (Daskin, 2008). Pemodelan lokasi dapat diaplikasikan untuk menentukan lokasi emergency medical service (EMS), stasiun pemadam kebakaran, sekolah, rumah sakit, bandara, tempat pembuangan sampah, dan gudang. Pemodelan lokasi juga digunakan pada penentuan rute, dan analisis area arkeologi. Salah satu teori dan pemodelan lokasi yang dipelopori oleh Weber (1929) adalah mempertimbangkan facility location dengan tujuan untuk meminimalkan jumlah jarak perjalanan antara tempat fasilitas dan kumpulan konsumen-konsumen.

1. Klasifikasi Pemodelan lokasi

Model lokasi pada dasarnya memodelkan hubungan antara titik permintaan dan titik lokasi fasilitas pelayanan. Variabel keputusan pada model lokasi umumnya adalah menentukan dimana lokasi-lokasi yang optimal untuk dibangun fasilitas pelayanan. Asumsi dan fungsi objektif pada model lokasi adalah berbeda-beda


(44)

menurut variannya. Pemodelan lokasi diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu analytical models, continuous models, network models, dan discrete models. Pengklasifikasian pemodelan lokasi dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Klasifikasi Model Lokasi Sumber : Daskin, 2008

Analytical model berasumsi bahwa alternatif lokasi fasilitas dan alternatif titik-titik permintaan keduanya tersebar kontinyu (uniform) pada suatu area. Continuous model merupakan model dengan permintaan hanya muncul pada lokasi atau titik-titik tertentu, tetapi alternatif lokasinya mencakup seluruh titik pada area tersebut. Network model dan Discrete model keduanya berasumsi bahwa alternatif lokasi dan titik-titik permintaan keduanya bersifat diskrit, yaitu hanya terdapat pada titik-titik tertentu saja dalam area. Network model mengasumsikan adanya network/path atau jalan yang menghubungkan titik-titik permintaan dengan titiktitik alternatif lokasi sementara discrete models tidak memerlukan asumsi seperti itu.

2. Discrete Model

Lebih rinci lagi, Daskin (2008) membagi Discrete models menjadi varian-variannya sebagaimana gambar 2.6. Discrete models terdiri dari 3 cabang, yaitu covering base models, median base models, p dispersion. Dalam model ini menunjukkan bahwa adanya batasan-batasan permintaan pada suatu titik (node) yang sekaligus dijadikan sebagai titik alternatif lokasi. Dalam model lokasi discrete sendiri dibagi lagi menjadi beberapa bagian model.

Location Models

Discrete Models Analytical Model Continious Model Network Models


(45)

Gambar 2.6 Uraian(breakdown) Model Lokasi Discrete Sumber : Daskin, 2008.

Kelompok covering-based model dibedakan menjadi tiga model berdasarkan fungsi objektifnya, yaitu set covering, max covering dan p-center. Variabel keputusan untuk ketiga model ini adalah sama, yaitu dimana lokasi-lokasi yang optimal untuk dibangun fasilitas pelayanan sehingga fungsi objektif tercapai.

1. Set Covering Problem

Model set covering (Toregas et al., 1971) bertujuan meminimumkan jumlah titik lokasi fasilitas pelayanan tetapi dapat melayani semua titik permintaan. Untuk menggambarkan model set covering dapat dirumuskan atau formulasikan sebagai berikut :

Dimana :

I = titik demand dengan indek i

J = titik alternatif lokasi dengan indek j

dij = jarak antara titik permintaan i dengan alternatif lokasi j Dc = jarak pemenuhan

Ni = { j| dij≤ Dc }

Discrete Location Model

Covering Base Model

Set Covering Min # sites needed to cover all demands

Max Covering

Max # covered demands with P sites

p-Center

Min coverage Dist needed with P-sites

Median- Based Model

Set Covering

Min average distance beetween demands and nearest of P sites

Fix Charge

Min fixed facility and transport costs

Other Models

P-Dispersion Max the minimum distance between any pair of facilities


(46)

= semua alternatif lokasi yang meliputi titik permintaan i Variable keputusannya :

xj =

      tidak jika o j lokasi pada jika 1

Dengan notasi di atas maka dapat di formulasikan sebagai berikut : Minimize

J

j

x

j (2.1)

I i N

j i j

x

 

1

(2.2)

 

J

xj 0,1 j (2.3)

Berdasarkan formulasi tersebut dapat diuraikan menjadi tujuan (2.1) untuk meminimasi jumlah alternatif lokasi. Batasan (2.2) setiap titik pemintaan dapat dipenuhi sedikitnya oleh satu fasilitas, (2.3) benar atau tidaknya suatu keputusan.

2. Max Covering Problem

Model lokasi maximal covering (Church and ReVelle, 1974) menunjukkan adanya suatu batasan pada banyaknya fasilitas untuk dijadikan sebagai lokasi. Model max covering memiliki fungsi objektif untuk memaksimumkan jumlah titik permintaan yang terlayani dengan batasan hanya tersedia sejumlah p titik lokasi fasilitas pelayanan yang dapat melayani titik-titik permintaan tersebut. Model maximal covering diformulasikan sebagai berikut :

h

i

= demand atau permintaan pada titik i

p = banyaknya fasilitas untuk penentuan lokasi

x

j =

   tidak jika 0 dipenuhi i titik jika 1


(47)

Maximaze

I

i

hi

z

i

(2.4)

Subject to x j

z

i i

I

N i j

0

(2.5)

p

x

J

j j

(2.6)

 

J

xj 0,1 j (2.7)

 

i J

i

z

 0,1   (2.8)

Berdasarkan formulasi atau rumus pada model maximal covering dapat diketahui, tujuan (2.4) memaksimalkan total permintaan yang dapat dipenuhi. Batasan (2.5) pemenuhan permintaan pada titik i tidak terhitung, kecuali pada salah satu alternatif lokasi yang dapat memenuhi titik i. (2.6) membatasi banyaknya fasilitas pada daerah penempatan. (2.7 dan 2.8) merupakan suatu keputusan penempatan lokasi sebagai pemenuhan titik-titik permintaan.

3. p-center problem

Model p-center fungsi objektifnya adalah meminimumkan rata-rata jarak terjauh (coverage distance) antara titik permintaan dan titik lokasi fasilitas pelayanan. Fungsi objektif dalam model p-center sering disebut Min Max objective. Model p-center diformulasikan sebagai berikut :

W = memaksimal antara titik permintaan dan lokasi pada jarak yang telah ditentukan.

Y i j =

      tidak jika 0 j titik pada lokasi suatu menentukan untuk i titik jika 1

Berdasarkan variable keputusan di atas maka dapat diformulasikan :


(48)

Subject to :

x j

p

J

j

(2.10)

1

J

j

yij

iI

(2.11)

yij - x j≤ 0 iI, jJ` (2.12)

W -

0

J

j

hi

d ij

yij

iI (2.13)

 

0,1

x j

iI (2.14)

 

0,1

yij

iI, jJ (2.15)

Pada formulasi di atas maka dapat diketahui, tujuan (2.9) adalah meminimasi jarak pada demand-weighted pada tiap titik permintaan dengan lokasi yang terdekat sehingga dapat bernilai maksimal. Batasan (2.10) menetapkan p sebagai lokasi, (2.11) setiap titik permintaan hanyadapat dipenuhi oleh satu lokasi saja, (2.12) pembatasan pada titik-titik permintaan hanya pada satu lokasi, (2.13) pada demand-weighted yang maksimal dapat diminimasi dengan jarak yang lebih kecil, 2.(14) variabel keputusan dengan bilangan biner, (2.15) permintaan hanya dapat ditentukan oleh satu titik lokasi saja. Model lainnya adalah model p-median atau sering disebut Weber problem. Model p-median memiliki fungsi objektif untuk meminimumkan rata-rata jarak berbobot antara titik lokasi fasilitas pelayanan dan titik permintaan. Fixed charge model memiliki fungsi objektif untuk meminimumkan total biaya tetap (biaya investasi) dan biaya variabel (transportation cost) yang ditanggung oleh fasilitas pelayanan dan konsumen.


(49)

2.8.Pemrograman Bilangan Bulat

Pemrograman bilangan bulat atau pemrograman linier integer (Integer Linier Programing/ILP) pada intinya berkaitan dengan program – program linier dimana beberapa atau semua variable memiliki nilai – nilai integer (bulat) atau diskrit. Menurut Hiller (1994) banyak sekali penerapan pemrograman bilangan bulat yang merupakan perluasan dari suatu pemrograman linier. Akan tetapi bidang penerapan lain yang mungkin lebih penting adalah masalah yang menyangkut sejumlah “keputusan ya atau tidak” yang saling berhubungan. Dalam keputusan seperti ini, hanya ada dua pilihan kemungkinan yaitu ya atau tidak. Sebagai contoh, apakah kita harus mengerjakan suatu proyek tertentu. Dengan hanya dua pilihan ini, kita hanya dapat menyatakan keputusan-keputusan seperti itu dengan peubah keputusan yang dibatasi hanya pada dua nilai, misalkan nol dan satu. Jadi, keputusan ya atau tidak ke j akan dinyatakan dengan xj sedemikian sehingga,

xj

=

  

tidak" " adalah j ke keputusan jika

, 0

ya" " adalah j ke keputusan jika

, 1

Peubah – peubah seperti ini disebut peubah biner (atau peubah 0-1). Gaspersz (2002) menyatakan bahwa pada dasarnya pemrograman bilangan bulat memiliki empat karakteristik utama, yaitu :

1. Masalah pemrograman bilangan bulat berkaitan dengan upaya memaksimumkan (pada umumnya keuntungan) atau meminimumkan (pada umumnya biaya). Upaya optimasi (maksimum atau minimum) ini disebut sebagai fungsi tujuan (objective function) dari integer linear programming. Fungsi tujuan ini terdiri dari variabel- variabel keputusan (decision variable) yang bersifat bilangan bulat (integer).

2. Terdapat kendala-kendala atau keterbatasan, yang membatasi pencapaian tujuan yang dirumuskan dalam linear programming. Kendala-kendala ini dirumuskan


(50)

dalam fungsi-fungsi kendala (constraint’s functions), terdiri dari variabel-variabel keputusan yang menggunakan sumber-sumber daya yang terbatas itu. 3. Memiliki sifat linieritas. Sifat linieritas ini berlaku untuk semua fungsi tujuan

dan fungsi kendala.

4. Memiliki sifat undivisibility. Sifat divisibility diperlukan, karena integer linear programming memperhitungan jumlah solusi secara bilangan bulat. Jadi dalam hal ini produk yang dihasilkan tidak dapat dalam bentuk pecahan.

2.8.1. Penyelesaian Bilangan Bulat

Menurut Taha (1996) terdapat dua metode untuk menghasilkan batasanbatasan khusus yang akan memaksa pemecahan optimum dari masalah pemrograman bilangan bulat yang dilonggarkan untuk bergerak ke arah pemecahan integer yang diinginkan, yaitu

1. Branch and bound 2. Bidang pemotongan

Cara yang populer yang digunakan untuk algoritma pemrograman bilangan bulat adalah dengan menggunakan teknik pencabangan dan pembatasan (branch and bound) dan gagasan yang berhubungan dengan pencacahan implisit penyelesaian penyelesaian bilangan bulat yang layak (Hillier ,1994)

2.8.2. Teknik Branch and Bound

Konsep utama yang mendasari teknik Branch and bound adalah dengan membagi dan menyelesaikan (divide and conquer). Karena masalah aslinya berukuran besar dan sangat sulit untuk diselesaikan secara langsung maka masalah ini dibagi menjadi submasalah yang lebih kecil dan kemudian menjadi anak gugus yang lebih kecil dan kemudian menjadi anak gugus yang lebih kecil lagi. Pembagian (atau pencabangan) ini dilakukan dengan membagi gugus dari keseluruhan penyelesaian layak menjadi anak


(51)

gugus-anak gugus yang lebih kecil dan kemudian menjadi anak gugus yang lebih kecil lagi. Penyelesaian dikerjakan sebagian-sebagian dengan adanya pembatasan seberapa bagusnya penyelesaian terbaik pada suatu anak gugus dan kemudian membuang anak gugus tersebut jika batas nilainya mengindikasikan bahwa anak gugus tersebut tidak mungkin lagi mengandung suatu penyelesaian optimal untuk masalah asli. Algoritma branch and bound untuk pemrograman bilangan biner (Hiller, 1994)

1. Langkah awal:

Tetapkan nilai Z*= -¥ . Gunakan langkah pembatasan, langkah penghentian, dan uji keoptimalan untuk masalah keseluruhan. Jika masalah ini tidak terhenti maka golongkanlah masalah ini sebagai submasalah sisa untuk menjalankan iterasi pertama di bawah ini.

2. Langkah untuk setiap iterasi: a) Pencabangan

Di antara sub masalah sisa (submasalah yang tidak terhenti) pilih satu submasalah yang dibuat paling akhir (jika ada lebih dari satu kemungkinan, maka pilih submasalah yang mempunyai batas lebih besar). Lakukan pencabangan dari simpul untuk submasalah untuk membuat dua submasalah baru dengan menetapkan nilai peubah berikutnya (yaitu peubah pencabangan) baik dengan nilai 0 ataupun 1.

b) Pembatasan

Untuk setiap submasalah baru, cari batasnya dengan menggunakan metode simpleks untuk masalah PL relaksasinya dan membulatkan ke bawah nilai Z untuk penyelesaian optimal yang dihasilkan.

c) Penghentian

Untuk setia submasalah baru, gunakan ketiga uji penghentian dan hilangkan sub masalah yang dihentikan dengan uji-uji tersebut.


(52)

3. Uji keoptimalan

Hentikan proses jika tidak ada lagi submasalah sisa dan incumbent pada saat ini sudah layak. Jika tidak ada incumbent, maka kesimpulan adalah masalah tersebut tidak mempunyai penyelesaian layak. Jika tidak demikian maka ulangi langkah untuk menjalankan iterasi berikutnya.

2.9.UjiCochran Q-Test

Dalam penelitian ini dilakukan uji Cochran Q-Test. Uji ini dilakukan terhadap data yang diperoleh. Dalam metode Cochran Q-Test, kita memberikanpertanyaan tertutup kepada responden, yaitu pertanyaan yang pilihan jawabannyasudah disediakan. Untuk mengetahui mana di antara lokasi yang dipilih, dilakukan Cochran Q-Test dengan prosedur sebagai berikut:

1. Hipotesis yang mau diuji:

H0: semua atribut yang diuji memiliki proporsi jawaban ”Ya” yang sama H1 : tidak semua atribut yang diuji memiliki proporsi jawaban ”Ya” yang sama 2. Mencari Q hitung dengan rumus sebagai berikut:

Q =

3. Penentuan Qtabel (Qtab)

Dengan a = 0,05, derajat kebebasan (dk) = k – 1, maka diperoleh Qtabel (0,05:df)

dari tabel Chi Square Distribution. 4. Keputusan:

Tolak H dan terima H , jika Q > Q

                     n R n i R k

kC k C

k k i i i j j j j 2 2 2 1


(53)

Terima H1 dan tolak H0, jika Q hitung < Q tabel

5. Kesimpulan

 Jika tolak H0 berarti proporsi jawaban ”Ya” masih berbeda padasemua atribut. Artinya, belum ada kesepakatan diantara para responden tentang atribut.

 Jika terima H0 berarti proporsi jawaban ”Ya” pada semua atribut dianggap sama. Dengan demikian, semua responden dianggap sepakat mengenai semua atribut sebagai faktor yang dipertimbangkan


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai model penelitian dan kerangka pemikiran metode penelitian yang digunakan dalam penelitian beserta penjelasan singkat setiap tahapannya. Kerangka metode penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1

Tahap demi tahap pada diagram alir pembahasan di atas akan dijelaskan berikut ini:

Gambar 3.1 Metode Penelitian

MULAI

Identifikasi dan Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Tinjauan Pustaka

Menentukan kriteria lokasi halte

Pengambilan data sekunder :

 Data lokasi potensial bangkitan dan tarikan terbesar sepanjang rute : tempat kerja; sekolah; universitas; pusat perbelanjaan; tempat wisata; tempat olahraga; tempat tinggal; rumah sakit dan tempat ibadah.

 Rute BRT dan trayek angkutan umum di kota Medan

Penyusunan kuesioner

Penyebaran kuesioner

Penentuan lokasi halte dengan Set Covering Problem

Analisa dan Intepretasi Hasil


(55)

3.1. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dilakukan, kemudian disusun sebuah rumusan masalah. Perumusan masalah dilakukan dengan menetapkan sasaran-sasaran yang akan dibahas untuk kemudian dicari solusi pemecahan masalahnya. Dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan bagaimana menentukan lokasi halte rute 1 monorel di Kota Medan sehingga dapat meminimalkan jumlah halte tetapi memenuhi semua titik permintaan di sepanjang rute (coverage area).

3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan ini kemudian dijadikan acuan dalam pembahasan sehingga hasil dari pembahasan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menentukan lokasi halte rute 1 monorel di Kota Medan sehingga dapat meminimalkan jumlah halte tetapi memenuhi semua titik permintaan di sepanjang rute (coverage area).

3.3. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka sangat perlu dilakukan dalam sebuah penelitian untuk mendukung jalannya penelitian mulai dari awal hingga penyusunan laporan, selain itu juga untuk mendapatkan dasar teori yang kuat yang berkaitan dengan penelitian ini sehingga dapat menjadi acuan dalam melaksanakan analisis dan pembahasan. Gambaran umum dari monorel di Kota Medan didapat dari hasil feasibility study monorel di Kota Medan yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Kota Medan pada tahun 2014 sedangkan gambaran umum monorel secara umum didapat dari berbagai jurnal dan bahan bacaan lainnya. Konsep tentang penentuan lokasi halte didapatkan dari buku-buku tentang perencanaan dan persyaratan Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU).


(56)

3.4. Menentukan Kriteria Lokasi Halte

Berdasarkan tinjauan pustaka, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan lokasi halte. Kriteria penentuan lokasi halte adalah sebagai berikut:

1. Potensi membangkitkan jumlah penumpang yang cukup tinggi

Kriteria ini merupakan salah satu dasar dalam menentukan lokasi halte. halte ditempatkan pada lokasi yang mempunyai potensi membangkitkan penumpang yang cukup tinggi agar halte yang dibangun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal.

2. Jarak dari persimpangan jalan

Lokasi kandidat halte harus memiliki jarak tertentu dari persimpangan agar halte yang dibangun tidak memberikan beban tambahan terhadap ruas jalan. Sesuai dengan peraturan tentang tata letak halte terhadap ruang lalu lintas menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun 1996. Jarak halte dari persimpangan jalan minimal 50 meter. Sedangkan jarak dengan pergantian moda adalah 100 meter. Hal ini dimaksudkan agar penempatan halte tidak memperburuk kondisi lalu lintas. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan halte dekat persimpangan tersebut adalah:

a. Apabila arus kendaraan yang belok ke kanan padat, maka penempatan lokasi halte yang paling baik adalah sebelum persimpangan

b. Apabila arus kendaraan yang belok ke kiri padat, maka penempatan lokasi halte adalah setelah persimpangan

3. Jarak minimal halte dari gedung yang membutuhkan ketenangan seperti rumah sakit dan tempat ibadah minimal 100 meter. Kriteria ini peraturan tentang tata letak halte terhadap ruang lalu lintas menurut Dirjen Perhubungan darat tahun 1996. Penetapan kriteria ini dimaksudkan agar penempatan halte tidak mengganggu ketenangan


(57)

3.5. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 bagian yaitu data trayek Bus Rapid Transit (BRT) dan jumlah armada angkutan umum di Medan. Data lokasi bangkitan pergerakan diperoleh dari BAPEDA Kota Medan. Data trayek armada angkutan umum di Medan diperoleh dari DLLAJR Medan.

3.5.1. Lokasi Bangkitan Terbesar

Menurut Tamin (2000) pola penyebaran spasial yang sangat berperan adalah sebaran spasial dari daerah industry, perkantoran, dan permukiman. Pola sebaran spasial dari ketiga jenis tata guna lahan ini sangat berperan dalam menentukan pola perjalanan orang, terutama perjalanan dengan maksud bekerja. Pola sebaran spasial lain yang turut berperan adalah sebaran spasial untuk pertokoan dan area pendidikan.

Akan tetapi penggunaan moda monorel yang bertujuan untuk mendukung perkembangan kota Medan sebagai kota pariwisata, perdagangan, budaya dan olah raga. Oleh karena itu obyek wisata dan gedung olah raga juga merupakan lokasi yang menjadi bangkitan perjalanan.

Untuk mengetahui pola aktivitas yang mendorong penduduk untuk melakukan pergerakan dilakukan pengumpulan data sekunder. Data tersebut diperoleh dari BAPEDA Kota Medan. Data objek wisata diperoleh dari Dinas Pariwisata Kota Medan.

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu: a. Tempat Kerja

Data yang dibutuhkan adalah data nama, dan lokasi kantor pemerintahan dan kawasan industri. Data sekunder yang diambil yaitu peta tata guna lahan untuk kantor pemerintahan dan kawasan industri


(58)

b. Sekolah dan Universitas

Data yang dibutuhkan adalah data nama dan lokasi SMP, SMA, SMK dan Perguruan tinggi. Data sekunder yang diambil adalah peta tata guna lahan untuk pendidikan. Data yang ddibutuhkan hanya untuk jenjang SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi karena diasumsikan bahwa fasilitas jenjang pendidikan ini mempunyai jangkauan pelayanan yang luas, sehingga jarak antara tempat pendidikan dan rumah jauh.

c. Tempat Belanja

Untuk aktivitas belanja, data yang dikumpulkan yaitu peta tata guna lahan untuk pusat perbelanjaan (supermarket dan mall) dan pasar tradisional.

d. Tempat wisata

data yang dikumpulkan yaitu peta tata guna lahan untuk tempat wisata. e. Tempat olahraga

Data yang dikumpulkan yaitu peta tata guna lahan untuk olah raga. f. Tempat tinggal

Data yang dikumpulkan yaitu peta tata guna lahan untuk tempat tinggal. 3.5.2. Rute BRT dan Jumlah Angkutan Umum di Kota Medan

Pada tahap ini dilakukan pengambilan data sekunder yaitu data rute BRT dan angkutan umum di kota Medan. Angkutan umum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bus kota dan angkutan kota. Angkutan umum adalah salah satu moda yang berfungsi sebagai pengumpan atau sebagai moda yang digunakan sebelum atau sesudah menggunakan monorel. Dari data tersebut dilakukan analis alokasi pergantian moda yakni sebelum dan sesudah berganti moda dengan monorel.

3.5.3. Data lainnya


(59)

ibadah harus lebih dari 100 meter. Oleh karena itu, padapenelitian ini dilakukan pengambilan data berupa peta tata guna lahan untukrumah sakit dan tempat ibadah.

3.6 Penyusunan Kuesioner

Kuesioner ini bertujuan untuk menentukan titik permintaan dengan cara membandingkan titik-titik sumber bangkitan dan pergantian moda. Untuk mempermudah pengambilan data kuesioner, dilakukan pembagian wilayah pengamatan pada area penelitian. Pembagian area ini didasarkan pada rute armada yang melewatinya. Selanjutnya pada area yang mempunyai titik bangkitan terlalu banyak, area tersebut dibagi lagi agar mempermudah saat pengambilan data. Hal ini dikarenakan keterbatasan daya ingat dan waktu yang dimiliki oleh responden. Pembagian area ini akan menentukan jumlah tipe kuesioner yang akan dibuat.

3.7 Penyebaran Kuesioner

Responden dalam penelitian ini adalah kernet/sopir bus kota yang mempunyai rute trayek melewati rute monorel. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan sistem kuesioner dan terjun langsung ke lapangan. Dalam sistem kuesioner ini terdapat 2 cara pengambilan data. Cara pertama adalah survei dititik- titik pemberhentian angkot (ngetem). Cara yang kedua adalah surveyor masuk dalam angkutan umum untuk mengambil data dari responden.

Menentukan Jumlah Sampel

Menurut Glenn D. Israel dalam jurnalnya Determining Sample Size menyebutkan bahwa ;

n =

n = jumlah sampel 2 ) ( 1 N e

N


(60)

N= jumlah populasi e = koefisien presisi Maka ;

n =

n =

n = 94,04 ≈ 95 sampel

3.8 Menentukan Lokasi Survei

Lokasi survei penelitian merupakan feasibility study untuk rute I monorel di Kota Medan. Adapun ruas-ruas jalan yang direncanakan akan dilintasi monorel untuk rute I adalah Jalan Balai Kota – Jalan Guru Patimpus – Jalan Gatot Subroto – Jalan Gagak Hitam – Jalan Ngumban Surbakti – Jalan AH Nasution – Jalan Sisingamangaraja – Jalan Mesjid Raya – Jalan Katamso – Jalan Pemuda – Jalan Ahmad Yani – Jalan Balai Kota. Survei dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner akan dilakukan pada pusat-pusat keramaian di sepanjang jalan tersebut. Peta lokasi survei sesuai dengan ruas-ruas jalan yang akan dilintasi monorel dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut.

2 ) ( 1 N e

N

2 ) 1 , 0 ( 1580 1

1580


(1)

LOKASI : TOMANG ELOK

LOKASI : YUKI SIMPANG RAYA

Proses Pengamatan & Pencatatan

Kondisi pada saat Penumpang Naik


(2)

LOKASI : SIMPANG MARENDAL

LOKASI : SIMPANG STM

Proses Pengamatan & Pencatatan

Kondisi pada saat Penumpang Naik


(3)

FOTO DOKUMENTASI

LOKASI :

SEI SIKAMBING

SIMPANG JL. ASRAMA

LOKASI

: SIMPANG ADAM MALIK

SIMPANG SEI SIKAMBING

PENGISIAN KUESIONER DENGAN RESPONDEN SUPIR ANGKOT


(4)

LOKASI :

SIMPANG DELITUA- SIMPANG INDOGROSIR

LOKASI :

SIMPANG INDOGROSIR

SIMPANG JUANDA

PENGISIAN KUESIONER DENGAN RESPONDEN SUPIR ANGKOT


(5)

LOKASI :

SIMPANG JUANDA

SIMPANG PEMUDA


(6)

LOKASI :

SIMPANG PEMUDA

SIMPANG ADAM MALIK

LOKASI :

SIMPANG SETIABUDI

SIMPANG JOHOR

PENGISIAN KUESIONER DENGAN RESPONDEN SUPIR ANGKOT


Dokumen yang terkait

Kajian Pemilihan Moda Transportasi Antara Angkutan Kota dengan Monorel Menggunakan Metode Stated Preference (Studi Kasus: Rencana Pembangunan Monorel Kota Medan)

9 132 145

Penghentian Proyek Pembangunan Monerel Jakarta (Analisis Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi)

0 9 0

PENENTUAN JUMLAH DAN LOKASI HALTE RUTE I BUS RAPIDTRANSIT(BRT) DI SURAKARTA DENGAN MODEL SET COVERING PROBLEM

13 70 162

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)

1 3 33

BAB I PENDAHULUAN - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)

0 0 7

PENENTUAN JUMLAH DAN LOKASI HALTE MONOREL DENGAN MODEL SET COVERING PROBLEM (STUDI KASUS : RENCANA PEMBANGUNAN MONOREL MEDAN- KORIDOR I) TUGAS AKHIR - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembang

0 3 12

BAB I PENDAHULUAN - Kajian Pemilihan Moda Transportasi Antara Angkutan Kota dengan Monorel Menggunakan Metode Stated Preference (Studi Kasus: Rencana Pembangunan Monorel Kota Medan)

0 1 8

KAJIAN PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI ANTARA ANGKUTAN KOTA DENGAN MONOREL MENGGUNAKAN METODE STATED PREFERENCE (STUDI KASUS : RENCANA PEMBANGUNAN MONOREL KOTA MEDAN) TUGAS AKHIR - Kajian Pemilihan Moda Transportasi Antara Angkutan Kota dengan Monorel Menggun

0 1 13

PERENCANAAN STASIUN PEMBERHENTIAN MONOREL KORIDOR I PADA JALAN MERDEKA, KOTA BANDUNG - ITS Repository

0 1 121

PENENTUAN LOKASI DAN JUMLAH HALTE TREM DI SURABAYA DENGAN MODEL SET COVERING PROBLEM

0 1 123